Sabtu, Februari 27, 2016

LGBT dan Politik Identitas

Elgebete, sengaja saya tulis demikian, karena admin fesbuk suka sensi dan diskriminatif mengenai komentar orang berkait isyu itu. Dan sensitivitasnya dialihkan ke program computer, untuk memblokir atau menutup akun fesbuk. Demokrasi macam apa ini, Mark?
Maraknya isyu itu akhir-akhir ini, tidak mengherankan, meski menyedihkan. Karena masalah itu, di Nusantara Raya, sudah lama ada. Dari sejak nenek moyang, bahkan kemudian di beberapa pesantren, atau juga di sekolah-sekolah modern dengan murid sejenis kelaminnya. Juga di Arab Saudi, Hong Kong, dan sebagainya.
Siapa bilang elgebete tidak menular? Kalau ada yang berkata tidak, artinya ada elgebete kw, alias abal-abal? Meski tak bisa menyamaratakan seperti Parto Patrio, yang karena pergaulan semula tidak latah kemudian menjadi latah. Tetapi di Yogya, ada beberapa relawan elgebete yang agresif, mengetuk pintu-pintu mobil (di parkiran tempat menunggu anak pulang sekolah misalnya), minta ijin untuk memberi pemahaman mengenai elgebete. Apa-apaan ini? Sosialisasi apaan?
Saya berteman dengan berbagai lingkungan dan latar belakang. Beberapa di antaranya elgebete. Mereka orang-orang baik, pintar, punya prestasi dan reputasi, terhormat dan berguna untuk lingkungannya, dengan profesi atau keahliannya. Dan saya tidak tertular. Emang penyakit menular?
Tidak masalah dengan mereka, karena saya melihat manusia dari pikiran dan tindakannya. Mengenai pilihan status, adalah urusan privacy masing-masing, sebagaimana kenyataan hidup begitu rupa. Lagi pula, berapa jumlah elgebete ini? Tak ada yang bisa menjawabnya. Ada yang bilang marak dan jadi trend, tetapi semua asumsi, kadang lahir karena paranoid. Baik yang pro dan kontra sama-sama tak punya data. Perdebatan macam apa yang bisa kita bangun dari sini? Yang satu bicara sebab, lainnya bicara akibat. Tak pernah nyambung.
Persoalannya, tak sedikit yang memandang masalah ini begitu berlebihan, baik yang pro maupun kontra. Dan kedua belah pihak, cenderung pada akhirnya memperkeruh dengan ideologisasi dan politik identitas. Sama seperti agama yang diideologisasi, akhirnya menjadi gerakan over-dosis. Apalagi di jaman medsos, ketika masing-masing merasa punya panggung dan medianya.
Saya sedih ketika mendengar pesantren waria di Yogyakarta dibubarkan paksa. Bagi yang menuding itu penyakit masyarakat, mengapa jalan keluarnya menutup akses mereka, bahkan untuk kembali ke jalan yang benar, jika agama adalah jalan yang benar? Di mana peran agama di situ?
Kalau semua orang yang berbeda dengan kita langsung (dan halal) untuk kita bunuhi, singkirkan, tiadakan, lantas juara? Bukan hanya MUI, tetapi juga FUI dan KPI, bisa menjadi pembunuh berdarah dingin. Memuliakan dunia dengan apa yang tidak kita kuasai, dengan claiming kemutlakan masing-masing? Hormat saya pada kaum elgebete, makhluk ciptaan Tuhan, yang baik dan benar. Tapi tidak bagi mereka, pro maupun kontra, yang membujuk untuk menjadi bagian dari kaumnya, dengan tipu-daya gula-gula, paksaan, apalagi kekerasan.

1 komentar:

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...