Salah satu dalil, yang tampaknya justeru begitu sangat
dibanggakan para politikus kita, “tak ada kawan abadi kecuali kepentingan”.
Artinya, tak ada yang benar-benar menjadi musuh atau lawan sepanjang masa,
ketika dalam kepentingan terjadi kesamaan (atau kesepakatan). Yang kemarin
musuh, bisa menjadi komplotan, yang semula sahabat, bisa menjadi antipati.
Satu hal kemudian yang jadi persoalan, apa sih kepentingan
Anda, hai, politikus; Kemarin yang meminta-minta pilkada (gubernur, bupati,
walikota) langsung, dan kini tiba-tiba jungkir-balik meminta pilkada via DPRD?
Sementara itu, sikap konsistensi, dalam pemaknaannya,
agaknya mesti kita curigai, seberapa benar kita memposisikannya. Ketika kita
menyebut pemimpin konsisten, seniman konsisten, akademisi konsisten, maka yang
dimaksudkan disana pastilah sikap teguh pada nilai-nilai keluhuran yang kita
sepakati bersama.
Namun, politikus konsisten? Maka nilai ‘konsistensi’ di
sana terjadi pembelokan. Bukan konsistensi pada nilai keluhuran dari jalan
politik, namun lebih pada nilai yang lebih di bawahnya, bernama kepentingan,
entah itu pribadi atau kelompok, atau partainya. Pada sisi ini, makna
konsistensi dalam dunia kepolitikan perlahan mengalami pembiasan, dan kita
gampang melihat bagaimana politikus menjadi makhluk yang paling susah memahami
konsistensi. Ada banyak dalih padanya.
Dan apa akibat dari bentuk ketidakkonsistenan itu? Inilah
muara dari sikap SBY yang ambivalen selama ini. Di depan peserta rapim KPI akhir
Agustus lalu di Istana Kepresidenan, SBY mengajari kita tentang demokrasi yang
agung. Kini, pengajuan RUU Pilkada Langsung dan Tidak Langsung tahun lalu,
berbalik kepadanya selaku kepala pemerintahan, ketua umum Partai Demokrat (yang
lebih memilih tidak berkoalisi dengan pemerintah dan lebih dekat pada Koalisi
Merah Putih.
Di dalam politik ada istilah blunder, yang artinya
kesalahan yang bodoh. Karena hanya dalam politiklah kesalahan yang bodoh itu
sering terjadi. Termasuk bagaimana kita masih ingat pidato Hidayat Nur Wahid,
memperjuangkan mati-matian demokrasi langsung dari kedaulatan rakyat, eh, tak
lebih setengah tahun kemudian omongannya sudah berbalik. Dan banyak contoh
bacot bosok, menurut istilah Mandra, dalam hal ini jika mau disebut.
Apakah dua hal, pilkada langsung dan tidak langsung itu,
sesuatu yang susah dibedakan? Secara ilmu pengetahuan murni dan empirik, mudah
untuk menilainya. Tetapi secara politik, kepentingan itu yang bikin blunder.
Dan dari dulu politikus hanya dididik untuk bersilat lidah.
Bisa jadi, salah satu bentuk syukur mereka pada sang
pencipta, karena Tuhan telah menciptakan lidah tidak bertulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar