Dari 10 terpidana mati kasus narkoba di Indonesia, 8 sudah
dieksekusi. Mary Jane (Filipina) dan Serge Atloui (Perancis) belum dieksekusi.
Karena perjuangan para pihak yang mendesak Jokowi, atas nama HAM? Saya kira
tidak. Tapi karena pertimbangan hukum semata. Mary Jane karena perkembangan
tertangkapnya Maria Kristina
Sergio, tersangka perekrut Mary Jane, yang dilaporkan telah menyerahkan diri kepada
polisi Filipina (28/4) dan membutuhkan kesaksian kunci Mary Jane.
Jika pengadilan di Filipina menemukan bukti yang bisa
membalikkan fakta hukum, bahwa Mary Jane tidak bersalah (hanya korban), Mary
Jane pasti bisa terselamatkan. Fakta hukum ini yang harus diperjuangkan, bukan karena
isyu lain.
Demikian pula ditundanya Serge Atloui, pasti
juga bukan karena Anggun, penyanyi yang warga negara Perancis itu, atau Jokowi yang takut ancaman Perancis. Tapi karena yang
bersangkutan sedang melakukan perlawanan hukum dan sedang diproses. Sekali lagi
karena faktor hukum yang sedang berproses (belum final).
Fakta hukum 10 terpidana mati itu, diputuskan oleh pengadilan
Republik Indonesia, dan vonis dijatuhkan jauh sebelum Jokowi menjadi
presiden. Aneh kalau Jokowi dipersalahkan soal vonis mati ini. Masalah hukum
harus dilawan dengan argumentasi hukum, bukan dengan isyu HAM apalagi politik. Dan tak perlu bertanya-tanya, kenapa di jaman SBY keputusan yang sudah bersifat tetap itu tidak dieksekusi juga!
Pada soal hukum (atau pun politik), Ban Ki-moon Sekjen PBB
pun tak bisa intervensi Indonesia. Apalagi PBB hanya berteriak soal HAM pada
kasus eksekusi mati di Indonesia, padahal dalam kasus narkoba (yang dikatakannya bukan
kejahatan serius). Sementara apakah PBB melakukan hal yang sama pada Israel,
Arab Saudi, Malaysia, dan negara-negara lain yang melakukan hukuman mati, atau
bahkan kejahatan perang dan kemanusiaan? Waktu warga Australia di Singapura
dieksekusi dari hukuman mati, Dubes Australia tidak ditarik ke negaranya. Kenapa
sekarang heboh?
Mari melihat kasus lain yang dialami Antasari Azhar. Mantan
ketua KPK ini dipenjara belasan tahun karena tuduhan menyuruh orang melakukan
aksi pembunuhan. Benarkah? Antasari ngotot mengatakan vonis itu salah. Bukti
baru disodorkan, tapi hukum menolaknya.
Sama dengan kasus Nenek Asyiani, yang divonis hukuman 1
tahun dan denda Rp 500 juta karena mencuri kayu, meski itu hukum percobaan.
Sementara konon ada fakta lain, bahwa ia adalah obyek pemerasan oknum Perhutani
dan Kepolisian.
Tapi siapa yang membela dan memperjuangkan Antasari dan
Nenek Asyiani? Natalius Pigai yang selalu heroik, juga tak berteriak-teriak
soal ini. Kurang sexy, karena bukan hukuman mati?
Lihat juga akar persoalan. Peredaran Narkoba di Indonesia.
Berapa puluh ribu orang jadi korban (nyawa) akibat perdagangan ini, tiap tahunnya?
Jumlahnya jauh lebih banyak dari 10 atau 20 orang terpidana mati karena
kejahatan narkoba selama satu dasawarsa ini. Adakah Ban Ki-moon, atau kita, mau melihat datanya? Adilkah membiarkan ratusan ribu anak-anak Indonesia mati, dan membiarkan para terpidana mati tetap menjalankan bisnisnya di sel penjara?
Jika keputusan hukum yang sudah dijatuhkan tidak
dilaksanakan (soal pidana mati), Indonesia akan menjadi daerah bebas hukum bagi
perdagangan narkoba. Situasinya akan lebih buruk, meski kita tahu keluarga
pengedar narkoba terhukum mati, tentu juga dilematis karena ini. Tapi,
apakah kita juga berada dalam dilemma untuk berempati pada generasi korban
narkoba di Indonesia, yang sedang dipenjara, direhabilitasi, dan bahkan telah
mati, yang berjumlah tidak sedikit? Apakah kita akan mengatakan itu salah pengguna narkoba dan bukan salah bandar atau pengedarnya?
Sistem hukum dan lembaga pemasyarakatan kita tentu ada dan
banyak kelemahannya. Tak ada jalan lain, diperbaiki, dikritisi, dikuatkan. Dan
berubah ke arah yang lebih baik, tidak mudah. Tapi itu bukan alasan untuk
menunda (termasuk dalam soal pemberantasan korupsi). Mereka yang mengatakan bahwa hukuman mati tidak memberikan dampak atau efek jera, sayangnya adalah juga pengiritik bahwa konsistensi kita dalam penegakan hukum bermasalah. Lha, lantas bagaimana menegakan benang kusut itu sekarang?
Karena dengan penegakkan hukum itu pula (apapun termasuk hukuman mati), Singapura dan Malaysia tak lagi
menjadi sorga bagi peredaran narkoba. Tak sedikit yang beroperasi di Malaysia kemudian
beralih ke Indonesia.
Bisa dibayangkan, jika vonis mati (yang sudah diputuskan pengadilan, artinya bukan oleh Jokowi lho) kemudian dimentahkan lagi. Indonesia akan makin tak berharga di mata para pedagang narkoba, karena tidak tegasnya sistem hukum kita. Sistem hukum kita membenarkan hukuman mati, dan itu menjadi hukum positif kita. Pengadilan kita, yang harus mandiri dan independen, melarang presiden sekali pun intervensi meski ada hak pemberian grasi. Tapi koridor hukum menghalangi Jokowi sebagai presiden untuk seenak jidat memain-mainkan sistem itu hanya karena pencitraan politik.
Karena itu, tak ada jalan lain, persoalan hukum dihadapi dengan logika dan proses hukum, bukan sekedar pressure publik. Bagi para pejuang hak azasi manusia, pejuang kemanusiaan, dan pejuang politik, hal itu tak boleh digelapkan, agar kemenangan yang diraih itu menjadi keputusan adil bagi semua pihak. Jaman mentang-mentang majoritas, atau dekat dengan kekuasaan, mesti dihilangkan.
Perjuangan untuk membebaskan Mary Jane, tentu dan mestinya bukan hanya sekedar soal setuju tak setuju hukuman mati, melainkan juga dalam semangat untuk menyelamatkan generasi bangsa dari serangan narkoba, dan semangat memperbaiki sistem hukum dan peradilan kita agar tidak hanya tajam ke bawah (pada Nenek Asyiani, Mary Jane, atau korban lainnya) tetapi juga tidak tumpul pada pedagang dan bandar narkoba, pejabat korup dibidang hukum dan lembaga pemasyarakatan yang langsung-tak langsung, memberi keleluasaan dalam perdagangan narkoba ini.
Bisa dibayangkan, jika vonis mati (yang sudah diputuskan pengadilan, artinya bukan oleh Jokowi lho) kemudian dimentahkan lagi. Indonesia akan makin tak berharga di mata para pedagang narkoba, karena tidak tegasnya sistem hukum kita. Sistem hukum kita membenarkan hukuman mati, dan itu menjadi hukum positif kita. Pengadilan kita, yang harus mandiri dan independen, melarang presiden sekali pun intervensi meski ada hak pemberian grasi. Tapi koridor hukum menghalangi Jokowi sebagai presiden untuk seenak jidat memain-mainkan sistem itu hanya karena pencitraan politik.
Karena itu, tak ada jalan lain, persoalan hukum dihadapi dengan logika dan proses hukum, bukan sekedar pressure publik. Bagi para pejuang hak azasi manusia, pejuang kemanusiaan, dan pejuang politik, hal itu tak boleh digelapkan, agar kemenangan yang diraih itu menjadi keputusan adil bagi semua pihak. Jaman mentang-mentang majoritas, atau dekat dengan kekuasaan, mesti dihilangkan.
Perjuangan untuk membebaskan Mary Jane, tentu dan mestinya bukan hanya sekedar soal setuju tak setuju hukuman mati, melainkan juga dalam semangat untuk menyelamatkan generasi bangsa dari serangan narkoba, dan semangat memperbaiki sistem hukum dan peradilan kita agar tidak hanya tajam ke bawah (pada Nenek Asyiani, Mary Jane, atau korban lainnya) tetapi juga tidak tumpul pada pedagang dan bandar narkoba, pejabat korup dibidang hukum dan lembaga pemasyarakatan yang langsung-tak langsung, memberi keleluasaan dalam perdagangan narkoba ini.
Pada akhirnya, jika tertangkapnya pengedar heroin yang
menjadikan Mary Jane nanti bisa membuktikan bahwa Mary Jane hanyalah
korban, pasti itu akan menjadi fakta hukum baru, yang bisa menyelamatkannya.
Dan Jokowi pasti mempertimbangkan itu, bukan karena desakan publik. Alangkah naif jika kita menuding ke arah yang salah, hanya karena kita tidak tahu masalah. Dan apalagi menjadi orang yang mudah goyah karena gorengan sosmed.
Ini negeri yang sedang berbenah. Dan jika kita menjadi
bangsa yang proporsional serta kritis, Indonesia akan mampu menjalani semua ini
dengan selamat.
Tentu tidak mudah bagi Jokowi, juga bagi kita semua.
Karena ini masalah bersama. Tak akan selesai dengan saling tuding dan
menyalahkan, karena hanya akan mengundang penumpang gelap.
Semoga kita tetap fokus, pada arah perubahan. Tentu, bukan
hal mudah, di jaman sosmed (dan media mainstream yang lebay dan hanya berorientasi pada laba) ini, yang jauh
beda dengan jaman orba. Kesiapan kita berubah, adalah juga kunci untuk bangsa dan Negara ini bisa segera menyelesaikan masalah.
Atau, mau meniru Rieke Dyah Pitaloka, anggota DPR fraksi
PDIP, yang mengajak kaum buruh seluruh Indonesia menduduki Istana Negara, pada 1 Mei kelak? Atau, jangan-jangan, inikah penumpang gelap yang dimaksudkan oleh Megawati Soekarnoputri?