Ini mengenai etnis Betawi yang lain. Berada tidak jauh dari akses jalan tol Cikunir-Hankam, Kampung Sawah masih menyisakan secuil kesejukan suasana desa pinggiran kota. Maklum, di kiri kanan jalan utama, yang membelah kampung di Kelurahan Jati Melati, Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, pohon-pohon besar masih berdiri rindang.
Hanya saja, hamparan sawah, yang dulu luas, kini semakin sempit, berganti kompleks-kompleks perumahan.
Kampung di pinggiran Kota Bekasi ini menyimpan keunikan. Kampung, yang dulunya masuk wilayah Kelurahan Jatiwarna, adalah salah satu kampung Betawi di Bekasi, tetapi memiliki dua gereja tua, yang berusia lebih dari seabad. Salah satunya Gereja Katolik Santo Servatius, yang berdiri pada akhir abad ke-19 dan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Kampung Sawah.
Berdampingan dengan Gereja Kristen Pasundan ada masjid besar, yang dikelola Yayasan dan Pondok Pesantren Fisabillilah. Kekhasan lainnya, kompleks makam Katolik di Kampung Sawah berdampingan dengan makam Muslim.
Dulu, pada jaman "penjajahan", di tahun 1996 ketika masih bekerja di Indosiar, kami mendapatkan protes beberapa organisasi agama Islam, karena menayangkan acara Natal di Kampung Sawah, Pondok Gede, Bekasi, dengan tuduhan melecehkan agama. Pasalnya, dalam adegan misa gereja, ummat kristiani yang merayakan memakai baju khas Betawi, yang mereka identikkan dengan agama Islam. Padahal, sumpah mampus, demikianlah yang terjadi di sana, bertahun-tahun dengan damai.
Kampung Sawah, terletak sekitar 40 kilo meter timur Jakarta, memanglah unik. Karena di sana hampir bersandingan Gereja Kristen Pasundan, Gereja Katholik Servatius, dan Masjid Istiqamah. Dan semuanya rukun damai. Jika Idul Fitri begini, panitia perayaan Ied selalu warga yang Kristen Protestan dan Katholik, namun jika Natal, giliran warga beragama Islam yang sibuk menjadi panitia.
Ah, terbayangkan bagaimana tempat itu, beberapa tahun lampau menyambanginya. Betapa suara adzan dhuhur mengalun dengan nada mendayu-dayu, meluncur dari sebuah masjid di lingkungan Pesantren Fisabilillah. Namun beberapa menit kemudian, dari gereja Katholik Servatius, yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari masjid, lonceng tua berdentang. Kedua tempat itu, berdiri gagah Gereja Kristen Pasundan. Di situlah segi tiga emas, titik pusat Kampung Sawah.
Jemaat Protestan, pemilik tempat ibadah ini, bisa beribadah tenang, tanpa takut terusik. Suara adzan tak terasa riuh di dalam gereja. Sebaliknya, dentang lonceng juga tak memekakkan telinga jamaah masjid. Baik adzan maupun lonceng gereja, volumenya memang diatur agar tak saling mengganggu.
Jika warga kristen atau katholik ke gereja memakai peci dan kerudung, maafkan, memang demikianlah mereka, sebagai orang aseli Betawi. Tak ada yang aneh dan unik disitu dalam konteks budaya Betawi, kecuali tentu bagi yang tidak mengerti sejarah dan tergesa berprasangka dengan identitas-identitas agama.
Kampung Sawah adalah kampung betawi pertama yang agama warganya beraneka. Sejak seabad lampau, warga setempat ada yang beragama Islam, Protestan, maupun Katolik. Gejala ini sedikit "menyimpang" dari kelaziman warga betawi yang identik dengan Islam.
Menurut Abdul Azis, peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama (Balitbang Depag), yang mengkaji profil kerukunan beragama di kampung tersebut pada 1996. "kerukunan beragama di Indonesia memiliki basis budaya yang lebih kokoh dibanding Eropa. "Sejarah Eropa kental pengalaman konflik antaragama," katanya. Masyarakat Nusantara tak demikian. Perbedaan agama di sini sering kali melahirkan kreasi lokal dalam mengembangkan kerukunan antar agama," ujar Master sosiologi dari Universitas Monash Australia ini menunjuk Kampung Sawah sebagai contoh.
Awalnya, hampir semua warga Kampung Sawah menganut Islam. Protestan baru hadir 1886, ditandai munculnya Jemaat Meester F.L. Anthing di bawah Perhimpunan Pekhabaran Injil Belanda. Pada akhir 1880-an perkembangan Protestan kian pesat, akibat banyaknya jemaat dari Mojowarno, Jawa Timur, dan lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, yang hijrah ke Kampung Sawah.
Pemeluk Protestan yang mulai multi etnis itu, tahun 1895, pecah jadi tiga kelompok. Satu di antaranya memilih Katolik Roma, meski saat itu tak sadar bahwa Katolik bukan bagian Protestan. Perkembangan Katolik di Kampung Sawah itu ditandai dengan pembaptisan 18 putra setempat pada 6 Oktober 1896 oleh Pater Bernardus Scwheitz, dari Katedral Batavia.
Penganut Kristen di Kampung Sawah kemudian membentuk sistem marga, tradisi yang tak ditemukan di betawi lainnya. Misalnya, marga Baiin, Saiman, Bicin, Napiun, Kadiman, Dani, Rikin, dan Kelip. Jangan kaget bila tiba-tiba ketemu nama Musa Dani, Marthius Napiun, atau Sulaeman Kadiman.
Nama marga adalah bentukan sistem hukum kolonial. Masa itu berlaku hukum Islam, adat, dan barat. Kolonial Belanda menerapkan sistem hukum yang berbeda pada masing-masing golongan masyarakat. Bagi warga Kristen bumi putera yang hendak menikah, berlaku peraturan khusus mirip hukum sipil Barat. Mereka harus menggunakan nama keluarga ditambah nama baptis.
Antarwarga asli Kampung Sawah masih terikat hubungan kerabat. Meski agama berbeda-beda. "Ini salah satu modal terjaganya kerukunan beragama di antara kami," kata M. Encep, sang Kepala Desa. Hubungan kerabat itu tak saja berupa hubungan darah, melainkan juga melalui jalur perkawinan. Banyak terjadi kawin silang antarpemeluk agama berbeda. Ada yang kemudian melebur ke agama pasangannya. Ada juga yang bertahan pada agama masing-masing.
Pengasuh Pesantren Fisabilillah, KH Rahmadin Afif, 55 tahun, misalnya, punya saudara sepupu yang jadi tokoh Protestan dan Katolik. Persaudaraan mereka tak terganggu. "Kalau lebaran, kami biasa mengirim rantang dan saling berkunjung," kata Afif. Kakek Afif juga masih ada hubungan keluarga dengan kakek Musa Dani, 72 tahun, sesepuh Protestan.
"Kalau lebaran di sini, Anda susah membedakan mana muslim dan mana Kristen," kata Musa. Di bulan Ramadhan, Musa mengaku tak terganggu. Karena salat taraweh dan tadarus tidak pakai pengeras suara berlebihan. Jam 22.00 pun sudah selesai. "Di sini ndak ada orang yang malam-malam keliling kampung nyuruh sahur," kata Musa.
Bila ada kematian, apapun agama yang meninggal, warga serempak melayat. Mereka membantu semampunya, dan turut mengantarkan jenazah. Saat tahlilan, warga non-muslim menunggu di luar rumah. Begitu acara usai, semua bergabung mencicipi hidangan atau sekadar bercengkerama. Begitu pula ketika penghiburan. Kerabat muslim akan sabar menunggu di luar, sampai acara ritualnya selesai.
Di Kampung Sawah, penggabungan keyakinan iman dan tradisi juga berlanjut. Misal, tradisi ekedah bumi salah satunya. Tradisi tahunan umat Katolik Paroki Santo Servatius Kampung Sawah, merupakan acara tahunan yang telah berlangsung puluhan tahun lalu.
Kalau dulu Kampung Sawah masih dikelilingi sawah dan umat sebagian besar bertani, sedekah bumi identik dengan persembahan hasil panen, seperti padi dan sayur-mayur lainnya. Kini ketika zaman mulai modern, representasi rasa syukur tetap terjaga, meski mereka tak lagi bertani. Acara ini telah berlangsung puluhan tahun, sejak tahun 1996, diperingati setiap 13 Mei ini selain wujud ungkapan syukur, juga dikaitkan dengan hari pelindung paroki tersebut, yakni Santo Servatius.
Sejak 72 tahun lalu, upacara sedekah bumi pertama kali dilangsungkan di lingkungan gereja. Sewaktu Pastor Oscar Cremers OFM menggembalakan umat paroki Kampung Sawah. Kala itu, Poespasoepadma, guru dan katekis yang sangat dekat dengan umat berhasil membujuk pastor untuk memberkati panen padi umat. Misionaris asing itu pun setuju, terjadilah upacara sedekah bumi di halaman rumah Yafet Napiun dan Nias Pepe.
Awalnya sedekah bumi hanya pemberkatan panen dan pembagian sebagian panenan kepada para penderep atau orang yang membantu empunya sawah memetik padi. Seiring waktu, wujud persembahan umat beragam.
Berbagai hasil bumi lainnya seperti kelapa, durian, nangka, rambutan, singkong pun dipersembahkan. Gereja yang berada di pinggir Kota Jakarta ini, memang identik dengan budaya Betawi.
Di sana berdiam komunitas Betawi Kristen yang hidup berdampingan dengan umat beragama lainnya, seperti Kristen Protestan dan Islam. Tak heran, Misa inkulturasi diiringi musik gambang kromong digelar jika bertepatan dengan perayaan Hari Kenaikan Tuhan Yesus.
Sedekah bumi tahun ini bertema "Nyok Bareng-Bareng Bersyukur dan Berbagi". Sejumlah biarawan dan Uskup Agung Jakarta, juga hadir dalam acara tersebut. Lewat acara ini umat diajak untuk berbagi segala hasil karya dan berkat. Rasa syukurnya dinyatakan dengan cara berbagi. Seusai Misa, umat menyantap makanan bersama yang disajikan dalam meja besar. Seluruh makanan yang ada tambah Albertus, dibawa oleh umat.
Berbagi dan bersyukur, wujud ini tak ditinggalkan dengan mengundang pula tokoh-tokoh Betawi setempat.
Bahkan, pengiring gambang kromong pun berasal dari berbagai agama .seperti Kristen, Islam dan Budha. Selain mensyukuri berkat Tuhan, umat dan gereja bersyukur atas kerukunan dan kedamaian, serta kesempatan gereja berdiri dan berkembang.
Ngaduk Dodol
Tradisi mengaduk dodol merupakan kegiatan yang tidak pernah punah dan menjadi primadona. Mengaduk dodok biasanya dilakukan sehari sebelumnya, mulai pukul 02.00 dini hari, dan baru ketika Misa usai paginya, setelah diberkati Uskup, dodol bisa dinikmati umat.
Ngaduk dodol ini punya makna mendalam. Proses pembuatan yang memakan waktu lebih dari 7 jam dan diaduk secara bergantian mengajarkan kesabaran, toleransi, solidaritas dan gotong royong. Albertus berharap sedekah bumi yang telah dimulai 40 tahun lalu tetap terjaga, sebab wujud keimanan dan rasa syukur hendaknya menjadi bagian dari keimanan itu sendiri.
Kampung Sawah
Kampung secara bahasa berarti desa atau dusun yang berada di perkotaan. Sedangkan sawah adalah tempat bercocok tanam. (WJS. Purwadarminta : 2003). Kampung Sawah berarti kampung yang dikelilingi areal persawahan. Jenis tanamannya pun bermacam-macam dan yang paling dominan adalah padi.
Kampung Sawah yang kita bahas merupakan perkampungan dengan gejala uniknya dalam konteks budaya Betawi. Ia adalah kampung Betawi pertama yang agama warganya beraneka ragam. Sejak seabad lalu, warga setempat ada yang beragama Islam, Protestan, maupun Katolik. Gejala ini sedikit “menyimpang” dari kelaziman warga betawi yang identik dengan ajaran Islam. Meski agama berbeda-beda, kuci kerukunan di kampung sawah, ternyata adalah kekerabatan yang tetap dijaga. Hubungan kerabat itu tak saja berupa hubungan darah, tapi juga melalui jalur perkawinan. Banyak terjadi kawin silang antar pemeluk agama berbeda. Ada yang kemudian melebur ke agama pasangannya. Ada juga yang bertahan pada agama masing-masing. ( Wikipedia Indonesia : 2006 )
Di negara Indonesia satu kampung yang sesuai dengan praktek wawasan ke-bhineka tunggal ika-an ditinjau dari sejarah agamanya, mungkin hanyalah Kampung Sawah ini, walaupun ada daerah lain yang kurang lebih sama. Karena penduduknya yang bermacam-macam agama inilah, daerah ini menjadi lahan ‘rebutan’ untuk menjalankan penyiaran agama. Bukan dari dulu jumlah tempat ibadah tumbuh dan berkembang tidak wajar di daerah ini. Didapatkan di kampung ini empat buah gereja yang berdiri megah dalam satu RT saja. Padahal dalam peraturan SKB dua menteri tahun 1969 tentang pendirian tempat ibadah minimal 100 orang untuk dapat mendirikan tempat ibadah baru. Sedang dalam surat keputusan baru tahun 2006 ini yang juga menjadi keputusan bersama menteri dalam negeri dan menteri agama, syarat untuk mendirikan rumah ibadah adalah dengan adanya minimal 90 orang penduduk beragama dalam satu daerah dengan dukungan 60 KK daerah tersebut selain tentunya mendapatkan perizinan dari pemerintah. (Situs Resmi Pemerintah Kota Bekasi : 2006).
Keadaan Geografis Wilayah Kampung Sawah
Nama Kampung Sawah sendiri menjadi sebuah jalan yang membujur dari JORR Jatiasih, tol lingkar luar Jakarta di sebelah utara hingga pertigaan KC Kampung Jati Rangga, Kelurahan Pondok Ranggon di selatan. Secara otomatis daerah ini membelah kecamatan Pondok Melati menjadi dua kelurahan, Jati Melati dan Jati Murni. Di sepanjang jalan ini terdapat banyak aktivitas perdagangan dan lembaga pendidikan, hanya saja SDM pendidikan untuk daerah pelosok kampung sedikit sekali dari penduduk, khususnya muslim yang dapat melanjutkan proses hingga ke pendidikan tinggi. Sebab yang paling mendasarinya adalah faktor ekonomi. Kebanyakan dari kelompok muda masih didapatkan tidak memiliki pekerjaan alias menganggur. Sehingga dari faktor ekonomi ini menjalar ke sektor yang lain. Intensitas dakwah Islamiyah di daerah ini juga masih sangat jauh jika dibanding dengan aktivitas misi non muslim. Nasib penduduk muslim daerah ini lebih sedikit tertinggal dari daerah sekitarnya semisal Ujung Aspal Pondok Ranggon di kecamatan Jati Sampurna. Walaupun sama-sama menjadi daerah Kristenisasi, namun aktivitas dakwah Islamiyah daerah Pondok Ranggon lebih sedikit marak.
Komposisi jumlah Penduduk muslim di Kampung Sawah ini sekitar 43314 orang, masing-masing dengan perincian Islam Kristen 9736 orang, Budha 274 orang dan Hindu 164 orang. Adapun tempat ibadah yang tersedia secara resmi di dua kelurahan jumlah masjid sekitar 21 buah dan gereja 9 buah. Sedangkan jumlah Tempat Pemakaman Umum ( TPU ) ada 9 buah, masing-masing TPU GKP Kristen, TPU Protestan, TPU Katholik, TPU Islam, TPU Kecapi dan TPU Darma Asih Jaya, semuanya di kelurahan Jati Melati sedang tiga sisanya, yaitu TPU sundari, Mede dan Sendeng masing-masing di kelurahan Jatimurni dan berlaku untuk umum. (Arsip Data 3 Kelurahan).
Kampung Sawah sendiri masih menyimpan banyak pertanyaan mengenai batas wilayahnya hingga sekarang. Pada awalnya Kampung Sawah merupakan suatu dusun di bawah Pemerintah desa Jati Ranggon yang mengalami pemekaran. Pemekaran tersebut terbagi menjadi 3 wilayah, yakni desa Jati Murni, desa Jati Warna dan desa Jati Ranggon.
Dulunya, Kampung Sawah zaman adalah daerah tempat pembuangan para buronan kriminal menyembunyikan diri, sebagaimana terjadi pada masa VOC (Vereenigde Oost Indische Cornpagnie, 1602 /1798 ). ( Serial Media Dakwah : September 1989 ). Keterangan tersebut agaknya layak dipercaya, sebab letak Kampung Sawah memang cukup strategis, hanya berjarak kurang lebih 40 km dari pusat kota Batavia.
Zaman dahulu transformasi utama ke Kampung Sawah hanya kuda, jarak tersebut harus ditempuh satu hari penuh dan tak ada orang yang berani menempuh perjalanan pada malam hari. Berada di Kampung Sawah terasa berada di suatu desa yang amat jauh dari Ibukota Negara. Jalan belum beraspal sehingga jalan setapak masih sangat berfungsi.
Saat ini Kampung Sawah menjadi daerah yang cukup ramai. Jalan sudah beraspal dan mobil angkutan sudah masuk, tepatnya sejak bulan Februari 1995. Pembangunan semakln terlihat, bahkan sudah didirikan perumahan DPR, Puri Gading, Bulog 3 dan perumahan-perumahan lain yang menandakan Kampung Sawah adalah daerah terbuka dan bukan lagi daerah yang terbelakang.
Data Penduduk Dan Komunitas Beragama
Untuk Indonesia secara umum berdasarkan Survey Antar Sensus (Supas) yang diiakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1990, tercatat bahwa dari 200 juta jiwa penduduk Indonseia, prosentase umat Islam mencapai 87,3 persen (dibulatkan menjadi 90 persen). Sementara umat Kristen Protestan hanya 6 persen, umat Katolik 3,6 persen, Hindu 1,8 persen, Budha 1 persen dan agama lain 0,3 persen. Namun data-data berikutya, mencatat bahwa jumlah umat Islam anjlok drastis dari 90 persen menjadi 75 persen (tabloid SIAR : Nopember 1999 ).
Adapun untuk wilayah Bekasi, dalam tempo tiga tahun ini saja setiap tahunnya telah terjadi peningkatan pemeluk Katolik sebesar 1 persen. Sementara Kristen Protestan diperkirakan mengalami kenaikan antara 1 hingga 2 persen per tahun. Belum diketahui secara pasti apapenyebab meningkatkan penganut Katolik dan Kristen di Bekasi.
Leo Paldaeli, salah seorang penggagas dan penyelenggara Bimbingan Masyarakat Katolik, Departemen Agama, Kota Bekasi pada 3 Agustus tahun lalu, tidak membantah adanya kenaikan penganut Katolik sebesar 1 persen setiap tahun. Dijelaskan, tahun 2003 pemeluk Katolik baru mencapai 58.000 orang. Satu tahun kemudian yaitu tahun 2004, pengakut Katolik naik menjadi 67.000 orang. Lalu tahun 2005 melonjak menjadi 77.000 orang.
Pendeta Jonathan, mengklaim penganut Kristen tahun 2003 saja sudah mencapai 85.655 atau sebesar 4,93 persen dari jumlah penduduk kota Bekasi saat itu. Tentu kini jauh lebih besar lagi. Sebab gerakan Kristenisasi yang dilakukan Kristen Protestan lebih gencar. Bahkan mereka tidak segan-segan menggarap anak-anak gelandangan, fakir miskin, untuk dimurtadkan. (Suara Muslim : Oktober 2006)
Dalam bidang sosial keagamaan masyarakat kampung sawah juga mempunyai karakteristik tersendiri, yang secara fenomenologis terlihat dari wujud rumah peribadalan yang secara kuantitatif cukup kornpetitif. Pada tahun 1965, Kampung Sawah adalah kampung yang tidak mempunyai kepedulian terhadap agama. Meskipun secara resmi kaum muslimin tercatat sebagai urutan yang mayoritas, tetapi tempat ibadah yang tersedia pada waktu itu hanya sebuah mushalla kecil milik keluarga Bagung ( wafat tahun 1970-an ). Hanya satu dua orang yang taat melaksanakan ibadah. Untuk shalat Jum’at saja, mereka harus pergi ke desa tetangga yang jaraknya cukup jauh. Kepedulian terhadap agama mulai tumbuh seiring dengan penumpasan pemberontakan G.30.S / PKI. Sesudah tahun 1965, muncul semangat membangun di kalangan kaum muslimin Kampung Sawah. Mushalla kecil milik keluarga Bagung dibangun kembali dan direnovasi di atas tanah wakaf keluarga Bagung seluas lebih kurang 200 m2. Namun hal ini baru sebatas kegiatan muamalah saja, sedangkan untuk rutinitas ibadah masih sedikit dilakukan, itupun masih dipengaruhi oleh aliran kepercayaan animisme pada masa itu, seperti membakar kemenyan, menghitung hari, sesajian dan berbagai bentuk khurofat lainnya (Serial Media Dakwah : 1989).
Secara historis, umat Islam dan kristen di Kampung Sawah berasal dari satu rumpun ataupun satu keturunan. Akibatnya hubungan kekeluargaan sangat terlihat akrab, tentunya karena terikat oleh tali persaudaraan. Bahkan ada dalam satu keluarga terdapat beberapa penganut agama. Suasana demikian juga didukung oleh letak desa yang cukup terpencil, sehingga satu sama lain saling membutuhkan dan saling membantu apabila memperoleh kesusahan. Kegiatan yang saling menunjang tersebut membuat kerukunan beragama secara kasat mata cukup tercipta di Kampung Sawah.
Keadaan seperti ini sangat positif, karena dalam kondisi lingkungan yang memiliki perbedaan, apalagi dalam masalah agama, tetapi terdapat hubungan yang harmonis, rukun dan sejahtera antara masyarakatnya. Dalam konteks ini keadaan tersebut cukup membantu perkembangan daerah Kampung Sawah pada khususnya dan daerah Bekasi pada umumnya.
Adapun dampak negatifnya terutama bagi pandangan ajaran Islam adalah, adanya perkawinan campuran antara dua agama yang berbeda. Hal ini disebabkan karena mereka sangat rukun dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai masalah atau pemlsah antara mereka yang berlainan agama, sehingga masyarakat tidak peduli lagi dengan ajaran agama, terutama ajaran Islam yang melarang keras perkawinan antar umat beragama. Kondisi seperti ini sangat sering terjadi, misalnya suatu perkawinan antara mempelai laki-laki dan wanita yang berbeda agama. Hal ini sangat dikhawatirkan, karena satu keluarga,tetapi memiliki agama yang berbeda, tentu tidak akan menghasilkan generasi penerus Islam yang tangguh dan tlaat kepada ajaran agamanya (wawancara Ust. Iman Sutarman).
Adapun dari data Kristen menyebutkan pada tahun Yubileum (tahun peringatan) ini mereka mengaku jumlah umat Katolik Paroki Kampung Sawah mempunyai 3920 jiwa, yang terdiri atas: 1410 jiwa, suku Jawa (37%) 760 jiwa, , asal Nusa Tenggara Timur (18%) 370 jiwa, asal Tapanuli atau Batak (10 %) 220 jiwa, warga keturunan Tiongha (7%) 120 jiwa, Sunda dan Betawi non-Kampung Sawah (3%) 90 jiwa, dari suku-suku lainnya (2,5%) dan asli Kampung Sawah (20%) 670 jiwa.
Ada juga ratusan warga Katolik asli Kampung Sawah tinggal di Jakarta dan di tempat-tempat lain. Bapa Dradjat, Pendeta Gereja Pasundan yang mempunyai 700 anggota Kampung Sawah asli, malah memperkirakan bahwa jumlah orang Protestan asli Kampung Sawah, yang tinggal di luar daerah asalnya, lebih dari 700 jiwa.
Problemnya ialah, ketika ajaran formalisme agama makin menguat, maka yang kita lihat kemudian pengerasan keyakinan dengan pendekatan yang verbal dan dangkal. Kekhawatiran akan penguatan identitas-identitas ini, pada sisi negatifnya, mengundang menipisnya toleransi, dan keengganan untuk mengerti.
Namun, mewartakan betapa kebaikan-kebaikan atas kebersamaan, sering terlibas dari eforia media, yang jauh lebih suka mengeksploitasi perbedaan, yang konon selalu dijustifikasi dengan rahmat itu. Padahal, memandang perbedaan tanpa kematangan, akan menimbulkan chaos. Berita yang menyejukkan, tentang kerukunan agama di Kampung Sawah, jauh lebih menguatkan kita semuanya. Sayangnya, media yang merupakan agen kapitalis dunia, tentu saja tak punya agenda itu, kecuali mikirin keuntungannya sendiri. | Sunardian Wirodono