Jika saya bertanya apa ‘agamanya’
MUI (Majelis Ulama Indonesia), saya akan sampai pada keraguan, dan hanya bisa bertanya-tanya; Apa sesungguhnya MUI itu? Penjunjung Islam rahmatan lil
alamien, atau bukan rahmat untuk alam semesta? Kalau rahmat, kenapa tidak
rahmat?
Bahwa MUI adalah ormas, yang terikat aturan hukum di Indonesia, seperti halnya ormas GMNI, FKPPI, YLKI, YLBHI, dan berbagai ormas atau lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang ada. Secara hukum, tak ada bedanya. Hanya persoalannya, kita tahu bahwa ulama adalah cendekiawan, orang yang tahu agama (Islam), itu makna semantiknya. Tapi kalau sebagai status atau pencapaian keilmuan (dalam hal agama), siapa yang menahbiskan?
Islam tidak mengenal struktur. Tak ada yang bisa menjamin seseorang disebut tidak kafir, atau paling alim, dan mendapat jaminan sorga, kecuali amal dan perbuatannya sendiri. Dan siapa yang menilainya? Dalam berbagai rujukan Islam, hanya Allah ta’ala yang akan menilainya. Manusia satu dan lainnya tak punya otoritas, apalagi cuma MUI.
Mengapa Islam di Indonesia menjadi aneh? Karena peran MUI akhir-akhir ini? Indonesia sendiri juga aneh, jika mengklaim sebagai Negara yang punya tingkat toleransi dalam beragama, mengaku Islamnya lebih baik daripada di Arab sana. Padahal mana buktinya? Pemaksaan kehendak atas nama agama dibiarkan.
Sementara itu, jika kita mau piknik ke Palestina, di kota-kota seperti Bethlehem (tentu saja), juga di Nablus, Maghar, Beitsahour di tepi barat sungai Jordan, Nazareth dan Ramallah, suasana Natal begitu hingar bingar. Di Palestina yang dibela-bela orang Islam di Indonesia, adalah sebuah negeri yang plural, di mana orang Islam dan Kristen berbaur. Di sana banyak orang Arab Kristen.
Kota kelahiran Yesus bukan lagi menjadi wilayah Israel. Bethlehem disebut juga Kota Daud. Daud adalah Raja Israel yang diangkat sebagai raja di Hebron, ini pun sekarang menjadi wilayah Palestina. Bagaimana kita memahami ini?
Natal di Mesir, dan di beberapa Negara Timur Tengah di luar Arab Saudi, memperlihatkan toleransi umat Islam. Misal ulama-ulama al-Azhar dan para petingginya (yang juga suka pakai jubah itu), mereka datang ke katedral kaum Kristen Koptik. Mengucapkan selamat natal, kemudian salim dan pelukan. Apaklah ulama di MUI mau melakukan hal yang sama, kalau mereka toleran? Tidak. Mereka takut kehilangan umat! Karena kalau kehilangan umat, siapa yang bakal percaya fatwanya?
Apakah wajah Islam Indonesia memang tidak toleran? Menurut Ismail Fajrie Alatas, mahasiswa program doktoral antropologi dan sejarah di Universitas Michigan, AS., "Banyak ulama-ulama Arab Habaib ataupun non-Habaib, mereka berjubah, bersorban, dan berjenggot, tetapi tidak mendakwahkan kekerasan," papar Fajrie yang juga keturunan Arab, dan tengah menyelesaikan disertasinya tentang formasi sosial di kalangan Arab Alawiyin di Indonesia.
Namun demikian, Fajrie menyadari keterbatasan peran dan wewenang para ulama dalam menjalankan tuntutan peran itu. "Karena tidak ada struktur, tidak ada hirarki dalam kelompok keturunan Arab. Setiap ulama dapat membentuk jamaah masing-masing, yang kadang-kadang di antara mereka clash memperebutkan jamaah."
Bagaimana kita memahami pertanyaan Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D., Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, atas fatwa MUI yang mempersoalkan atribut-atribut Natal dalam ritual Natal di Indonesia, dan implisit mempermasalahan keyakinan agama lain?
Dalam surat terbukanya, saya petikkan butir (6). “Di dalam fatwa itu, pada bagian konsiderans (Mengingat dan Memperhatikan), berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad/Rasulullah SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir. Perkenankan saya bertanya: apa/siapa yang dimaksud oleh Komisi Fatwa MUI dengan kafir? Apakah semua orang non-muslim adalah kafir, termasuk umat Kristen? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang dikatakan bahwa kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”. Bila inilah pengertiannya maka lebih dari 5 milyar penduduk dunia adalah kafir.”, dan;
(7). Sepengetahuan saya (Jan S. Aritonang), Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang menyebut orang Kristen sebagai kafir.”
Saya menduga situasi buruk Indonesia terakhir ini, yang oleh para antropolog Indonesia disebut sebagai situasi darurat keindonesiaan, bermula dari kasus Ahok, yang memanfaatkan momen Pilkada DKI Jakarta. Di situ, banyak agenda dan kepentingan bermain, entah FPI, MUI, para peserta Pilkada, maupun para sponsor dan penumpang gelap. Pasar terbesarnya? Massa mengambang yang betul-betul terapung-apung. Dan kita tahu, benda yang terapung-apung di atas air adalah benda dengan kadar berat jenis ringan.
Kasus penghinaan yang menimpa Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wa sallam, dalam cerita Fathu Makkah, sebagai pemenang perang di hadapan taklukan, Kanjeng Nabi cuma ngendika; Idzhabû fa antum thulaqâ! Silakan kalian pergi, kalian bebas. Tapi MUI bukan penerus nabi, kalau pun mau dianggep, toh bukan satu-satunya. Di luar MUI banyak ulama dengan tafsir yang berbeda-beda. Ada Gus Mus, Gus Dur, Mbah Maimun, juga ulama (dalam arti cendekiawan) Buya Syafi’e, Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal, dan sebagainya?
Fatwa MUI bukan produk hukum positif di Indonesia, karena MUI memang bukan lembaga hukum (Negara). Fatwanya adalah himbauan yang bersifat khusus untuk umat Islam yang ada di Indonesia. Fatwa diminta tidak diminta akan dikeluarkan MUI apabila memang dianggap perlu demi kemasyahlatan umat Islam secara umum.
Fatwa konon diambil berdasarkan kajian yang diambil dari Alquran dan Hadist. Soal bertentangan dengan konstitusi (hukum Negara Indonesia)? Fatwa mestinya tidak pernah bertentangan dengan konstitusi, tetapi konstitusi yang terkadang bertentangan dengan keyakinan dan syariat Islam, membutuhkan ijtihad yang bijaksana. Karena Indonesia bukan Negara dengan syariah Islam. Maka, sesungguhnya, di situlah peran MUI yang menjadi kekuatan penyeimbang dalam kehidupan bernegara. Bukannya mendesakkan kepentingannya sendiri, yang berimplikasi luas secara sosial dan politik.
Apa yang dilakukan MUI, terjebak dalam formalisme agama, dan bahkan, kita bisa menduga terjebak dalam ideologisasi agama di Indonesia. Akibat lebih jauh, MUI membiarkan dan memberikan karpet merah pada FPI, dengan menamakan diri sebagai GNPF-MUI, untuk melakukan berbagai sweeping Natal di beberapa kota di Indonesia. Dan itu yang terjadi sekarang.
Di mana Polisi? Polisi tidak memiliki pegangan yang tegas. Ambivalen. Apalagi kalau Kapolrinya, Kapoldanya, Kapoltabesnya, Kapolresnya, Kapolseknya, turut serta bermain dalam massa mengambang itu, dan tidak loyal terhadap hukum Negara.
Persoalan di Indonesia sesungguhnya lebih pada soal bagaimana selama ini hukum Negara (apapun) tidak ditegakkan. Entah karena aparatur hukumnya yang tidak patuh, tidak berani, atau korup. Buat apa mereka korup? Buat main-main dapat duitkah? Karena korupsi kekuasaan, juga merupakan modus bagi beberapa oknum, apapun lembaganya, yang toleran terhadap intoleransi.
Presiden, sesungguhnya, bisa ditanya dari sini, bagaimana Negara juga mesti melindungi hak azasi warganya dari tekanan-tekanan yang mengingkari falsafah dasar Negara, Pancasila, dan pandangan hidupnya yang mengampu kebhinekaan warganya.
Bahwa MUI adalah ormas, yang terikat aturan hukum di Indonesia, seperti halnya ormas GMNI, FKPPI, YLKI, YLBHI, dan berbagai ormas atau lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang ada. Secara hukum, tak ada bedanya. Hanya persoalannya, kita tahu bahwa ulama adalah cendekiawan, orang yang tahu agama (Islam), itu makna semantiknya. Tapi kalau sebagai status atau pencapaian keilmuan (dalam hal agama), siapa yang menahbiskan?
Islam tidak mengenal struktur. Tak ada yang bisa menjamin seseorang disebut tidak kafir, atau paling alim, dan mendapat jaminan sorga, kecuali amal dan perbuatannya sendiri. Dan siapa yang menilainya? Dalam berbagai rujukan Islam, hanya Allah ta’ala yang akan menilainya. Manusia satu dan lainnya tak punya otoritas, apalagi cuma MUI.
Mengapa Islam di Indonesia menjadi aneh? Karena peran MUI akhir-akhir ini? Indonesia sendiri juga aneh, jika mengklaim sebagai Negara yang punya tingkat toleransi dalam beragama, mengaku Islamnya lebih baik daripada di Arab sana. Padahal mana buktinya? Pemaksaan kehendak atas nama agama dibiarkan.
Sementara itu, jika kita mau piknik ke Palestina, di kota-kota seperti Bethlehem (tentu saja), juga di Nablus, Maghar, Beitsahour di tepi barat sungai Jordan, Nazareth dan Ramallah, suasana Natal begitu hingar bingar. Di Palestina yang dibela-bela orang Islam di Indonesia, adalah sebuah negeri yang plural, di mana orang Islam dan Kristen berbaur. Di sana banyak orang Arab Kristen.
Kota kelahiran Yesus bukan lagi menjadi wilayah Israel. Bethlehem disebut juga Kota Daud. Daud adalah Raja Israel yang diangkat sebagai raja di Hebron, ini pun sekarang menjadi wilayah Palestina. Bagaimana kita memahami ini?
Natal di Mesir, dan di beberapa Negara Timur Tengah di luar Arab Saudi, memperlihatkan toleransi umat Islam. Misal ulama-ulama al-Azhar dan para petingginya (yang juga suka pakai jubah itu), mereka datang ke katedral kaum Kristen Koptik. Mengucapkan selamat natal, kemudian salim dan pelukan. Apaklah ulama di MUI mau melakukan hal yang sama, kalau mereka toleran? Tidak. Mereka takut kehilangan umat! Karena kalau kehilangan umat, siapa yang bakal percaya fatwanya?
Apakah wajah Islam Indonesia memang tidak toleran? Menurut Ismail Fajrie Alatas, mahasiswa program doktoral antropologi dan sejarah di Universitas Michigan, AS., "Banyak ulama-ulama Arab Habaib ataupun non-Habaib, mereka berjubah, bersorban, dan berjenggot, tetapi tidak mendakwahkan kekerasan," papar Fajrie yang juga keturunan Arab, dan tengah menyelesaikan disertasinya tentang formasi sosial di kalangan Arab Alawiyin di Indonesia.
Namun demikian, Fajrie menyadari keterbatasan peran dan wewenang para ulama dalam menjalankan tuntutan peran itu. "Karena tidak ada struktur, tidak ada hirarki dalam kelompok keturunan Arab. Setiap ulama dapat membentuk jamaah masing-masing, yang kadang-kadang di antara mereka clash memperebutkan jamaah."
Bagaimana kita memahami pertanyaan Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D., Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, atas fatwa MUI yang mempersoalkan atribut-atribut Natal dalam ritual Natal di Indonesia, dan implisit mempermasalahan keyakinan agama lain?
Dalam surat terbukanya, saya petikkan butir (6). “Di dalam fatwa itu, pada bagian konsiderans (Mengingat dan Memperhatikan), berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad/Rasulullah SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir. Perkenankan saya bertanya: apa/siapa yang dimaksud oleh Komisi Fatwa MUI dengan kafir? Apakah semua orang non-muslim adalah kafir, termasuk umat Kristen? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang dikatakan bahwa kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”. Bila inilah pengertiannya maka lebih dari 5 milyar penduduk dunia adalah kafir.”, dan;
(7). Sepengetahuan saya (Jan S. Aritonang), Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang menyebut orang Kristen sebagai kafir.”
Saya menduga situasi buruk Indonesia terakhir ini, yang oleh para antropolog Indonesia disebut sebagai situasi darurat keindonesiaan, bermula dari kasus Ahok, yang memanfaatkan momen Pilkada DKI Jakarta. Di situ, banyak agenda dan kepentingan bermain, entah FPI, MUI, para peserta Pilkada, maupun para sponsor dan penumpang gelap. Pasar terbesarnya? Massa mengambang yang betul-betul terapung-apung. Dan kita tahu, benda yang terapung-apung di atas air adalah benda dengan kadar berat jenis ringan.
Kasus penghinaan yang menimpa Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wa sallam, dalam cerita Fathu Makkah, sebagai pemenang perang di hadapan taklukan, Kanjeng Nabi cuma ngendika; Idzhabû fa antum thulaqâ! Silakan kalian pergi, kalian bebas. Tapi MUI bukan penerus nabi, kalau pun mau dianggep, toh bukan satu-satunya. Di luar MUI banyak ulama dengan tafsir yang berbeda-beda. Ada Gus Mus, Gus Dur, Mbah Maimun, juga ulama (dalam arti cendekiawan) Buya Syafi’e, Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal, dan sebagainya?
Fatwa MUI bukan produk hukum positif di Indonesia, karena MUI memang bukan lembaga hukum (Negara). Fatwanya adalah himbauan yang bersifat khusus untuk umat Islam yang ada di Indonesia. Fatwa diminta tidak diminta akan dikeluarkan MUI apabila memang dianggap perlu demi kemasyahlatan umat Islam secara umum.
Fatwa konon diambil berdasarkan kajian yang diambil dari Alquran dan Hadist. Soal bertentangan dengan konstitusi (hukum Negara Indonesia)? Fatwa mestinya tidak pernah bertentangan dengan konstitusi, tetapi konstitusi yang terkadang bertentangan dengan keyakinan dan syariat Islam, membutuhkan ijtihad yang bijaksana. Karena Indonesia bukan Negara dengan syariah Islam. Maka, sesungguhnya, di situlah peran MUI yang menjadi kekuatan penyeimbang dalam kehidupan bernegara. Bukannya mendesakkan kepentingannya sendiri, yang berimplikasi luas secara sosial dan politik.
Apa yang dilakukan MUI, terjebak dalam formalisme agama, dan bahkan, kita bisa menduga terjebak dalam ideologisasi agama di Indonesia. Akibat lebih jauh, MUI membiarkan dan memberikan karpet merah pada FPI, dengan menamakan diri sebagai GNPF-MUI, untuk melakukan berbagai sweeping Natal di beberapa kota di Indonesia. Dan itu yang terjadi sekarang.
Di mana Polisi? Polisi tidak memiliki pegangan yang tegas. Ambivalen. Apalagi kalau Kapolrinya, Kapoldanya, Kapoltabesnya, Kapolresnya, Kapolseknya, turut serta bermain dalam massa mengambang itu, dan tidak loyal terhadap hukum Negara.
Persoalan di Indonesia sesungguhnya lebih pada soal bagaimana selama ini hukum Negara (apapun) tidak ditegakkan. Entah karena aparatur hukumnya yang tidak patuh, tidak berani, atau korup. Buat apa mereka korup? Buat main-main dapat duitkah? Karena korupsi kekuasaan, juga merupakan modus bagi beberapa oknum, apapun lembaganya, yang toleran terhadap intoleransi.
Presiden, sesungguhnya, bisa ditanya dari sini, bagaimana Negara juga mesti melindungi hak azasi warganya dari tekanan-tekanan yang mengingkari falsafah dasar Negara, Pancasila, dan pandangan hidupnya yang mengampu kebhinekaan warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar