“Apakah kalau capres yang kamu dukung
menang, hidupmu akan menjadi lebih baik? Kau dibayar berapa? Mereka yang jadi
presiden enak hidupnya, tapi kamu tetap saja kere dan menderita,....” Uhuk.
Apa
hubungan mendukung capres dengan kejayaan hidup saya sebagai pribadi? Dalam
perjalanan hidup saya, ketika jaman Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY,
secara ekonomi dan juga karir, hidup saya cukup berjaya. Sekarang saja, justeru
di jaman Jokowi, agak blangsak secara ekonomi. Hiks. Dua tahun nganggur sampai kini,
mestinya cukup alasan membenci Jokowi.
Meski
pun tentu saja bisa dimaklumi. Komentar semacam itu, sering muncul ketika
seseorang kalah berdebat. Atau, memang bawah sadarnya seperti itu, segala
sesuatu yang diukur dari kepentingan waduknya sendiri. Makanya kalau nonton
bioskop ada iklan soal pembangunan waduk, bisa marah-marah. Kalau iklan ayam
goreng Amerika? Mingkem.
Hidup
pribadi kita, kesuksesan dan kegagalan, adalah karena kita sendiri. Tak ada
urusan dengan orang lain. Urusan dengan orang atau pihak lain, dalam bahasa
religiusnya terformulasikan dalam darma dan karma kita. Masalahnya menjadi tak
sederhana. Bukan sekedar ahli dan tidak, profesional atau tidak. Ada banyak
faktor. Momentum, keberuntungan, kesialan, ketidaksiapan dan keberanian. Hanya
renungan pribadi dan kejujuran diri yang bisa memastikan kenapa begini dan
begitu.
Prabowo
sendiri belum lama lalu berkutbah di depan LDII, mereka yang sukses jadi
politikus apakah harus kuliah di fakultas ilmu politik? Prabowo sendiri tak
pernah bercita-cita jadi militer, mangkanya sekalinya jadi tentara, dia
diberhentikan di tengah jalan oleh lembaga dimana dia bekerja (istilah kerennya
sih bertugas). Meski masih mending, dibanding AHY yang diberhentikan oleh
ayahnya. Dan ketika Prabowo nyapres, apakah ada sekolah capres? Berpengalaman
sebagai capres, benar adanya, meski tak berkorelasi dengan prestasi. Jadi ‘pres’
misalnya, bukan hanya ‘ca’ mulu.
Sebagai
generasi old yang hidup jaman now, hidup di era revolusi industri 4.0, membuat saya
berterimakasih pada kemajuan iptek. Internet memungkinkan dan memudahkan untuk
bisa mengakses apa yang dinamakan informasi. Sesuatu yang kini tak lagi bisa
disembunyikan negara, sebagaimana dulu ketika Soeharto berkuasa. Kita hanya
bisa menerima kemutlakan-kemutlakan yang diciptakan pemerintah waktu itu.
Generasi
sekarang, bisa tahu bagaimana dulu Amien Rais meminta Prabowo dimahmilubkan. Tapi
kini mereka berkolaborasi, dan Amien yakin Prabowo akan memenangi Pilpres 2019.
Itu setelah ia membaca isyarat langit. Sementara, teman saya mendapatkan isyarat
langit juga; Bahwa kelak pada 32 Februari, Ratna Sarumpaet akan ganti kelamin.
Generasi
sekarang bisa tahu, bahwa peristiwa 30 September 1965 tak hanya sebagaimana disampaikan
oleh Soeharto, atau oleh Kivlan Zein (yang kayaknya sekarang posisinya diperankan
oleh Gatot Nurmantyo). Dengan internet, anak-anak sekarang bisa tahu bahwa di
negara berfaham komunis sekali pun, kini beralih ideologi. Pertarungan kini
bukan lagi komunisme vs kapitalisme, juga bukan lagi sosialisme vs kapitalisme.
Bahkan telah melebar dalam perang a-simetris, ketika kapitalisme pun mempunyai
banyak kisi.
Kita
seolah terjebak dalam ilmu pengetahuan yang tak berkembang. Terus-menerus
menyembah-nyembah teori para kakek berjenggot, yang hidup puluhan tahun lampau.
Kemudian mau diganti para lelaki berjenggot yang lain di masa kini. Memang
kalau sudah berjenggot layak jadi ideolog?
Illuminati yang kita
dengar hari ini, hampir tak ada urusan dengan orang-orang Bayern 1776. Sekarang
jaman dengan sebuah keyakinan akan munculnya Principia Discordia. Munculnya sebuah agama parodiu bernama ‘discordianisme’,
atau 'ketidak-selarasanisme' yang disulap para anarkis untuk menciptakan
pembangkangan sipil. Lelucon jahil dan tipuan bernama hoax. Sebuah perkembangan
ngawur tapi diyakini bisa membawa perubahan social.
Ufs, sorry. Ini
bukan jurnal ilmiah. Kembali ke medsos. Tak ada hubungan antara presiden dengan
kehidupan (sukses dan gagal) seseorang secara pribadi. Itu urusan bodo-bodonya
atau pinter-pinternya kita menjalani hidup. Kecuali kalian sebagai tim sukses,
yang mungkin sudah mengantongi duit operasional, yang cukup untuk DP mobil
baru.
Hidup dengan
teknologi komunikasi dan informasi yang baru, bukan lagi sebagaimana jaman
analog, yang penuh analogi. Maka segala jargon kepemimpinan masa lalu tak lagi
relevan. Sebagai istilah mungkin masih ada sebutan ‘mesias yang dijanjikan’, ‘isyarat
langit’, ‘satria piningit’, dan sebagainya. Namun tentu dengan spiritualitas
baru. Nyatanya, Jokowi yang kerempeng, dan bukan siapa-siapa, paria dalam
politik, bisa mengalahkan Prabowo di Pilpres 2014. Padahal yang dikalahkan
konon tentara cerdas (ada sih yang bilang; tidak cerdas).
Spiritualitas jaman
sekarang bukan lagi sesuatu yang simbolik. Tetapi spiritualitas yang bisa
dirunut dari yang disebut rekam-jejak, reputasi, prestasi, dan konsistensi
sikapnya sebagai pribadi.
Indonesia adalah
negara kaya raya. Tapi kenapa penduduknya miskin, kata mereka yang suka
mengeksploitasi paradox ini. Karena pemerintahannya, penguasanya, tidak jujur
dan korup. Tetapi kapan itu terjadi, dan siapa pelakunya? Apakah Jokowi yang
baru 4 tahun telah menghancurkan Indonesia? Apakah kemiskinan struktural dan
sistemik bisa terjadi dalam kemendadakan? Menurut Titi Kamal, hanya ndangdhut
yang bisa mendadak. Kita tak akan dapat
pencerahan dari sebuah kampanye politik, yang cenderung melakukan simplifikasi,
dan apalagi dari oposisi yang berwatak antagonistic.
Setelah Reformasi
1998, tetap terbukti partai politik bukan lembaga (atau system) yang bisa
dipercaya untuk memperbaiki negeri. Presiden kita di masa mendatang, mungkin
akan lebih sederhana lagi, dan makin manusiawi gambarannya. Karena tuntutannya
juga makin sederhana; Memimpin dengan jujur, tidak korupsi, berfokus pada
pekerjaan, tidak gampang mengeluh apalagi nyinyir dan reaktif.
Jadi ketika menilai
capres, kemudian memilih dan mendukungnya, tentu sebagaimana para hakim ketika
memutuskan perkara. Mendengarkan semua aspek dari jaksa, pembela hukum,
terdakwa, saksi-saksi, melihat bukti-bukti. Di situ ia harus impharsial, tidak
memihak, mendengarkan semua. Barulah ketika ia memutuskan perkara. Menjatuhkan
pilihan.
Sama dengan
menjatuhkan pilihan atas capres, apakah ke Prabowo atau Jokowi. Menimbang
keduanya dengan cara seperti itu. Pilihan kita atas seseorang, bisa menuai
resiko dan reaksi beragam. Hakim pun, yang oleh satu sisi dinilai adil, oleh
yang mendapatkan vonis, bisa dituding tidak adil. Tergantung argumentasinya
kemudian.
Presiden kini dan
akan datang, tentu akan butuh waktu untuk membereskan kebobrokan negara yang
diakibatkan salah urus presiden sebelumnya. Misalnya, kualitas sdm dengan
mentalitas dan sikapnya. Utang luar negeri yang butuh waktu untuk dibayar
dengan perimbangan sector ekspor-import. Ketidakdisiplinan masyarakat warga
karena penegakkan hukum tak jalan. Serta kelak tentu tumbuhnya militer yang professional,
dan tak ganjen terus setiap menghadapi bulan September.
Ini bukan soal
membalik tangan, apalagi cuci-tangan dan cuci piring. Karena perubahan juga
butuh kompromi, sekiranya tak ingin progresi ini patah di tengah jalan,
sebagaimana Gus Dur dulu dengan mudah dilengserkan Amien Rais cum suis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar