Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan salah mikir, akan berkibat luas dan luar biasa. Dalam keadaan normal maupun darurat.
Senin, Desember 18, 2023
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan salah mikir, akan berkibat luas dan luar biasa. Dalam keadaan normal maupun darurat.
Minggu, Desember 17, 2023
Kelemahan PDIP dalam Pilpres 2024
Kekuatan PDI Perjuangan dibanding partai politik lain, karena ideologinya. Kelemahan PDI Perjuangan dibanding partai politik lain, karena ideologinya pula.
Saya nggak ngerti, entah karena bergaul dengan Boedi dan Arie dari Total Politik atau gimana, Bambang Patjoel, politisi senior PDIP, kini gaya bicaranya tidak sangat ‘korea-korea’ banget. Nggak kayak Pak FX Rudi lagi. Kalau pun ada baunya Korea, sekarang mazhab dia adalah K-Pop.
BAGAIMANA CARA MEMBACA SURVEY?
Dari temen-temen yang punya grup whatsapp –karena saya tidak menjadi anggota wag manapun, saya sering dikirimi hasil-hasil survey yang menunjukkan kekalahan survey jagoannya. Di situ saya bertakon-takon, mau-maunya menjadi distributor informasi gratisan dari lembaga survey yang mencemaskannya itu. Mau menularkan kecemasan?
Minggu, Februari 14, 2021
Bubarkan Saja Dewan Pers
Oleh : Sunardian Wirodono
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Begini Cara Kerja Buzzer dan Kisaran Gajinya", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2021/02/12/153000626/begini-cara-kerja-buzzer-dan-kisaran-gajinya?page=all#page3.
Penulis : Muhammad Choirul Anwar
Editor : Bambang P. Jatmiko
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Jumat, Januari 01, 2021
PARA BAJINGAN POLITIK 2020
Elitisme Politik Memposisikan Rakyat sebagai Kambing Congek
Oleh Sunardian Wirodono
Panggung politik Indonesia, adalah panggung paling menyebalkan, juga menjijikkan. Tetapi untuk dibiarkan lewat begitu saja, akan menyenangkan mereka. Khususnya para bajingan politik, yang akan jauh lebih leluasa. Apalagi ketika media massa (baik cetak, elektronik, maupun online), mulai menjadi bagian dari permainan politik dan kepentingan praktis.
Anda bisa bayangkan, seorang anggota parlemen, dari partai Gerindra (yang konon koalisi Pemerintah), memosting foto dirinya, dengan ekspresi menahan senyum kayak orang mau BAB, memamerkan kaos yang dikenakannya bertuliskan; JUBIR FPI. Orang seperti itu mengatakan bahwa pembubaran FPI adalah lonceng kematian demokrasi. Di mana otaknya coba?
Kalau demokrasi mati, bagaimana ia sebagai anggota parlemen bisa berkata bebas seperti itu, di media massa maupun media sosial? Dia menikmati bayaran demokrasi (gaji sebagai anggota legislatif), dan mempraktikkan demokrasi, tapi dia berbohong atas nama demokrasi.
Selama tahun 2020, Indonesia memang lebih menonjol dalam dua persoalan yang dimunculkan oleh dua faktor pemicu masalah. Ialah soal politik dan agama. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi, karena dua hal fundamental itu masih menjadi bagian dari persoalan bangsa dan negara kita.
*
Setelah berhasil melewati proses politik Reformasi 1998, justeru permasalahan baru muncul. Kehidupan politik dikuasai kaum oligarkis. Lebih buruk dari Aukarno dan Soeharto. Sesuatu yang wajar terjadi karena sistem politik kita yang elitis. Peran mereka sebagai pusat rekrutmen kepemimpinan sipil, sama sekali tak berfungsi. Tak ada pendidikan politik untuk rakyat.
Hingga akhirnya sistem politik itu mengalami kemacetan, dan melahirkan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia. Bagaimana tidak, Megawati ketua umum partai pemenang pemilu, mempunyi kekuasaan mutlak berdasar keputusan kongres, akhirnya mencapreskan Jokowi, orang luar partai. Mengabaikan kader-kader internalnya.
Dan Jokowi dua periode, mengalahkan lawan yang sama, yakni perwakilan wajah kepolitikan yang sudah menjadi mummy. Tapi dicobahidupkan terus-menerus. Hingga kini, berkelindan dengan ghirah agama yang palsu.
Dalam masa pandemi saja, mereka mingkem. Dan baru kelicutan ketika salah satu dari oligarki itu ketangkap KPK, dalam urusan bansos pandemi. Benarkah hanya Kemensos? Bagaimana dengan Kemendes, Kemenaker, atau kementrian yang dijabat orang partai?
*
Agama, menjadi persoalan kedua, karena ia bagian dari dinamika politik. Bukan sejak Rizieq Shihab, melainkan sejak awal berdiri republik ini. Ketika Sukarno berdebat panjang, jauh sebelum merdeka. Juga bahkan di depan sidang PPKI, hingga pidato 1 Juni 1945, yang tetap saja bermasalah. Perdebatan kaum nasionalis dan kaum agamais (khususnya Islam), dikompromikan sebagai api dalam sekam.
Hingga sentimen yang tak terselesaikan itu kemudian justeru dipakai, dieskploitasi atau dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak. Bukannya dieksplorasi dalam pengertian dibongkar akar permasalahannya. Dicari perbedaan-perbedaannya untuk didapatkan titik pertemuannya sebagai rumusan Gus Dur.
Para elite politik justeru memanfaatkannya. Mengkapitalisasi sebagai strategi mengalahkan lawan, dengan menonjolkan politik identitas. Apalagi ketika kelompok ini, termasuk para donaturnya, berhasil menjungkalkan Ahok, menaikkan Anies.
Tentu saja hal itu bisa jadi akan terus-menerus dimanfaatkan, hingga 2024 kelak, dalam Pemilu maupun Pilpres. Akan sangat tergantung seberapa besar penghargaan bangsa dan negara ini pada sistem hukum yang sudah disepakati bersama.
Selama demokrasi hanya bertumpu pada kebebasan berpendapat dan berserikat semata, tanpa ditopang oleh kedisiplinan dalam menegakkan sistem hukum, proses demokratisasi akan berjalan lamban. Bahkan mungkin menjadi faktor pengganggu. Karena tiap hari bukan saja menjadi peristiwa politik, melainkan persoalan politik yang tidak menyelesaikan. Lantas kapan percepatan pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas, ketika perimbangan anggaran kita masih sangat timpang antara belanja dan pendapatan?
*
Lemahnya konstitusionalisasi konflik, karena perilaku para praktisi perpolitikan kita yang memang tidak bermutu. Demokrasi menangnya sendiri, mutlak-mutlakan, dan tak sudi mendengarkan apalagi mengapresiasi liyan. Pelanggar hukum yang sedang diproses hukum, oleh para elite politik diminta ditangguhkan, dan mereka rela menjadi penjaminnya. Ini soal kemanusiaan? Bukan. Karena mereka juga tahu, jika pun permintaan tak dikabulkan, mereka telah sukses mempromosi dirinya, untuk menangguk simpati konstituen sebagai investasi dalam masa kontestasi kelak.
Semasa hidupnya, sebelum jadi Presiden, Gus Dur pernah berujar FPI adalah organisasi bajingan yang harus dibubarkan. Gus Dur bahkan menyebut Rizieq Shihab sebagai teroris lokal. Gus Dur bahkan bertekad hendak membubarkan FPI, meski ketika menjadi Presiden pun, tekad itu tak terlaksana. Hingga Rizieq bisa mengejek Gus Dur, sebagai orang buata mata dan buta hati, hingga bukannya FPI bubar melainkan Gus Dur yang longsor dari kursi kepresidenan.
Pada waktu itu, ketika Gus Dur mengatakan hendak membubarkan FPI, beberapa teman Gus Dur banyak yang diam saja. Tak berkomentar. Namun ketika mereka mengetahui pemerintahan Jokowi menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang, juga sedang memproses pelanggaran hukum Rizieq, mereka ini pada bekoar atas nama demokrasi, hukum, keadilan, dan HAM. Itulah sebabnya, SJW itu lebih tepat disebut Social Joker Warrior. Para Sulayan Jokowi Waton, sebagai penganut waham salawi.
*
Jika dulu ada gerakan ‘Semut Merah’ untuk menjatuhkan Gu Dur, kini juga ada gerakan serupa, untuk menjatuhkan Jokowi. Beberapa adalah orang yang sama. Apakah tahun 2021 situasi akan tetap?
Akan sangat tergantung pada Jokowi, apakah ia sesuai janjinya akan tanpa kompromi, menurunkan kadar toleransinya pada para bajingan politik (di dalam maupun di luar Istana). Akan pula sangat tergantung pada kekeraskepalaan Jokowi, dalam memerintahkan para pembantunya, untuk bekerja keras demi bangsa dan negara. Bukannya demi partainya semata.
Karena politik di Indonesia masih saja hanya dipandang sebagai alat berkuasa. Untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bukan sebagai alat perjuangan mensejahterakan bangsa dan negara. Dalam ungkapan orang Jawa, untung dalam dua periode di masa transisi generasi ini, Jokowi kita menangkan. Dalam sangking riuhnya kepolitikan, kita pura-pura merem, bagaimana performance Republik Indonesia ini (di masa pandemi dunia), lebih mencorong di mata negara luar.
Politik itu mulia. Benarkah? Jika diperlakukan secara mulia. Jika tidak tentu saja menjijikkan. Dan kalau didiamkan, para bajingan politik tentu akan berpesta pora. Apalagi ketika kita dalam, turbulensi itu, turut serta menuding-nuding Jokowi. Secara tak sadar para jelata dihipnotis kata-kata oleh para demagog, menjadi bagian dari kaum elite politik. Walau hanya sebagai kambing congek. Dan hanya selalu puas dengan permainan kata-kata. | @sunardianwirodono
Senin, Desember 14, 2020
Antara Ilmu Colong-Jipuk dan Encoding
Di Mana Matinya Kepakaran Makin Nyata
Oleh : Sunardian Wirodono
Bahasa
bukan hanya sekedar alat komunikasi, demikian pengantar Dr. Haryatmoko, dalam
bukunya yang bagus, ‘Critical Discourse Analysis’ (Analisis Wacana Kritis,
Rajawali Pers, Jakarta, cetakan ke-III, 2019). Bahasa juga digunakan sebagai
instrumen untuk melakukan sesuatu, atau sarana menerapkan strategi (kekuasaan).
Melalui bahasa, orang memproduksi makna dalam kehidupan sosial. Karena pada kenyataannya, bahasa digunakan untuk berbagai fungsi, yang konsekuensinya bisa sangat beragam. Maka, bagi kita, jika tak hati-hati, bisa menjadi bagian dari objektifikasi sesiapa untuk mengapa dan bagaimana. Dan bahasa bisa menjadi sangat liquid, yang secara induktif, tanpa disadari, menyeret keterlibatan orang-perorang dalam kepentingan demi kepentingan.
Dalam masyarakat dengan daya literasi pas-pasan, kemampuan dalam memahami fungsi bahasa, bisa menjadi pintu masuk dan pintu terkunci. Bisa membuatnya lebih jeli atau makin membabi-buta, dengan konsekuensi masing-masing.
Ada status (sebutlah tulisan di fesbuk, 15/12/20) dari doktor sosiologi sastra Faruk Tripoli; “Bahwa sejak zaman Belanda, ilmu yang paling populer adalah ilmu untuk berkuasa. Bukan ilmu untuk menjadi bijak, cerdas, menjadi kritis, bahkan bukan juga untuk jadi kaya.” Dalam konklusi pendeknya itu, jangan heran jika bahkan di universitas terkemuka sekalipun, puncak karir akademik yang menjadi idaman, adalah menjadi rektor, dekan, atau kaprodi. Lebih jauh dituliskannya; maka jangan heran juga, kalau orang yang sudah kaya pun ingin jadi pejabat. Bersedia membayar mahal, dan hal itu kemudian terakomodasi oleh sistem pemilihan langsung.
Mengenai pernyataan itu, Willy Pramudya, aktivis (menurut beliau terjemahannya ialah penggiat) bahasa, dari paparan di atas, dalam rezim spesialis, jaman kini disebutnya pula berkembang ilmu colong-jipuk. Mencuri atau tinggal nyomot, sana-sini-situ.
Di fesbuk, platform medsos yang terbesar dipakai masyarakat Indonesia, acap kita dapati impuls pemikiran yang menarik. Di luar komunikasi keseharian yang penuh kadar humor, kadar benci (culture hate) dan sinisme, medsos sering menyodorkan percik pemikiran, sodokan alternatif atas kebuntuan yang terjadi di jalur formal.
Karena fesbuk adalah media tulis (juga pandang dan dengar), menulis menjadi lebih mudah. Apalagi sebagaimana mantra Arswendo Atmowiloto; mengarang itu gampang. Jika itu dan jika hanya, merupakan segugusan fantasi, susunan tafsir, atau apalagi permainan pikiran sendiri, atas sebuah peristiwa atau fakta yang penuh dengan teori konflik atau teori konspirasi.
Sehingga tulisan sederhana bisa tampak begitu dahsyat dalam eksposisinya. Bisa melihat isi ceruk planet bumi. Sehingga bisa tahu dengan detail, warna dan ukuran celana dalem seseorang tanpa melihat apalagi mencopotnya. Lebih tuhan dari tuhan, seolah tak ada rahasia. Padal cuma sudut pandang bernama tafsir. Apalagi jika yang dimaksud seseorang, atau apa atau bagaimana itu mengenai politikus. Dan lebih-lebih politikus di Indonesia.
Namun ketika tak bisa meyakinkan kredibilitas dan kapabelitasnya, darimana bisa menulis semua itu? Jika tak bisa menjelaskan mendapat data dari mana, dengan cara apa dan bagaimana? Dari situ tidak perlu lagi ditanyakan, apa tujuan menulis dan di mana posisinya. Selain bagian dari permainan silang-sengkarut itu. Apalagi ketika dipenuhi dengan claiming (pendakuan). Itu mah pembiasan, apalagi di ranah medsos. Bukan pencerahan, melainkan pengerahan.
Dalam fenomena yang sama, menurut Fairclough, bisa dideskripsikan dengan beragam cara. Ada variasi laporan atau cerita. Bisa harafiah, fiktif, representatif atau virtual. Yang di mana berbagai cara mendeskripsikan realitas itu menyiratkan adanya kepentingan, maksud dan tujuan tertentu. Apalagi dengan sudut pandang satu sisi. Yang kita dapati hanyalah eksploitasi. Bukan eksplorasi.
Pada sisi yang lain, bagaimana dengan fenomena itu bagi Indonesia ke depan, bersama generasi milenial? Dengan teknologi 4.1? Apalagi dengan Artifisial Intelegence? Ada kesenjangan metodologis di situ. Bagaimana pemikiran yang penuh dengan analogi, terasa makin tidak presisi, dan sama koruptipnya. Mungkin untuk situasi dan masa transisi, bolah-boleh saja. Tapi, ya, cukup sampai di sini. Cukup sekian dan terimakasih. Karena kita akan berhadapan dengan perubahan yang tak terpermanai, tak terpahamkan.
Secara analog, kita juga hanya bisa berdoa secara analog, semoga nilai-nilai Pancasila yang bhineka tunggal ika dari Empu Tantular, dan kemudian diformulasikan oleh Ir. Sukarno, bisa dijadikan code-code dalam sistem aplikasi generasi digital Nusantara dan dunia. Bukan dengan ilmu colong-jipuk, tetapi dengan apa yang mereka istilahkan sebagai ‘encoding’. Di mana matinya kepakaran semakin nyata, terang-trewaca. | @sunardianwirodono
Senin, November 23, 2020
BARISAN PEMBELA RIZIEQ
KAUM
BALIHOERS, JURUS NGELES KAUM KEFEFET
Oleh : Sunardian Wirodono
Jika kepepet, karena tak punya dasar argumen yang kuat, maka ngeles (atau membiaskan masalah), adalah jurus yang acap dipakai para penumpang gelap. Mungkin ada yang menyebut mereka sebagai oportunis. Atau dalam bahasa agak religius, disebutnya kaum munafikun.
Beberapa waktu lalu, kita pernah mendengar adanya kaum salawi. Kelompok kepentingan yang selalu, dan melulu, hanya melihat semua karena salah Jokowi. Mereka pintar dalam kata-kata. Artinya juga pintar mengkorupsi fakta dan data dengan kata-kata. Agar yang muncul adalah kesan dirinya atau kelompoknya benar.
Kelompok ini, kini juga bisa disebut kelompok balihoers. Kelompok yang hanya melihat, atau menyembah kemuliaan baliho. Apa yang dilakukan pengamat, SJW, akademisi, politikus, dari kelompok ini, sama dan sebangun dengan laskar FPI yang melakukan hormat pada baliho Riziek, sampai harus memblokir jalan. Tak peduli bahwa akibat omongan Pak Dudung, dipicu oleh cuitan Nikita Mirzani, kini gerakan pencopotan baliho provokatif, intoleran, bernada rasis, bernada isu SARA, massif di mana-mana. Baik dilakukan masyarakat maupun Satpol PP.
Kelompok balihoers sama sekali tak menyinggung isi baliho. Mereka tak peduli soal baliho yang jika berisi iklan obat atau consumers good ilegal, Satpol PP paling galak mencopot. Mereka hanya melihat TNI salah jika masuk ke wilayah sipil. Kelompok balihoers ini, agaknya termasuk golongan yang tak suka gerakan intoleran dan pengujar kebencian terhambat penyebarannya ke seluruh Nusantara. Cara mereka menegasi, mengulas tupoksi tentara, tapi mingkem dan merem soal konten baliho yang dipermasalahkan. Padal jelas, sumber masalahnya di manusia bernama Rizieq Shihab. Di situ pembiasannya.
*
Gaya retorika Rizieq Shihab, dalam acara Maulid Nabi di Petamburan beberapa waktu lalu, menunjukkan dengan jelas. Jika verbatim kita kutip pernyataan-pernyataannya, tafsir apalagi jika bukan ujaran kebencian? Ia menghina Kepolisian dalam kaitan penjagaan di rumah Nikita Mirzani. Hingga Rizieq mengatakan Polisi dapat jatah (dari Nikita, yang disebut Rizieq sebagai lonte). Tapi Rizieq tidak akan ngomong, bagaimana polisi mengantisipasi ancaman seseorang, yang mengaku ustad, yang akan mengirim 800 laskar FPI jika dalam 2X24 jam Nikita tidak meminta maaf.
Itu contoh korupsi data dan fakta. Rizieq juga menghina TNI dalam kaitan anggota TNI yang dihukum, karena menyanyikan lagu pujian pada Rizieq. Retorikanya yang selalu meminta pengiyaan dari pengikutnya, menunjukkan dia sedang mengindoktrinasi massa. Untuk membenarkan semua pernyataannya yang menghasut itu. Cara bertuturnya, bukan ciri ulama atau guru. Tetapi lebih tepat provokator dengan segala demagoginya.
Dalam gaya komunikasi retorik, memang tak diperlukan konfirmasi. Data dan fakta cenderung diabaikan. Hanya mengambil teks yang mendukung konteks yang hendak dibangun. Sama persis dalam kampanye politik, ketika seorang kandidat bertujuan menjatuhkan kompetitor.
Itu pula yang dipakai kaum kepepet, yang di Indonesia didominasi kelompok Salawi. Mereka yang berdiri di sisi berbeda (oposite) dengan Jokowi, akan cenderung berpihak atau mendukung ‘lawan politik’ Jokowi. Maka jika pernyataan Fadli Zon dan Haris Azhar bisa sama dan sebangun, bisa dimengerti. Juga omongan dari para kambrat mereka, yang sebetulnya belum tentu sepemahaman. Meskipun Din Symasuddin mungkin hari-hari ini lagi nangis bombay, karena kalah pamor dengan Rizieq. Dan tidak mendapat pembelaan dari kaum balihoers.
Tentara kok sampai mesti turun tangan menurunkan baliho? Itu kan tugas Satpol PP, atau Kepolisian dalam Kamtibmas? Dan bla-bla-bla segala teori hukum serta demokrasi disampaikan. Meski ada yang gayanya prihatin, seperti disampaikan Haris Azhar. Ia sebenarnya tidak rela, tentara kok nurunin baliho!
Apakah ketika TNI, Tentara Nasional Indonesia, turun ke kali kotor Jakarta, membersihkan sampah menggunung penyebab air kali meluap, ada yang menyayangkan? Kenapa tak ada yang sinis menyindir; Kasihan amir tentara jadi tukang bersih-bersih sampah? Terus tidak bikin meme Bang Rendy pamit pada gacoannya yang lagi mengandung, dan menasihati sang gacoan agar tidak lebay? Toh ia tidak sedang ke medan perang, melainkan mau mbersihin got?
Apalagi pengertian kita tentang medan perang hanyalah area dar-der-dor. Tidak tahu bahasa simbolik, bahwa medan perang dalam kehiduan luas adanya. Sebagaimana kegagalan membaca tentara mbersihin sampah baliho, sebagai simbol perang melawan sampah masyarakat? Yakni, seseorang yang ngaku cucu nabi, tapi perilakunya miskin tata-krama? Padal doktrin agama Islam sendiri, lebih menekankan nilai manusia karena amal perbuatannya sendiri. Bukan karena sejarah leluhur, pangkat, kekayaan, atau wajah secakep apapun. Mau keturunan kucing, kalau jahat mah jahat saja. Karena yang ayahnya copet, ibunya lonte, si anak tak tertutup nasibnya menjadi manusia mulia, baik hati, dan tidak sombong.
Namun memang, mereka yang disebut kaum balihoers ini, memiliki ciri suka mengedepankan teks dengan menghilangkan konteks. Hingga perdebatan kita jarang menjadi sesuatu yang produktif. Yang terjadi hanyalah debat semantik. Adu pintar menjeplak. Di situ kita tahu bukan kepandaian Jokowi. Jokowi seorang pekerja. Tak membutuhkan mimbar dengan sorotan kamera. Yang kadang menggemaskan, dan melahirkan para juru-tafsir dengan kadar ‘disproportionate’ pula.
*
Perdebatan tidak esensial itu, hanya untuk kepentingan pencitraan. Baik sebagai bisnis ekonomi maupun tujuan politis. Dari setting awalnya, sudah tidak relevan. Coba cermati, ketika perdebatan soalTNI nurunin baliho. Persoalan politik tetapi di-framing dalam konteks hukum. Maka apa yang menjadikan alasan atau tindakan tentara, tak akan digubris. Karena akan masuk dalam esensi debat. Mereka menghindari elaborasi masalah sebagai bagian dari esensi sebuah debat. Maka Hamdan Zoelva pun, hanya bisa bilang masalahnya sesepele itu, mengenai sistem atau cara. Padal sebagai bekas ketua MK, apakah dia tidak tahu yang namanya teori kausalitas, yang perlu diklarifikasi?
Begitu sebaliknya, kelompok Salawi dalam konteks hukum, maka yang dimunculkan adalah framing politik. Misal, ketika jelas pernyataan dan tindakan Rizieq melanggar PSBB (tak usah melihat kasus yang berat-berat), yang dikedepankan adalah kriminalisasi ulama, penistaan agama, negara mulai otoriter dan anti kritik.
Kaum oportunis memang penganut filsafat pragmatisme paling akut. Pragmatisme adalah paham yang menganut segala sesuatu yang bermanfaat. Yang tak bermanfaat tak dianggep. Pragmatisme dalam istilah lain kadang disebut pula sebagai penyakit soehartoisme.
Di situ sebabnya, politik hanya dipakai dari sisi politicking belaka. Wajar jika masyarakat awam menjadi apolitik. Bukan hanya skeptis pada politik, tetapi muak dengan siapapun yang bermain politik. Entah itu ormas berbaju agama, ulama ‘berbaju’ daster, filsuf kedunguan, pengamat politik yang berpolitik. Sementara mereka yang menyebut diri politikus, alih-alih berpolitik, karena mereka kini lagi sibuk nyari duit dari Pilkada. Karena bagi mereka demokrasi = dengan money krasa sekali.
Maka tak aneh jika Jusuf Kalla bisa enteng menyebut Rizieq Shihab sebagai pemimpin kharismatik.Tak jauh beda dengan omongan Fadli Zon, yang mengatakan kharisma Rizieq mengalahkan Sukarno dan Bung Hatta. Itukah buku yang dibaca Anies Baswedan, di minggu pagi yang cerah, berjudul How Democracies Die? Inikah orkestrasi yang sedang dimainkan secara virtual menuju 2024? | @sunardianwirodono
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...