Menjawab usulan pengamat politik dari LIPI Fachry Ali, tentang
perpanjangan masa jabatan presiden dari lima menjadi tujuh tahun untuk
penguatan lembaga kepresidenan, Andreas Pareira Politisi PDI Perjuangan
mengingatkan agar di masa mendatang rakyat tidak salah memilih calon
presiden lagi. Jadi kali ini (masih) salah ya?
“Kuncinya terletak pada individu, manusianya bukan pada sistim. Karena sistim yang ada ini sudah tepat,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas H Pareira (6/6/15).
Menurut Andreas, yang terpenting pengetahuan masyarakat yang akan memilih calon. Tidak hanya harus tahu sosoknya tetapi juga latar belakang dan kemampuannya. “Rakyat harus mengetahui ini, jangan cari presiden yang masih harus belajar lagi nanti nggak pernah bisa mengatasi masalah rakyat,” ucapnya.
Menutup omongannya yang agak bego, Andreas mengatakan, “UUD sudah mengatur, kalau hendak diubah lagi, kapan negara ini bekerja untuk rakyat.”
Jika kita membaca konteks dari teks politikus PDIP itu, ia merujuk bahwa pilihan atas Jokowi itu kesalahannya. Lho, yang menyodorkan Jokowi siapa? PDIP bukan? Dan itu artinya Megawati Soekarnoputri bukan? Bukankah itu menunjuk jelas, kegagalan PDIP sebagai partai politik membangun kadernya? Ngapain nyodorin Jokowi waktu itu, mengapa bukan Megawati? Atau Puan? Atau Rieke Diah Pitaloka? Atau Efendi Simbolon? Atau Andreas Pareira sendiri? Karena PDIP memang tak punya pilihan, dan jika muncul Jokowi karena moncong putih ngarep menang, wong lawannya cuma satu, yakni Mas Prabowo. Emangnya pilpres kemarin ada ratusan calon? Kan cuma dua orang yang maju? Jangan o'on deh.
Maka jika menurut Andreas sistemnya sudah bagus, benar, dan yang salah adalah manusia memilihnya, pertama salahkan dulu Megawati sebagai ketua yang punya otoritas penuh membuat abang-birunya partai.
Siapa Megawati? Anak Sukarno. Siapa Sukarno? Jangan-jangan, itu kesalahan Sukarno yang membuat Megawati? Jadi, sumber kesalahan utama pada siapa? Pada yang milih Jokowi atau Sukarno yang menurunkan Megawati?
Kalau kita pakai logika Andreas, memilih yang tidak perlu belajar lagi, agar nggak boros energi, maka Pilpres 2019 Jokowi sudah berpengalaman 5 tahun jadi presiden, dan itu artinya Jokowi pantas dipilih lagi bukan? Tidak cukupkah pengalaman 5 tahun untuk dipilih lagi, daripada milih Prabowo, Hatta Rajasa, Yusril Ihsa Mahendra atau Amien Rais, yang sudah makin out of date?
Jika bukan demikian, harus siapa lagi yang kita pilih? Sukarno dan Soeharto sudah wafat, meski pengalaman kepresidenan mereka cukup lama. Setelah itu, hanya SBY yang 10 tahun, sementara Habibie, Gus Dur, bahkan Megawati sendiri, lima tahun pun tak sampai. Apa perlu capres dari mantan presiden lain negara, kita import capres?
Jadi sejak kapan politikus dianggap goblog? Sejak ia asal njeplak. Karena yang kita butuhkan bukan lembaga kepresidenan yang kuat, melainkan rakyat yang kuat, agar pelan tapi pasti tak memilih lagi politikus goblog. Selama ini, ide kepresidenan yang kuat selalu dimunculkan, lebih untuk mereduksi gagasan tentang tumbuhnya masyarakat madani yang kuat. Karena sesungguhnya, lebih penting rakyat yang kuat, dan kritis terhadap kekuasaan daripada tiga pilar demokrasi itu sendiri. Karena sejak parlemen tidak merepresentasikan kepentingan rakyat, sejak itu politikus menjadi goblog. Mereka hanya sibuk ngomongin kepentingan mereka yang tidak tersalurkan, kepentingan kekuasaannya.
“Kuncinya terletak pada individu, manusianya bukan pada sistim. Karena sistim yang ada ini sudah tepat,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas H Pareira (6/6/15).
Menurut Andreas, yang terpenting pengetahuan masyarakat yang akan memilih calon. Tidak hanya harus tahu sosoknya tetapi juga latar belakang dan kemampuannya. “Rakyat harus mengetahui ini, jangan cari presiden yang masih harus belajar lagi nanti nggak pernah bisa mengatasi masalah rakyat,” ucapnya.
Menutup omongannya yang agak bego, Andreas mengatakan, “UUD sudah mengatur, kalau hendak diubah lagi, kapan negara ini bekerja untuk rakyat.”
Jika kita membaca konteks dari teks politikus PDIP itu, ia merujuk bahwa pilihan atas Jokowi itu kesalahannya. Lho, yang menyodorkan Jokowi siapa? PDIP bukan? Dan itu artinya Megawati Soekarnoputri bukan? Bukankah itu menunjuk jelas, kegagalan PDIP sebagai partai politik membangun kadernya? Ngapain nyodorin Jokowi waktu itu, mengapa bukan Megawati? Atau Puan? Atau Rieke Diah Pitaloka? Atau Efendi Simbolon? Atau Andreas Pareira sendiri? Karena PDIP memang tak punya pilihan, dan jika muncul Jokowi karena moncong putih ngarep menang, wong lawannya cuma satu, yakni Mas Prabowo. Emangnya pilpres kemarin ada ratusan calon? Kan cuma dua orang yang maju? Jangan o'on deh.
Maka jika menurut Andreas sistemnya sudah bagus, benar, dan yang salah adalah manusia memilihnya, pertama salahkan dulu Megawati sebagai ketua yang punya otoritas penuh membuat abang-birunya partai.
Siapa Megawati? Anak Sukarno. Siapa Sukarno? Jangan-jangan, itu kesalahan Sukarno yang membuat Megawati? Jadi, sumber kesalahan utama pada siapa? Pada yang milih Jokowi atau Sukarno yang menurunkan Megawati?
Kalau kita pakai logika Andreas, memilih yang tidak perlu belajar lagi, agar nggak boros energi, maka Pilpres 2019 Jokowi sudah berpengalaman 5 tahun jadi presiden, dan itu artinya Jokowi pantas dipilih lagi bukan? Tidak cukupkah pengalaman 5 tahun untuk dipilih lagi, daripada milih Prabowo, Hatta Rajasa, Yusril Ihsa Mahendra atau Amien Rais, yang sudah makin out of date?
Jika bukan demikian, harus siapa lagi yang kita pilih? Sukarno dan Soeharto sudah wafat, meski pengalaman kepresidenan mereka cukup lama. Setelah itu, hanya SBY yang 10 tahun, sementara Habibie, Gus Dur, bahkan Megawati sendiri, lima tahun pun tak sampai. Apa perlu capres dari mantan presiden lain negara, kita import capres?
Jadi sejak kapan politikus dianggap goblog? Sejak ia asal njeplak. Karena yang kita butuhkan bukan lembaga kepresidenan yang kuat, melainkan rakyat yang kuat, agar pelan tapi pasti tak memilih lagi politikus goblog. Selama ini, ide kepresidenan yang kuat selalu dimunculkan, lebih untuk mereduksi gagasan tentang tumbuhnya masyarakat madani yang kuat. Karena sesungguhnya, lebih penting rakyat yang kuat, dan kritis terhadap kekuasaan daripada tiga pilar demokrasi itu sendiri. Karena sejak parlemen tidak merepresentasikan kepentingan rakyat, sejak itu politikus menjadi goblog. Mereka hanya sibuk ngomongin kepentingan mereka yang tidak tersalurkan, kepentingan kekuasaannya.