Selasa, November 13, 2018

Memahami Paradoks Jerinx Superman is Dead


Tulisan ini tak ingin membahas soal bagaimana sejarah Jerinx, drummer punk rock Superman Is Dead menyebut Via Valen sebagai fucking whore (lonte sialan), karena pendangdhut itu menyanyikan lagu SiD tanpa ijin.

Persoalannya lebih pada apa yang diyakini Jerinx, “Setiap genre musik punya kharismanya sendiri, selama ia tak berpandu pada grafik popularitas dan matematika belaka.” Saya hanya ingin mencoba mengorek, bagaimana kata-kata fucking whore itu muncul dari Jerinx untuk Via Valen.

Dibanding Bobby Kool dan Eka Rock, Jerinx terasa lebih sebagai manusia literal. Ia banyak menuliskan pendapatnya, di dunia maya, di media sosial, di samping pada lagu-lagu SiD tentunya. Saya hanya ingin ikuti ‘alur kata-kata’-nya. Quotation Jerinx, karena memakai media tulis, saya kutip seaslinya darui akun medsosnya, biar kita tahu kualitas literasinya.

“Buat kamu yang berpikir musisi itu tugasnya cuma bermusik saja, selamat datang di dunia tanpa perubahan & tinggallah disana selama mungkin.” Saya kita itu keyakinan dasar Jerinx, dan juga SiD tentunya. Dan SiD memposisikan grupnya dengan sadar pada bagian yang tak terpisah dari riuh-rendah industri musik di Indonesia. 

Penamaan grupnya, Superman is Dead, adalah ideologi yang diyakini. Bahwa tak ada manusia super. Termasuk SiD, termasuk Jerix. Bukankah Jerinx pernah menulis pendapatnya, “Kita tidak mengklaim kebenaran, kita hanya meminta kesetaraan.”? Nah, pada Jerinx kita dihadapkan pada manusia problematik, meski pun itu potret biasa kegelisahan generasi dalam melihat posisinya sendiri. Soal manusia genah diri.

Kata-kata Jerinx acap begitu gagah. “Generasi kita dijejali mall, diracuni infotainment, sinetron dan hiburan-hiburan plastik nihil pesan. Menjadi palsu adalah 'cool'.” Tapi ini kata-kata biasa yang diucapkan para pejuang pemula. Apalagi jika celakanya, kata-kata itu hanya diucapkan sebagai lipstick karena disisi lain (misalnya) seseorang bisa tidak konsisten. Menjadi bagian dari apa yang tidak disetujuinya juga. 

Para aktivis, pejuang HAM dan Lingkungan, pasti bangga dengan SiD. Bukan sekedar grup musik, tapi adalah generasi yang sadar dan melawan kezaliman. Kezaliman apapun, apalagi kezaliman pemerintah. It’s super! Tapi, Superman is Dead bukan? Bukan Superman temannya Spiderman atau Batman, tapi manusia super itu sudah mati.

Jerinx membawa ideologi yang tidak main-main, mangkanya, seperti tulisnya; “Hidup ini perang. Berhenti berpikir bagai serdadu dan mulai berpikir bagai panglima.” Ia tak mau hanya berpikir ‘biasa’ saja, harus seperti panglima, memimpin, berpikir luar biasa, berpikir super, karena manusia super sudah mati?

Karena itu kemudian klaimnya bisa jadi aneh; “Ketidaksempurnaan membuat ia sempurna. Kekurangan membuat ia berkecukupan. Hanya kesetiaan yang akan membunuhnya.” Ini pernyataan terhadap apa? Saya tidak mendapatkan konteksnya, kecuali keraguan atas pilihannya sendiri, kegamangan, atau bahkan mungkin iri hati?

Bayangkan, Jerinx sendiri yang menuliskannya; “Di zaman sekarang semua orang bisa terlihat Punk atau apapun itu, tapi esensi nya mungkin mereka gak dapet.” Itu penilaian Jerinx tentunya. Pendapat orang lain, apakah Jerinx sendiri mampu menunjukkan esensi punk? Itu pertanyaan balik untuknya, lebih-lebih karena klaimnya yang lain, bahwa, “Di Indonesia & negara-negara lain hari ini, Rock N Roll menjadi sebatas label untuk terlihat 'keren'. Ia ada untuk tidak melawan apa-apa, sebatas hiburan saja.” Atau, “Betapa bosannya kita dengan arus lama, dengan culture mainstream di Indonesia yang musiknya itu-itu saja, seolah-olah di Indonesia itu tak ada pilihan.”

Ayo berjuanglah, Jerinx, sebagaimana keyakinanmu. Karena, tiba-tiba Jerinx bisa menuliskan begini: “Setiap manusia berpotensi menjadi seorang anarkis. Punk sendiri memiliki arti yang luas. Punk tidak harus berideologi garis keras.” Pada sisi lain, ia ingin, “Ketika kita menyampaikan sesuatu dengan musik, itu tidak terdengar seperti seorang guru yang berbicara di depan kelas.”

Ada beberapa paradoks dan sisi megalomania Jerinx. Tapi tentu saja itu urusan dia. Toh ia bisa dengan mellow, telentang di pojokan kamarnya, malam-malam, sembari menuliskan kata-kata: “Kendarai sepi, rajai mimpi. Selamat tidur raja dan ratu malam, pemikir besar dan pengubah dunia. Simpan api mu untuk esok yang lebih besar.” Sembari membesarkan hati, “Dan kita berteduh dibawah mimpi besar, jika cinta itu ada untuk semua manusia.”

Pengakuan-pengakuan atas resiko pilihan, yang berbeda itu, belum tentu ia kuat menanggungnya. Perjuangan yang berat dan melelahkan, sebagaimana dituliskannya, “Engkau diam, penuh dendam, tersudut tak terdengar. Dalam perih, angkat wajah walaupun tak bermahkota.” 

Mahkota, saya kira adalah kata kunci, yang akhirnya membuat Jerinx, atau Superman is Dead, hanya nama dan aliran kepercayaannya saja yang berbeda-beda dengan lainnya. Selebihnya sama saja. Substansi atau inti soalnya, sangat manusiawi. Apalagi ketika ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, “Tak ada yang memiliki malam sepekat ini selain dirimu. Bersabarlah. Cahaya itu ada.”

Sampai Jerinx pun kemudian bertabrakan dengan idiom-idiom yang diciptakannya sendiri, ketika ia marah-marah pada Via Valen yang tidak sopan, karena makai lagunya tanpa ijin. Sudah begitu spirit, karakter, dan bahkan tentu ideologinya beda banget. Seolah perbedaan itu ditengarai oleh yang bernama Jerinx vs Via Valen, Punck Rock vs Ndangdhut, Superman is Dead vs Superman is Domination! Itu menyedihkan bukan?

Karenanya, makian Jerinx bahwa Via Valen adalah lonte sialan (fucking whore), adalah menyedihkan, lepas dari soal ia menolak reklamasi Tanjung Benoa atau menolak permintaan permintaan lagu SiD dari Tim Jokowi. Dan ia benar ketika pernah menuliskan pendapatnya, “Di dunia maya, kebencian cepat menular.”

Padahal, bayangkan, ia pernah menulis pula; “Jika cinta bisa teriak, maka angkasa tak cukup luas tuk bendung gema nya.” Bagaimana kita membayangkannya? “Diantara kita dan perubahan, ada sebuah tembok bernama 'ketakpedulian'. Dan tembok itu hanya bisa runtuh jika kita bersama-sama mendobraknya.” 

Tapi bagaimana kita bersama-sama mendobraknya? Wong karena spirit, karakter, ideologi berbeda kita nggak bisa bersama-sama kok. Apalagi ketika Jerinx mengatakan bahwa Via Valen bukan apa-apa, atau malah numpang popularitas dari SiD. Pendapat yang perlu dikritisi justeru dari keluhan-keluhan yang ditulis oleh Jerinx di medsos sebagai spirit hidupnya. 

Punk rock bisa jadi ideologi SiD atau Jerinx, tapi dengan berbagai pernyataannya, yang toleran dan mengajak kebersamaan dalam cinta itu, karena ia menyadari diposisi minoritas dan mengaku sebagai kutukan peradaban, tapi menolak ‘kerjasama’ baik tanpa ijin maupun ajakan berijin dari pihak lain?

Ada banyak paradoks di situ, tapi baiklah. Bukankah Jerinx sendiri menuliskan, “Uang bisa membeli popularitas, namun tidak bisa membeli rasa hormat; Ia perlu lebih lama dari uang, sensasi dan rupa sempurna.”? Tentu Jerinx tak butuh nasihat, sepeti misal; Bersabarlah. Apalagi Jerinx juga pernah menulis, bahwa, “Kita percaya keberagaman dan toleransi harus dimenangkan.” Tapi kalau ndangdhut dan industri musik harus dilawankan dengan punk rock dengan major label seperti Sony bagaimana? Sementara Via Valen berangkat dari home-industri musik dari kampung ke kampung, secara live dan diunggah gratisan pihak lain di youtube maupun dvd kiloan?

Saya baca juga, Jerinx pernah menulis pendapatnya yang anggun: “Kita hidup di bumi ini tidak harus menjadi atau merasa paling bermoral, paling beriman, paling suci. Semua manusia itu sama.” Ya, semua manusia sama, kecuali manusia itu sendiri yang menganggapnya beda bukan? Bukankah juga seperti tulisnya, "Pejuang yang tak gentar selalu melawan dengan cinta. Untuk hal-hal yang kita cintai, kita pasti akan selalu berjuang sampai darah terakhir!"? Bagaimana kalau melawan dengan benci?

Maka bagi saya menjadi aneh saja, ketika Jerinx mengaku dirinya sebagai: “Kamilah kutukan peradaban, kamilah suara yang terlupakan, kamilah bayang sempurna yang tak pernah kau temukan.” Saya sering menemukan karakter demikian. Ini pendapat saya bukan untuk melecehkan Jerinx dan apalagi SiD. Itu lebih karena pengakuan Jerinx sendiri, yang kemudian dituliskannya, “Kita tidak mengklaim kebenaran, kita hanya meminta kesetaraan.”

Klaim-klaim pribadi seperti; “Kami adalah kutukan peradaban, bergerak serentak tanpa seragam, tak pernah henti berkarat.” Itu pernyataan biasa saja. Tidak sangat heroik. Karena soal berkarat atau tidak, waktu juga yang akan lebih jelas mengatakannya. 

“Kalau dipikir-pikir hidup ini sebenarnya simpel. Makanya jangan dipikirin, biar ribet dan seru.” Itu juga pendapat Jerinx. Jadi, simpel bukan? Apalagi ketika Jerinx menulis; “Sebelum bekerja, hakim di indonesia mungkin perlu mencoba palu keadilannya di rumah masing-masing.” Itu palu juga boleh diletakkan di meja Jerinx. Apalagi ketika ia menuliskan pendapatnya dengan sangat memprihatinkan; “Kamu tidak sedang menjadi pahlawan saat mencoba melawan kekuatan yang lebih besar, kamu hanya sedang bertahan hidup.” Dan, “Tidak perlu kaya untuk bisa lebih baik.” “Mari kita bunuh konsep-konsep yang ingin terlihat sempurna di mata orang lain.”

Dalam kenyataan-kenyataan kita, juga tak bisa dipaksakan pada Jerinx, siapa sebenarnya yang mempopulerkan SiD, ketika kasus memakai lagu SiD tanpa ijin ini mencuat. Kata Ruhut Sitompul, kita tak perlu mengajari ikan berenang. Tapi kita juga rasanya tak perlu mengajari bebek terbang, karena ia bisa terbang meski dalam jarak dan ketinggian terbatas. Karena kita juga tak baik mengajari bebek menggoreng dirinya sendiri, apalagi di tepi sawah, Ubud, Bali.  

Dan terakhir, saya kutipkan apa yang ditulisnya; “Siapa saja bisa terdengar hebat di maya.”


Sunardian Wirodono, bukan penggemar ndangdhut. Koleksi kasetnya yang terlengkap cuma The Beatles dan Konser Rakyat Leo Kristi (jadul)! Lebih karena John Lennon dan Leo Imam Soekarno manusia yang konsisten atas pilihannya.

1 komentar:

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...