Terutama
oleh yang menamakan dirinya Koalisi Merah Putih (KMP), sangat menginginkan
‘pilkada tak langsung alias pemilihan melalui perwakilan/DPRD’ (dalam bahasa
politikus buruk macam Hidayat Nur Wahid, bahasanya dikamuflase ‘pemilihan
langsung melalui DPRD’).
Sementara
pada sisi lain, pada hampir semua daerah tingkat satu dan dua, para anggota
DPRD 2014-2019 menggadaikan SK atau pun Surat Pengangkatan mereka telah dipakai
sebagai agunan dalam pengajuan pinjaman uang ke bank, dalam jumlah ratusan juta
hingga milyar rupiah.
Bagaimana
bisa terjadi demikian? Karena para anggota DPRD ini (sebenarnya juga anggota
DPR) adalah lebih banyak pencari pekerjaan dan pencari jabatan. Azasi mereka
bukanlah pengabdian kepada amanat penderitaan rakyat dan perjuangan sebuah
ideology politik. Para pencari kerja dan jabatan itu, terlihat dari tabiatnya
dalam penggadaian sk pengangkatan mereka. Bukan hanya sekedar persoalan etis di
sana, melainkan juga moralitas kelembagaan jadi pertanyaan. Menyangkut
bagaimana sistem rekrutmen dan kualitas manusia-manusia di dalamnya.
Melihat
hal di atas, maka, alasan-alasan KMP bahwa pilkada langsung rawan money
politik, sarat korupsi, berbiaya tinggi, dan cenderung memecah-belah bangsa (disamping
alasan-alasan yang sok historis dengan menyebut funding fathers [bedakan dengan founding fathers] dan Pancasila
serta UUD 1945), adalah sangat sumir, karena semua keberatannya tidak
substansial melainkan teknis semata.
Jika
menyangkut masalah teknis, maka tinjauannya tentu adalah soal sistem dan
mekanisme penyelenggaraan. Bagaimana agar tidak rawan money politik, tidak
berbiaya tinggi, dan seterusnya. Karena kalau via anggota DPRD, siapa yang
menjamin tidak akan terjadi kolusi menetap (selama lima tahun), apalagi dengan
anggota DPRD ‘pencari kerja’ yang pengabdiannya selama bertugas adalah
memanfaatkan kesempatan dan jabatan, dengan menggadaikan sk pengangkatan, dan
bukan pada amanat penderitaan rakyat?
Substansi
pemilihan langsung (oleh rakyat) sebagai hak kedaulatan rakyat yang tak
terganggu gugat, justeru tidak pernah disinggung para politikus itu. Ketika ada
pengamat politik yang mengatakan bahwa sistem pemilihan langsung adalah
cerminan demokrasi paling kuno, maka pertanyaannya adalah; apakah politikus,
anggota parlemen, itu sudah paling modern dengan ukuran-ukuran kualifikasi yang
memadai?
Membandingkan
perdebatan dalam sidang-sidang MPR dan DPR paska reformasi 1998 dengan notulasi
sidang-sidang parlemen pada jaman 1945-1955, tampak jelas referensi dan
idiomatika kenegaraan politisi baheula lebih baik dan unggul dibanding
politikus masa kini, yang lebih melihat tujuan-tujuan jangka pendek dan sarat
kepentingan kelompok.
Pandangan-pandangan
Desmond J Mahesa, Azis Syamsudin, Toto Daryanto, Nurul Arifin, Amien Rais,
Fadli Zon, Prabowo, Hidayat Nur Wahid, Martin Hutabarat, Achmad Yani, Helmi
Yahya, Idrus Marham, dan para pengotot pilkada via DPRD, semuanya kompak hanya
berkeberatan dalam segi-segi teknis yang sama persis dengan keberatan KMP.
Pendapat mereka tidak otentik, sehingga tampak kepentingan kelompoknya yang
lebih menonjol. Padahal mereka semua pada mulanya (belum juga tiga bulan)
adalah masih penentang gagasan pilkada tidak langsung yang disodorkan
pemerintah sejak 2012 dalam usulan RUU Pilkada. Jadi siapa yang kacrut?
Kualitas
intelektual mereka, jika diperbandingkan dengan beberapa intelektual muda
seperti Reffly Harun, Hanta Yudha dan bahkan Yunarto Wijaya, sama sekali tidak
sebanding. Baik dari sisi alasan ideologis, historis, dan eksplorasi ke depan
bagi kepentingan bangsa dan Negara, tampak para politikus lebih mengdepankan
praksis politik mereka sebagai oligarkis partai dan cerminan kaum vested
interest. Karena mereka hanya dituntun oleh kepentingan-kepentingan pragmatis
mereka sendiri.
PDIP,
Demokrat (di samping anggota KMP tentu saja), adalah juga termasuk yang
kacrut-kacrut itu, karena dalam perkembangan usulan RUU Pilkada dari pemerintah
sejak 2012, semua rekam jejak mereka masih bisa kita lacak. Partai politik di
negeri ini, belum juga menunjukkan performanya yang kredibel, sebagaimana
dicerminkan dengan kelakuan para elite dan sistem rekrutmen mereka yang sama
sekali tidak representatif. Hanya karena
tak pandai menari, lantai dan gendang pun mereka persalahkan.
Pemilihan
langsung oleh rakyat, atas pemimpin (eksekutifnya) adalah cerminan dari
ketidakpercayaan rakyat 100% pada para wakilnya, yang hanya dipilih oleh rakyat
untuk tugas-tugas pengawasan dan legislasi. Tugas eksekusi tentu saja sudah
dibebankan pada pihak eksekutif (walikota, bupati, gubernur, presiden), agar
parlemen bisa fokus pada legislasi dan pengawasan, dan rakyat bisa focus untuk
bekerja dan bereksplorasi untuk dapat membayar kepentingannya bagi bangsa dan
Negara (yang antara lain juga untuk membayar para ‘pekerjanya’ seperti bupati,
walikota, gubernur, presiden, dan anggota parlemen itu). Tapi kalau anggota
DPR/DPRD pun ingin masuk pula pada wilayah eksekutif, itu artinya orientasi
kekuasaannya bukan lagi mewakili rakyat, melainkan ambeg pribadi kaum oligarkis
itu sendiri.
Jika
kualitas partai politik sudah memadai, kredibel dan terpercaya, mungkin saja
rakyat akan menyerahkan semua ‘pekerjaan-pekerjaan’ mengenai bangsa dan Negara
ini kepada mereka semuanya. Artinya, rakyat tidak perlu capek-capek mikir soal
siapa yang dipercaya mengurusi kepentingan-kepentingan mereka, dengan
mendudukkan seorang individu terpilih dan terpecaya sebagai kepala eksekutif. Dan
rakyat tidak perlu capek-capek pula mengawasi sang pemimpin ini, karena
pengawasannya sudah dipercayakan mereka yang disebut sebagai wakil-wakil rakyat
itu.
Persoalannya,
jangankan pada hal yang teknis, pada yang lebih substansial mengenai apa tujuan
partai-partai politik didirikan? Kita belum mendapatkan sebuah entitas politik
yang padu, tentang konsolidasi atas dasar Negara yang kokoh. Padahal, untuk sebuah bangsa dan Negara yang
beragam, dan maunya ‘bhineka tunggal ika’ ini, pandangan dasar itu mestinya
sudah final.
Namun
jika kita menyaksikan pidato presiden PKS Anis Matta, dalam pembekalan anggota
legislatifnya belum lama lalu, yang tampak lebih concern pada ISIS daripada
Negara Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar Negara, hal itu
menjadi pertanyaan tersendiri. Apa yang terjadi, menunjukkan partai politik
mempunyai agenda sendiri-sendiri, dengan mengabaikan azas dasar bernegara kita.
Bahwa platform boleh saja beragam, namun jika tujuan pendirian parpol adalah
mendirikan Negara atas azas yang tidak kita sepakati bersama?
Bagaimana
jika dalam segi moralitas politik dalam berbangsa dan bernegara pun kita tidak
berada dalam soliditas? Bagaimana sesungguhnya konsolidasi politik kita selama
ini, paska era transisi demokrasi 1998-2014? Maka makin berbahaya ketika,
lagi-lagi dengan alasan funding fathers dan Pancasila, parpol-parpol KMP
menginginkan lembaga MPR kembali dihidupkan, sementara representasi lembaga
tertinggi Negara itu dikebiri hanya menjadi wilayah parpol saja?
Kita
ingat bagaimana parpol memperlakukan posisi anggota DPD selama ini dalam
keanggotanyaanya di MPR? Sementara dalam sejarah politik kita, MPR adalah
representasi dari seluruh wajah kebangsaan kita, dengan memasukkan kaum
cendekiawan, tokoh masyarakat, lembaga adat, dan seluruh cerminan stake-holder
bangsa dan Negara ini?
Kita
sedang melihat tirani-minoritas kaum oligarkis ini, mengacak-acak tatanan
Negara dengan pandangan-pandangan kenegaraan mereka yang kamuflatif dan penuh
tipu-tipu. Oleh anggota parlemen yang tidak malu-malunya sama sekali,
menggadaikan sk pengangkatan, sebagai agunan pinjaman duit konsumtif ke bank.
Sementara bank sendiri, begitu pelit dan sulit percaya memberikan kredit pada
rakyat, yang ingin tumbuh jadi entrepreneur dengan kreativitas-kreativitas
mereka yang otentik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar