Propaganda, sudah sama tuanya dengan
keberadaan manusia. Jejak yang terlacak, ada beberapa nama propagandis seperti Heredotus,
Demosthenus, Plato, Aristoteles, yang hidup setidaknya 600-an tahun sebelum
Masehi. Salah satu doktrin propaganda paling tua, dari rumusan Aristoteles,
adalah Ethos, Pathos dan Logos.
Ethos: Sanggup menunjukkan kepada orang lain, bahwa Anda
memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian terpercaya, dan status terhormat. Pathos:
Menyentuh hati khalayak, perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang
mereka.
Logos: Mengajukan bukti yang masuk akal, atau yang
kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda
mendekati khalayak lewat otak mereka.
Di Indonesia, seni dan propaganda telah dikenal dan
bahkan dipraktikkan oleh para penguasa waktu itu, seperti Ken Arok, dan bahkan
mungkin Panembahan Senapati atau pun Sultan Agung, hingga para intelektual
Indonesia jaman Jepang.
Kedatangan Jepang di Indonesia, disambut dengan senang hati sebagai
saudara tua. Anggapannya, Jepang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan
Belanda. Gerakan 3A yang dicanangkan; “Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung
Asia, dan Jepang Cahaya Asia”, cukup memabukkan. Apalagi kemudian dilanjutkan membentuk
Sendenbu (Departemen Propaganda), yang memproduksi materi siaran radio, film,
surat kabar, dan seni seperti sandiwara, lukis, dan lainnya.
Setahun kemudian, dengan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), dan Keimin Bunka Shidōsho (Institut
Pemandu Pendidikan dan Budaya Rakyat, atau disebut juga Pusat Kebudayaan),
bergabung beberapa nama seperti Affandi, Barli, Sudjojono, Hendra Gunawan Agus
Djajasoentara, Oto Djajasoeminta, Emiria Soenasa, Basuki Abdullah, Oetojo, dan
Armijn Pane, bekerja bersama para ahli dan profesional terkemuka dari Jepang,
yang dikirim untuk tinggal di Indonesia.
Sesuatu yang berbalik bagi Jepang, ketika Sukarno memakai Putera untuk
menghimpun kekuatan bangsa Indonesia. Bahkan, Sukarno memakai keterampilan propaganda
itu ketika membuat poster perjuangan, yang menggabungkan seni rupa dan sastra
dalam “Boeng, Ajo Boeng!”. Hasil kerjasama antara Soedjojono dan Chairil Anwar
(yang orang boleh tersenyum kecut mengetahui darimana Chairil Anwar memungut
kata-kata dengan diksi heroik itu).
Meski terlibat dalam gerilya dan perang kemerdekaan, Usmar Ismail
sebagai seniman film terkemuka, relative bisa berjarak. Bahkan untuk kejadian Serangan
Oemoem 1 Maret 1949, yang kemudian dibuatnya dalam film cerita ‘Enam Djam di
Djokja’, kita masih bisa melihat Usmar Ismail yang dingin. Mampu melakukan
internalisasi dengan jarak peristiwa yang baru beberapa bulan berlalu.
Usmar Ismail bukan pembuat film propaganda, sebagaimana semula Arifin C.
Noer pun juga bukan pembuat film propaganda. Beberapa film awalnya, yang terasa
penting seperti Suci Sang Primadona
(1977), Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, 1979), Harmonikaku (My
Harmonica; 1979), cukup memberi harapan munculnya sineas handal. Arifin
penulis lakon panggung yang sublim, dalam Mega-mega, Sumur Tanpa Dasar, Tengul,
Kapai-kapai.
Namun sejak Serangan Fajar (PFN, 1981), Arifin merambah
dunia lain, hingga film Pengkhianatan G30S/PKI yang menghabiskan dana
pemerintah (PFN, 1984) sebesar Rp 800 juta. Sebuah film yang menurut
pengkategorisasian Arsip Nasional, masuk dalam seni propaganda. Film PG30S/PKI
bukan film dokumenter, bukan pula docudrama, melainkan film propaganda, yang
memang dibuat untuk tujuan tertentu. Yakni penulisan Sejarah Orde Baroe, dengan
Soeharto sebagai jagoannya, untuk mendeligitimasi posisi Sukarno yang sangat
sentral meski proklmator itu sudah belasan tahun meninggal.
Mengapa disebut film propaganda? Dari prosesnya kreatifnya
tampak. PG30S/PKI berbahan-baku dari materi sidang Pengadilan Militer di
Mahmilub. Sebagian besarnya diambil dari rekonstruksi adegan dalam materi
persidangan itu. Tentu saja, yang muncul adalah persepsi dan perspektif
penguasa waktu itu. Padahal, sejarah tak pernah terjadi karena satu pihak,
kecuali dalam hukum dan politik yang selalu dalam kangkangan pemenang atau
penguasa.
Beberapa orang film dan
yang merasa ahli film, mencoba melakukan manipulasi, setidaknya mereduksi dosa
Arifin C. Noer, dengan mengatakan film adalah film, yang artinya film hanyalah
film. Semuanya akan sangat tergantung pada penanggapnya. Tentu saja demikian.
Tetapi film sebagai alat propaganda, berbeda maknanya. Apalagi sampai harus
melakukan mobilisasi untuk menontonnya, dengan berbagai ancaman atau sangsi,
dan berbagai kewajiban yang menyertai. Di situ persoalan komunikasi dan efek
mediasinya bermain.
Propaganda kadang
menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali menyesatkan. Umumnya hanya
menyampaikan fakta-fakta pilihan, yang dapat menghasilkan pengaruh
tertentu, atau lebih menghasilkan reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuannya mengubah pikiran kognitif narasi subjek dalam kelompok sasaran, untuk
kepentingan tertentu. Propaganda umumnya lebih berhasil pada negara dengan
majoritas masyarakat yang tingkat intelektualitasnya rendah, demikian juga daya
kritisnya. Sebut bagaimana orang Jerman dulu taat aturan sejak jaman Nazi,
hingga rakyat Jepang yang tunduk pada raja di jaman dinasti Showa.
Propaganda adalah sebuah
upaya yang disengaja, sistematis, untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam
pikiran atau kognisi. Mempengaruhi langsung perilaku, agar memberikan respons yang
dikehendaki pelaku propaganda. Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda memisahkan
komunikator dari komunikan. Menurut
Ellul, komunikator dalam propaganda merupakan wakil dari organisasi, yang
berusaha melakukan pengontrolan terhadap masyarakat komunikannya. Komunikator
dalam propaganda, adalah seorang ahli dalam teknik penguasaan atau kontrol
sosial.
Soeharto agaknya sadar (setidaknya para penasihatnya)
pada pandangan Audrey Gibbs dan Nicole Robertson, yang mengatakan film sebagai alat yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, dengan
kemampuan luar biasa untuk merebut kepemilikan sejarah ("History in Film:
Real or Just Reel?"). Maka pendirian PFN (Perusahaan Film Negara) salah
satunya untuk itu, bagaimana Soeharto membangun sejarahnya sendiri, dengan
mendeligitimasi dominasi Sukarno dan para pengikutnya.
Dengan duit dari negara, muncullah Serangan Fajar (Arifin
C. Noer, 1981), dan Pengkhianatan G30S/PKI (ACN juga, 1984). Sebelumnya, sempat
dibuat film Djanur Kuning, tapi dari pihak swasta, di mana peran Soeharto di
situ tampak tidak menonjol.
Puluhan tahun sebelumnya, Adolf Hitler sudah melakukan
hal tersebut. Hitler sadar betul akan kemampuan sinema. Dalam Mein Kampf, ia
menulis: "Gambar, termasuk film, mempunyai kesempatan yang lebih baik, dan
jauh lebih cepat, ketimbang bacaan, untuk membuat orang memahami pesan-pesan
tertentu."
"Tak diragukan lagi, film adalah alat propaganda
yang dahsyat,” tulis Hans Traub, Propagandis Nazi dalam esainya ‘The Film as a
Political Instrument’ (1932). “Film menuntut perhatian penuh; ia berisi
serangkaian kejutan terkait perubahan waktu, ruang, dan tindakan; ia mempunyai
kekayaan tak terpermanai untuk memicu emosi-emosi tertentu." Dan Hitler
memakai duit negara habis-habisan untuk film-film propagandanya yang efektif
untuk masyarakat Jerman.
Film sebagai propaganda di Indonesia, bukan hanya dipakai
oleh yang sedang berkuasa. Tetapi yang ingin merebut kekuasaan. Contoh menarik
adalah film Di Balik 98 (2015) yang didanai MNC Group milik Harry
Tanoesoedibyo. Pada awalnya, film ini dibuat sebagai alat kampanye untuk pencalonan
Wiranto, sebagai presiden pada pemilu 2014. Namun entah bagaimana, kongsi HT dan
Wiranto ini pecah. Ketika HT melanjutkan memproduksi film ini, peranan Wiranto sebagai
Panglima TNI, yang bertugas menjaga keamanan Jakarta di tengah kerusuhan sosial,
diminimalisir.
Menjelang Pemilu 2009, sesungguhnya ada calon presiden
yang juga memakai film sebagai media propaganda. Jauh sebelum pemilu, sebenarnya
rencana sudah dimatangkan. Entah kenapa, baru pada 2009 dan 2010, baru muncul
film bioskop “Merah Putih” dan sequelnya, “Darah Garuda”, dan kemudian menutup
rangkaian itu, 2011, diproduksi “Hati Merdeka”, yang ketiganya dikenal sebagai ‘Trilogi
Merdeka’.
Entah karena kontrak sudah habis, atau muncul masalah
apa, sutradara Trilogi Merdeka kembali ke negaranya, Amerika. Sutradara ini
pula yang merancang-rancang kampanye politik produser Trilogi Merdeka, yang
menghabiskan dana Rp 60 milyar. Dan ketiga filmnya jeblok di pasar. Siapa
produser yang mendanainya? Namanya, Prabowo Subianto.