Dibandingkan para jagoan, yang sudah
malang-melintang sejak Orde Baru, Jokowi adalah “anak kemarin sore”. Tapi
justeru karena itulah, ia lebih bisa dipercaya.
Satu
hal yang sering dinafikan, tak dimengerti atau disalahartikan, bahkan bisa jadi
digelapkan, bahwa rakyatlah sesungguhnya yang selalu menghendaki perubahan.
Namun tidak demikian halnya dengan para elite, baik di dunia politik,
pendidikan, dan akhir-akhir ini agama. Mereka lebih mewakili sistem kekuasaan
yang korup, yang justeru makin berkecenderungan menutup kemungkinan perubahan itu.
Selama
32 tahun dalam kungkungan Soeharto, dan kemudian dalam situasi transisi hingga
dua periode kekuasaan SBY, Indonesia belum banyak berubah. Dari berbagai
indikasi sosial, ekonomi, politik, justeru paska longsornya Soeharto, Indonesia
makin terpuruk.
Utang
luar negeri makin menumpuk, angka korupsi meningkat, dan kesenjangan ekonomi melebar,
dengan tetap menunjukkan piramida korban manusia. Ekonomi Indonesia masih
dikuasai hanya oleh 3 persen dari populasi rakyat sebesar 250-an juta, dengan
distribusi ekonomi 70 persen masih berpusar di Jakarta, sementara sisanya dibagi
tidak merata ke 33 propinsi.
Fakta-fakta
itu dengan jelas menunjukkan ada yang salah dalam perjalanan kepemimpinan
nasional kita. Namun sama salahnya ketika kita menganggap bahwa kesalahan itu
bertumpu pada satu sisi, apalagi sebagaimana pandangan Anies R. Baswedan, yang
menyerang kebijaksanaan pemerintahan Jokowi setelah keterpilihannya selaku
Gubernur DKI Jakarta. Apalagi Anies Baswedan sama sekali mengabaikan
faktor-faktor makro sebelumnya.
Ada
faktor melekat yang tak bisa dipisahkan, yakni situasi kepolitikan. Partai
politik, yang semestinya menjadi ajang penggemblengan kepemimpinan masyarakat
sipil, tidak juga beranjak. Indonesia masih terbagi dalam kasta-kasta tertentu,
di mana kaum elite di segala lapisan, masih menjadi katub penyumbat cita-cita
UUD 1945 dan Pancasila, sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Kemenangan Rakyat. Terpilihnya Jokowi
sebagai Presiden Republik Indonesia, dalam Pilpres 2014, bukan hanya merupakan
kekalahan bagi Prabowo, yang memang berhasil disingkirkan oleh Jokowi dalam pemilihan
presiden itu. Kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat yang tak mempercayai
partai politik sebagai wadah perjuangan politik rakyat, dalam menentukan
kepercayaan dan harapan.
Bahwa
tingkat partisipasi rakyat pada Pemilu 2014 meningkat, bahkan dengan sangat
tinggi, hal itu tidak bisa dibaca sebagai menaiknya tingkat kepercayaan rakyat
pada parpol. Lebih karena memang tidak ada jalan lain, dengan itulah rakyat
mendapatkan pemimpinnya. PDI Perjuangan, memakai Jokowi sebagai branding atau
vote getter, dan mau tak mau menjadi pilihan rakyat, untuk mengantarkan Jokowi
ke kursi kepresidenan. Di situ lebih mudah mengatakan Jokowi yang dibutuhkan
oleh PDIP daripada sebaliknya.
Bagaimana
membaca logikanya? Partai politik, masih merupakan lembaga yang belum
mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat. Itu lebih karena reputasinya yang
rendah. Bahkan ketika rakyat bisa memilih langsung presidennya, sejak 2004 dan
2009, justeru kenyataan lain yang didapat. Keterlibatan Partai Demokrat dalam
banyak kasus korupsi (dalam posisi sebagai partai pengusung dan bentukan SBY
selaku presiden), di mana banyak elite partainya masuk penjara, adalah catatan
paling menyakitkan. Apalagi dengan slogan; Katakan tidak pada korupsi!
Momentum
kemenangan rakyat pada Pemilu 1999, melalui PDI Perjuangan paska rezim
otoritarian Soeharto, sama sekali tak bisa dijaga. PDIP tidak siap dengan
kemenangan itu. Dan rakyat menghajarnya dalam dua pemilu sekaligus (2004 –
2009). Pemilu kembali dibajak oleh elite politik dan para oligarki partai. Jika
PDIP kembali bisa memenangkan pemilu (2014), adalah karena kata kuncinya; PDIP
menang Jokowi presiden!
Mau
tidak mau, waktu itu, rakyat harus mencoblos untuk memenangkan PDIP, agar
dengan demikian Jokowi bisa dicalonkan sebagai presiden. Tentu saja
pertanyaannya kemudian, siapakah Jokowi? Dalam berbagai polling, tentang
kandidat presiden, nama Jokowi berkibar, bahwa mengalahkan Megawati dan
Prabowo. Jokowi adalah sebuah pesona baru. Ia adalah representasi wajah rakyat,
yang selama ini tak bisa ditunjukkan oleh partai politik. Hanya dalam dua tahun
sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi meloncat naik menjadi Presiden Republik Indonesia.
Jokowi sebagai Representasi. Rakyat tidak bodoh
membaca tanda. Seiring dengan maraknya medsos, di mana jaringan komunikasi dan
informasi publik terbuka begitu rupa. Sosok Jokowi dari sejak Walikota Solo
(2005), sudah menjadi daya tarik publik, yang merindukan pemimpin a-politis,
pemimpin yang mempunyai wajah dan watak berbeda, yakni sebagai pelayan publik
(public servant) yang bekerja dan hanya bekerja.
Track
record Jokowi, terbuktikan ketika “tarikan pusat” menghendakinya, yakni ketika partai-partai
politik di tengah kegagalannya melakukan kaderisasi, menangkap sosok-sosok
pribadi yang menjadi magnet mimpi-mimpi rakyat. Meski sama sekali hijau dalam
dunia politik, tidak dikenal di pasar politik Jakarta, apalagi nasional,
senyatanya Jokowi mampu mengalahkan Fauzie Bowo, sang pertahana dalam Pilkada
DKI Jakarta (2012).
Apa
yang terjadi kemudian hanyalah hukum alam. Nama Jokowi melambung ke level
nasional bukan karena kekuatan politiknya, namun lebih pada sosoknya, individualitasnya,
karakternya. Nilai-nilai personalitasnya yang menjadi jauh lebih penting,
daripada abstraksi nilai-nilai luhur, yang sering digembar-gemboirkan partai
politik, namun kosong dalam implementasi dan keteladanan.
Itulah
yang tercermin dalam Pilpres 2014. Jokowi dibaca oleh rakyat karena kinerja
(dengan melihat track-record sebagai Walikota Solo dan Gubernur Jakarta). Jokowi
sebagai representasi, itulah yang mengalahkan apapun. Sementara Prabowo,
sekalipun “tokoh nasional”, reputasinya menimbulkan pro-kontra, disamping track-recordnya
sama sekali belum terukur, kecuali dalam puja-puji kampanye, yang semua orang
bisa saja membuat sejarah dengan berbusa-busa. Tetapi rakyat, sebagian besar,
tidak bodoh membaca Prabowo, meski kaum elite dan menengah atas
berbondong-bondong mendukung dalam semangat anomali.
Hal-hal
itulah, kemampuan pembacaan oleh rakyat, yang luput dilihat, atau bahkan mungkin
tak dimengerti kaum elite dan apalagi para oligarkis. Persoalannya bukan hanya
sekedar Jokowi sebagai anak bajang, atau anak gelap dalam sejarah politik
Indonesia. Namun semua itu terjadi, ketika dunia politik Indonesia terlalu lama
asyik-masyuk dengan kepentingannya sendiri yang korup.
Partai
politik bukan sebagai lembaga perjuangan, yang mewakili atau mengakomodasi
kepentingan-kepentingan rakyat. Paska Reformasi 1998, ketika tumbuh begitu
banyak partai-partai politik, yang terjadi hanyalah partai-partaian, lembaga
politik abal-abal yang hanya mengatasnamakan rakyat, namun sama sekali sejurus
dengan itu menunggangi rakyat. Rakyat benar-benar hanya sebagai alamat palsu dan
atas nama. Tujuan sebenarnya tetap hanyalah untuk kepentingan orang-orang partai
itu sendiri.
Bukti
yang paling mudah atas hal itu, maraknya partai (setelah lepas dari belenggu
otoritarianisme Soeharto) adalah maraknya angka korupsi di Indonesia. Korupsi
melebar bukan hanya di kalangan eksekutif, melainkan pada kalangan legislatif.
Senyampang itu pula, tentunya di kalangan judikatif, sebagai lingkaran dari
konstruksi korupsi yang selalu cenderung terjadi secara massif dan sistemik.
Partai
politik abai dengan tugas utamanya, menyiapkan rekrutmen masyarakat sipil,
dalam rangka menyediakan pemimpin-pemimpin rakyat, untuk membawa bangsa dan
negara ke arah keadilan dan kesejahteraan, yang makmur dan merata. Hal itu sama
sekali tak terlihat atau diabaikan.
Maka
ketika publik, di dorong oleh media, melihat sosok Jokowi, dari sejak sebagai
walikota Solo, dia menjadi daya tarik luar biasa. Dan demikianlah sejarah
menjadikannya.
Kepemimpinan Masyarakat Sipil. Tren kepemimpinan sipil,
pada akhirnya, kembali ke hukum alamnya, ialah kepercayaan rakyat. Ukurannya
sangat sederhana, lebih melihat track record atau kinerja. Dan sebagai pekerja
profesional, Jokowi mampu menjadi manager dalam mengadministrasi kepentingan-kepentingan
masyarakat. Di situ kuncinya.
Kita
kemudian melihat Jokowi Effects, yang dimulai pada tahun 2005, merambah ke
beberapa daerah, seperti Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng, 2008), Suyoto
(Bupati Bojonegoro, 2008), Deddi Mulyadi (Bupati Purwakarta, 2008), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya, 2010),
Yoyok Riyo Sudibyo (Bupati Batang, 2012) Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi,
2012), Ridwan kamil (Walikota Bandung, 2013), dan Ahok atau Basuki Tjahaja
Purnama yang fenomenal, meski kalah dalam Pilkada Jakarta 2017. Pasangan Jokowi
sebagai wakil gubernur Jakarta (2012) itu, bahkan sangat kontroversial, sampai harus dikalahkan dengan politik identitas, yang penuh isu SARA dan ujaran
kebencian.
Mereka
semuanya bukanlah berangkat dari partai politik, tetapi tokoh yang didukung dan
didorong oleh masyarakatnya. Partai politik kemudian melihat hal itu sebagai
keniscayaan, dan mau tak mau mengakomodasi atau bahkan memanfaatkan.
Satu-satunya yang terjun ke partai politik, adalah Ahok (yang semula adalah
pengusaha). Walaupun pada akhirnya, setelah menjabat Gubernur menggantikan
Jokowi, Ahok menyatakan keluar dari partai politik.
Nama-nama
yang disebut di atas, adalah warna baru model kepemimpinan masyarakat sipil di
Indonesia. Mereka datang dari rakyat, dan tidak tersandung kasus korupsi.
Bandingkan beberapa bupati dan gubernur dari parpol, kebanyakan justeru
terjebak dalam korupsi.
Longsornya
kekuasaan Soeharto, adalah juga konsekuensi demiliterisasi, yang menjadi amanat
Reformasi 1998. Kepemimpinan masyarakat sipil ini muncul, memberikan janji perubahan
jauh lebih berarti. Pada akhirnya, masyarakat yang tampaknya a-politis,
menemukan jalan untuk mendapatkan pemimpinnya. Ialah pemimpin yang lebih
bertaniah pada kinerja, dan mengabdi pada kepentingan masyarakat. Bukan lagi model
kepemimpinan korup sebelumnya, yang
bukan saja elitis, tetapi mengabdi pada kekuasaan semata.
Perubahan
adalah kata yang sering didengungkan partai politik, namun sama sekali tak
tercermin atau terimplementasi dalam gerak-gerik orang-orang partai. Mereka
justeru tak menginginkan perubahan itu. Mengangkangi kekuasaan yang bersifat
elitis, sebagaimana para pendahulu mereka pada jaman Orde Baru.
Partai
politik menjadi begitu lamban, karena tertimbun kepentingan-kepentingan
ekslusifnya. Tidak mempunyai garis ideologi dan platform yang jelas. Mereka
kemudian hanya berperan sebagai “alat legitimasi” atau kendaraan. Dengan
melihat apa yang dikehendaki rakyat, partai kemudian mendekat sebagai media
tumpangan. Orang-orang partai lebih banyak sebagai agen dealership,
daripada agen leadership masyarakat warga.
Dengan
latar belakang yang relatif “bersih”, tidak terikat dan terjebak masa lalu,
generasi kepemimpinan Jokowi menjadi lebih leluasa bergerak. Tentu saja
ganjalannya adalah mereka-mereka ini berada dalam situasi pancaroba, situasi
transisi. Sementara angin perubahan bukanlah situasi yang nyaman bagi mereka,
yang selama bertahun-tahun berada dalam comfortable zone.
Belum
lama lalu, Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan bertajuk Government
at a Glance 2017 (dipublikasikan pada 13 Juli 2017), menunjukkan pemerintahan Indonesia
tertinggi dalam tingkat kepercayaan masyarakatnya. Laporan tersebut merangkum
berbagai indikator pencapaian pemerintah di sektor publik, dari anggota OECD di
beberapa negara termasuk Indonesia. OECD menggunakan hasil survei yang
dilakukan Gallup World Poll (GWP), lembaga survei internasional berbasis di
Amerika Serikat (satu-satunya lembaga polling yang mengumpulkan data mengenai
tingkat kepercayaan kepada pemerintah).
Indonesia, Swiss, India, Luxemburg,
Norwegia dan Kanada, dalam data Gallup itu, menduduki peringkat atas. Tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia (tahun 2016) sebesar 80
persen, meningkat dibanding tahun 2007 yang hanya 28 persen. Indonesia berada
di tempat tertinggi, jauh lebih tinggi dibanding negara-negara maju anggota
OECD, seperti Amerika Serikat (30 persen), Inggris (31 persen), Jerman (55
persen), Prancis (28 persen). Dan masih lebih tinggi disbanding beberapa negara
berkembang non-OECD, seperti India (73 persen), Brazil (26 persen), Afrika
Selatan (48 persen).
Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah
itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, dipengaruhi oleh pengukuran tentang; apakah
masyarakat menganggap pemerintah dapat diandalkan, cepat tanggap dan adil,
serta mampu melindungi masyarakat dari risiko-risiko, dan kemampuannya dalam
memberikan pelayanan publik secara efektif.
Perubahan
yang Mendasar. Tidak mudah melalui
perubahan ini. Karena perubahan sebuah bangsa, juga negara, tak bisa bertumpu
pada seorang presiden semata. Di jajaran bawahnya, kalangan birokrasi pemerintahan,
betapa pun juga tidak mudah menerima angin perubahan. Demikian pula jajaran
legislatif dan judikatif, yang masih didominasi wajah dan karakter lama. Perubahan
akan sangat lamban rasanya, jika tak boleh dibilang terlalu utopis.
Belum
lagi di kalangan pendidikan, kita juga belum melihat gairah perubahan yang
signifikan, dengan melihat involusi di kalangan masyarakat luas. Apalagi
ditambah munculnya politik identitas, setelah kita kehilangan arah paska
Reformasi 1998. Dasar ideologi kebangsaan kita, mengalami satu kekosongan panjang.
Masyarakat terlanjur dalam keyakinan; bahwa politik adalah sesuatu yang kotor
dan tak berguna. Atas dasar itulah, kaum oportunis memanfaatkan politik
praktis, dengan menunggangi sikap acuh tak acuh masyarakat. Padahal, dalam
sisi itu, orang baik dan orang pintar, membiarkan orang jahat menguasai negara,
dengan cara mereka enggan terlibat.
Kita
belum melihat perubahan mendasar pada partai politik. Lihat perdebatan
mereka dalam membahas UU Pemilu (2017). Sebanyak 40 persen anggota parlemen
walk out karena menolak voting, untuk sebuah undang-undang yang menentukan
hajat kepolitikan di Indonesia. Namun senyampang itu, beberapa yang
mengaku kaum pintar dan ahli tata-negara, akan menggugat UU itu karena dianggap
tidak konstitusional. Bagaimana mungkin produk parlemen dan Pemerintah dibilang
tidak konstitusional? Maka kemudian bisa terjadi, nasib sebuah UU akan
ditentukan oleh 9 hakim di Mahkamah Konstitusi. Mana lebih tepat, ini demokrasi
liberal, demokrasi elitis, atau tirani minoritas?
Di
situ, lagi-lagi, politik (praktis) memang menyebalkan, karena hanya berurusan
dengan kekuasaan. Tidak pernah langsung ke politik mensejahterakan warga. Mereka
mengedepankan politik kekuasaan lebih sebagai dalih. Sebagai alasan untuk
mensejahterakan warga. Tapi tidak pernah langsung mensejahterakan warga
dalam praktiknya. Berbelok dulu, berputar-putar dalam arus politik kekuasaan,
hingga mereka lupa akan alasan yang dikemukakan sebelumnya.
Jika
kita melihat politik ‘presidential threshold’ Jokowi, yang ‘ngotot’ 20-25 persen, kita
bisa melihat arah yang diinginkannya. Bagaimana terjadi konsolidasi partai politik
dan pada akhirnya, penyerdehanaan sistem kepartaian. Munculnya satu mekanisme
kandidasi presiden, akan lebih terukur daripada mengikuti ritme demokrasi
liberal, yang membolehkan siapa saja melakukan apa saja.
Jokowi,
bagaimana pun adalah presiden, dan ‘lebih apalagi’ lagi, dia adalah pembelajar
yang baik. Tidak mungkin Jokowi nir-politik. Tetapi mantra politiknya bukan
pada kekuasaan, melainkan bekerja di dalam spirit pengabdian seorang pekerja.
Memang
tidak gagah, di dalam masyarakat yang masih mimpi tentang pemimpin yang perkasa.
Jangan lupa, dunia berubah, meski kebijaksanaan sejati itu abadi. Di dalam ke-kerempeng-annya,
dia lebih bisa diandalkan, karena apa yang disebut ‘trust’ itu. Sebagaimana
para konglomerat kaya sakerat-erat pun tak bisa membeli waktu, begitu juga
kepercayaan. Orang gagah perkasa pun tak akan bisa menarik-nariknya, dengan
seberapapun duit yang tanpa seri itu. Duit tanpa seri? Jangan-jangan duit
palsu!
Demokrasi
tanpa kendali, tanpa aturan, adalah juga demokrasi tanpa arah. Lagi-lagi kita
akan melihat, orang-orang seperti Prabowo, meski mengklaim punya banyak
pendukung fanatik, tak akan pernah memenangkan jamannya, sekiranya masih hanya
suka menarik-narik kepercayaan dengan gimmick. Kepercayaan selalu datang dengan
sendirinya, dengan tulus-ikhlas. Seperti tuyul, datang tak diundang, tapi pergi minta digendong.
Melangkah
ke masa depan, kini jauh lebih dipercaya, daripada kembali ke masa lalu kegelapan.
Sunardian
Wirodono, penulis, tinggal di Yogyakarta.