“Busyet, dah! Di sini tertera nama PT Frislianmar Masyur
Mandiri, tapi ini cuma toko percetakan ecek-ecek dan dan toko fotokopi,…”
pendekar Ahok mendengus. Nafasnya seolah keluar melalui lubang kuping.
Beberapa orang siaga dengan senjata masing-masing,
mengepung Ahok.
PT Frislianmar Masyur Mandiri, adalah salah satu
perusahaan pemenang tender pengadaan uninterruptible power supply (UPS),
untuk sekolah-sekolah di DKI Jakarta. Tapi,
perusahaan beralamat di Jalan Pramuka Nomor 19 A, Jakarta Timur, dan pemenang
tender senilai Rp 5,8 miliar itu, hanyalah sebuah toko kecil dengan spanduk
bertuliskan PD Wirasaba di atasnya?
“Ciyaaaaatttttt!” pendekar Ahok melompat ke dalam ruangan
berukuran sekitar 5x4 meter. Ruang itu tampak sesak, dipenuhi tumpukan kertas
dan map. Bagian depan toko berdinding kaca dengan tulisan berwarna kuning ‘Sedia
alat tulis kantor, terima percetakan.’
Lantai keramik toko itu pun kotor, begitu pula cat
temboknya yang berwarna kekuningan. Satu mesin fotokopi dan percetakan di sudut
belakang ruangan juga tampak sudah tua.
Deretan wajah-wajah tegang memandangi Ahok.
Di sisi lainnya, seorang lelaki sedang mengoperasikan komputer membuat desain
amplop. Wajahnya tampak kebingungan saat ditanya soal tender pengadaan UPS.
"Tender apa? Kami enggak pernah ikut tender," kata pria berkumis itu
sambil mengeritkan alisnya.
Braaaakkkkk! Sebuah box kayu jatuh dari meja, gegara
seekor kucing mengejar tikus dan menabrak box itu.
“Sebutkan, siapa namamu?” Ahok menggertak.
Lelaki itu menggeleng. Ia tak mau disebutkan namanya. Jika ia pendekar, sebut
saja pendekar tanpa nama.
Ia hanya mengaku tidak pernah mendengar nama PT
Frislianmar Masyur Mandiri. Lelaki itu mengatakan, toko tempatnya bekerja sudah
lebih dari lima tahun berdiri di tempat itu. "Ini sudah lama dan enggak
pernah pindah-pindah. Saya malah baru dengar, alamat ini dijadikan digunakan
perusahaan yang main tender,…"
Pendekar Ahok mengelus goloknya. Wajahnya terlihat manis,
dan tidak meyakinkan sebagai pendekar. Tapi begitu ngotot, ketahuan urat
takutnya sudah putus.
Tiba-tiba, muncul seorang lelaki berambut putih. Membawa
setumpukan kertas. Matanya sangat jernih. Sepertinya ia jagoan kungfu. Pendekar
Ahok memasang kuda-kuda.
JILID 2 |
Tiba-tiba, wusssss!
Setumpukan kertas yang dibawa lelaki
tua itu berhamburan. Melayang-layang ke udara, bak bunga beterbangan dalam
pertarungan Hero antara Maggie Cheung dan Zhang Ziyi arahan Zhang Yimou.
Ahok meloncat. Hampir saja kepalanya
nyundul lampu neon yang kusam.
“Siape elu? Dari perguruan mane?” Ahok
asal nyablak saja.
“Saya Acian,…” kata lelaki tua berambut
putih.
“Lengkapnya?”
“Acian Dehlu!”
“Ciaaaaatttt!” Ahok melompat maju.
“Jangan becande lu, ye! Kau dari perguruan mane? Sape suhu lu?”
“Perguruan Budi Luhur, tapi cuma sampai
SD, Koh, abis saye China melarat dari Glodok. Ini saye udah lime tahun kerja di
sini, rasanye baru ini hari dikunjungi gubernur,…”
“Ssst, gue pendekar, bukan gubernur,
monyong!” Ahok memonyongkan bibirnya.
“Ade ape, Koh?” lelaki tua berambut
putih itu terus saja nyerocos.
“Gue nyariin siluman, hendak gue bunuh
idup-idup mereka!”
“Ups, siluman?”
“Nah, iya, soal Siluman UPS,
uninterruptible power supply,…”
“Sejenis coitus interuptus? Obat
suplemen untuk kuat ngesex?”
“Hadeh, orangtua mesum! Di mana siluman
itu kau sembunyikan?”
“Siluman apaan sih, Koh?”
“Hadeh, siluman Nagadana, dogol!” Ahok
menggebrak meja sekencangnya.
Bruaaakkk!
Meja itu sama sekali tidak ambyar. Meja
itu terbuat dari besi, bikinan jaman Belanda dulu kala.
Ahok terkaing-kaing merasakan kesakitan
pada tangannya.
Dengan cepat Ahok mengeluarkan kitab
pusakanya. Tercatat di sana data pengadaan perangkat UPS, atau pasokan daya
bebas gangguan, pada APBD 2014. Menghabiskan sebanyak Rp 330 miliar, dengan
harga sekitar Rp 5,8 miliar tiap unitnya. Ahok mencurigai perusahaan-perusahaan
pemenang tender ini merupakan pihak yang sama.
Ahok mulai membuka siasat praktik
pemborosan uang rakyat oleh Gerombolan Begal Kebonsirih, sebuah kawasan hitam
yang selama ini tak terjamah. Ada bukti 55 sekolah dianggarkan sebesar Rp 6
miliar untuk UPS. Yang menang tender bisa begitu banyak, tapi dengan pemasok
yang sama hal ini mengindikasikan adanya praktik mark up anggaran.
“Koh? Kok malah diem?” lelaki tua tak
bernama itu menatap Ahok dengan heran.
“Diem pale lu peyang!” Ahok
menggeremang. “Gua lagi mikir nih! Ini fakta. Jadi, gua kira juga orang Jakarta
banyak tak rela, uangnya dipakai buat beli UPS sekolah, dan ini tidak ada yang
tahu loh. Kami juga kecolongan. Karena anggaran tahun lalu tidak ada
e-budgeting. Ini sudah terjadi. Para begal dan penipu itu keenakan cari untung,
dan sekarang mau main lagi,…!”
Menurut Ahok, anggaran sebesar itu
lebih baik dipergunakan untuk memperbaiki pembangunan sekolah. Saat ini 46
persen bangunan sekolah di Jakarta masih tidak layak.
Secepat kilat khusus, sebuah piauw
melesat ke arah Ahok. Dengan sigap, Ahok membungkukkan badannya. Dagunya
kejedot meja, “Wathaawww,…!”
Piauw itu nancap di dinding. Sebuah
gulungan kertas menggelantung terikat pada piauw. “Makdirabit, sape juga ini
gendruwo kirim punya piauw?” Ahok ngedumel sambil ngelus-elus dagunya yang
njendhol.
JILID 3 |
AHOK mencabut piauw yang nancap di dinding. Tapi kembali ia tancapkan
ke dinding, “Hadeh, ngapain piauwnya gua ambil? Dalam cerita silat ‘pan cuman
suratnya nyang diambil?”
Ahok mencabut surat yang menggantung
pada piauw dan membacanya; “Jangan banyak bekoar lu ye! Gua angetin luh!”
“Gua angetin?” Ahok berpikir keras
membaca pesan itu.
Tiba-tiba, sebuah piauw lagi-lagi
melesat. Dengan reflek, bak pendekar Shaolin Temple, Ahok menghindar, hingga
piauw itu nancep di dinding. Ahok segera mencabut gulungan kertas pada piauw
itu. Dibuka dan dibacanya segera; “Sorry, tadi salah nulis. Bukan diangetin,
tapi diangketin!”
Ahok mengelus-elus janggutnya yang
masih terasa nyeri. Dari warung ke warung, kontra isyu sudah beredar. Beberapa
skenario ditebarkan, dan ujungnya ancaman Ahok hendak balik dilaporkan ke KPK
dan Polri. Gerombolan begal Kebonsirih rajin berkunjung ke bebarapa media,
menebar info yang mereka bolak-balik seolah logis. Demikian juga beberapa orang
dari Siluman Nagadana bertemu Mendagri. Ngehek juga mereka. Menangani
perseteruan dengan bertemu secara sepihak-sepihak. Kilahnya selalu itu
bijaksana, padahal bijak sana dan sini. Masih lebih mulia kancil nyolong timun!
Gontai pendekar Ahok ke Ragunan. Karena
stress dan pengin lihat munyuk? Tidak. Karena lapar. Satu-satunya godaan Ahok,
hanyalah perutnya jika sudah lapar.
Beberapa lelaki di warung nasi depan SMPN
41, di Jalan Harsono RM, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, terheran-heran
melihat Ahok.
“Lu jadi pendekar nih, Koh?” beberapa
menanya.
“Tahu tuh, SW! Ini cersil kagak bakal
seru dah, kagak ada mesumnya! Lagian, berani die bongkar gerombolan begal
Kebonsirih?” Ahok minta tambahan jengkol dan kecap. “Lu liat pade, entu sekolah
bakal nerime pengadaan uninterruptible
power supply senilai Rp 6 miliar. Tapi lu tahu pade? Kepala Sekolahnye ngaku
kagak pernah ngajuin. Gile kagak?”
“Lho, ‘kan belum?”
“Iya, belon nyang APBD 2015. Tapi nyang
taon-taon sebelonnya pan udah? Polanya sama! Dan itu nyang gua laporin ke KPK.
Kalau nyang RAPBD 2015? Tentu aja belon, tapi nanti gua jembrengin urutan
waktunya dan gimana angka-angka itu masuk. Mane nyang katanye itu SKPDlah, mana
nyang Ahok mau nyuap, mane nyang dibilang Ahok kagak konsisten, udah
nandatangan tapi mengingkari. Ini permainan tingkat tinggi, boss! Mereka udah
nyebar gossip, belokin isyu, bahwa mereka benar, dan mereka kini berlindung
pada Kemendagri. Ujungnya ape? Palingan diajak kompromi, alesannya kasihan
rakyat dikorbankan. Trus mereka minta cara gua ngomong kudu diperbaikin.
Perbaikin nenek lu!”
“Terus, ini kapan tarungnya? Cersil kok
ngomong mulu.”
“Hadeh, tanya SW sonoh. Dia bilang
cersilid, cerita silat lidah. Isinya ya silat lidah mulu.”
“Kagak ada mesumnya?”
“Nanti gua suruh die bikin adegan yang
mesum. Biar kalian kagak pade stress!“
“Qiqiqiqiqi,…!” seekor tikus curut
ketawa di pojokan warung.
Dari SMPN 41, Ahok meloncat ke SMP 37,
ke SMAN Ciracas, dan seterusnya, hingga hampir 50-an sekolah. Ahok bak
gelandangan menyusuri Jakarta, sementara para gelandangan bak gubernur DKI
Jakarta. Ini memang jaman kewolak-kewalik.
“Udah laper belon?” sms isteri pendekar
Ahok.
“Kagak ade nafsu!” reply Ahok cepat.
“Kalo bercinta?”
JILID 4 |
Pendekar Ahok tak menjawab sms isterinya. Ia kantongi lagi
ponselnya.
Gegara tiga huruf, U, P, dan S, membuat
dirinya puyeng. Dan soal piauw berpesan mau diangketin itu? Itulah! Itulah apa?
Ya, itulah!
Dari 49 sekolah yang ada di Jakarta
Barat dan Pusat, yang menggunakan UPS senilai miliaran rupiah, tercatat nama CV
Wiyata Agri Satwa, selaku pemenang tender untuk pengadaan UPS di SMKN 42 dengan
nilai barang Rp 5.833.448.500.
Kantor CV Wiyata Agri Satwa, ternyata cuma gudang penggilingan tepung ikan.
Tidak terdapat plakat nama CV Wiyata Agri Satwa. Di dalam gudang terdapat
tumpukan karung tepung ikan dan mesin giling.
"Ada banyak usaha. Kita juga punya izin usaha di bidang mechanical
industri. Jadi kita juga punya usaha pengadaan mesin, seperti mesin alat
pertanian, diesel, hand tractor dan bidang jasa yang lain. Hanya saja, fisik
usaha yang terlihat ya tepung ikan ini," aku sesosok nameless.
Nachrowi Ramli, pesohor Pardem, konon mempertanyakan
apa yang dimaksud pendekar Ahok dengan dana siluman? "Dana siluman itu
tidak tahu ada definisinya. Kayak komik silat aja, pakai siluman,…”
“Ssst, ini emang
cerita silat!” SW tiba-tiba nongol, numpang ngetop.
"Duduk bersama
dulu melihatnya bagaimana. Berkomunikasi saja. Jangan dilempar dulu ke rakyat,
kan jadi bingung. Apa sih dana siluman maksudnya?" Nachrowi yang pernah
ditaklukkan oleh Ahok pura-pura dalam perahu.
Padahal, soal pengadaan UPS itu bukan hanya untuk sekolah. Dalam
RAPBD 2015 hasil pembahasan komisi DPRD, delapan kecamatan dan 56 kelurahan di
Kota Adminstrasi Jakarta Barat juga diusulkan untuk mendapatkan UPS.
Untuk setiap kelurahan dan kecamatan itu
Rp 4.220.000.000.
Dalam pada itu, sebagaimana mantra-kata
SH Mintardja, anggota Komisi E
bidang kesejahteraan masyarakat, DPRD DKI Jakarta, membantah telah mengusulkan
pengadaan buku trilogi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ke dalam
RAPBD DKI 2015.
“Qiqiqiqiqiqi,…”
seorang gelandangan tua di jembatan Tanah Abang tertawa terkekeh-kekeh. Entah
apa yang diketawain.
"Mungkin
eksekutifnya, SKPD-nya yang mengusulkan anggaran. Mereka caper sama Ahok,"
kata salah satu gerombolan Kebonsirih, tanpa menyebut bahwa anggota
gerombolannya yang justeru melakukan jebakan batman itu untuk pengelabuan.
“Qiqiqiqiqi,…”
lagi-lagi gelandangan tua terkekeh-kekeh.
“Ngapain sih ketawa
nggak jelas?” SW selaku penulis cerita lama-lama sebel.
“Kemarin kan isteri
pendekar Ahok sms, kalau bercinta gimana, nafsu enggak? Kok nggak ada
kelanjutannya? Mana continuitynya? Jumping jack-flash nih!”
“Lho, kan emang nggak
dijawab oleh Ahok?” SW balik bertanya.
“Hadeh, jangan ikutan
masuk cerita deh pengarangnya!” gelandangan tua merutuk.
Apapun yang terjadi,
cersilid atau cerita silat lidah ini harus dilanjutkan.
Sebelumnya diketahui
pula, terdapat program pengadaan buku trilogi Ahok di RAPBD 2015 versi DPRD melalui
pembahasan komisi setelah paripurna pengesahan. Sementara Pemda DKI mengajukan
dokumen RAPBD DKI yang telah disahkan pada paripurna kepada Kemendagri, mengacu
pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 PUU-XI Tahun 2013 perihal
pembahasan APBD pasca-putusan MK dan penghematan serta permohonan anggaran
belanja.
“Terus serunya di mana cobak, cersil kok isinya angka-angka,…” gelandangan tua
menggerutu panjang-pendek. “Nggak ada mesumnya, pulak,…”
JILID 5 |
Pendekar Ahok pun kelimpungan. Sebuah kekuatan misterius menyedotnya ke satu
tempat yang juga aneh. Wusssss,…!
Dan tiba-tiba, di depan Ahok diperhadapanlah dirinya dengan
gerombolan begal Kebonsirih.
“Dasar preman, anjing!” dan segala sumpah serapah
berhamburan. Sebuah pertempuran silat lidah yang parah. Lidah mereka saling
berkelindan. Baku-hantam. Tapi ada juga lidah yang cuma berdesis bak lidah ular
berbisa, terjulur bak lidah anjing berlendir.
Sementara itu, dua lidah tampak sedang bergumul dari dua
mulut lelaki dan perempuan. Saling sedot, saling dorong. Pergulatan yang begitu
menghabiskan energi. Tampak dua tubuh bugil berguling-guling di atas ranjang
yang berantakan. Keduanya tampak terengah, dan,… tiba-tiba black out.
Adegan itu hanya berada di dalam kotak monitor sebuah
tablet, yang berada dalam genggaman entah siapa, di sudut ruangan yang panas.
Di tengah pertarungan yang terjadi, ada juga yang masih asyik mesum menonton
video bokep.
Tapi, dalam pertarungan bebas itu, di mana tokoh bernama
Tjahjo Kumolo? Tak ada. Ia terlalu jirih, dan hanya berani berpose di media,
bersilat lidah ini dan itu. Atau jangan-jangan yang sedang nonton video bokep
tadi?
Dalam pada itu, pertempuran di luar arena berlangsung tak
kalah seru. Pendekar dari berbagai perguruan silat tinggi, baik yang negeri
maupun luar negeri, terlibat dalam tawuran massal. Tak jelas siapa lawan siapa.
Meski ada juga dalam tawuran beberapa melakukan masturbasi, sambil membawa-bawa
kitab suci.
“Ciyaaattt,…! Keputusan gerombolan Kebonsirih mengajukan
hak angket kepada Ahok, membuat kita bertanya-tanya. Apa sebenarnya Hak
Angket? Apa Hak-hak yang melekat pada DPRD dan bagaimana sebenarnya DPRD itu
sendiri?” seorang pendekar melakukan tendangan salto ke langit kosong.
Pendekar ini seolah sedang memamerkan jurusnya.
Menurutnya, DPRD dan DPR itu beda jauh. DPRD adalah lembaga quasi legislatif,
bukan Lembaga Legislatif.
“Buktinya?” sebuah pukulan balik menyerangnya.
“DPR memiliki kewenangan untuk membuat Undang-Undang,
DPRD tidak,” balas pendekar tanpa nama. “Yang membuat peraturan daerah adalah
Kepala Daerah, pihak eksekutif. DPRD adalah termasuk unsur penyelenggara
pemerintahan daerah, jadi bukan berhadapan satu sama lain dengan Gubernur
sebagai pihak eksekutif.”
“Bukankah definisi hak angket adalah sebuah hak
untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat?"
“Iya, itu DPR,” pendekar tanpa nama pasang kuda-kuda. “Pertama,
tidak ada yang menyebutkan bahwa DPRD memiliki hak angket. Kedua, hak angket
adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu Undang-Undang. Ketika DPRD memutuskan
hak angket, itu sudah menyalahi undang-undang, karena rancangan APBD bukan
Undang-Undang.”
“Kalau DPRD tidak setuju?”
“Mereka dapat meminta klarifikasi kepada Kepala Daerah,”
tukas pendekar tanpa nama. “Satu lagi yang membuat kisruh, soal Hak Budgeting. Tidak
ada dalam Undang-undang manapun menyebut DPRD memiliki Hak
Budgeting. Untuk memiliki hak, maka harus diatur dalam Undang-Undang. Kalian
baca pula UUD kita. Kalau dalam konstitusi saja tidak ada, dan apalagi dalam Undang-Undang,
maka penggunaan hak budgeting DPRD adalah menyalahi hukum!”
“Tapi,…”
“Halah, pendekar-pendekar hukum tata Negara yang sering
bekoar di televisi itu, adalah para penumpang gelap demokrasi. Mereka ngomong
karena hanya menginginkan dua hal, popularitas dan uang. Bullshit dengan
mereka. Akademisi, ups sorry, pendekar tukang!”
Pendekar tanpa nama terus berteriak-teriak, sembari pukul
sana dan sini. “DPRD adalah bagian dari unsur pemerintahan
daerah. Itu disebut dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945. Kedudukan ini
kembali ditegaskan dalam UUMD3 pasal 315 dan pasal 364, itu UU yang selalu
dibanggakan kelompok Koalisi Merah Putih Kuning Hijau di Langit yang Biru!
Taufik dan Sanusi biar nyaho tuh!” pendekar tanpa nama terus nyerocos. “DPRD
provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah, yang berkedudukan sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi’.
Yang membuat RAPBD adalah Kepala Daerah. DPRD hanya dapat
memberikan persetujuan, bukan ikut merancang, dan apalagi berani-beraninya memasukkan
mata anggaran sendiri, dan kemudian memberikan salinan tersebut kepada
Mendagri,…!”
“Mendagri, mana Mendagri!” beberapa orang
berteriak-teriak.
Dan yang dicari-cari ternyata sedang menggeloso, habis
masturbasi, sembari menggenggam ponsel berisi video bokep. Shit!
JILID 6 |
Tiba-tiba suasana begitu sunyi. Tiada bunyi selisik pun.
Senyap. Hanya di pesanggrahan Kebonsirih senyap begitu bebasnya. Di beberapa
kota dan kampus, senyap dilarang. Karena dikhawatirkan menyebarkan virus komunisme.
Beberapa anggota gerombolan tampak
berwajah lesu. Lulung tercenung-menung. Demikian pula Taufik seolah tak
berkutik. Matanya mendelik, tak bisa balik. Mungkin syaraf matanya kejang.
Sementara Sanusi pucat pasi. Demikian juga lainnya. Jangan-jangan penjara
Ciangir benar-benar bakal dibangun oleh pendekar Ahok? Hiks!
“Abang tadi salah nyebut sih. Bukan
USB, Bang. UPS!” Sanusi menyalahkan Haji Lulung.
“UPS itu pan yang di SMA? Kalau SMP
mana ada UPS? Ane juga tahu kalo itu!”
“Itu IPS, Bang, bukan UPS!”
“Hadeh, pusing deh ama istilah-istilah!
Pokoknya, Ahok harus kita lengserkan!” Haji Lulung melolong panjang. Wajahnya
dalam siluet, dengan bulatan rembulan dalam lingkaran kepalanya.
“AMAR mengajukan permohonan pada MK,
mereka mau bubarkan kita!” seorang anggota gerombolan Kebonsirih menggerundel.
“Amar itu pengacara dari mana? Kita
bisa pakai Razman!”
“Razman? Ormas mana lagi, Bang? Tanah
Abang? Kebon Melati?”
“Razman Arief Nasution, yang menangin
Komnjen BG maren!” Haji Lulung tampak kesal.
“AMAR itu bukan pengacara, Bang,”
sergah Sanusi. “AMAR itu Aliansi Masyarakat Resah Dewan Perwakilan Rakyat,
disingkat AMAR DPR. Mereka mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi
perihal Constitutional Complaint terhadap seluruh partai politik, yang
mengakibatkan kisruh antara Ahok dengan DPRD DKI Jakarta,…”
“Suruh mereka jangan pakai bahasa
Inggris, dong. Pusing ane!”
Dunia persilatan benar-benar sedang
kacau. Tapi pendekar Ahok terus saja melenggang.
Para pendekar hukum baku-hantam sendiri. Tergantung yang bayar, atau tergantung
besar-kecilnya kemaluan mereka. Sekarang bukan lagi soal rasa malu, tapi soal
kemaluan. Kalau sudah ngebet, siapa yang bayar, kagak peduli. Mau Merah Putih,
mau Indonesia Hebat, sama saja. Kedua kelompok ini sedang sama-sama
kelimpungan. Jokowi dan Ahok, sepasang begajul yang mengobrak-abrik tatanan
selama ini.
Di Senayan, Jokowi membuat pusing
gerombolan Senayan. Beberapa parpol seperti PPP, Golkar, PAN, dan mungkin juga
kelak PD, semuanya akan bertikai sendiri-sendiri. Sementara Nasdem persis nasi
adem yang tak lagi berteriak soal restorasi Indonesia. Bisa jadi sudah berganti
restoran serba ada. Ada yang begini, ada yang begitu, sama saja dengan lainnya.
Seperti lagu Broery yang suka membawa lima pisau. Sama dan sebangun juga dengan
PDIP.
Di Kebonsirih, pendekar Ahok
menjungkirbalikkan semuanya lebih sadis. Ia seorang die hard gemblung yang tak
tertahankan. Itu pula yang membuat Tjahjo Kumolo lebih baik sembunyi di
padepokan silat Teuku Umar.
“Kalau bos-bos itu berani menarik kita
dari Kebonsirih, kita bongkar semua kebobrokan mereka,…!” seorang begal
nameless berteriak dengan lantangnya. “Perang bubat! Hancur, hancur deh
semuanya! Di antero Jakarta begal-begal kini sudah menyiapkan pos-pos logistic,
persis strategi Sultan Agung mau menggempur Batavia dulu. Para begal tak perlu
khawatir, karena Warung Begal kini menguasai Jakarta!”
“Warung Tegal, dodolllll!”
Tiba-tiba Leo Imam Soekarno bagai pakai
slink, dengan jubah hitam dengan pin Garuda Pancasila di dada, turun dari
langit menenteng gitarnya.
“Permisi,” katanya kemudian, dan
langsung ia genjreng gitarnya, “Kunci-mengunci dalam lingkaran, komedi
begal-begal,… Di mana diri s’orang pemimpin, di mana diri s’orang
pemimpiiinnnnn,…!”
JILID 7 ALIAS TAMAT |
Pendekar Ahok kelimpungan. Bukannya karena begitu
banyaknya musuh, melainkan lebih karena tak satu pun musuhnya berani
mendekat, untuk membuka pertarungan terbuka.
Pertarungan di medan
Kemendagri, dimenangkan Ahok tanpa perlawanan. Para musuhnya hanya
bekoar-koar di media, menjungkirbalikkan kata-kata. Dan menyerang sisi
yang diharap mereka mendapatkan simpati. Sabetan-sabetan pedang, pukulan
aji pengawuran, semuanya hanya untuk mendapatkan simpati mayoritas
warga. Bahwa Ahok tidak punya etika, kualitas komunikasi politiknya
buruk, tidak santun, china, bangsat, preman, dan 'memerangi pemimpin
kafir seperti Ahok termasuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar,...'
Ganes TH dan Kho Ping Hoo, yang kebetulan sama-sama China pun, akan
sulit mengangkat cerita silat dengan pendekar Ahok. Apa bagusnya, karena
hanya cerita silat lidah? Sementara lidah tak bertulang? Begitu banyak
lidah tak bertulang dan gemar bertualang.
Tiba-tiba saja pendekar Ahok meloncat dan duduk di depan SW.
"Elu serius, mau menamatkan cerita sampai di sini?" Ahok bertanya sembari menyodorkan kue ranjang bikinan isterinya.
"Iyalah, Koh. Ini cersilid yang tidak seru," SW berkata dengan getir.
Kapan lagi pengarang bisa narsis nongol dengan jagoan ciptaannya, kalau
tidak di sini. "Secara moral, Koh Ahok sudah menang. Mau apa lagi? Dalam
semua cersil, sama seperti dalam cerita-cerita koboi, tokoh yang menang
mesti melangkah pergi ke cakrawala, gone with the wind, dengan iringan
musik yang syahdu."
"Pertarungan belum selesai. Kasusnya masih ada di KPK,..." pendekar Ahok sepertinya keberatan.
"Iya, kasus itu sudah ada di KPK. Tapi Kepolisian juga sudah
digerakkan, untuk mengusut soal dana UPS itu. Belum nanti pertemuan para
petinggi partai, yang harus menyelamatkan muka masing-masing."
"Kasihan, Pak Jokowi. Dia sendirian. JK, PDIP, Nasdem, terlalu kuat
dibendung. Sementara Prabowo tak mau ambil sikap. Kalau Jokowi bisa
dilengserkan, semua akan merasa lebih diuntungkan,..." pendekar Ahok bak
politikus ulung menganalisa situasi.
"Halah, kok Koh Ahok jadi
ikut-ikutan klenik. Soal konspirasi politik, mafia hukum, koruptor kelas
kakap, dan sebagainya itu omong kosong," SW mencoba mendebat. "Politik
itu tindakan yang nampak. Itu saja. Mendagri yang tak berani
menyelesaikan perseteruan Koh Ahok dengan DPRD, itu cerminan jelas.
Tapi, seperti kata saya tadi, Koh Ahok sudah memenangkan pertarungan
ini. Jika pun Koh Ahok dilengserkan sebagai gubernur, atau terjadi
kompromi, ya sudahlah. Atau ini benar bagian dari memunculkan Ahok
sebagai cagub atau bahkan capres periode mendatang?"
"Itu bullshit, itu plintiran."
"Baguslah, kalau Koh Ahok tak mempercayai itu dan bahkan tak
melakukannya. Sorry ya, bukan rasis, untuk menjadi presiden Republik
Indonesia, bolah-boleh saja mencalonkan diri, tapi itu bunuh diri. Tidak
ada kans di sana, banyak pertimbangan. Nanti saya sms saja apa
alasan-alasan supranaturalnya, biar tidak sensi."
"Tapi, cerita ini mau diputus di sini?"
"Iyalah, ngapain. Nggak seru!"
"Iya. Boring. Nggak mesum juga,..." pendekar Ahok terkekeh.
"Tapi saya senang, Koh. Pemilu 2019 kita optimis politikus busuk bakal
tersingkir, dengan pembelajaran politik ini, kecuali rakyat tetap saja
mau diperbodoh untuk duit tak seberapa. Namun jika Koh Ahok bisa
menyejahterakan rakyat Jakarta, rakyat Jakarta sendirilah yang bakal
mampu membersihkan Kebonsirih dari para begal."
Langit Jakarta masih
mendung, memang. Tapi, sebagaimana ending cerita-cerita silat yang
tidak bermutu, semuanya akan berlalu, gone with the wind, kecuali para
anggota gerombolan Siluman Nagadana yang berada di balik jeruji Ciangir.
| Tamat.