Dibandingkan para jagoan, yang sudah
malang-melintang sejak Orde Baru, Jokowi adalah “anak kemarin sore”. Tapi
justeru karena itulah, ia lebih bisa dipercaya.
Satu hal yang sering dinafikan, tak dimengerti atau disalahartikan, bahkan bisa jadi digelapkan, bahwa rakyatlah sesungguhnya yang selalu menghendaki perubahan. Namun tidak demikian halnya dengan para elite, baik di dunia politik, pendidikan, dan akhir-akhir ini agama. Mereka lebih mewakili sistem kekuasaan yang korup, yang justeru makin berkecenderungan menutup kemungkinan perubahan itu.
Selama 32 tahun dalam kungkungan Soeharto, dan kemudian dalam situasi transisi hingga dua periode kekuasaan SBY, Indonesia belum banyak berubah. Dari berbagai indikasi sosial, ekonomi, politik, justeru paska longsornya Soeharto, Indonesia makin terpuruk.
Utang luar negeri makin menumpuk, angka korupsi meningkat, dan kesenjangan ekonomi melebar, dengan tetap menunjukkan piramida korban manusia. Ekonomi Indonesia masih dikuasai hanya oleh 3 persen dari populasi rakyat sebesar 250-an juta, dengan distribusi ekonomi 70 persen masih berpusar di Jakarta, sementara sisanya dibagi tidak merata ke 33 propinsi.
Fakta-fakta itu dengan jelas menunjukkan ada yang salah dalam perjalanan kepemimpinan nasional kita. Namun sama salahnya ketika kita menganggap bahwa kesalahan itu bertumpu pada satu sisi, apalagi sebagaimana pandangan Anies R. Baswedan, yang menyerang kebijaksanaan pemerintahan Jokowi setelah keterpilihannya selaku Gubernur DKI Jakarta. Apalagi Anies Baswedan sama sekali mengabaikan faktor-faktor makro sebelumnya.
Ada faktor melekat yang tak bisa dipisahkan, yakni situasi kepolitikan. Partai politik, yang semestinya menjadi ajang penggemblengan kepemimpinan masyarakat sipil, tidak juga beranjak. Indonesia masih terbagi dalam kasta-kasta tertentu, di mana kaum elite di segala lapisan, masih menjadi katub penyumbat cita-cita UUD 1945 dan Pancasila, sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Kemenangan Rakyat. Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, dalam Pilpres 2014, bukan hanya merupakan kekalahan bagi Prabowo, yang memang berhasil disingkirkan oleh Jokowi dalam pemilihan presiden itu. Kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat yang tak mempercayai partai politik sebagai wadah perjuangan politik rakyat, dalam menentukan kepercayaan dan harapan.
Bahwa tingkat partisipasi rakyat pada Pemilu 2014 meningkat, bahkan dengan sangat tinggi, hal itu tidak bisa dibaca sebagai menaiknya tingkat kepercayaan rakyat pada parpol. Lebih karena memang tidak ada jalan lain, dengan itulah rakyat mendapatkan pemimpinnya. PDI Perjuangan, memakai Jokowi sebagai branding atau vote getter, dan mau tak mau menjadi pilihan rakyat, untuk mengantarkan Jokowi ke kursi kepresidenan. Di situ lebih mudah mengatakan Jokowi yang dibutuhkan oleh PDIP daripada sebaliknya.
Bagaimana membaca logikanya? Partai politik, masih merupakan lembaga yang belum mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat. Itu lebih karena reputasinya yang rendah. Bahkan ketika rakyat bisa memilih langsung presidennya, sejak 2004 dan 2009, justeru kenyataan lain yang didapat. Keterlibatan Partai Demokrat dalam banyak kasus korupsi (dalam posisi sebagai partai pengusung dan bentukan SBY selaku presiden), di mana banyak elite partainya masuk penjara, adalah catatan paling menyakitkan. Apalagi dengan slogan; Katakan tidak pada korupsi!
Momentum kemenangan rakyat pada Pemilu 1999, melalui PDI Perjuangan paska rezim otoritarian Soeharto, sama sekali tak bisa dijaga. PDIP tidak siap dengan kemenangan itu. Dan rakyat menghajarnya dalam dua pemilu sekaligus (2004 – 2009). Pemilu kembali dibajak oleh elite politik dan para oligarki partai. Jika PDIP kembali bisa memenangkan pemilu (2014), adalah karena kata kuncinya; PDIP menang Jokowi presiden!
Mau tidak mau, waktu itu, rakyat harus mencoblos untuk memenangkan PDIP, agar dengan demikian Jokowi bisa dicalonkan sebagai presiden. Tentu saja pertanyaannya kemudian, siapakah Jokowi? Dalam berbagai polling, tentang kandidat presiden, nama Jokowi berkibar, bahwa mengalahkan Megawati dan Prabowo. Jokowi adalah sebuah pesona baru. Ia adalah representasi wajah rakyat, yang selama ini tak bisa ditunjukkan oleh partai politik. Hanya dalam dua tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi meloncat naik menjadi Presiden Republik Indonesia.
Jokowi sebagai Representasi. Rakyat tidak bodoh membaca tanda. Seiring dengan maraknya medsos, di mana jaringan komunikasi dan informasi publik terbuka begitu rupa. Sosok Jokowi dari sejak Walikota Solo (2005), sudah menjadi daya tarik publik, yang merindukan pemimpin a-politis, pemimpin yang mempunyai wajah dan watak berbeda, yakni sebagai pelayan publik (public servant) yang bekerja dan hanya bekerja.
Track record Jokowi, terbuktikan ketika “tarikan pusat” menghendakinya, yakni ketika partai-partai politik di tengah kegagalannya melakukan kaderisasi, menangkap sosok-sosok pribadi yang menjadi magnet mimpi-mimpi rakyat. Meski sama sekali hijau dalam dunia politik, tidak dikenal di pasar politik Jakarta, apalagi nasional, senyatanya Jokowi mampu mengalahkan Fauzie Bowo, sang pertahana dalam Pilkada DKI Jakarta (2012).
Apa yang terjadi kemudian hanyalah hukum alam. Nama Jokowi melambung ke level nasional bukan karena kekuatan politiknya, namun lebih pada sosoknya, individualitasnya, karakternya. Nilai-nilai personalitasnya yang menjadi jauh lebih penting, daripada abstraksi nilai-nilai luhur, yang sering digembar-gemboirkan partai politik, namun kosong dalam implementasi dan keteladanan.
Itulah yang tercermin dalam Pilpres 2014. Jokowi dibaca oleh rakyat karena kinerja (dengan melihat track-record sebagai Walikota Solo dan Gubernur Jakarta). Jokowi sebagai representasi, itulah yang mengalahkan apapun. Sementara Prabowo, sekalipun “tokoh nasional”, reputasinya menimbulkan pro-kontra, disamping track-recordnya sama sekali belum terukur, kecuali dalam puja-puji kampanye, yang semua orang bisa saja membuat sejarah dengan berbusa-busa. Tetapi rakyat, sebagian besar, tidak bodoh membaca Prabowo, meski kaum elite dan menengah atas berbondong-bondong mendukung dalam semangat anomali.
Hal-hal itulah, kemampuan pembacaan oleh rakyat, yang luput dilihat, atau bahkan mungkin tak dimengerti kaum elite dan apalagi para oligarkis. Persoalannya bukan hanya sekedar Jokowi sebagai anak bajang, atau anak gelap dalam sejarah politik Indonesia. Namun semua itu terjadi, ketika dunia politik Indonesia terlalu lama asyik-masyuk dengan kepentingannya sendiri yang korup.
Partai politik bukan sebagai lembaga perjuangan, yang mewakili atau mengakomodasi kepentingan-kepentingan rakyat. Paska Reformasi 1998, ketika tumbuh begitu banyak partai-partai politik, yang terjadi hanyalah partai-partaian, lembaga politik abal-abal yang hanya mengatasnamakan rakyat, namun sama sekali sejurus dengan itu menunggangi rakyat. Rakyat benar-benar hanya sebagai alamat palsu dan atas nama. Tujuan sebenarnya tetap hanyalah untuk kepentingan orang-orang partai itu sendiri.
Bukti yang paling mudah atas hal itu, maraknya partai (setelah lepas dari belenggu otoritarianisme Soeharto) adalah maraknya angka korupsi di Indonesia. Korupsi melebar bukan hanya di kalangan eksekutif, melainkan pada kalangan legislatif. Senyampang itu pula, tentunya di kalangan judikatif, sebagai lingkaran dari konstruksi korupsi yang selalu cenderung terjadi secara massif dan sistemik.
Partai politik abai dengan tugas utamanya, menyiapkan rekrutmen masyarakat sipil, dalam rangka menyediakan pemimpin-pemimpin rakyat, untuk membawa bangsa dan negara ke arah keadilan dan kesejahteraan, yang makmur dan merata. Hal itu sama sekali tak terlihat atau diabaikan.
Maka ketika publik, di dorong oleh media, melihat sosok Jokowi, dari sejak sebagai walikota Solo, dia menjadi daya tarik luar biasa. Dan demikianlah sejarah menjadikannya.
Kepemimpinan Masyarakat Sipil. Tren kepemimpinan sipil, pada akhirnya, kembali ke hukum alamnya, ialah kepercayaan rakyat. Ukurannya sangat sederhana, lebih melihat track record atau kinerja. Dan sebagai pekerja profesional, Jokowi mampu menjadi manager dalam mengadministrasi kepentingan-kepentingan masyarakat. Di situ kuncinya.
Satu hal yang sering dinafikan, tak dimengerti atau disalahartikan, bahkan bisa jadi digelapkan, bahwa rakyatlah sesungguhnya yang selalu menghendaki perubahan. Namun tidak demikian halnya dengan para elite, baik di dunia politik, pendidikan, dan akhir-akhir ini agama. Mereka lebih mewakili sistem kekuasaan yang korup, yang justeru makin berkecenderungan menutup kemungkinan perubahan itu.
Selama 32 tahun dalam kungkungan Soeharto, dan kemudian dalam situasi transisi hingga dua periode kekuasaan SBY, Indonesia belum banyak berubah. Dari berbagai indikasi sosial, ekonomi, politik, justeru paska longsornya Soeharto, Indonesia makin terpuruk.
Utang luar negeri makin menumpuk, angka korupsi meningkat, dan kesenjangan ekonomi melebar, dengan tetap menunjukkan piramida korban manusia. Ekonomi Indonesia masih dikuasai hanya oleh 3 persen dari populasi rakyat sebesar 250-an juta, dengan distribusi ekonomi 70 persen masih berpusar di Jakarta, sementara sisanya dibagi tidak merata ke 33 propinsi.
Fakta-fakta itu dengan jelas menunjukkan ada yang salah dalam perjalanan kepemimpinan nasional kita. Namun sama salahnya ketika kita menganggap bahwa kesalahan itu bertumpu pada satu sisi, apalagi sebagaimana pandangan Anies R. Baswedan, yang menyerang kebijaksanaan pemerintahan Jokowi setelah keterpilihannya selaku Gubernur DKI Jakarta. Apalagi Anies Baswedan sama sekali mengabaikan faktor-faktor makro sebelumnya.
Ada faktor melekat yang tak bisa dipisahkan, yakni situasi kepolitikan. Partai politik, yang semestinya menjadi ajang penggemblengan kepemimpinan masyarakat sipil, tidak juga beranjak. Indonesia masih terbagi dalam kasta-kasta tertentu, di mana kaum elite di segala lapisan, masih menjadi katub penyumbat cita-cita UUD 1945 dan Pancasila, sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Kemenangan Rakyat. Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, dalam Pilpres 2014, bukan hanya merupakan kekalahan bagi Prabowo, yang memang berhasil disingkirkan oleh Jokowi dalam pemilihan presiden itu. Kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat yang tak mempercayai partai politik sebagai wadah perjuangan politik rakyat, dalam menentukan kepercayaan dan harapan.
Bahwa tingkat partisipasi rakyat pada Pemilu 2014 meningkat, bahkan dengan sangat tinggi, hal itu tidak bisa dibaca sebagai menaiknya tingkat kepercayaan rakyat pada parpol. Lebih karena memang tidak ada jalan lain, dengan itulah rakyat mendapatkan pemimpinnya. PDI Perjuangan, memakai Jokowi sebagai branding atau vote getter, dan mau tak mau menjadi pilihan rakyat, untuk mengantarkan Jokowi ke kursi kepresidenan. Di situ lebih mudah mengatakan Jokowi yang dibutuhkan oleh PDIP daripada sebaliknya.
Bagaimana membaca logikanya? Partai politik, masih merupakan lembaga yang belum mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat. Itu lebih karena reputasinya yang rendah. Bahkan ketika rakyat bisa memilih langsung presidennya, sejak 2004 dan 2009, justeru kenyataan lain yang didapat. Keterlibatan Partai Demokrat dalam banyak kasus korupsi (dalam posisi sebagai partai pengusung dan bentukan SBY selaku presiden), di mana banyak elite partainya masuk penjara, adalah catatan paling menyakitkan. Apalagi dengan slogan; Katakan tidak pada korupsi!
Momentum kemenangan rakyat pada Pemilu 1999, melalui PDI Perjuangan paska rezim otoritarian Soeharto, sama sekali tak bisa dijaga. PDIP tidak siap dengan kemenangan itu. Dan rakyat menghajarnya dalam dua pemilu sekaligus (2004 – 2009). Pemilu kembali dibajak oleh elite politik dan para oligarki partai. Jika PDIP kembali bisa memenangkan pemilu (2014), adalah karena kata kuncinya; PDIP menang Jokowi presiden!
Mau tidak mau, waktu itu, rakyat harus mencoblos untuk memenangkan PDIP, agar dengan demikian Jokowi bisa dicalonkan sebagai presiden. Tentu saja pertanyaannya kemudian, siapakah Jokowi? Dalam berbagai polling, tentang kandidat presiden, nama Jokowi berkibar, bahwa mengalahkan Megawati dan Prabowo. Jokowi adalah sebuah pesona baru. Ia adalah representasi wajah rakyat, yang selama ini tak bisa ditunjukkan oleh partai politik. Hanya dalam dua tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi meloncat naik menjadi Presiden Republik Indonesia.
Jokowi sebagai Representasi. Rakyat tidak bodoh membaca tanda. Seiring dengan maraknya medsos, di mana jaringan komunikasi dan informasi publik terbuka begitu rupa. Sosok Jokowi dari sejak Walikota Solo (2005), sudah menjadi daya tarik publik, yang merindukan pemimpin a-politis, pemimpin yang mempunyai wajah dan watak berbeda, yakni sebagai pelayan publik (public servant) yang bekerja dan hanya bekerja.
Track record Jokowi, terbuktikan ketika “tarikan pusat” menghendakinya, yakni ketika partai-partai politik di tengah kegagalannya melakukan kaderisasi, menangkap sosok-sosok pribadi yang menjadi magnet mimpi-mimpi rakyat. Meski sama sekali hijau dalam dunia politik, tidak dikenal di pasar politik Jakarta, apalagi nasional, senyatanya Jokowi mampu mengalahkan Fauzie Bowo, sang pertahana dalam Pilkada DKI Jakarta (2012).
Apa yang terjadi kemudian hanyalah hukum alam. Nama Jokowi melambung ke level nasional bukan karena kekuatan politiknya, namun lebih pada sosoknya, individualitasnya, karakternya. Nilai-nilai personalitasnya yang menjadi jauh lebih penting, daripada abstraksi nilai-nilai luhur, yang sering digembar-gemboirkan partai politik, namun kosong dalam implementasi dan keteladanan.
Itulah yang tercermin dalam Pilpres 2014. Jokowi dibaca oleh rakyat karena kinerja (dengan melihat track-record sebagai Walikota Solo dan Gubernur Jakarta). Jokowi sebagai representasi, itulah yang mengalahkan apapun. Sementara Prabowo, sekalipun “tokoh nasional”, reputasinya menimbulkan pro-kontra, disamping track-recordnya sama sekali belum terukur, kecuali dalam puja-puji kampanye, yang semua orang bisa saja membuat sejarah dengan berbusa-busa. Tetapi rakyat, sebagian besar, tidak bodoh membaca Prabowo, meski kaum elite dan menengah atas berbondong-bondong mendukung dalam semangat anomali.
Hal-hal itulah, kemampuan pembacaan oleh rakyat, yang luput dilihat, atau bahkan mungkin tak dimengerti kaum elite dan apalagi para oligarkis. Persoalannya bukan hanya sekedar Jokowi sebagai anak bajang, atau anak gelap dalam sejarah politik Indonesia. Namun semua itu terjadi, ketika dunia politik Indonesia terlalu lama asyik-masyuk dengan kepentingannya sendiri yang korup.
Partai politik bukan sebagai lembaga perjuangan, yang mewakili atau mengakomodasi kepentingan-kepentingan rakyat. Paska Reformasi 1998, ketika tumbuh begitu banyak partai-partai politik, yang terjadi hanyalah partai-partaian, lembaga politik abal-abal yang hanya mengatasnamakan rakyat, namun sama sekali sejurus dengan itu menunggangi rakyat. Rakyat benar-benar hanya sebagai alamat palsu dan atas nama. Tujuan sebenarnya tetap hanyalah untuk kepentingan orang-orang partai itu sendiri.
Bukti yang paling mudah atas hal itu, maraknya partai (setelah lepas dari belenggu otoritarianisme Soeharto) adalah maraknya angka korupsi di Indonesia. Korupsi melebar bukan hanya di kalangan eksekutif, melainkan pada kalangan legislatif. Senyampang itu pula, tentunya di kalangan judikatif, sebagai lingkaran dari konstruksi korupsi yang selalu cenderung terjadi secara massif dan sistemik.
Partai politik abai dengan tugas utamanya, menyiapkan rekrutmen masyarakat sipil, dalam rangka menyediakan pemimpin-pemimpin rakyat, untuk membawa bangsa dan negara ke arah keadilan dan kesejahteraan, yang makmur dan merata. Hal itu sama sekali tak terlihat atau diabaikan.
Maka ketika publik, di dorong oleh media, melihat sosok Jokowi, dari sejak sebagai walikota Solo, dia menjadi daya tarik luar biasa. Dan demikianlah sejarah menjadikannya.
Kepemimpinan Masyarakat Sipil. Tren kepemimpinan sipil, pada akhirnya, kembali ke hukum alamnya, ialah kepercayaan rakyat. Ukurannya sangat sederhana, lebih melihat track record atau kinerja. Dan sebagai pekerja profesional, Jokowi mampu menjadi manager dalam mengadministrasi kepentingan-kepentingan masyarakat. Di situ kuncinya.
Kita kemudian melihat Jokowi Effects, yang dimulai pada tahun 2005, merambah ke beberapa daerah, seperti Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng, 2008), Suyoto (Bupati Bojonegoro, 2008), Deddi Mulyadi (Bupati Purwakarta, 2008), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya, 2010), Yoyok Riyo Sudibyo (Bupati Batang, 2012) Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi, 2012), Ridwan kamil (Walikota Bandung, 2013), dan Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang fenomenal, meski kalah dalam Pilkada Jakarta 2017. Pasangan Jokowi sebagai wakil gubernur Jakarta (2012) itu, bahkan sangat kontroversial, sampai harus dikalahkan dengan politik identitas, yang penuh isu SARA dan ujaran kebencian.
Mereka semuanya bukanlah berangkat dari partai politik, tetapi tokoh yang didukung dan didorong oleh masyarakatnya. Partai politik kemudian melihat hal itu sebagai keniscayaan, dan mau tak mau mengakomodasi atau bahkan memanfaatkan. Satu-satunya yang terjun ke partai politik, adalah Ahok (yang semula adalah pengusaha). Walaupun pada akhirnya, setelah menjabat Gubernur menggantikan Jokowi, Ahok menyatakan keluar dari partai politik.
Nama-nama yang disebut di atas, adalah warna baru model kepemimpinan masyarakat sipil di Indonesia. Mereka datang dari rakyat, dan tidak tersandung kasus korupsi. Bandingkan beberapa bupati dan gubernur dari parpol, kebanyakan justeru terjebak dalam korupsi.
Longsornya kekuasaan Soeharto, adalah juga konsekuensi demiliterisasi, yang menjadi amanat Reformasi 1998. Kepemimpinan masyarakat sipil ini muncul, memberikan janji perubahan jauh lebih berarti. Pada akhirnya, masyarakat yang tampaknya a-politis, menemukan jalan untuk mendapatkan pemimpinnya. Ialah pemimpin yang lebih bertaniah pada kinerja, dan mengabdi pada kepentingan masyarakat. Bukan lagi model kepemimpinan korup sebelumnya, yang bukan saja elitis, tetapi mengabdi pada kekuasaan semata.
Perubahan adalah kata yang sering didengungkan partai politik, namun sama sekali tak tercermin atau terimplementasi dalam gerak-gerik orang-orang partai. Mereka justeru tak menginginkan perubahan itu. Mengangkangi kekuasaan yang bersifat elitis, sebagaimana para pendahulu mereka pada jaman Orde Baru.
Partai politik menjadi begitu lamban, karena tertimbun kepentingan-kepentingan ekslusifnya. Tidak mempunyai garis ideologi dan platform yang jelas. Mereka kemudian hanya berperan sebagai “alat legitimasi” atau kendaraan. Dengan melihat apa yang dikehendaki rakyat, partai kemudian mendekat sebagai media tumpangan. Orang-orang partai lebih banyak sebagai agen dealership, daripada agen leadership masyarakat warga.
Dengan latar belakang yang relatif “bersih”, tidak terikat dan terjebak masa lalu, generasi kepemimpinan Jokowi menjadi lebih leluasa bergerak. Tentu saja ganjalannya adalah mereka-mereka ini berada dalam situasi pancaroba, situasi transisi. Sementara angin perubahan bukanlah situasi yang nyaman bagi mereka, yang selama bertahun-tahun berada dalam comfortable zone.
Belum lama lalu, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan bertajuk Government at a Glance 2017 (dipublikasikan pada 13 Juli 2017), menunjukkan pemerintahan Indonesia tertinggi dalam tingkat kepercayaan masyarakatnya. Laporan tersebut merangkum berbagai indikator pencapaian pemerintah di sektor publik, dari anggota OECD di beberapa negara termasuk Indonesia. OECD menggunakan hasil survei yang dilakukan Gallup World Poll (GWP), lembaga survei internasional berbasis di Amerika Serikat (satu-satunya lembaga polling yang mengumpulkan data mengenai tingkat kepercayaan kepada pemerintah).
Indonesia, Swiss, India, Luxemburg, Norwegia dan Kanada, dalam data Gallup itu, menduduki peringkat atas. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia (tahun 2016) sebesar 80 persen, meningkat dibanding tahun 2007 yang hanya 28 persen. Indonesia berada di tempat tertinggi, jauh lebih tinggi dibanding negara-negara maju anggota OECD, seperti Amerika Serikat (30 persen), Inggris (31 persen), Jerman (55 persen), Prancis (28 persen). Dan masih lebih tinggi disbanding beberapa negara berkembang non-OECD, seperti India (73 persen), Brazil (26 persen), Afrika Selatan (48 persen).
Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, dipengaruhi oleh pengukuran tentang; apakah masyarakat menganggap pemerintah dapat diandalkan, cepat tanggap dan adil, serta mampu melindungi masyarakat dari risiko-risiko, dan kemampuannya dalam memberikan pelayanan publik secara efektif.
Perubahan yang Mendasar. Tidak mudah melalui perubahan ini. Karena perubahan sebuah bangsa, juga negara, tak bisa bertumpu pada seorang presiden semata. Di jajaran bawahnya, kalangan birokrasi pemerintahan, betapa pun juga tidak mudah menerima angin perubahan. Demikian pula jajaran legislatif dan judikatif, yang masih didominasi wajah dan karakter lama. Perubahan akan sangat lamban rasanya, jika tak boleh dibilang terlalu utopis.
Belum lagi di kalangan pendidikan, kita juga belum melihat gairah perubahan yang signifikan, dengan melihat involusi di kalangan masyarakat luas. Apalagi ditambah munculnya politik identitas, setelah kita kehilangan arah paska Reformasi 1998. Dasar ideologi kebangsaan kita, mengalami satu kekosongan panjang. Masyarakat terlanjur dalam keyakinan; bahwa politik adalah sesuatu yang kotor dan tak berguna. Atas dasar itulah, kaum oportunis memanfaatkan politik praktis, dengan menunggangi sikap acuh tak acuh masyarakat. Padahal, dalam sisi itu, orang baik dan orang pintar, membiarkan orang jahat menguasai negara, dengan cara mereka enggan terlibat.
Kita belum melihat perubahan mendasar pada partai politik. Lihat perdebatan mereka dalam membahas UU Pemilu (2017). Sebanyak 40 persen anggota parlemen walk out karena menolak voting, untuk sebuah undang-undang yang menentukan hajat kepolitikan di Indonesia. Namun senyampang itu, beberapa yang mengaku kaum pintar dan ahli tata-negara, akan menggugat UU itu karena dianggap tidak konstitusional. Bagaimana mungkin produk parlemen dan Pemerintah dibilang tidak konstitusional? Maka kemudian bisa terjadi, nasib sebuah UU akan ditentukan oleh 9 hakim di Mahkamah Konstitusi. Mana lebih tepat, ini demokrasi liberal, demokrasi elitis, atau tirani minoritas?
Di situ, lagi-lagi, politik (praktis) memang menyebalkan, karena hanya berurusan dengan kekuasaan. Tidak pernah langsung ke politik mensejahterakan warga. Mereka mengedepankan politik kekuasaan lebih sebagai dalih. Sebagai alasan untuk mensejahterakan warga. Tapi tidak pernah langsung mensejahterakan warga dalam praktiknya. Berbelok dulu, berputar-putar dalam arus politik kekuasaan, hingga mereka lupa akan alasan yang dikemukakan sebelumnya.
Jika kita melihat politik ‘presidential threshold’ Jokowi, yang ‘ngotot’ 20-25 persen, kita bisa melihat arah yang diinginkannya. Bagaimana terjadi konsolidasi partai politik dan pada akhirnya, penyerdehanaan sistem kepartaian. Munculnya satu mekanisme kandidasi presiden, akan lebih terukur daripada mengikuti ritme demokrasi liberal, yang membolehkan siapa saja melakukan apa saja.
Jokowi, bagaimana pun adalah presiden, dan ‘lebih apalagi’ lagi, dia adalah pembelajar yang baik. Tidak mungkin Jokowi nir-politik. Tetapi mantra politiknya bukan pada kekuasaan, melainkan bekerja di dalam spirit pengabdian seorang pekerja.
Memang tidak gagah, di dalam masyarakat yang masih mimpi tentang pemimpin yang perkasa. Jangan lupa, dunia berubah, meski kebijaksanaan sejati itu abadi. Di dalam ke-kerempeng-annya, dia lebih bisa diandalkan, karena apa yang disebut ‘trust’ itu. Sebagaimana para konglomerat kaya sakerat-erat pun tak bisa membeli waktu, begitu juga kepercayaan. Orang gagah perkasa pun tak akan bisa menarik-nariknya, dengan seberapapun duit yang tanpa seri itu. Duit tanpa seri? Jangan-jangan duit palsu!
Demokrasi tanpa kendali, tanpa aturan, adalah juga demokrasi tanpa arah. Lagi-lagi kita akan melihat, orang-orang seperti Prabowo, meski mengklaim punya banyak pendukung fanatik, tak akan pernah memenangkan jamannya, sekiranya masih hanya suka menarik-narik kepercayaan dengan gimmick. Kepercayaan selalu datang dengan sendirinya, dengan tulus-ikhlas. Seperti tuyul, datang tak diundang, tapi pergi minta digendong.
Melangkah ke masa depan, kini jauh lebih dipercaya, daripada kembali ke masa lalu kegelapan.
Sunardian Wirodono, penulis, tinggal di Yogyakarta.
ASS.WR.WT.SAYA PAK YAYAT TKW MALAYSIA sangat berterima kasih kepada AKI SOLEH, berkat bantuan angka jitu yang di berikan AKI SOLEH, saya bisah menang togel MAGNUM 4D yaitu ((( 2 4 7 9 ))) dan alhamdulillah saya menang 200 lembar.sekarang saya sudah bisah melunasi hutang-hutang saya dan menyekolahkan anak-anak saya. sekarang saya sudah bisah hidup tenang berkat bantuan AKI SOLEH. bagi anda yang termasuk dalam kategori di bawah ini;
BalasHapus1.di lilit hutang
2.selalu kalah dalam bermain togel
3.barang-barang berharga sudah habis buat judi togel
4.hidup sehari-hari anda serba kekurangan
5.anda sudah kemana-mana tapi belum dapat solusi yang tepat
6.pesugihan tuyul
7.pesugihan bank gaib
8.pesugihan uang balik
9.pesugihan dana gaib, dan dll
dan anda ingin mengubah nasib melalui jalan togel seperti saya hub AKI SOLEH di no; 082-313-336-747.
atau anda bisah kunjungi blog AKI KLIK DISINI ((((( BOCORAN TOGEL HARI INI ))))
UNTUK JENIS PUTARAN; SINGAPURA, HONGKONG, MACAU, MALAYSIA, SYDNEY, TOTO MAGNUM, TAIPE, THAILAND, LAOS, CHINA, KOREA, KAMBODIA, KUDA LARI, ARAB SAUDI,
AKI SOLEH dengan senang hati membantu anda memperbaiki nasib anda melalui jalan togel karna angka gaib/jitu yang di berikan AKI SOLEH tidak perlu di ragukan lagi.sudah terbukti 100% akan tembus. karna saya sudah membuktikan sendiri.buat anda yang masih ragu, silahkan anda membuktikan nya sendiri...
SALAM KOMPAK SELALU.DAN SELAMAT BUAT YANG JUPE HARI INI