APAKAH Setya Novanto orang sakti? Kayaknya bukan. Setidaknya lebih
karena kita yang bukan orang sakti. Kita manusia lemah syahwat yang membiarkan
ketidakwarasan menimpa.
Bisa dibayangkan, Setnov bisa sakit bertumpuk-tumpuk, ketika dipanggil KPK. Tetapi begitu gugatan pra-peradilannya dimenangkan, hanya selisih dua hari ia dinyatakan sembuh. Beberapa hari kemudian, kelihatan ngantor sebagai ketua DPR-RI. Tapi begitu ada panggilan menjadi saksi, dalam kasus yang sama (mega-korupsi e-KTP), mendadak ndangdhut harus check up kesehatan. Tak bisa memenuhi panggilan.
Dan KPK, seperti biasa, sibuk berpose di kamera televisi. Bekoar macem-macem, tapi tetap saja seperti banci kaleng. Tak strategis dan khas gaya lama, berkilah pada prosedur dan formalitas. Tidak cakcek. Tidak cekatan. Dan lebih menikmati dihajar oleh omongan cablak Fahri Hamzah.
Kita membiarkan semuanya itu. Termasuk bagaimana FH bisa seenak mulut ngomong apapun. Soal KPK dimuseumkan, nggak boleh ngomongin Ahok. Mewakili siapakah dia? Partai asalnya, PKS, tak mendaku. Tapi partai ini kalah tuntutan di pengadilan, hingga tak bisa apa-apa, dan membiarkannya tetap sebagai pimpinan DPR-RI.
Tapi sekalipun sebagai salah satu pimpinan DPR-RI, apakah prasyaratnya hanya status formal? Bagaimana status perilakunya, etikanya? MKD (Majelis Kehormatan Dewan) DPR, apakah tak melihat perilaku FH yang lebih sering memperlihatkan ketidakpantasan etik? Jika tidak, patut diduga MKD memang tak mempunyai pegangan standar etik, karena lahir dari lembaga yang tak mengenal etika.
Itu semua terjadi lantaran kita melihat antara Pemerintah (dalam hal ini Jokowi) dengan parlemen (dalam hal ini beberapa partai yang oposan, apalagi yang pro Prabowo) berada dalam kepentingan berbeda. Yang muncul kemudian adalah konflik kepentingan. Kerja pemerintah apa, kerja parlemen apa. Tidak berada dalam sinkronisasi grand-design sebuah bangsa dan negara.
Parlemen, terutama partai oposan, terjebak dalam agenda politik pragmatis. Dan itu lebih mencerminkan konflik kepentingan partai politik, atau lebih tepat lagi ketua umumnya. Tak ada di sana tercermin kepentingan dan aspirasi rakyat, kecuali hanya dalam bentuk claim, untuk legitimasi atau alasan bermanuver. Rakyat selalu menjadi alasan, sekalipun hanya atas nama. Dan itu akan selalu menjadi persoalan kita, sampai mereka mencapai tujuan politiknya. Tak peduli, dan tak ada agenda tujuan berbangsa dan bernegara.
Sampai kapan kita lepas dari tradisi politik kacrut semacam ini, yang hanya dipenuhi konflik kepentingan mereka? Sampai mereka mampus, hingga perlahan cara-cara berpolitik mereka tereduksi perubahan jaman. Jika pun Prabowo menitiskan ideologinya pada Fadli Zon, toh FZ akan berhadapan dengan generasi sebaya dan berikutnya, yang relative berbeda karena dipaksa situasi jaman. Sehingga logika mutlak-mutlakan para soehartois, perlahan tak akan laku lagi, meski Tommy Soeharto mencoba melanggengkan dengan Partai Berkarya, yang bakal ikut Pemilu 2019.
Bersamaan waktu, kita hanya bisa menunggu lahirnya generasi baru. Para cendekiawan yang bukan hanya cerdas tapi bijak. Butuh generasi baru politikus, yang bukan hanya kritis, tapi juga berpihak pada kepentingan rakyat. Kita butuh birokrat generasi milenial, yang tidak gaptek, mampu memangkas birokrasi korup untuk negeri yang beraneka latar budaya dengan kondisi geografisnya.
Bahwa masih banyak masalah, entah soal Pemberontakan DI/TII, PKI, Genocida paska 3091965, DOM Aceh, Talangsari, Trisakti, Munir, bahkan Novel Baswedan pun, misalnya tak bisa diselesaikan cepat, semoga saja setelah generasi Kivlan Zein atau Riamizard Ryacudu, juga generasi Gatot Nurmantyo, kelak akan bisa terselesaikan juga. Pahit memang. Tetapi bukankah selama ini kita hanya maju-mundur cantik, kayak Syahrini, sembari menambah korban baru dalam kebiadaban yang berbeda rupa?
Senyatanya, butuh waktu setengah abad untuk sadar, itu pun setelah 70 tahun merdeka kita juga baru nyadar. Negeri ini miskin gagasan. Miskin infrastruktur dengan suprastruktur yang juga acakadut. Apalagi yang dibanggakan? Sementara negara-negara ASEAN, bahkan Afrika, sudah menyalip kita. Bahkan, 70an tahun merdeka, kita hanya segaris lebih bagus dibanding Botswana, dalam tingkat literasi (Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016). Itu pun kita berada di posisi nomor 60 dari 61 negara. Di antara negara ASEAN, Indonesia menempati urutan ketiga terbawah, bersama Kamboja dan Laos.
Dalam penelitian UNESCO mengenai minat baca (2014), anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun. Tapi bisa berjam-jam sibuk bermedsos, bukan? Panteslah kalau kita membiarkan FH, FZ, KZ, SN, PS, ES, RS, AG, AR dan gerombolannya itu, bisa seenaknya di negeri ini. Dan kita tak bisa apa-apa.
Mungkin Jiddu Krishnamurti (1895 – 1986) benar adanya. Theosofis dari India itu mengatakan, “pelajaran nyata datang ketika semangat persaingan telah berakhir.” Hampir sama dengan pendapat Mbah Albert Einstein, “great spirits have always encountered violent opposition from mediocre minds.” Fisikawan dari Jerman itu seolah melihat Indonesia, yang terbelah pada pro-kontra Jokowi, hanya karena ada Prabowo di sana. Semangat yang besar selalu mengalami kekerasan oposisi dari pikiran yang biasa-biasa saja. Tapi bagaimana untuk bersama-sama bahu-membahu?
Sutan Sjahrir (1909 – 1996), Perdana Menteri pertama ketika Indonesia berbentuk negara perserikatan, bersabda; “Dan hanya semangat kebangsaan, yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan, yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.” Tapi bagaimana untuk bersama bahu-membahu?
Sayangnya, Sun Tzu yang mengatakan; “Anda akan menang jika seluruh pasukan di berbagai level memiliki semangat juang yang sama.” Itu susah diterima, oleh kelompok Amien Rais cum suis. Karena jenderal dan penulis itu dari Tiongkok. Sesuatu yang bakal ditolak karena aseng. Kalau dari Arab Saudi, ‘kan bukan aseng?
Demikianlah, wong dalam pikiran saja, sudah tak adil. Apalagi tindakan dan perilakunya! Dan celakanya, kita biarkan ketidakpatutan itu bersimaharajalela.
Bisa dibayangkan, Setnov bisa sakit bertumpuk-tumpuk, ketika dipanggil KPK. Tetapi begitu gugatan pra-peradilannya dimenangkan, hanya selisih dua hari ia dinyatakan sembuh. Beberapa hari kemudian, kelihatan ngantor sebagai ketua DPR-RI. Tapi begitu ada panggilan menjadi saksi, dalam kasus yang sama (mega-korupsi e-KTP), mendadak ndangdhut harus check up kesehatan. Tak bisa memenuhi panggilan.
Dan KPK, seperti biasa, sibuk berpose di kamera televisi. Bekoar macem-macem, tapi tetap saja seperti banci kaleng. Tak strategis dan khas gaya lama, berkilah pada prosedur dan formalitas. Tidak cakcek. Tidak cekatan. Dan lebih menikmati dihajar oleh omongan cablak Fahri Hamzah.
Kita membiarkan semuanya itu. Termasuk bagaimana FH bisa seenak mulut ngomong apapun. Soal KPK dimuseumkan, nggak boleh ngomongin Ahok. Mewakili siapakah dia? Partai asalnya, PKS, tak mendaku. Tapi partai ini kalah tuntutan di pengadilan, hingga tak bisa apa-apa, dan membiarkannya tetap sebagai pimpinan DPR-RI.
Tapi sekalipun sebagai salah satu pimpinan DPR-RI, apakah prasyaratnya hanya status formal? Bagaimana status perilakunya, etikanya? MKD (Majelis Kehormatan Dewan) DPR, apakah tak melihat perilaku FH yang lebih sering memperlihatkan ketidakpantasan etik? Jika tidak, patut diduga MKD memang tak mempunyai pegangan standar etik, karena lahir dari lembaga yang tak mengenal etika.
Itu semua terjadi lantaran kita melihat antara Pemerintah (dalam hal ini Jokowi) dengan parlemen (dalam hal ini beberapa partai yang oposan, apalagi yang pro Prabowo) berada dalam kepentingan berbeda. Yang muncul kemudian adalah konflik kepentingan. Kerja pemerintah apa, kerja parlemen apa. Tidak berada dalam sinkronisasi grand-design sebuah bangsa dan negara.
Parlemen, terutama partai oposan, terjebak dalam agenda politik pragmatis. Dan itu lebih mencerminkan konflik kepentingan partai politik, atau lebih tepat lagi ketua umumnya. Tak ada di sana tercermin kepentingan dan aspirasi rakyat, kecuali hanya dalam bentuk claim, untuk legitimasi atau alasan bermanuver. Rakyat selalu menjadi alasan, sekalipun hanya atas nama. Dan itu akan selalu menjadi persoalan kita, sampai mereka mencapai tujuan politiknya. Tak peduli, dan tak ada agenda tujuan berbangsa dan bernegara.
Sampai kapan kita lepas dari tradisi politik kacrut semacam ini, yang hanya dipenuhi konflik kepentingan mereka? Sampai mereka mampus, hingga perlahan cara-cara berpolitik mereka tereduksi perubahan jaman. Jika pun Prabowo menitiskan ideologinya pada Fadli Zon, toh FZ akan berhadapan dengan generasi sebaya dan berikutnya, yang relative berbeda karena dipaksa situasi jaman. Sehingga logika mutlak-mutlakan para soehartois, perlahan tak akan laku lagi, meski Tommy Soeharto mencoba melanggengkan dengan Partai Berkarya, yang bakal ikut Pemilu 2019.
Bersamaan waktu, kita hanya bisa menunggu lahirnya generasi baru. Para cendekiawan yang bukan hanya cerdas tapi bijak. Butuh generasi baru politikus, yang bukan hanya kritis, tapi juga berpihak pada kepentingan rakyat. Kita butuh birokrat generasi milenial, yang tidak gaptek, mampu memangkas birokrasi korup untuk negeri yang beraneka latar budaya dengan kondisi geografisnya.
Bahwa masih banyak masalah, entah soal Pemberontakan DI/TII, PKI, Genocida paska 3091965, DOM Aceh, Talangsari, Trisakti, Munir, bahkan Novel Baswedan pun, misalnya tak bisa diselesaikan cepat, semoga saja setelah generasi Kivlan Zein atau Riamizard Ryacudu, juga generasi Gatot Nurmantyo, kelak akan bisa terselesaikan juga. Pahit memang. Tetapi bukankah selama ini kita hanya maju-mundur cantik, kayak Syahrini, sembari menambah korban baru dalam kebiadaban yang berbeda rupa?
Senyatanya, butuh waktu setengah abad untuk sadar, itu pun setelah 70 tahun merdeka kita juga baru nyadar. Negeri ini miskin gagasan. Miskin infrastruktur dengan suprastruktur yang juga acakadut. Apalagi yang dibanggakan? Sementara negara-negara ASEAN, bahkan Afrika, sudah menyalip kita. Bahkan, 70an tahun merdeka, kita hanya segaris lebih bagus dibanding Botswana, dalam tingkat literasi (Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016). Itu pun kita berada di posisi nomor 60 dari 61 negara. Di antara negara ASEAN, Indonesia menempati urutan ketiga terbawah, bersama Kamboja dan Laos.
Dalam penelitian UNESCO mengenai minat baca (2014), anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun. Tapi bisa berjam-jam sibuk bermedsos, bukan? Panteslah kalau kita membiarkan FH, FZ, KZ, SN, PS, ES, RS, AG, AR dan gerombolannya itu, bisa seenaknya di negeri ini. Dan kita tak bisa apa-apa.
Mungkin Jiddu Krishnamurti (1895 – 1986) benar adanya. Theosofis dari India itu mengatakan, “pelajaran nyata datang ketika semangat persaingan telah berakhir.” Hampir sama dengan pendapat Mbah Albert Einstein, “great spirits have always encountered violent opposition from mediocre minds.” Fisikawan dari Jerman itu seolah melihat Indonesia, yang terbelah pada pro-kontra Jokowi, hanya karena ada Prabowo di sana. Semangat yang besar selalu mengalami kekerasan oposisi dari pikiran yang biasa-biasa saja. Tapi bagaimana untuk bersama-sama bahu-membahu?
Sutan Sjahrir (1909 – 1996), Perdana Menteri pertama ketika Indonesia berbentuk negara perserikatan, bersabda; “Dan hanya semangat kebangsaan, yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan, yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.” Tapi bagaimana untuk bersama bahu-membahu?
Sayangnya, Sun Tzu yang mengatakan; “Anda akan menang jika seluruh pasukan di berbagai level memiliki semangat juang yang sama.” Itu susah diterima, oleh kelompok Amien Rais cum suis. Karena jenderal dan penulis itu dari Tiongkok. Sesuatu yang bakal ditolak karena aseng. Kalau dari Arab Saudi, ‘kan bukan aseng?
Demikianlah, wong dalam pikiran saja, sudah tak adil. Apalagi tindakan dan perilakunya! Dan celakanya, kita biarkan ketidakpatutan itu bersimaharajalela.