Menurut nantulang Sabam Sirait, sampai dibela-belain
nulis buku, “Politik itu Suci”. Dan beliau sibuk ngeluarin dalil-dalil. Kata
John F. Kennedy, jika politik kotor puisi yang membersihkan, jika politik
bengkok sastra akan meluruskannya. Sementara itu, jika jurnalisme dibungkam
sastra harus bicara, kata Seno Gumira Ajidarma.
Sepertinya, dalam
point di atas, sastra begitu sangat digdaya. Tapi mohon jangan tanyakan saya,
jika sastra kotor, siapa yang ngebersihin? Cleaning service? Jangan singgung
dunia sastra dulu, lagi sensitif. Mendingan singgung dunia politik yang lagi ngetrend.
Menurut kaum
cerdik-pandai; Politik adalah jalan kemuliaan, untuk mereka yang hangrungkebi
demokrasi, sebagai jalan pemuliaan dalam berbangsa dan bernegara. Maka dari
itu, pemilu adalah jalan satu-satunya, sebagai penghargaan pada rakyat sebagai
pemegang kedaulatan negara. Kekuasaan dibatasi dan dikontrol oleh undang-undang
dan aturan. Daulat raja yang hegemonik atau mutlak-mutlakan, diubah menjadi
daulat rakyat, dengan sistem perwakilan.
Tapi, bagaimana
praksis politik kita hari ini? Yang kita tahu, satu sama lain kompetitor
(caleg, capres), dan para sponsor serta pendukungnya, lebih meyakinkan sebagai
pribadi-pribadi yang, meminjam istilah SBY, memprihatinkan.
Politik dalam
pengertian partai politik, lebih dipakai untuk menghardik orang lain, yang tak
segolongan dan sekepentingan. Maka ada istilah politik itu soal kepentingan,
dan tak ada persahabatan abadi selain kepentingan (yang sama tentu). Musuh dari
musuh kita, adalah sahabat kita. Di mana azas gotong-royong dan musyawarah
mufakat bangsa ini, yang konon ramah dan baik hati, sebagaimana nilai-nilai
Pancasila?
Yang
mengherankan, bagaimana bisa politik justeru tidak memberikan ruang untuk
perbedaan pendapat, dan cenderung diekspresikan dengan meninggalkan nilai-nilai
etik dan adab. Bahkan sebagai politikus, justeru lebih memakai serangan pada
pribadi-pribadi (personalitas), tapi senyampang dengan itu mengajak orang agar
tidak memilih berdasarkan personalitas, tapi kualitas kepemimpinan. Ini contradictio
in terminis. Hal itu menjelaskan
ketidakkonsistenan para politikus kita yang parah.
Politik tanpa
konsistensi (untuk kepentingan ini pakai dalil itu, untuk kepentingan itu pakai
dalil ini), menunjukkan tiadanya ideologi yang jelas, kecuali hanya meraih kekuasaan
bagaimana pun caranya. Termasuk boleh menculik orang asal santun, ‘kan sebagai
prajurit hanya menjalankan tugas. Dalam kemiliteran, tak ada prajurit salah,
yang salah panglima. Makdirodok.
Yang lebih
menyedihkan, politik konon menurut para teoritikus adalah jalan pemuliaan.
Namun faktanya, justeru cenderung mendegradasi orang pintar jadi bodoh, orang
mulia jadi pecundang. Buktinya, ada budayawan, profesor, akademisi, bisa
berkomentar secara bar-bar di media maupun di panggung-panggung kampanye, tak
jauh beda dengan fesbuker alay, dan perbincangan kelas perondaan di kampung. Tidak
lagi ngomong fakta dan data, tapi makian dan umpatan sampai fitnah. Buktinya
lagi, ada orang baik yang terbukti secara sah dan meyakinkan, menjadi koruptor
dan akhirnya masuk bui gara-gara politik.
Dalam kehidupan
keseharian, banyak pertemanan terganggu karena beda pilihan politik, dan beda
jagoan capres atau caleg masing-masing. Tak urung remove-meremove, atau
bully-membully, menjadi kecenderungan baru, setelah dulu ingin memecahkan rekor
mempunyai teman sebanyak-banyaknya.
Jadi, politik dan
politikus itu apa? Pemilu itu apa? Pencalegan itu apa? Pencapresan itu apa? Lha
wong politik itu cuma soal pilihan dan cara dunia. Dan pilihan itu soal senang
tidak senang, itung-itungan manusia, dengan segala taktik, strategi dan
tipu-tipunya. Hal itu menunjukkan bahwa fitrahnya manusia itu beragam, makanya
diadakan pemilihan umum. Tapi giliran ngadain pemilu, nggak siap mentalnya. Nggak
siap menang, nggak siap kalah. Nggak siap pula bagaimana cara mengungkapkannya.
Lha kita-kita ini
kepentingan dan keuntungannya apa? Kan ya cuman seneng kalau pilihannya kepilih, kecewa kalau
jagoannya tersingkir? Apa begitu pemilu selesai dengan memuaskan dan mulia,
Indonesia langsung berubah gitu? Nggak juga. Tergantung sampeyan-sampeyan
rakyat mengawal dan mengontrolnya. Termasuk mengontrol wakil rakyat tentunya.
Mangkanya nggak
usah ndakik-ndakik, apalagi bawa-bawa Gusti Allah hanya untuk memaki orang lain. Seolah-olah paling gegares dalam
kesucian Illahi. Pilih yang sampeyan senangi, yang menurut pertimbangan baik
dan tepat, kalian kenali dan ketahui track-recordnya. Jika nggak ada yang
disenengi, ya Golput dibolehkan UUD kita sebagai hak warga negara. Sing ngomong
Golput dosa mlebu neraka, doakan saja masuk sorga.
Dipakai santai
saja, tetapi tetep dibimbing akal dan jiwa sehat. Untuk membangun Indonesia
ini, masih banyak lapangan untuk berkiprah, ora mung jalan politik. Jangan
lupa, banyak anak muda tanpa liputan media, terus tekun belajar dan bekerja di
seluruh pelosok Nusantara, membangun lingkungan masing-masing. Memberdayakan
dan tumbuh bersama masyarakat, bukan memperdaya masyarakat hanya lima tahun
sekali, bar kuwi ditinggal mak prung.
Masiyo sampeyan
ngamuk-ngamuk, pancet ae yang namanya pemilu itu, dalam bahasa Indonesia yang
baik dan benar, artinya pembuat pilu. Dalam bahasa Inggris, pemilihan umum disebut
General Election. Tapi menurut John Lennon, general election itu yang tepat
adalah general erection. Lajel bebarengan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar