Konflik yang seru, di Indonesia ini, sesungguhnya bukan konflik antara Jokowi versus Jokowi Hater, atau dengan KMP, Fahri Hamzah atau Fadli Zon. Konflik antara mereka, atau katakanlah perseteruan itu ada karena kepentingan yang berbeda. Kalau kepentingannya diampu, pasti rasa benci itu juga hilang musnah. Atau kebencian dimunculkan untuk menarik perhatian. Benci bertendens ini sebuah kelaziman dalam politik di Indonesia.
Konflik yang lebih memukau dari itu, apa yang terjadi antara Gibran dan Jokowi. Konflik antara orangtua dan anak ini, lebih terasa eksistensialis, meski banyak media dan orang, tak memahami hal itu.
*
Sudah bisa diduga, perkawinan Gibran-Selvi akan menuai komentar banyak pihak. Dan telah menjadi trending topic, senyampang peristiwa memilukan yang menimpa Angeline.
Kita bangsa penggemar trending topic. Tapi topic apa yang menjadi trend? Bukan yang normatif, namun yang kontroversial (tapi disikapi secara normatif). Jadinya, bagi para haters Jokowi, Gibran pun bisa jadi sasaran pem-bully-an, mana yang dibilang songong, sombong, apa nggak kesel ndhangak terus, angkat dagu terus-menerus, tanpa senyum sedikit pun?
Orang ahli bilang, untuk diplomasi tingkat tinggi, sikap Gibran itu negatif, tidak menguntungkan (apalagi bagi bapaknya, yang Presiden). Tapi sikap Gibran bisa dimengerti dan didukung, di tengah begitu tolerannya kita atas sikap-sikap lamis masyarakat. Sampai-sampai Jayasuprana dan Amalia ES, sang ahli personal branding, pun menasehati Ahok agar sedikit lebih soft, lebih sopan.
Di tengah ajakan agar muncul generasi muda mandiri, pandangan stereotype masyarakat masih saja melecehkan sepak-terjang Gibran, yang kebetulan jadi anak walikota, gubernur, dan kemudian presiden. Gibran yang ramah pada setiap orang, suka senyum dalam tiap pembicaraan dan suka menundukkan kepala itu, tiba-tiba melakukan perlawanan (terhadap media), dengan mendongakkan kepala. Bahwa ia ada bukan lantaran bapaknya. Ia berusaha sendiri, yang bapaknya bahkan tahu pun tidak. Tapi masyarakat kejam menghukum, itu pasti karena tulah bapaknya yang pejabat Negara. Jika Gibran marah dan melawan (sekali lagi khusus pada media yang telah melakukan stereotype padanya), saya mendukungnya. Sombong itu keren, asal sembada. Daripada sombong tapi korup.
Tentu saja, jadi anak pejabat Negara repot, apalagi anak presiden. Soal beda agama pun disrempet-srempetin, dibuat dalam blunder kalimat, hingga orang memaknainya bahwa Gibran-Selvie beda agama. Kalau beda agama, keimanan Gibran sebagai orang Islam diragukan. Dan seterusnya. Capek bukan dengan logika begini?
Padahal faktanya, Selvi yang semula Katholik, telah mengucapan syahadat di Masjid Istiqlal, Jakarta, Februari 2015. Pada ijab qabul di KUA, karena besan Jokowi beda agama, perwalian orangtua perempuan harus diwakilkan pada yang seagama (karena perkawinannya secara Islam).
Hal lain, soal undangan manten, bukan hanya para haters, bahkan anggota parlemen pun angkat suara. Tak kurang Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyesalkan Surat Edaran Menpan dan Reformasi Birokrasi (SE Menpan RB) Nomor 13 tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana, yang tidak konsisten dijalankan Jokowi.
Pasalnya, dalam surat edaran itu mengatur jumlah maksimal undangan untuk hajatan bagi penyelenggara negara maksimal 400 undangan, sedangkan undangan pernikahan anak Presiden Joko Widodo mencapai 3500 orang. "Mestinya konsisten, pemimpin itu memberi contoh. Kalau buat aturan tapi pemimpinnya yang melanggar nanti tidak didengerin lagi," kata Zon (8/6).
Celakanya, Zon ini asal njeplak. Karena dalam adat Jawa, pihak lelaki (keluarga Jokowi) baru akan ‘ngunduh mantu’ saat sepasaran, atau lima hari setelah masa ijab dan resepsi yang diselenggarakan pihak perempuan. Jadi, yang menyelenggarakan pesta perkawinan pada hari ini (yang mengundang 3.500 orang itu), bukan pejabat penyelenggara Negara, melainkan Didit Supriyadi dan Partini, orangtua Selvi, yang notabene masyarakat sipil, pedagang kecil di Solo.
*
Memang repot menjadi anak presiden. Pada sisi lain, Gibran Rakabuming Raka, sebagai anak sulung Jokowi, presiden Republik Indonesia, mempunya sikap yang jelas, bahkan berseberangan dengan ayahnya itu. Bukan hanya Gibran sesungguhnya, semua anak Jokowi tak suka bapaknya jadi presiden. Bahkan ketika masih menjadi Walikota Solo dan hendak maju menjadi Gubernur DKI, Gibran sudah menunjukkan ketidaksukaannya, dan marah-marah soal hal itu. Hampir semua orang Solo mengetahui hal itu.
Tapi konflik Gibran dan Jokowi, tampak lebih terbuka. Konflik pertama, ketika setelah lulus dari sekolah bisnis, Gibran menolak meneruskan usaha meubel ayahnya. Ia bahkan ingin menjalankan bisnis sendiri. Usaha katering.
Kedua orangtuanya tak mau memodali Gibran, karena pilihannya yang mengecewakan harapan itu. Dan Gibran jungkir balik untuk mencari modal dengan menawarkan proposal ke beberapa bank.
Akhirnya memang dapat pinjaman modal dari bank, tapi meski memakai gedung Graha Sabha milik ayahnya, ia tetap membayar sewa perbulannya, dan tak pernah telat. Itu untuk menunjukkan, bahwa ia ingin membuktikan bahwa pilihannya benar dan diperjuangkan sungguh.
Maka bersamaan berjalannya waktu, ketika Jokowi terpilih jadi presiden, Gibran merasa sebel karena stereotype media dan masyarakat, menganggap jadi anak presiden itu enak, bisa mentang-mentang. Gibran tetap sibuk dengan bisnisnya, dan ogah masuk dalam ritual sosial karena bapaknya menjadi top manager Indonesia.
Dan Gibran marah besar pada media, ketika pers (dan juga stereotype masyarakat) menudingnya sombong. Pertarungan eksistensialisme antara anak dan bapak berlangsung cukup seru.
Hingga puncaknya pada perkawinannya dengan Selvi Ananda. Gibran, meski juga terjun ke bisnis Wedding Organizer, menolak mengadakan pesta perkawinan. Bahkan, dia hanya ingin ijab qabul dan slametan internal, tak ada pesta atau resepsi.
Jokowi pusing dan terus membujuk Gibran, agar menghargai posisi sosial ayahnya, sebagai presiden. Otot-ototan soal ini berlangsung lama, hingga akhirnya Gibran menyerah, tapi tetap menolak soal kereta kencana atau wedding-car. Gibran mau saja ada resepsi, asal dari rumah menuju ke rumah Selvi atau ke gedung pengantin, jalan kaki.
Jokowi tak bisa menawar lebih jauh. Toh biaya perkawinan sepenuhnya dibiayai oleh Gibran dan Selvi. Makanya, sepanjang perhelatan, meski Jokowi senyam-senyum ke publik, Gibran tetap saja cuek, dan mahal senyum. Toh ia hanya ingin menegegaskan, bahwa dia layak untuk mendirikan rumah-tangga sendiri, lepas dari bayang-bayang ortunya. Apalagi markobarmu memang enak kok, Gib!
Konflik yang lebih memukau dari itu, apa yang terjadi antara Gibran dan Jokowi. Konflik antara orangtua dan anak ini, lebih terasa eksistensialis, meski banyak media dan orang, tak memahami hal itu.
*
Sudah bisa diduga, perkawinan Gibran-Selvi akan menuai komentar banyak pihak. Dan telah menjadi trending topic, senyampang peristiwa memilukan yang menimpa Angeline.
Kita bangsa penggemar trending topic. Tapi topic apa yang menjadi trend? Bukan yang normatif, namun yang kontroversial (tapi disikapi secara normatif). Jadinya, bagi para haters Jokowi, Gibran pun bisa jadi sasaran pem-bully-an, mana yang dibilang songong, sombong, apa nggak kesel ndhangak terus, angkat dagu terus-menerus, tanpa senyum sedikit pun?
Orang ahli bilang, untuk diplomasi tingkat tinggi, sikap Gibran itu negatif, tidak menguntungkan (apalagi bagi bapaknya, yang Presiden). Tapi sikap Gibran bisa dimengerti dan didukung, di tengah begitu tolerannya kita atas sikap-sikap lamis masyarakat. Sampai-sampai Jayasuprana dan Amalia ES, sang ahli personal branding, pun menasehati Ahok agar sedikit lebih soft, lebih sopan.
Di tengah ajakan agar muncul generasi muda mandiri, pandangan stereotype masyarakat masih saja melecehkan sepak-terjang Gibran, yang kebetulan jadi anak walikota, gubernur, dan kemudian presiden. Gibran yang ramah pada setiap orang, suka senyum dalam tiap pembicaraan dan suka menundukkan kepala itu, tiba-tiba melakukan perlawanan (terhadap media), dengan mendongakkan kepala. Bahwa ia ada bukan lantaran bapaknya. Ia berusaha sendiri, yang bapaknya bahkan tahu pun tidak. Tapi masyarakat kejam menghukum, itu pasti karena tulah bapaknya yang pejabat Negara. Jika Gibran marah dan melawan (sekali lagi khusus pada media yang telah melakukan stereotype padanya), saya mendukungnya. Sombong itu keren, asal sembada. Daripada sombong tapi korup.
Tentu saja, jadi anak pejabat Negara repot, apalagi anak presiden. Soal beda agama pun disrempet-srempetin, dibuat dalam blunder kalimat, hingga orang memaknainya bahwa Gibran-Selvie beda agama. Kalau beda agama, keimanan Gibran sebagai orang Islam diragukan. Dan seterusnya. Capek bukan dengan logika begini?
Padahal faktanya, Selvi yang semula Katholik, telah mengucapan syahadat di Masjid Istiqlal, Jakarta, Februari 2015. Pada ijab qabul di KUA, karena besan Jokowi beda agama, perwalian orangtua perempuan harus diwakilkan pada yang seagama (karena perkawinannya secara Islam).
Hal lain, soal undangan manten, bukan hanya para haters, bahkan anggota parlemen pun angkat suara. Tak kurang Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menyesalkan Surat Edaran Menpan dan Reformasi Birokrasi (SE Menpan RB) Nomor 13 tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana, yang tidak konsisten dijalankan Jokowi.
Pasalnya, dalam surat edaran itu mengatur jumlah maksimal undangan untuk hajatan bagi penyelenggara negara maksimal 400 undangan, sedangkan undangan pernikahan anak Presiden Joko Widodo mencapai 3500 orang. "Mestinya konsisten, pemimpin itu memberi contoh. Kalau buat aturan tapi pemimpinnya yang melanggar nanti tidak didengerin lagi," kata Zon (8/6).
Celakanya, Zon ini asal njeplak. Karena dalam adat Jawa, pihak lelaki (keluarga Jokowi) baru akan ‘ngunduh mantu’ saat sepasaran, atau lima hari setelah masa ijab dan resepsi yang diselenggarakan pihak perempuan. Jadi, yang menyelenggarakan pesta perkawinan pada hari ini (yang mengundang 3.500 orang itu), bukan pejabat penyelenggara Negara, melainkan Didit Supriyadi dan Partini, orangtua Selvi, yang notabene masyarakat sipil, pedagang kecil di Solo.
*
Memang repot menjadi anak presiden. Pada sisi lain, Gibran Rakabuming Raka, sebagai anak sulung Jokowi, presiden Republik Indonesia, mempunya sikap yang jelas, bahkan berseberangan dengan ayahnya itu. Bukan hanya Gibran sesungguhnya, semua anak Jokowi tak suka bapaknya jadi presiden. Bahkan ketika masih menjadi Walikota Solo dan hendak maju menjadi Gubernur DKI, Gibran sudah menunjukkan ketidaksukaannya, dan marah-marah soal hal itu. Hampir semua orang Solo mengetahui hal itu.
Tapi konflik Gibran dan Jokowi, tampak lebih terbuka. Konflik pertama, ketika setelah lulus dari sekolah bisnis, Gibran menolak meneruskan usaha meubel ayahnya. Ia bahkan ingin menjalankan bisnis sendiri. Usaha katering.
Kedua orangtuanya tak mau memodali Gibran, karena pilihannya yang mengecewakan harapan itu. Dan Gibran jungkir balik untuk mencari modal dengan menawarkan proposal ke beberapa bank.
Akhirnya memang dapat pinjaman modal dari bank, tapi meski memakai gedung Graha Sabha milik ayahnya, ia tetap membayar sewa perbulannya, dan tak pernah telat. Itu untuk menunjukkan, bahwa ia ingin membuktikan bahwa pilihannya benar dan diperjuangkan sungguh.
Maka bersamaan berjalannya waktu, ketika Jokowi terpilih jadi presiden, Gibran merasa sebel karena stereotype media dan masyarakat, menganggap jadi anak presiden itu enak, bisa mentang-mentang. Gibran tetap sibuk dengan bisnisnya, dan ogah masuk dalam ritual sosial karena bapaknya menjadi top manager Indonesia.
Dan Gibran marah besar pada media, ketika pers (dan juga stereotype masyarakat) menudingnya sombong. Pertarungan eksistensialisme antara anak dan bapak berlangsung cukup seru.
Hingga puncaknya pada perkawinannya dengan Selvi Ananda. Gibran, meski juga terjun ke bisnis Wedding Organizer, menolak mengadakan pesta perkawinan. Bahkan, dia hanya ingin ijab qabul dan slametan internal, tak ada pesta atau resepsi.
Jokowi pusing dan terus membujuk Gibran, agar menghargai posisi sosial ayahnya, sebagai presiden. Otot-ototan soal ini berlangsung lama, hingga akhirnya Gibran menyerah, tapi tetap menolak soal kereta kencana atau wedding-car. Gibran mau saja ada resepsi, asal dari rumah menuju ke rumah Selvi atau ke gedung pengantin, jalan kaki.
Jokowi tak bisa menawar lebih jauh. Toh biaya perkawinan sepenuhnya dibiayai oleh Gibran dan Selvi. Makanya, sepanjang perhelatan, meski Jokowi senyam-senyum ke publik, Gibran tetap saja cuek, dan mahal senyum. Toh ia hanya ingin menegegaskan, bahwa dia layak untuk mendirikan rumah-tangga sendiri, lepas dari bayang-bayang ortunya. Apalagi markobarmu memang enak kok, Gib!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar