Pagi-pagi saya sudah diteror oleh 'toa', itu sebutan lain dari
loudspeaker yang memang tugasnya untuk 'memperkeras suara'. Bukan soal
agama sih, tapi soal pengumuman warga desa tentang hak pilih untuk
pemilihan kepala desa.
Memang sih, pengumumannya lewat masjid, karena jaman sekarang ini yang punya toa kalau tidak masjid, ya, penjual sembako atau kredit kelilingan, penjual jamu atau obat di alun-alun, pesulap atau pedagang pakaian di pasar malam, pabrik-pabrik dengan ribuan buruh, atau beberapa rumah penjara untuk menghardik para napi.
Beberapa aktivis demo juga punya, tapi biasanya toa yang kecil saja. Biar bisa dibawa ke mana-mana sesuai mobilitasnya, dan tak berat-berat amat jika dibawa lari, menghindar dari semprotan water-canon.
Puluhan tahun lampau, saya pernah dengan sengaja menikmati terror toa ini. Dalam jarak dekat dan dalam waktu hampir dua jam. Di sebuah ruang tertutup, dalam sebuah pertunjukan teater dari Teater Payung Hitam Bandung.
Adegan yang saya tonton sepanjang pertunjukan, hanya orang mendorong-dorong kotak berisi pasir dan batu kerikil, di lantai yang tak rata. Ke kanan dan kiri panggung. Di latar belakang, sesosok manusia naik turun rag besi, bagai spiderman, turun-naik tak ada henti. Sementara di pojok panggung, sebuah toa terus menerus ngebacot, dalam bahasa asing, tak jelas artinya, dengan volume yang tinggi, entah berapa decibel tetapi sangat memekakkan.
Nonton reportoar Teater Payung Hitam, saya lakukan dua kali waktu itu, untuk pementasan yang sama, di Bandung dan Jakarta. Hanya untuk memastikan rasa terteror itu seperti apa. Bukan untuk memastikan bahwa TPH lebih asyik dibandingkan Teater Mandiri-nya Putu Wijaya, sih.
Tapi begitulah. Dalam skala tertentu, menurut teman yang ahli THT, syaraf-syaraf kita akan dipaksa bekerja dengan berbagai tekanan keseharian, yang kita lakukan sengaja tak sengaja. Dan semakin syaraf kita bekerja keras, karena kontraksi atas berbagai reproduksi suara (apalagi yang diperkeras), secara akumulatif berjalan linier dengan daya tahan tubuh kita, untuk semakin cepat diperlemah.
Dalam perkembangan peradaban, yang go green dan ramah lingkungan, toa sebetulnya sudah makin banyak ditinggalkan. Kecuali di pabrik-pabrik, rumah-rumah penjara kita, dan juga di markas tentara, yang biasanya agak ‘keras-keras gitu’ tampilannya.
Kalau ajaran Kanjeng Nabi Muhammad shallah'ullahu allaihi wassalam; rendahkanlah suaramu, turunkanlah nada suaramu, lembutkanlah suaramu, bukan yang sebaliknya. Mungkin karena jaman itu belum dikenal toa. Tapi menurut orang Jepang, pembeli toa terbanyak bukan di Arab Saudi, melainkan Indonesia. Ini tentu kabar baik bagi yang mau jadi agen toa.
Memang sih, pengumumannya lewat masjid, karena jaman sekarang ini yang punya toa kalau tidak masjid, ya, penjual sembako atau kredit kelilingan, penjual jamu atau obat di alun-alun, pesulap atau pedagang pakaian di pasar malam, pabrik-pabrik dengan ribuan buruh, atau beberapa rumah penjara untuk menghardik para napi.
Beberapa aktivis demo juga punya, tapi biasanya toa yang kecil saja. Biar bisa dibawa ke mana-mana sesuai mobilitasnya, dan tak berat-berat amat jika dibawa lari, menghindar dari semprotan water-canon.
Puluhan tahun lampau, saya pernah dengan sengaja menikmati terror toa ini. Dalam jarak dekat dan dalam waktu hampir dua jam. Di sebuah ruang tertutup, dalam sebuah pertunjukan teater dari Teater Payung Hitam Bandung.
Adegan yang saya tonton sepanjang pertunjukan, hanya orang mendorong-dorong kotak berisi pasir dan batu kerikil, di lantai yang tak rata. Ke kanan dan kiri panggung. Di latar belakang, sesosok manusia naik turun rag besi, bagai spiderman, turun-naik tak ada henti. Sementara di pojok panggung, sebuah toa terus menerus ngebacot, dalam bahasa asing, tak jelas artinya, dengan volume yang tinggi, entah berapa decibel tetapi sangat memekakkan.
Nonton reportoar Teater Payung Hitam, saya lakukan dua kali waktu itu, untuk pementasan yang sama, di Bandung dan Jakarta. Hanya untuk memastikan rasa terteror itu seperti apa. Bukan untuk memastikan bahwa TPH lebih asyik dibandingkan Teater Mandiri-nya Putu Wijaya, sih.
Tapi begitulah. Dalam skala tertentu, menurut teman yang ahli THT, syaraf-syaraf kita akan dipaksa bekerja dengan berbagai tekanan keseharian, yang kita lakukan sengaja tak sengaja. Dan semakin syaraf kita bekerja keras, karena kontraksi atas berbagai reproduksi suara (apalagi yang diperkeras), secara akumulatif berjalan linier dengan daya tahan tubuh kita, untuk semakin cepat diperlemah.
Dalam perkembangan peradaban, yang go green dan ramah lingkungan, toa sebetulnya sudah makin banyak ditinggalkan. Kecuali di pabrik-pabrik, rumah-rumah penjara kita, dan juga di markas tentara, yang biasanya agak ‘keras-keras gitu’ tampilannya.
Kalau ajaran Kanjeng Nabi Muhammad shallah'ullahu allaihi wassalam; rendahkanlah suaramu, turunkanlah nada suaramu, lembutkanlah suaramu, bukan yang sebaliknya. Mungkin karena jaman itu belum dikenal toa. Tapi menurut orang Jepang, pembeli toa terbanyak bukan di Arab Saudi, melainkan Indonesia. Ini tentu kabar baik bagi yang mau jadi agen toa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar