Tulisan ini tak ingin
membahas soal bagaimana sejarah Jerinx, drummer punk rock Superman Is Dead
menyebut Via Valen sebagai fucking whore (lonte sialan), karena pendangdhut itu
menyanyikan lagu SiD tanpa ijin.
Persoalannya lebih pada apa yang diyakini Jerinx, “Setiap genre musik punya kharismanya sendiri, selama
ia tak berpandu pada grafik popularitas dan matematika belaka.” Saya
hanya ingin mencoba mengorek, bagaimana kata-kata fucking whore itu muncul dari
Jerinx untuk Via Valen.
Dibanding Bobby Kool dan Eka Rock, Jerinx terasa lebih
sebagai manusia literal. Ia banyak menuliskan pendapatnya, di dunia maya, di
media sosial, di samping pada lagu-lagu SiD tentunya. Saya hanya ingin ikuti ‘alur
kata-kata’-nya. Quotation Jerinx, karena memakai media tulis, saya kutip
seaslinya darui akun medsosnya, biar kita tahu kualitas literasinya.
“Buat kamu yang berpikir musisi itu
tugasnya cuma bermusik saja, selamat datang di dunia tanpa perubahan &
tinggallah disana selama mungkin.” Saya kita itu keyakinan dasar Jerinx, dan juga
SiD tentunya. Dan SiD memposisikan grupnya dengan sadar pada bagian yang tak
terpisah dari riuh-rendah industri musik di Indonesia.
Penamaan grupnya, Superman is Dead, adalah ideologi
yang diyakini. Bahwa tak ada manusia super. Termasuk SiD, termasuk Jerix. Bukankah
Jerinx pernah menulis pendapatnya, “Kita tidak mengklaim kebenaran, kita hanya meminta
kesetaraan.”? Nah, pada Jerinx kita dihadapkan pada manusia problematik, meski
pun itu potret biasa kegelisahan generasi dalam melihat posisinya sendiri. Soal
manusia genah diri.
Kata-kata Jerinx
acap begitu gagah. “Generasi
kita dijejali mall, diracuni infotainment, sinetron dan hiburan-hiburan plastik
nihil pesan. Menjadi palsu adalah 'cool'.” Tapi ini kata-kata biasa yang
diucapkan para pejuang pemula. Apalagi jika celakanya, kata-kata itu hanya
diucapkan sebagai lipstick karena disisi lain (misalnya) seseorang bisa tidak
konsisten. Menjadi bagian dari apa yang tidak disetujuinya juga.
Para aktivis, pejuang HAM dan Lingkungan, pasti bangga
dengan SiD. Bukan sekedar grup musik, tapi adalah generasi yang sadar dan
melawan kezaliman. Kezaliman apapun, apalagi kezaliman pemerintah. It’s super!
Tapi, Superman is Dead bukan? Bukan Superman temannya Spiderman atau Batman,
tapi manusia super itu sudah mati.
Jerinx membawa ideologi yang tidak main-main, mangkanya,
seperti tulisnya; “Hidup ini perang. Berhenti berpikir bagai serdadu dan mulai berpikir bagai
panglima.” Ia tak mau hanya berpikir ‘biasa’ saja, harus seperti panglima,
memimpin, berpikir luar biasa, berpikir super, karena manusia super sudah mati?
Karena itu
kemudian klaimnya bisa jadi aneh; “Ketidaksempurnaan membuat ia sempurna.
Kekurangan membuat ia berkecukupan. Hanya kesetiaan yang akan membunuhnya.” Ini
pernyataan terhadap apa? Saya tidak mendapatkan konteksnya, kecuali keraguan
atas pilihannya sendiri, kegamangan, atau bahkan mungkin iri hati?
Bayangkan, Jerinx sendiri yang menuliskannya; “Di zaman sekarang
semua orang bisa terlihat Punk atau apapun itu, tapi esensi nya mungkin mereka
gak dapet.” Itu penilaian Jerinx tentunya. Pendapat orang lain, apakah Jerinx
sendiri mampu menunjukkan esensi punk? Itu pertanyaan balik untuknya,
lebih-lebih karena klaimnya yang lain, bahwa, “Di Indonesia & negara-negara
lain hari ini, Rock N Roll menjadi sebatas label untuk terlihat 'keren'. Ia ada
untuk tidak melawan apa-apa, sebatas hiburan saja.” Atau, “Betapa bosannya kita
dengan arus lama, dengan culture mainstream di Indonesia yang musiknya itu-itu
saja, seolah-olah di Indonesia itu tak ada pilihan.”
Ayo berjuanglah,
Jerinx, sebagaimana keyakinanmu. Karena, tiba-tiba Jerinx bisa menuliskan
begini: “Setiap manusia berpotensi menjadi
seorang anarkis. Punk sendiri memiliki arti yang luas. Punk tidak harus
berideologi garis keras.” Pada sisi lain, ia ingin, “Ketika kita menyampaikan sesuatu dengan musik, itu
tidak terdengar seperti seorang guru yang berbicara di depan kelas.”
Ada beberapa paradoks dan sisi megalomania Jerinx.
Tapi tentu saja itu urusan dia. Toh ia bisa dengan mellow, telentang di pojokan
kamarnya, malam-malam, sembari menuliskan kata-kata: “Kendarai sepi,
rajai mimpi. Selamat tidur raja dan ratu malam, pemikir besar dan pengubah
dunia. Simpan api mu untuk esok yang lebih besar.” Sembari membesarkan hati, “Dan
kita berteduh dibawah mimpi besar, jika cinta itu ada untuk semua manusia.”
Pengakuan-pengakuan
atas resiko pilihan, yang berbeda itu, belum tentu ia kuat menanggungnya.
Perjuangan yang berat dan melelahkan, sebagaimana dituliskannya, “Engkau diam,
penuh dendam, tersudut tak terdengar. Dalam perih, angkat wajah walaupun tak
bermahkota.”
Mahkota, saya
kira adalah kata kunci, yang akhirnya membuat Jerinx, atau Superman is Dead,
hanya nama dan aliran kepercayaannya saja yang berbeda-beda dengan lainnya.
Selebihnya sama saja. Substansi atau inti soalnya, sangat manusiawi. Apalagi
ketika ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, “Tak ada yang memiliki malam
sepekat ini selain dirimu. Bersabarlah. Cahaya itu ada.”
Sampai Jerinx pun
kemudian bertabrakan dengan idiom-idiom yang diciptakannya sendiri, ketika ia
marah-marah pada Via Valen yang tidak sopan, karena makai lagunya tanpa ijin.
Sudah begitu spirit, karakter, dan bahkan tentu ideologinya beda banget. Seolah
perbedaan itu ditengarai oleh yang bernama Jerinx vs Via Valen, Punck Rock vs
Ndangdhut, Superman is Dead vs Superman is Domination! Itu menyedihkan bukan?
Karenanya, makian
Jerinx bahwa Via Valen adalah lonte sialan (fucking whore), adalah menyedihkan,
lepas dari soal ia menolak reklamasi Tanjung Benoa atau menolak permintaan permintaan
lagu SiD dari Tim Jokowi. Dan ia benar ketika pernah menuliskan pendapatnya, “Di
dunia maya, kebencian cepat menular.”
Padahal, bayangkan, ia pernah menulis pula; “Jika cinta bisa
teriak, maka angkasa tak cukup luas tuk bendung gema nya.” Bagaimana kita
membayangkannya? “Diantara kita dan perubahan, ada sebuah tembok bernama
'ketakpedulian'. Dan tembok itu hanya bisa runtuh jika kita bersama-sama
mendobraknya.”
Tapi bagaimana
kita bersama-sama mendobraknya? Wong karena spirit, karakter, ideologi berbeda
kita nggak bisa bersama-sama kok. Apalagi ketika Jerinx mengatakan bahwa Via
Valen bukan apa-apa, atau malah numpang popularitas dari SiD. Pendapat yang
perlu dikritisi justeru dari keluhan-keluhan yang ditulis oleh Jerinx di medsos
sebagai spirit hidupnya.
Punk rock bisa
jadi ideologi SiD atau Jerinx, tapi dengan berbagai pernyataannya, yang toleran
dan mengajak kebersamaan dalam cinta itu, karena ia menyadari diposisi
minoritas dan mengaku sebagai kutukan peradaban, tapi menolak ‘kerjasama’ baik
tanpa ijin maupun ajakan berijin dari pihak lain?
Ada banyak
paradoks di situ, tapi baiklah. Bukankah Jerinx sendiri menuliskan, “Uang bisa membeli popularitas, namun tidak bisa
membeli rasa hormat; Ia perlu lebih lama dari uang, sensasi dan rupa sempurna.”?
Tentu Jerinx tak butuh nasihat, sepeti misal; Bersabarlah. Apalagi Jerinx juga
pernah menulis, bahwa, “Kita percaya keberagaman dan toleransi harus
dimenangkan.” Tapi kalau ndangdhut dan industri musik harus dilawankan dengan
punk rock dengan major label seperti Sony bagaimana? Sementara Via Valen
berangkat dari home-industri musik dari kampung ke kampung, secara live dan
diunggah gratisan pihak lain di youtube maupun dvd kiloan?
Saya baca juga, Jerinx pernah menulis pendapatnya yang
anggun: “Kita hidup di bumi ini tidak harus menjadi atau merasa paling bermoral,
paling beriman, paling suci. Semua manusia itu sama.” Ya, semua manusia sama,
kecuali manusia itu sendiri yang menganggapnya beda bukan? Bukankah juga seperti tulisnya, "Pejuang yang tak gentar selalu melawan dengan cinta. Untuk hal-hal yang kita cintai, kita pasti akan selalu berjuang sampai darah terakhir!"? Bagaimana kalau melawan dengan benci?
Maka bagi saya
menjadi aneh saja, ketika Jerinx mengaku dirinya sebagai: “Kamilah kutukan
peradaban, kamilah suara yang terlupakan, kamilah bayang sempurna yang tak
pernah kau temukan.” Saya sering menemukan karakter demikian. Ini pendapat saya
bukan untuk melecehkan Jerinx dan apalagi SiD. Itu lebih karena pengakuan
Jerinx sendiri, yang kemudian dituliskannya, “Kita tidak mengklaim kebenaran,
kita hanya meminta kesetaraan.”
Klaim-klaim
pribadi seperti; “Kami adalah kutukan peradaban, bergerak serentak tanpa
seragam, tak pernah henti berkarat.” Itu pernyataan biasa saja. Tidak sangat
heroik. Karena soal berkarat atau tidak, waktu juga yang akan lebih jelas
mengatakannya.
“Kalau dipikir-pikir hidup ini
sebenarnya simpel. Makanya jangan dipikirin, biar ribet dan seru.” Itu juga
pendapat Jerinx. Jadi, simpel bukan? Apalagi ketika Jerinx menulis; “Sebelum bekerja, hakim di indonesia mungkin perlu
mencoba palu keadilannya di rumah masing-masing.” Itu palu juga boleh
diletakkan di meja Jerinx. Apalagi ketika ia menuliskan pendapatnya dengan
sangat memprihatinkan; “Kamu tidak sedang menjadi pahlawan saat mencoba melawan
kekuatan yang lebih besar, kamu hanya sedang bertahan hidup.” Dan, “Tidak perlu
kaya untuk bisa lebih baik.” “Mari kita bunuh konsep-konsep yang ingin terlihat
sempurna di mata orang lain.”
Dalam kenyataan-kenyataan kita, juga tak bisa dipaksakan pada Jerinx, siapa sebenarnya yang mempopulerkan SiD, ketika kasus memakai lagu SiD tanpa ijin ini mencuat. Kata Ruhut Sitompul, kita tak perlu mengajari ikan berenang. Tapi kita juga rasanya tak perlu mengajari bebek terbang, karena ia bisa terbang meski dalam jarak dan ketinggian terbatas. Karena kita juga tak baik mengajari bebek menggoreng dirinya sendiri, apalagi di tepi sawah, Ubud, Bali.
Dan terakhir, saya kutipkan apa yang
ditulisnya; “Siapa saja bisa terdengar hebat di maya.”
Sunardian Wirodono, bukan penggemar ndangdhut. Koleksi kasetnya yang
terlengkap cuma The Beatles dan Konser Rakyat Leo Kristi (jadul)! Lebih karena
John Lennon dan Leo Imam Soekarno manusia yang konsisten atas pilihannya.
Hmmhh bingun juga
BalasHapus