Jumat, Desember 11, 2015

MKD, Makin Kelihatan Duogolnya


Duogol itu dogol banget, dogol lebih buruk dari dungu, dungu lebih parah dari goblog, goblog lebih parah dari bodoh, bodoh lebih parah dari tidak pintar. Dan seterusnya. Jadi kalau MKD makin kelihatan duogolnya, adalah kebodohan yang tak ketulungan lagi.
Ditolaknya permintaan peminjaman bukti aseli rekaman percakapan MS, SN, MRC, adalah bukti paling mutakhir dari kedogolan Mahkamah Kehormatan DPR-RI itu. Dogol karena (1) MKD punya data file rekaman digital dari MS dan pernah diputar dua kali utuh dalam persidangan ke-2 dengan kesaksian MS; (2) Bukan ranah (etik) MKD lagi memburu bukti forensic (hardware) rekaman percakapan itu.
Kesimpulan itu adalah kesimpulan lurus-lurus saja, meski kita juga tahu bisa jadi ini strategi MKD yang dengan ‘cerdas’ mengulur-ulur waktu. Meskipun pada sisi ini, kita juga bisa mengatakan MKD telah masuk perangkap kubu SN untuk mempolitisasi kasus ini.
Yang terjadi kemudian bisa ditebak. Airnya makin keruh, ikannya lepas. SN lolos dari berubu pelanggaran kode etik pejabat penyelenggara Negara. Dan kubu SN bisa membuat berbagai manuver. Duo FZ dan FH memakai hal ini untuk memukul balik, dengan menyebut Polisi dan Kejakgung bermain politik. FH menuding penolakan Kejakgung soal peminjaman bukti rekaman adalah buktinya.
FH menafikan fakta, bahwa ada pernyataan tertulis dari MS yang tidak mengijinkan bukti rekaman itu dipinjam siapapun, kecuali Kejakgung. Lagian, kalau otak FH dan kubu SN tidak culun, data file digital rekaman itu sudah dipunyai MKD, dan secara forensik para ahli teknologi informatika bisa membuktikan; data file yang dimiliki MKD itu sama persis dengan yang dimiliki Kejakgung.
Meski keberatan MS bisa dimengerti, setelah ia diperlakukan para hakim MKD dengan cara tak pantas. MS merasa tak percaya pada MKD, bisa jadi ia khawatir data rekaman itu akan dirusak, dihilangkan, atau direkayasa MKD. Dari sisi ini, MKD kehilangan legitimasinya. Dan tak bisa diharap. Bagaimana pun MKD adalah bagian dari DPR sebagai lembaga politik. Dan politik yang kehilangan legitimasi, sama sekali taka da harganya. Segala macam manuvernya, kemudian menjadikannya badut yang kehilangan panggung.

Akhirnya yang terjadi adalah representasi pertarungan politik yang melebar ke mana-mana. FH kemudian memakai skenario RR, bahwa Kejakgung pun dituding tak ubahnya geng-geng yang ikut bertarung. Kubu SN kemudian menebar tembakan baru, SS dan MS (dengan sendirinya Freeport) adalah pihak yang menjadi biang masalah, menebar peluru berupa nasionalisasi Freeport dengan memainkan sentimen nasionalisme.
Penjahatnya kini bukan lagi SN atau MRC, tetapi SS dan MS. Keduanya dianggap agen Freeport dan karena itu didorong menjadi common enemy. Padahal, fakta tak bisa ditolak, berkat SS-lah (dengan melaporkan ke MKD), dunia gelap mafia Freeport ditarik ke permukaan, yang melibatkan pejabat penyelenggara Negara. Dan dari sana, bisa ditarik bukan lagi sekedar masalah etik, melainkan ke ranah hukum, untuk tidak membiarkan oknum-oknum mafia, seperti MRC, leluasa bergerak.
Yang selama ini hanya berupa isyu sumir, berkat aduan SS ke MKD, kini menjadi perbincangan publik yang punya implikasi meluas, yakni pengawasan publik. Pada sisi ini, gerakan SS dan MS (dengan keberanian mereka bersaksi terbuka di MKD, adalah pernyataan perang pada para mafia saham berkait Freeport. Pertaruhan untuk ini, bagi SS dan MS tentu bukan sekedar jabatan, melainkan juga integritas dan nyawa. Bandingkan dengan kesaksian SN yang berlangsung tertutup.
Bahwa ada tudingan SS (atau juga MS) bermain dalam upaya perpanjangan kontrak Freeport, tentu soal lain yang bisa dirunut dengan melihat bukti-bukti terkaitnya berupa UU, PP, Perpu, Permen dan lain sebagainya. Karena soal Freeport adalah warisan panjang penguasa sebelum era Jokowi, yang selama ini gelap.
Semoga kita jernih melihat masalah, tidak mudah dibelak-belokkan berbagai retorika yang bertendens dan bertopeng. Meski ada yang mengatakan, apa untungnya rakyat terlibat dalam soal Freeport ini? Untungnya, sesungguhnya banyak. Ikut berpartisipasi dan mengawasi dalam proses mencegah pat-gulipat korupsi dan kolusi Freeport sebagai sapi perah Mafioso, agar lebih diarahkan pada kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Papua pada khususnya. Negara yang kuat, membutuhkan rakyatnya yang juga kuat, sadar dan mau terlibat, sekalipun terbatas dalam berpendapat.
Jika kita terpaksa meminjam istilah RR, soal perang antargeng itu, memang adalah sesuatu yang tak terelakkan. Kita bisa menarik soal perang ini, yang terasa makin terbuka, dengan munculnya Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia. Orang boleh ngomong apa saja soal Jokowi ini, yang tidak pantas kek, yang akan amburadul Indonesia di bawah kepemimpinannya, namun itulah kenyataan sejarah Indonesia. Dalam konteks konstelasi politik-ekonomi global, dengan kecenderungannya, Jokowi adalah pilihan rasional, daripada jika waktu itu memilih Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014. Apa boleh buat, karena bagaimana pun sosok Prabowo tidak afirmatif dengan faktor internal dan eksternal Indonesia. Mau tidak mau, Prabowo adalah representasi kapitalisme pemburu rente, yang baik oleh rakyat Indonesia keseluruhan dengan kekuatan ekonomi global (neolib), bukanlah pilihan tepat.
Sungguh pun untuk kaum kiri dan sosialis, gambaran tentang Jokowi tidak sangat ideal, karena dikelompokkan dalam barisan kaum borjuasi nasional, namun inilah sosok yang memenuhi syarat sebagai jembatan perubahan. Jokowi yang tidak terjerat jaringan bisnis kroni-isme warisan Soeharto, sesungguhnya lebih bisa diharap, untuk menyelesaikan kasus ini. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh ‘lawan-lawan’ politiknya, yang hampir semuanya adalah penguasaha, alias penguasa-pengusaha terselubung, yang kini sedang menggulirkan tema nasionalisme dan demokratisme.
Yang perlu diawasi, atau ditemani, pada Jokowi ialah untuk selalu mengingatkannya. Bahwa Jokowi bukan hanya bertarung dengan kapitalis pemburu rente, melainkan juga kaum neolib global di sisi lain, karena di belakang Jokowi adalah rakyat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Papua pada khususnya dalam soal Freeport. Kita sebagai warga negara, civil society, semestinya terus mengingatkan keberpihakan Jokowi soal itu, sebagaimana juga dijanjikannya dalam kampanye Nawacitanya dulu. Tentunya juga agar Jokowi tidak jatuh dalam pelukan neolib, melainkan juga bagaimana komitmennya untuk tetap berpihak pada bangsa dan negaranya. Dalam hal Freeport, bagaimana Jokowi bisa menjadi jembatan keledai, agar perubahan itu berjalan smooth, agar tidak menimbulkan goncangan besar yang mencelakakan semuanya, Jokowi itu sendiri dan rakyat Indonesia umumnya. Bagaimana Freeport, tidak seperti jaman pemburu rente dulu, perlahan berubah menjadi bagian dari sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.
Sekarang ini, pada akhirnya, lupakan MKD, lupakan DPR. Momentum bersih-bersih parlemen, sudah lewat. Kecuali, rakyat solid bersatu menjadi pressure group agar parlemen berubah sekarang juga. Kalau tidak, kita terpaksa menunggu empat tahun lagi dalam pileg 2019.
Itu pun dengan harap-harap cemas, sekiranya suara rakyat tak mudah dibeli dan tak murah harganya. Bayangkan, dapat amplop Rp 50.000 untuk jangka 5 tahun, itu bukan hanya murahan, tapi juga bodoh banget. Yang seperti itu, pasti akan menghasilkan parlemen bodoh, MKD dogol, dan Negara makin bobrok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...