Sungguh menggetarkan capaian prestasi Sandiaga Uno, cawapres pasangan capres
Prabowo Subianto dalam Pilpres Republik Indonesia 2019.
Berkait deklarasi capres-cawapres Prabowo-Sandi, presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera)
Sohibul Iman, mentahbiskan Sandiaga Uno sebagai santri post-Islamisme (4/8/18).
Oleh karena itu, namanya tak hanya Sandiaga Uno, melainkan harus disebut
lengkap sebagai Sandiaga Salahuddin Uno.
Kita tahu Salahuddin jenderal dan pejuang muslim
Kurdi dari Tikrit. Panglima Perang Salib yang sadis, dan mampu menaklukkan
Yerusalem. Betapa amat sangat menggetarkan sekali bukan? Jangan bilang bukan,
kecuali kapir!
"Saya kira beliau seseorang
yang memang hidup di alam moderen, tetapi beliau mengalami proses
spiritiualisasi dan Islamisasi, sehingga saya bisa mengatakan saudara Sandi
adalah merupakan sosok santri di era pos-Islamisme. Dia benar-benar menjadi
contoh pemimpin muslim yang kompatibel dengan perkembangan zaman," tutur
Sohibul Iman memberikan argumentasi.
Menurut PKS, salah satu ciri Sandiaga yang bisa dilihat sebagai sosok
santri post-Islamisme; Ialah kedekatan dengan tokoh-tokoh agama. Kedekatan
dengan ulama dan perilaku Islami, yang menunjukkan kesalehan pribadi itu bagian
tidak terpisahkan. Ciri lain, masih menurut orang PKS, aktivis post-Islamisme
adalah cenderung pragmatis, realistis, dan bersedia berkompromi dengan realitas
meski tidak selalu ideal. Namanya juga partai dakwah, harus pintar berdakwah, apalagi ada tarifnya.
Ditegaskan Sohibul, Sandiaga atau aktivis post-Islamisme ini, bukan
sekuler. Post-Islamisme adalah tahapan terkini, dari gerakan dakwah Islam
setelah revivalisme dan strukturalisme Islam. Gerakan ini mulai menguat seiring
dengan kebangkitan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki. Mulai
jelas ‘kan di sini?
Post-Islamisme adalah gerakan yang lebih mementingkan tercapainya esensi
Islam, moderat, menyatu dengan sistem yang sedang berjalan, yaitu demokrasi.
Pendekatan mereka lebih pragmatis. Yaitu tercapainya target riil, seperti
ekonomi, pembangunan, pertumbuhan, dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Kalau ada orang PKS, seperti Mardani Ali Sera nampang di youtube bersama
Yusanto dari HTI, untuk teriak ‘Ganti Presiden’, karena tahrir pada hisbut itu
maknanya adalah ‘ganti’. Bukan ba’dal dalam pengertian melanjutkan (yang sudah
ada). Ganti presiden artinya ganti sistemnya sekalian! Pancasila itu thogut!
*
Tapi kenapa PKS memilih atau mendukung Sandi? Ya, punya apa PKS selain
ideologi islamismenya itu? Maka Sandi harus dibaptis dulu, sebagaimana Sohibul
Iman menyebut santri era Post-Islamisme. Mangkanya, tidak sembarangan cawapres kita
yang satu ini. Meski semula Partai Demokrat menolak pencawapresan Sandiaga, toh
SBY dan AHY menerima juga pada akhirnya. Mengenai persoalan Jenderal Kardus
dicuitkan Andi Arief? Jika kardusnya hilang lenyap, biasanya bukan menguap, tapi mungkin ada kardus lain lagi. Toh SBY, dan AHY, yang dibilang ahli
strateg oleh filsuf macam Rocky Gerung, harus ngisep ibu jari dalam
Pilpres kali ini.
Status religius Sandiaga Salahuddin Uno, dalam waktu
relatif singkat, semakin meningkat di mata pendukungnya. Dalam waktu
sebulan saja, Sandiaga sudah disebut mencapai level ulama. Bahkan ia bisa
menyingkirkan dua ulama rekomendasi Ijtimak Ulama GNPF, Ustaz Abdul Somad dan
Ustaz Salim Segaf Al Jufri.
Pada 16 September 2018, GNPF
Ulama dalam Ijtimak Ulama II, akhirnya mendukung Prabowo-Sandi. GNPF memahami
bahwa Prabowo tak memilih ulama menjadi cawapresnya untuk menghindari
perpecahan umat. Tapi apa kata PKS?
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS,
Hidayat Nur Wahid, mengatakan Sandi adalah ulama. Dalam Alquran, demikian
HNW, istilah ulama disebut dalam Surah Asy-Syura dan Surah Fatir. "Kedua-duanya,
justru ulama itu tidak terkait dengan keahlian ilmu agama Islam. Satu tentang
ilmu sejarah, yaitu dalam Surah Asy-Syura dan Surah Fatir itu justru science,
scientist," kata HNW. Maka mengacu dua surat itu, cawapres pendamping
Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, juga seorang ulama, lebih muda dan ngganteng dibanding ulama sebelah yang juga cawapres.
"Menurut saya sih, Pak Sandi itu, ya, ulama, dari kacamata tadi.
Perilakunya, ya perilaku yang juga sangat ulama, beliau melaksanakan ajaran
agama, beliau puasa Senin-Kamis, salat duha, salat malam, silaturahim,
menghormati orang-orang yang tua, menghormati semuanya, berakhlak yang baik,
berbisnis yang baik, itu juga satu pendekatan yang sangat ulama. Bahwa kemudian
beliau tidak bertitel 'KH' karena memang beliau tidak belajar di komunitas
tradisional keulamaan," tutur HNW.
Capaian Sandiaga, memang
spetakuler. Sebulan kemudian, pada Oktober 2018, Koordinator Jubir
Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyamakan
Sandiaga Uno dengan Mohammad Hatta. Begawan Ekonomi Indonesia, sebelum Sumitro
Djojohadikusumo disebut begawan. Meski mendapat protes dari cucu Bung Hatta,
dan dituntut minta maaf, tim kampanye Prabowo-Sandi tak mau minta maaf. Dahnil membandingkan
Prabowo dengan Sukarno dan Jenderal Soedirman, Sandiaga dengan Mohammad Hatta.
Setelah diprotes cucu Bung
Hatta, Dahnil kemudian mengatakan; "Yang jelas, Bang Sandi sejak awal ingin
meneladani kepemimpinan Bung Hatta. Setiap kepemimpinan hari ini kan pasti
berusaha mencari keteladanan dari kepemimpinan sebelumnya. Nah salah satu
kepemimpinan yang bisa kita teladani adalah Bung Karno, Jenderal Soedirman,
kemudian Bung Hatta," ujar Dahnil.
*
Pada bulan Nopember 2018, tak ada capaian berarti dari Sandiaga. Mungkin
sebagai seorang religius, dan tawadhu', dia menghormati bulan pahlawan Indonesia. Atau mungkin
waktu itu lagi disibukkan dengan kampanye ke pasar-pasar. Dan sempat bikin
sebel para pedagang pasar, karena selalu menghinformasikan harga-harga naik.
Itu menjadi kampanye negatif bagi para pedagang pasar, karena calon pembeli
bisa jadi beralih ke supermarket, milik teman-teman Sandiaga Uno yang bisa lebih
murah.
Tiba-tiba, dalam bulan Desember, tepatnya 4 Desember 2018, dalam
kampanye di Surabaya, Sandiaga
memberikan pernyataan; Bersama Prabowo, siap menyelesaikan masalah
ekonomi dalam waktu tiga tahun. Jika Nabi Yusuf butuh tujuh tahun untuk
menyelesaikan krisis ekonomi, pasangan Prabowo dan Sandiaga Salahuddin Uno
percaya diri bisa melakukannya lebih cepat.
“Nabi
Yusuf butuh tujuh tahun. Insyaallah, saya dengan Pak Prabowo cukup tiga tahun
untuk memulihkan perekonomian Indonesia,” ujar Sandiaga Salahuddin Uno.
Guna mewujudkan janji ini, Sandiaga
Uno punya tiga kiat. Itu kalau Sandiaga terpilih sebagai Wapres karena
Prabowo menang jadi capres. Tidak mungkin Sandi kepilih sebagai wapres
sementara Prabowo kalah pilpres bukan? Penistaan agama? Enggaklah, ‘kan yang
ngomong Sandiaga Salahuddin Uno, bukan Ahok yang penista agama itu?
Dengan klaim mampu lebih cepat, kita tak tahu, artinya hal itu lebih
pintar atau lebih bodoh? Untuk mencapai level melampaui
nabi saja, Sandiaga butuh waktu dua bulan. Bandingkan, Agustus 2018 ia disebut
santri Post-Islamisme, September kemudian HNW menyebutnya ulama. Bulan
berikutnya, Oktober, disebut Dahnil sebagai Bung Hatta Baru. Sungguh capaian
post-millenial banget. Apakah Sandiaga mengambil paket kilat, tiap bulan naik
tingkat?
Hanya harus diakui, capaian yang melampaui nabi, mungkin lebih sulit.
Butuh waktu dua bulan, untuk memberikan pernyataan bisa 4 tahun lebih cepat,
dibanding capaian Nabi Yusuf dalam menyelesaikan krisis ekonomi.
Jika kita percaya urutan 25 nabi, Kanjeng Nabi Yusuf pada nomor 11 (sesudah
Yakub dan sebelum Ayub), artinya sampai dengan Kanjeng Nabi Muhammad
shallallahu’ alaihi wasallam, sebagai nabi (25) terakhir, berselang 13 nabi?
Hitung rata-rata, jika para nabi berusia 100 tahun (konon ada yang 300 tahun
lebih), maka krisis ekonomi itu terjadi sekitar 2000 SM (sebelum –kalender-
Masehi)?
Krisis ekonomi macam apa? Naik-turunnya Dollar AS, karena perang dingin
dengan Cina? Atau karena para pemain bursa saham, yang dikuasai kelompok Yahudi
dan Yakuza terjebak bermain gaple? Dan semua itu dilalap habis oleh Sandiaga
Uno, hanya dalam tiga tahun saja? Dengan cara mengurangi impor, mengajak
pengusaha swasta dan prioritas pembangunan infrastruktur yang terprogram dengan
lebih baik? Soal infrastruktur, ya, iyalah. Karena infrastruktur basic sudah diselesaikan
di era Jokowi.
*
Tapi, tahukah Anda, krisis ekonomi macam apa, di jaman Nabi Yusuf itu? Bagaimana
cara Nabi Yusuf menyelesaikan? Dalam sejarah Mesir Kuno, telah mencatat
terjadinya ancaman krisis pangan, akibat perubahan iklim ekstrim yaitu musim
hujan (masa subur) dan El Nino (musim kering), selama 7 tahun berturut-turut.
Kondisi ekstrim seperti itu sampai sekarang belum pernah terulang kembali.
Bermula dari mimpi seorang Raja Mesir, yang 'melihat tujuh ekor sapi
betina yang kurus-kurus, dan tujuh butir (gandum) yang hijau, tujuh butir
lainnya kering'. Mimpi itu tak bisa diterjemahkan menjadi informasi
yang jelas. Sehingga raja mengundang seluruh jajaran pegawai dan cendekia istana, untuk
menafsir mimpi. Tapi tak seorang pun yang mampu menjelaskan secara memuaskan,
dan tuntas tas-tas-tas seperti orang jualan tas Hermes.
Hingga kemudian tampilah Nabi Yusuf, sebagai penta'wil mimpi. Yang
akhirnya membuat negara saat itu dapat memprediksi kejadian luar biasa, yang
akan terjadi 14 tahun ke depan. Pengetahuan inilah yang disebut sebagai wahyu
dari Tuhan. Kemudian setelah itu, langkah kedua diambil Raja Mesir, menjadikan
Nabi Yusuf sebagai pejabat pemerintah. Sebagai bendaharawan yang mengatur
urusan pangan rakyat selama menghadapi masa krisis.
Pertimbangan utama memilih Yusuf, karena pengetahuannya, dan
juga amanah serta bisa dipercaya (QS 12:55). Kemudian disusunlah strategi
antisipasi, seperti melalui produksi massal gandum di masa subur. Teknologi
panen gandum, yaitu dengan memetik bersama tangkainya, agar memiliki daya
simpan yang lama. Pengaturan sistem pembenihan, agar benih untuk musim tanam
berikutnya tetap tersedia. Manajemen stok pangan yang berkeadilan. Dan
terakhir, membudayakan tolong-menolong sesama warga negara yang kesulitan
pangan.
Langkah-langkah itulah, yang dilakukan Yusuf, sebagaimana secara
tersirat dalam Quran (QS 43-53). Apakah, katakanlah dalam 4.000-an tahun
kemudian setelah masa itu, di Indonesia pada 2018 dan seterusnya, berada dalam
situasi seperti jaman Nabi Yusuf?
Mungkin saja, jika menghadapi kasus seperti
jaman Mesir Kuno itu, dengan pengetahuan dan alat baru seperti jaman kini, jangka
3 tahun terlalu lama dibanding 7 tahun pada 4.000 tahun silam. Tapi, jika logika ini dipakai, bisa dituding menghina kemampuan Sandiaga, yang bisa 4 tahun
lebih cepat daripada masa yang dibutuhkan Nabi Yusuf kala itu?
Kenapa membandingkan dengan Nabi
Yusuf? Bisa jadi karena Sandiaga adalah turun dari Salahuddin, yang semula
bernama Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi, pendiri Dinasti Ayyubiyyah di Mesir,
Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Yusuf bin Najmuddin lebih dikenal
dengan nama julukannya, Salahuddin Ayyubi atau Salah ad-Din, atau dalam lidah
Jawa sebagai Pangeran Saladin.
*
Tidak berkait itu sih. Tapi
mungkin lebih karena waktu itu Jokowi menyebut film serial Game of Thrones
sebagai perumpamaan ihwal kondisi ekonomi Indonesia dan dunia saat ini.
Sementara mengatakan tak ada film yang relevan untuk menggambarkan kondisi
ekonomi Indonesia saat ini.
Presiden Joko Widodo
sebelumnya menyinggung serial Game of Thrones dalam pidatonya di pertemuan
tahunan International Monetery Fund - World Bank atau IMF-World Bank di Bali.
Jokowi menyebut bahwa hubungan antarnegara ekonomi maju terlihat seperti yang
digambarkan serial tersebut. Jokowi lantas mengutip satu tagline terkenal dari
film Game of Thrones, yakni Winter is Coming.
Sandiaga mengakui
bahwa istilah winter is coming tepat menggambarkan ancaman global
terhadap perekonomian Indonesia. Namun, dia berpendapat kondisi internal dalam
negeri juga perlu dibenahi. Sandiaga menyebut, ekonomi internal ibarat kemarau
panjang. Sandiaga lantas berpendapat, film
Yusuf Asshidiq Alaihissalam lebih tepat untuk mengumpamakan kondisi Indonesia
saat ini. "Saya kebayang film yang Nabi Yusuf itu, yang tujuh tahun kita
paceklik," kata santri post Islamisme sekaligus ulama ini.
Ya, sudahlah. Itu urusan para dewa, yang bisa berkomunikasi langsung
dengan Tuhan allah subha’nahu wa ta’alla. Rakyat dengan kualitas nalar sederhana, lebih percaya bahwa pilpres
(pemilihan presiden) di Indonesia hanyalah peristiwa manusia biasa. Dalam wacana demokrasi
sekuler, yang lebih butuh manusia biasa saja, dan membumi.
Manusia biasa yang jujur, sederhana, tidak korup, dan bisa kita ukur
rekam jejaknya. Tetap sebagai manusia biasa, yang mampu mendengar, dan mau
menerima kritikan. Yang dalam lagu kanak-kanak sering dinyanyikan; Peramah dan
sopan. Baik budi dan tidak sombong.