Pada menit-menit terakhir sidang paripurna RUU Pilkada, kita kemudian
tahu, Partai Demokrat menjadi tirani minoritas yang lebih mementingkan
eksistensi dirinya daripada apa yang dikatakannya dengan ndakik-ndakik; bahwa
demokrasi yang menyertakan partisipasi rakyat dalam pemilihan langsung itu yang
dibelanya.
Semuanya hanya lips service, politik kata-kata. Tidak sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, presiden sekaligus ketua umum Partai
Demokrat, yang pada 16 Agustus 2014 berpidato tentang demokrasi partisipasi
ini, yang kemudian juga disambung pada pidato akhir Agustus ketika membuka
rapim KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), dengan definisi-definisi politik yang
tampaknya agung dan mulia.
Hal tersebut masih ditambah lagi wawancaranya yang khusus untuk diuploadnya ke youtube. Bagaimana dengan jelas dan jernih, SBY dengan latar belakang bendera Partai Demokrat mengatakan bagaimana ia berpihak pada pilkada langsung sebagai proses demokrasi yang telah kita buktikan dengan sebaik-baiknya. Sebagai presiden pertama hasil pemilihan langsung, pun SBY juga menyatakan bagaimana partisipasi rakyat dalam proses demokrasi sebagai sesuatu yang membuktikan bagaiman Indonesia sebagai negara besar yang berwibawa di dunia.
Namun semuanya itu dimentahkannya sendiri. SBY tentu saja saat itu sedang dalam kunjungan kenegaraan di AS, namun, kita semua mengerti, dialah yang menguasai dan mempunyai partai Demokrat, dan mampu membuat anggota partai menuruti semua perintahnya.
Semalam, atau tepatnya dini hari hampir jam 02 (26 September 2014), pada akhirnya RUU
Pilkada disahkan dalam sidang paripurna DPR-RI dengan cara voting. Hasilnya, 135
suara setuju pilkada langsung oleh rakyat (PDIP, PKB, Hanura + 6 anggota
Demokrat dan 11 anggota Golkar), dan 226 suara setuju pilkada via anggota DPRD (Gerindra,
PKS, Golkar, PPP, dan PAN).
Kemenangan “koalisi merah putih” atau kelompok Prabowo ini, karena
semula Partai Demokrat yang mendukung pemilihan langsung, pada jam-jam terakhir
saat lobi, tetap ngotot dengan 10 opsi yang tak bisa ditawar. Dan akhirnya,
dengan 120 suara, mereka memilih walk-out. Tentu saja hal itu praktis mengubah
peta politik, yang semula jika Demokrat bersatu dengan PDIP, PKB dan Hanura,
pilkada langsung akan memenangkan suara. Namun, dengan walk outnya Demokrat,
selesai sudah soal.
PDIP, Hanura, dan PKB, tampaknya tak ingin bersikap ‘tinggal glanggang
colong playu’, ngacir dalam pertarungan terakhir. Seperti dikatakan anggota
PDIP, mereka adalah petarung politik, yang diikuti oleh Hanura dan PKB, bahwa
mereka akan mengikuti proses sidang sampai selesai. Walau pun jika ketiga
partai itu pun menyatakan walk-out, pengesahan RUU itu juga akan buyar.
Padahal, menjelang ketok palu, PDIP, Hanura, dan PKB mendukung penuh
10 opsi dari Demokrat. Namun, Demokrat agaknya tetap keras kepala, mendesakkan
10 opsinya (koreksi total, evaluasi perbaikan proses pilkada langsung), yang sebenarnya sudah
teradopsi dalam opsi dua pilihan pilkada langsung dan tidak langsung.
Bagaimana pun, hal tersebut tak bisa dilepaskan dari peran SBY
langsung, yang mengambil keputusan untuk memerintahkan anggotanya walk-out,
meski di ruang sidang tersisa 6 anggota Demokrat yang memilih berbeda dengan
partainya, dan mendukung pilkada langsung. Partai Demokrat adalah hak mutlak
SBY, dimana semua tak bisa bergerak tanpa komando langsung SBY. Hal itu tampak
dari sikap Demokrat selama ini, sejak RUU Pilkada diajukan pemerintah Juni
2014.
Pada waktu itu, hingga sebelum pilpres Juli 2014, semua partai setuju
pilkada langsung (tak peduli PKS, PAN, dan Gerindra, apalagi PDIP, Hanura, dan
PKB). Sementara sikap Demokrat masih ambivalen dan condong pada pilihan
pemerintah (sebagai representasi dari SBY itu juga) untuk lebih mendorong
pilkada melalui DPRD karena berbagai pertimbangan seperti biaya mahal, korupsi
marak, dan berbagai ekses negative seperti kerusuhan dan perpecahan elemen
bangsa.
Namun setelah pilpres (9 Juli 2014) di mana Prabowo kalah oleh Jokowi, semuanya
berubah. Upaya untuk mendesakkan system parlementer, tak bisa terhindarkan
karena koalisi merah putih merasa lebih unggul di sana dengan menguasai
mayoritas suara di parlemen. Dan semuanya itu dipraktikkan dalam UU MD3, UU Pilkada, dan
mungkin dengan kemenangan-kemenangan itu akan dilanjutkan pada RUU Kembalinya
Kekuasaan MPR, dan sejenisnya, untuk akhirnya kelak mendudukkan Prabowo sebagai
presiden dengan cara langsung dipilih MPR-DPR.
Sikap Demokrat sebagai representasi sikap politik SBY, seperti
karakternya, tidak pernah jelas dan tegas. Berada di area abu-abu, ingin
menjadi pihak penyeimbang, netral, tidak di mana-mana, karena sebetulnya ingin
di mana-mana. Politik dua kaki kerap dimainkan SBY, termasuk bagaimana ia
kemudian menawarkan Pilkada Langsung dengan 10 Opsi, yang berbeda dengan
koalisi merah putih dan bukan pula ikut koalisi Jokowi-JK. Demokrat agaknya
ingin mencuri akting pada sisi ini. Ingin dikenang sebagai pembela kepentingan
rakyat, namun juga ingin sebagai partai politik yang tidak dilecehkan di
parlemen maupun pemerintahan.
Namun semuanya itu sia-sia. Demokrat tetap akan dinilai sebagai partai
yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri, dan bukan kepentingan
kontituens sebagaimana sering dipidatokan selama ini.
Demokrat sering berada dalam sebuah blunder politik, karena
kepentingan-kepentingan sempit elite partai. Cinta bertepuk sebelah tangan
antara SBY dan Megawati, agaknya juga menjadi penyebab semuanya. SBY tak ingin
diremehkan, tapi hasil akhirnya, Demokrat memang menjadi remeh. Lima tahun ke
depan, setelah anggotanya rontok lebih dari 40% di parlemen 2014-2019 ini, bisa
jadi akan sama sekali tak bersisa dengan tenggelamnya SBY dalam kepolitikan
nasional kita.
Disahkannya RUU Pilkada menjadi undang-undang, sebenarnya bukan sebuah
kiamat. Presiden sebagai kepala eksekutif, mempunyai hak suara 50% untuk
menjadikan RUU yang disahkan oleh parlemen itu final menjadi UU atau batal sama
sekali. Akan sangat tergantung, apakah SBY bersepakat dengan DPR atau tidak.
Apakah SBY akan atau sedang bermain teater untuk meninggalkan impresi legacy
sebagai negarawan, atau pecundang dan peragu yang abadi?
Pertarungan sesungguhnya belum berakhir. Jika pun SBY akhirnya
menyetujui pengesahan UU Pilkada itu, rakyat masih punya harapan mementahkannya
dengan melakukan uji-materi, judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Kita
buktikan, pertarungan ini berakhir di mana, setelah 16 tahun reformasi yang
memungkinkan rakyat berperan dalam pemilihan. Dan demokrasi, sebagaimana kata
Plato, akan masuk ke dalam despotisme, dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan tak mempunyai hak selection apalagi election.
Apakah akan dirampas oleh oligarki partai sebagaimana jaman Orde Baru dulu (sekalipun katanya dengan
catatan perbaikan), dengan tidak lagi punya hak selection dan apalagi election,
atau rakyat akan kembali mendapatkan haknya melalui keputusan MK. Kita, rakyat
yang bersetuju pada pilkada langsung, masih punya ruang untuk berjuang, melawan
kesewenang-wenangan par-tai politik.
Karena jika kita biarkan, Indonesia akan menjadi salah satu Negara
ajaib, di mana memakai system presidential, namun pada level di bawahnya
memaksakan diri dengan system parlementer. Meski pun kita juga boleh menduga,
setelah bisa mendelegitimasi rakyat dalam pilkada, bukan tak mungkin koalisi merah putih akan
segera mendesak untuk mengembalikan peran MPR dalam pemilihan presiden tak
langsung pula!
Tentu saja, meski kita juga tahu dengan UU MD3, koalisi merah-putih
agaknya telah menskenariokan, untuk terus melawan pemerintahan Jokowi-JK. Jika
UU Pilkada tak Langsung ini mulus, maka mereka juga telah mendesakkan agar MPR
bisa dikembalikan seperti jaman dulu, jaman Orde Baru sebagaimana hal
tersebut telah disuarakan oleh Fraksi Golkar. Namun tentu saja dengan bungkus
kata-kata, semua itu untuk mengembalikan pada nilai-nilai murni Pancasila, UUD
1945 yang murni dan kosekuen dan pandangan mulia para founding father (tapi
hanya sentimen Sukarno yang disebut-sebut, tanpa menyebut Bung Hatta sekali
pun, yang mengkritik habis pandangan Sukarno dalam Demokrasi Kita). Persis
sebagaimana kata-kata George Orwell, bahasa politik dirancang untuk membuat
kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan terhormat , dan memberikan penampilan
soliditas angin murni.
Manipulasi fakta sejarah ini sangat mengerikan, tetap dengan dingin
dipakai kelompok merah putih untuk mengkamuflasekan tujuan-tujuan politik
mereka yang sebenarnya. Sebagaimana sejak dulu, Gerindra memang didirikan oleh
Prabowo untuk mengembalikan system demokrasi ke parlementer, karena menganggap
system demokrasi kita sangat kebarat-baratan dan liberal.
Kebutuhan politik kadang-kadang berubah menjadi kesalahan politik,
kata George Bernard Shaw. Dan ketika kita membabi buta mengadopsi agama, sistem
politik, dogma sastra, kita menjadi robot, kami berhenti untuk tumbuh,
sebagaimana diujarkan Anais Nin. Kita semuanya lebih didorong oleh nafsu-nafsu
kita di dalam memburu kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, merampas hak suara dan kedaulatan rakyat atas nama demokrasi.
Jika kelak koalisi merahputih bisa menguasai parlemen, dan
mengobrak-abrik tatanan Negara kita, lima tahun ke depan presiden akan dipilih
oleh anggota DPR-MPR dan Prabowo akan menjadi presiden, dengan Aburizal Bakrie
sebagai Menteri Utama, dan PKS yang lebih concern pada ISIS di Suriah, akan
memegang kendali dengan mengunci cacat-cacat politik Prabowo dan Ical. Di mana
akhirnya PKS akan pegang kendali semuanya, dengan menggantung Prabowo sebagai
Panglima Besar Islam.
Itu artinya sebagaimana yang dimaksudkan oleh Habieb Rizieq, dengan
ucapannya ‘rebut dulu kekuasaan baru kita ribut nanti’ (ketika mendeklarasikan
dukungannya pada Prabowo), akan menjadi kenyataan, dan Ikhwanul Muslimin cabang
Mesir pun akan men-set up Indonesia sebagai Negara bagian yang mereka
cita-citakan.
Selesai? Belum. Kedaulatan rakyat yang telah diperjuangkan dalam
reformasi 1998, tidak akan kita serahkan kembali pada elite politik, oligarki partai dan kaum despotis. Rakyat
masih punya harapan pada Mahkamah Konstitusi, untuk menggugat UU Pilkada ini.
Tetap tabah, berjuang, dan merdeka!