Buat nomor Maulud ini (waktu itu, 1940) Redaksi “Pandji Islam” minta
kepada saya supaya saya menulis satu artikel tentang: “Nabi Muhammad sebagai Pembangun Masyarakat!”
Permintaan redaksi itu saya penuhi dengan segala
kesenangan hati. Tetapi dengan sengaja saya memakai titel yang lain daripada
yang dimintanya itu, yakni untuk memusatkan perhatian pembaca kepada pokoknya
saya punya uraian nanti.
Nabi Muhammad memang salah seorang pembangun masyarakat yang
maha-maha-haibat. Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masyarakat abad
ketujuh Masehi itu tidak sama dengan masyarakat abad keduapuluh yang sekarang
ini. Hukum-hukum diadakan oleh Nabi Muhammad untuk membangunkan dan
memeliharakan masyarakat itu, tertulislah di dalam Qur’an dan Sunah (Hadits).
Hadits hurufnya Qur’an dan Hadits itu tidak berobah, sebagai juga tiap-tiap
huruf yang sudah tertulis satu kali: buat hurufnya Qur’an dan Sunah malahan
“teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas”. Tetapi
masyarakat selalu berobah, masyarakat selalu ber-evolusi. Sayang sekali ini
tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, –sebab umpamanya tiap-tiap
hidung mengetahui, maka niscaya tidaklah selalu ada konflik antara masyarakat itu
dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan
Qur’an dan Sunah itu, dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor
ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap!
Nabi Muhammad punya pekerjaan yang maha-maha-haibat itu
bolehlah kita bahagikan menjadi dua bahagian: bahagian sebelum hijrah, dan
bahagian sesudah hijrah. Bahagian yang sebelum hijrah itu adalah terutama
sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahannya masyarakat Islam kelak,
material buat masyarakat Islam kelak: yakni orang-orang yang percaya kepada
Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya,
yang mulia perangainya. Hampir semua ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan di Mekkah
itu adalah mengandung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid, percaya
kepada Allah yang Esa dan Maha-Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan,
keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada si
miskin, berani kepada kebenaran, takut kepada azabnya neraka, lazatnya ganjaran
syurga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat menjadi kehidupan manusia
umurnnya, dan pandemen rohaninya perjoangan serta masyarakat di Madinah kelak.
Sembilanpuluh dua daripada seratus empatbelas surat, –hampir dua pertiga
Qur’an– adalah berisi ayat-ayat Mekkah itu. Orang-orang yang dididik oleh
Muhammad dengan ayat-ayat serta dengan sunah dan teladannya pula, menjadilah
orang-orang yang tahan-uji, yang gilang-gemilang imannya serta akhlaknya, yang
seakan-akan mutiara dikala damai, tetapi seakan-akan dinamit di masa berjoang.
Orang-orang inilah yang menjadi material-pokok bagi Muhammad untuk menyusun Ia
punya masyarakat kelak dan Ia punya perjoangan kelak.
Maka datanglah kemudian periode Madinah. Datanglah
kemudian periodenya perjoangan-perjoangan dengan kaum Yahudi, perjoangan dengan
kaum Mekkah. Datanglah saatnya Ia menggerakkan material itu, –ditambah dengan
material baru, antaranya kaum Ansar mendinamiskan material itu ke alam
perjoangan dan kemasyarakatan yang teratur. Bahan-bahan rohani yang Ia
timbun-timbunkan di dalam dadanya kaum Muhajirin, kaum Ansar serta kaum-Islam
baru itu, dengan satu kali perintah sahaja yang keluar dari mulutnya yang Mulia
itu, menjadilah menyala-nyala berkobar-kobar menyinari seluruh dunia Arab.
“Pasir di padang-padang-pasir Arabia yang terik dan
luas itu, yang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu
sekonyong-konyong menjadilah ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan
ledakannya menyinari seluruh dunia”, –begitulah kira-kira perkataan
pujangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia membicarakan Muhammad.
Ya, pasir yang mati menjadi mesiu yang hidup, mesiu yang
dapat meledak. Tetapi mesiu ini bukanlah mesiu untuk membinasakan dan
menghancurkan sahaja, tidak untuk meleburkan sahaja perlawanannya orang yang
kendati diperingatkan berulang-ulang, sengaja masih pendurhaka kepada Allah
dan mau membinasakan agama Allah. Mesiu ini jugalah mesiu yang boleh dipakai
untuk mengadakan, mesiu yang boleh dipakai untuk scheppend-werk, sebagai
dinamit di zaman sekarang bukan sahaja boleh dipakai untuk musuh, tetapi juga
untuk membuat jalan biasa, jalan kereta-api, jalan irigasi,- jalannya
keselamatan dan kemakmuran. Mesiu ini bukanlah sahaja mesiu perang tetapi juga
mesiu kesejahteraan.
Di Madinah itulah Muhammad mulai menyusun Ia punya
masyarakat dengan tuntunan Ilahi yang selalu menuntun kepadanya. Di Madinah
itulah turunnya kebanyakannya “ayat-ayat masyarakat” yang mengisi sepertiga
lagi dari kitab Qur’an. Di Madinah itu banyak sekali dari Ia punya sunah
bersifat “sunah-kemasyarakatan”, yang mengasih petunjuk tentang urusan
menyusun dan membangkitkan masyarakat. Di Madinah itu Muhammad menyusun satu
kekuasaan “negara”, yang membuat orang jahat menjadi takut menyerang
kepadaNya, dan membuat orang baik menjadi gemar bersatu kepadaNya. Ayat-ayat
tentang zakat, sebagai semacam pajak untuk membelanjai negara, ayat-ayat
merobah qiblah dari Baitulmuqaddis ke Mekkah, ayat-ayat tentang hukum-hukumnya
perang, ayat-ayat tentang pendirian manusia terhadap kepada manusia yang
lain, ayat-ayat yang demikian itulah umumnya sifat ayat-ayat Madinah itu.
Di Mekkah turunlah terutama sekali ayat-ayat iman, di
Madinah ayat-ayat mengamalkan itu iman. Di Mekkah diatur perhubungan manusia
dengan Allah, di Madinah perhubungan manusia dengan manusia sesamanya. Di
Mekkah dijanjikan kemenangan orang yang beriman, di Madinah dibuktikan
kemenangan orang yang beriman. Tetapi tidak periode dua ini terpisah sama
sekali sifatnya satu dengan lain, tidak dua periode ini sama sekali tiada
“penyerupaan” satu kepada yang lain. Di Mekkah adalah turun pula ayat-ayat
iman. Tetapi bolehlah kita sebagai garis-umum mengatakan: Mekkah adalah
persediaan masyarakat, Madinah adalah pelaksanaan masyarakat itu.
Itu semua terjadi di dalam kabutnya zaman yang purbakala.
Hampir empatbelas kali seratus tahun memisahkan zaman itu dengan zaman kita
sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad di Madinah
itu sudahlah dihimpunkan oleh Sayidina Usman bersama-sama ayat-ayat
yang lain menjadi kitab yang tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas,
sehingga sampai sekarang masihlah kita kenali dia presis sebagai
keadaannya yang asli. Syari’at yang termaktub di dalam ayat-ayat serta
sunah-sunah Nabi itu, syari’at itu diterimakanlah oleh angkatan-angkatan
dahulu kepada angkatan-angkatan sekarang, turun-temurun, bapak kepada anak,
anak kepada anaknya lagi. Syari’at ini menjadilah satu kumpulan hukum, yang
tidak sahaja mengatur masyarakat padang pasir di kota Jatrib empatbelas abad
yang lalu, tetapi menjadilah satu kumpulan hukum yang musti mengatur kita punya
masyarakat di zaman sekarang.
Maka konflik datanglah! Konflik antara masyarakat itu
sendiri dengan pengertian manusia tentang syari’at itu. Konflik antara masyarakat
yang selalu berganti corak, dengan pengertian manusia yang beku. Semakin
masyarakat itu berobah, semakin besarlah konfliknya itu. Belum pernah
masyarakat begitu cepat robahnya sebagai di akhir abad yang kesembilanbelas di
permulaan abad yang keduapuluh ini. Sejak orang mendapatkan mesin-uap di abad
yang lalu, maka roman-muka dunia berobahlah dengan kecepatan kilat dari hari
ke hari. Mesin-uap diikuti oleh mesin-minyak, oleh electriciteit, oleh
kapal-udara, oleh radio, oleh kapalkapal-selam, oleh tilpun dan telegraf, oleh
televisi, oleh mobil dan mesin-tulis, oleh gas racun dan sinar yang dapat
membakar. Di dalam limapuluh tahun sahaja roman-muka dunia, lebih berobah
daripada di dalam limaratus tahun yang terdahulu. Di dalam limapuluh tahun
inipun sejarah-dunia seakan-akan melompati jarak yang biasanya dilalui sejarah
itu di dalam limaratus tahun. Masyarakat seakan-akan bersayap kilat. Tetapi
pengertian tentang syari’at seakan-akan tidak bersayap, seakan-akan tidak
berkaki, –seakan-akan tinggal beku, kalau umpamanya tidak selalu dihantam
bangun oleh kekuatan-kekuatan-muda yang selalu mengentrok-entrokkan dia,
mengajak dia kepada “rethinking of Islam” di waktu yang akhir-akhir ini.
Belum pernah dia ada konflik yang begitu besar antara masyarakat dan pengertian
syari’at, seperti di zaman yang akhir-akhir ini. Belum pernah Islam menghadapi
krisis begitu haibat, sebagai di zaman yang akhir-akhir ini. “Islam pada
saat ini,” –begitulah Prof. Tor Andrea menulis di dalam sebuah majalah-, “Islam
pada saat ini adalah sedang menjalani “ujian-apinya” sejarah. Kalau ia
menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia alah, ia
akan merosot ke tingkatan yang kedua buat selama-lamanya”.
Ya, dulu “zaman Madinah”, –kini zaman 1940. Di dalam
ciptaan kita nampaklah Nabi duduk dengan sahabat-sahabatnya di dalam rumahnya.
Hawa sedang panas terik, tidak ada kipas listrik yang dapat menyegarkan udara,
tidak ada es yang dapat menyejukkan kerongkongan, Nabi tidak duduk di tempat
penerimaan tamu yang biasa, tetapi bersandarlah Ia kepada sebatang puhun kurma
tidak jauh dari rumahnya itu.
Wajah mukanya yang berseri-seri itu nampak makin sedaplah
karena rambutnya yang berombak-ombak dan panjang, tersisir rapih ke belakang,
sampai setinggi pundaknya. Sorot matanya yang indah itu seakan-akan “mimpi”, –seperti memandang kesatu tempat yang jauh sekali dari alam yang fana ini,
melayang-layang di satu alam-gaib yang hanya dikenali Tuhan.
Maka datanglah orang-orang tamunya, orang-orang Madinah
atau luar Madinah, yang sudah masuk Islam atau yang mau masuk Islam. Mereka
semuanya sederhana, semuanya membawa sifatnya zaman yang kuno itu. Rambutnya
panjang-panjang, ada yang sudah sopan, ada yang belum sopan. Ada yang membawa
panah, ada yang mendukung anak, ada yang jalan kaki, ada yang naik onta, ada
yang setengah telanjang. Mereka datanglah minta keterangan dari hal pelbagai
masalah agama, atau minta petunjuk ditentang pelbagai masalah dunia
sehari-hari. Ada yang menanyakan urusan ontanya, ada yang menanyakan urusan pemburuan, ada yang mengadukan
hal pencurian kambing, ada yang minta obat, ada yang minta didamaikan
perselisihannya dengan isteri di rumah. Tetapi tidak seorangpun menanyakan
boleh tidaknya menonton bioskop, boleh tidaknya mendirikan bank, boleh tidaknya
nikah dengan perantaraan radio, tidak seorangpun membicarakan hal mobil atau
bensin atau obligasi bank atau telegraf atau kapal-udara atau gadis menjadi
dokter …
Nabi mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu
dengan tenang dan sabar, dan mengasihlah kepada masing-masing penanya jawabnya
dengan kata-kata yang menuju terus ke dalam rokh-semangatnya semua yang hadir. Di
sinilah syari’atul Islam tentang masyarakat lahir kedunia, di sinilah buaian
wet kemasyarakatan Islam yang nanti akan dibawa oleh zaman
turun-temurun, melintasi batasnya waktu dan batasnya negeri dan samudra.
Di sinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak
sebagai wetgever, dengan pimpinannya Tuhan, yang kadang-kadang langsung
mengasih pimpinannya itu dengan ilham dan wahyu. Wet ini harus cocok dan
mengasih kepuasan kepada masyarakat di waktu itu, dan cukup “karat”, –cukup
elastis, cukup supel, –agar dapat tetap dipakai sebagai wet buat zaman-zaman
di kelak kemudian hari. Sebab Nabi, di dalam maha-kebijaksanaannya itu
insyaflah, bahwa Ia sebenarnya tidak mengasih jawaban kepada si Umar atau si
Zainab yang duduk di hadapannya di bawah puhun kurma pada saat itu sahaja, –Ia
insyaf, bahwa Ia sebenarnya mengasih jawaban kepada Seluruh Peri-
kemanusiaan.
Dan seluruh peri kemanusiaan, bukan sahaja dari zamanNya
Nabi sendiri, tetapi juga seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad yang kemudian,
abad kesepuluh, abad keduapuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, kelimapuluh dan
abad-abad yang masih kemudian-kemudian: Lagi yang masyarakatnya sifatnya lain,
susunannya lain, kebutuhannya lain, hukum perkembangannya lain.
Maka di dalam maha-kebijaksanaan Nabi itu, pada saat Ia
mengasih jawaban kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir
seribu empat ratus tahun yang lalu itu, Ia adalah juga mengasih jawaban kepada
kita. Kita, yang hidup ditahun 1940! Kita, yang hajat kepada radio dan listrik,
kepada sistim politik yang modern dan hukum-hukum ekonomi yang modern, kepada
kapal-udara dan telegraf, kepada bioskop dan universitas! Kita, yang alat-alat
penyenangkan hidup kita berlipat-lipat ganda melebihi jumlah dan kwaliteitnya
alat-alat hidup si Umar dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, yang
masalah-masalah hidup kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih
berbelit-belit, daripada si Umar dan si Zainab itu. Kita yang segala-galanya
lain dari si Umar dan si Zainab itu.
Ya, juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala
ucapan-ucapan Muhammad tentang hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat
minimum, yakni tuntutan-tuntutan “paling sedikitnya”, dan bukan
tuntutan-tuntutan yang “musti presis begitu”, bukan tuntutan-tuntutan yang
mutlak. Maka oleh karena itulah Muhammad bersabda pula, bahwa tentang urusan
dunia “kamulah lebih mengetahui”. Halide Edib Hanum kira-kira limabelas
tahun yang lalu pernah menulis satu artikel di dalam surat-surat-bulanan “Asia”.
Yang antaranya ada berisi kalimat: “Di dalam urusan ibadat, maka
Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi di dalam urusan yang lain, di
dalam Ia punya sistim masyarakat, Ia, sebagai seorang wetgever
yang jauh penglihatan, adalah mengasih hukum-hukum yang sebenarnya
“liberal”. Yang membuat hukum–hukum masyarakat itu menjadi sempit dan menyekek
nafas ialah consensus ijma’ ulama.”
Renungkanlah perkataan Halide Edib Hanum ini. Hakekatnya
tidak berbedaan dengan perkataan Sajid Amir All tentang “kekaretan” wet-wet
Islam itu, tidak berbedaan dengan pendapatnya ahli-tarikh-ahli-tarikh yang
kesohor pula, bahwa yang membuat agama menjadi satu kekuasaan reaksioner yang
menghambat kemajuan masyarakat manusia itu, bukanlah pembikin agama itu,
bukanlah yang mendirikan agama itu, tetapi ialah ijma’nya ulama-ulama yang
terkurung di dalam tradisi-pikiran ijma’-ijma’ yang sediakala.
Maka jikalau kita, di dalam abad keduapuluh ini, tidak
bisa mengunyah dengan kita punya akal apa yang dikatakan kita punya oleh Nabi
kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus
tahun, -jikalau kita tidak bisa mencernakan dengan akal apa yang disabdakan
kepada si Umar dan si Zainab itu di atas basisnya perbandingan-perbandingan
abad keduapuluh dan kebutuhan-kebutuhan abad keduapuluh, –maka janganlah
kita ada harapan menguasai dunia, seperti yang telah difirmankan oleh Allah
Ta’ala sendiri di dalam surat-surat ayat 29. Janganlah kita ada pengiraan,
bahwa kita mewarisi pusaka Muhammad, sebab yang sebenarnya kita warisi
hanyalah pusaka ulama-ulama faqih yang sediakala sahaja. Di dalam penutup saya
punya artikel tentang “Memudakan Pengertian Islam” saya sudah
peringatkan pembaca, bahwa segala hal itu boleh asal tidak nyata dilarang.
Ambillah kesempatan tentang bolehnya segala hal ini yang
tak terlarang itu, agar supaya kita bisa secepat-cepatnja mengejar zaman yang
telah jauh meninggalkan kita itu. Dari tempat-tempat-interniran saya yang terdahulu,
dulu pernah saya serukan via tuan A. Hassan dari Persatuan Islam, di dalam
risalah kecil “Surat-surat Islam dari Endeh”:
“Kita tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang
yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati”, –tetapi hidup mengalir, berobah
senantiasa, maju, dinamis, ber-evolusi. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w.
sendiri telah menjadikan urusan dunia, menyerahkan kepada kita sendiri perihal
urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram
atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali
mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat – kafir;
radio dan kedokteran – kafir; sendok dan garpu dan kursi – kafir; tulisan Latin
– kafir; yang bergaulan dengan bangsa yang bukan bangsa Islam-pun – kafir!
Padahal apa,- apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang
berkobar-kobar, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan karma dan
jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan,
siapa yang matanya dicelak dan jubalmya panjang dan menggenggam tasbih yang
selalu berputar, –dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah, inikah
Islam? Inikah agama Allah? Ini?
Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan,
mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-uptodate-an?
Yang mau tinggal museum sahaja, tinggal kuno sahaja, tinggal terbelakang sahaja,
tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja, seperti di zaman Nabi-nabi.
Islam is progress, –Islam itu kemajuan, begitulah
telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan
karena fardhu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan
dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batasnya zaman.
Progress berarti barang baru, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang
yang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, ciptaan baru, creation baru,-bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama. Di dalam
politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy sahaja barang-barang yang lama,
tidak boleh mau mengulangi sahaja segala sistim-sistimnya zaman
“khalifah-khalifah yang ‘besar”. Kenapa orang-orang Islam di sini selamanya
menganjurkan political system “seperti di zamannya khalifah-khalifah besar”
itu? Tidakkah didalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu
peri-kemanusiaan mendapatkan sistim-sistim baru yang lebih sempurna, lebih
bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjelmakan
sistim-sistim baru yang cocok dengan keperluannya, –cocok dengan keperluan
zaman itu sendiri? Apinya zaman “khalifah-khalifah yang besar” itu? Akh,
lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang
“menganggitkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dari barang yang juga
kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunahnya
Rasul?
Tetapi apa yang kita “catat” dari Kalam Allah dan Sunah
Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Abunya, debunya, akh ya,
asapnya! Abunya yang berupa celak mata dan sorban, abunya yang menyintai kemenyan
dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam-muluk dan Islam
ibadat-zonder-taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil sahaja,-
tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu keujung
zaman yang lain.”
Begitulah saya punya seruan dari Endeh. Marilah kita
camkan di dalam kita punya akal dan perasaan, bahwa kini bukan masyarakat
onta, tetapi masyarakat kapal-udara. Hanya dengan begitulah kita dapat menangkap
inti arti yang sebenarnya dari warta Nabi yang mauludnya kita rayakan ini hari.
Hanya dengan begitulah kita dapat menghormati Dia di dalam artinya penghormatan
yang hormat sehormat-hormatnya. Hanya dengan begitulah kita dengan
sebenar-benarnya boleh menamakan diri kita umat Muhammad, dan bukan umat kaum
faqih atau umat kaum ulama.
Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam
panci di dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak: “Papie, papie, si
Ketuk menjilat air di dalam panci!” Saya menjawab: “Buanglah air itu, dan
cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”
Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya: “Tidakkah
Nabi bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali
dengan tanah?”
Saya menjawab: “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan
kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan
kreolin.”
Muka Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti
bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.
Maha-Besarlah Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi yang Ia
suruh!
“Pandji Islam”, 1940