|
Add caption |
16 |
Beberapa orang berloncatan turun dari truk bak terbuka. Ada lima, enam, tujuh,
delapan, delapan orang! Mereka kemudian memburu Mbambang.
Mbambang lenyap dari pandangan mata.
“Ke mana setan belang itu?” bertanya salah satu dari
delapan orang itu.
Mereka membentuk konfigurasi melingkar, seolah tahu
sedang ditulis begitu dalam adegan cerita silat ini. Padahal, tetap saja peran kalian hanya pelengkap
penderita!
Mbambang gingkang, melesat dari satu bukit ke
puncak bukit lainnya. Hingga di puncak bukit Imogiri, tempat pemakaman Imogiri,
kompleks pemakaman raja-raja Mataram Yogyakarta-Surakarta. Namun setelah adanya
Astana Giribangun Soeharto, di Karanganyar, ketinggian puncak bukit Imogiri ini
terlampaui. Sampai mati pun Soeharto tak ingin ada yang lebih tinggi dari
posisinya.
Makam Imogiri dibangun pada 1632 oleh Sultan
Mataram III, Sultan Agung Hanyakrakusuma, keturunan Panembahan Senapati. Makam
ini terletak di atas perbukitan yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan
Seribu.
Konon menurut syahibul jamil, ketika Sinuhun
Hanyakrawati alias Sinuhun Seda Krapyak mangkat, maka puteranya, Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom, sedang pergi tirakat (itu Islam Jawanya, kalau Islam
Arabnya, tafakur. Istilah pun sekarang punya sekte-sekte agamanya sendiri) ke
pegunungan selatan tersebut.
Namanya juga tirakat, bisa berminggu-minggu,
berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun. Tidak seperti sekarang yang hanya
menjelang Pemilu. Sesudah Pemilu tak ada urusan dengan rakyat, tapi urusin
fustun dan foya-foya, sambil mengutip ayat-ayat Tuhan.
Disitulah wangsit ditemukan, untuk membangun makam
di Pajimatan Imogiri.
Semula Imogiri semacam venue untuk berlibur
keluarga kerajaan. Di Imogiri sering diadakan adu banteng, adu ketangkasan
prajurit seperti di kerajaan-kerajaan Romawi saat itu. Karenanya Imogiri saat
itu sudah ramai orang dari berbagai daerah. Kebudayaan kuliner dengan
sendirinya juga tumbuh subur di daerah ini, dari peyek, emping, wedang uwuh,
wedang secang, wedang rondhe, dan juga tentunya sate serta tongseng, yang
hingga kini berjajar sepanjang jalan Imogiri, dan dikenal dengan sate
klathaknya. Tentu saja waktu itu belum memakai tusuk sate dari jeruji sepeda,
karena sepeda belum diimpor dari Eropa. Kalau pun impor kendaraan, baru
kereta-kereta kencana, yang tentu jeruji rodanya tak pantas jadi tusuk sate,
saking gedenya.
Konon Sultan Agung seorang raja yang sakti
mahambara. Ia cerdik dan pandai, sehingga rakyat maupun makhluk halus serta
jin, takluk dan tunduk atas kekuasaannya. Meski tidak kuliah di fakultas
kedokteran, beliau juga dikenal sebagai raja yang mampu melindungi rakyatnya
dari berbagai macam penyakit.
Karena bijaksananya, maka setiap hari Jum'at, ia
dapat pergi sujud ke Mekkah. Padahal, apakah ada yang mengetahui ketika beliau
masuk cepuri keraton bercengkerama dengan isteri-isterinya atau tidur
mendengkur dengan lelapnya?
Setelah lima tahun memerintah, kerajaannya
dipindahkan dari Kerta ke Plered dan selanjutnya Kanjeng Sultan ingin memulai
membuat makam di Pegunungan Girilaya, yang terletak di sebelah Timur Laut
Imogiri sebagai makam raja.
Namun belum rampung proyek pembangunan makam itu,
sang paman yang bernama Gusti Pangeran Juminah lebih dulu mengajukan permintaan
agar boleh dimakamkan di sana. Kanjeng Sultan Agung amat kecewa, dan entah
bagaimana ceritanya, Pangeran Juminah wafat. Dan memang dimakamkan pada proyek
pemakaman yang sedang dibangun, namun Sultan Agung kemudian melemparkan
segenggam pasir ke sembarang tempat. Pasir yang dibawanya dari Mekah itu jatuh
ke pegunungan Merak, dan di sanalah kemudian makam raja-raja Yogyakarta dan
Surakarta, sebagai anak turun Sultan Agung, berada.
Gunung Merak jauh lebih besar dan tinggi dibanding
komplek makam sebelumnya. Untuk mencapai astana makam, bukannya sulit, namun
bisa menguras tenaga.
Tangga menuju ke makam memang luar biasa banyaknya.
Belum lagi menjelang pintu gerbang supit-urang, tanjakannya jauh lebih tajam,
hingga bagi yang tak biasa bisa serasa somplak dengkulnya.
Menurut sumber yang bisa dipercaya, tangga
pemakaman itu berjumlah 409 anak tangga. Tapi konon tak ada yang bisa
menghitung sama persis dan benar. Padahal, menurut mitos, jika pengunjung
berhasil menghitung jumlah anak tangga dengan benar, semua keinginannya akan
terkabul.
Entah sudah berapa capres, cagub, cabup, dan caleg
yang bolak-balik naik turun tangga itu, tapi hitungannya berubah-ubah. Dan
hasilnya, mereka dilarikan ke rumah sakit gara-kara kakinya kejang-kejang.
Kalau otaknya tidak kejang. Bagaimana mau kejang, wong tidak punya otak.
Sharon Stone saja sampai berhenti 17 kali untuk
sampai ke supit-urang. Apalagi pada etape terakhir, dengan kemiringan anak
tangga mencapai 45 derajat. Kaki seolah sudah tak bisa diangkat lagi.
"It's more exhausting than seeing the look of
Michael Douglas," ujar Sharon dengan nafas yang keluar lewat telinganya.
Keringatnya berleleran. Sensual banget!
Sharon Stone dan Mbambang taruhan. Jika hitungan
ganjil, Mbambang akan mencium Sharon Stone. Tapi kalau hitungan anak tangga
genap, Sharon Stonelah yang mencium Mbambang.
Taruhan nggak mutu. Biarin aja, deh, suka-suka
mereka. Anggap saja dunia milik mereka berdua. Yang lain cuman nebeng.
Mbambang pun kemudian menerangkan pada Sharon soal
anak tangga di makam itu. Katanya orang Jawa itu berbicara dengan
simbol-simbol. Hingga jumlah anak tangga pun harus dibaca dengan pengetahuan
batin. Anak tangga dari pemukiman menuju level pertama di dekat masjid,
berjumlah 32 anak tangga. Jumlah itu melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun
pada tahun 1632.
Anak tangga dari daerah dekat masjid menuju
pekarangan masjid berjumlah 13. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa
Sultan Agung diangkat sebagai raja Mataram pada tahun 1613. Anak tangga dari
pekarangan masjid menuju tangga terpanjang berjumlah 45, melambangkan bahwa
Sultan Agung wafat pada tahun 1645.
Anak tangga terpanjang berjumlah 346. Hal itu
melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun selama 346 tahun. Dan anak tangga di
sekitar kolam berjumlah sembilan. Melambangkan Walisanga sebagai simbol
penyempurna Islam di tanah Jawa.
"You're really smart," Sharon Stone
menyipok bibir Mbambang dengan gemas.
Mbambang kelicutan. Ia ngeri soal cipokan itu.
Konon katanya siapa yang cipokan di makam raja itu, kalau bukan suami-isteri
bakal jadi suami-isteri. Tapi namanya mitos, nyatanya Mbambang tidak
beristrikan Sharon Stone. Hm, mitos penipu, huh!
"How do you know?" Sharon masih penasaran
soal kecerdasan Mbambang.
“Gogling aja kok repot,…” Mbambang menjawab sambil
cengengesan.
17 | Tubuh
Mbambang melayang seolah kapas. Pemandangan di seputar perbukitan Imogiri
alangkah indahnya. Hanya saja bendera dan spanduk-spanduk partai politik terasa
begitu mengganggu.
Dalam kepalanya masih saja menyumpal pertanyaan;
ngapain Susilo ke Blitar? Tapi belum juga pertanyaan itu terjawab, justeru kini
ia harus menebus kelalaiannya. Mencari Kitab
Pararaton yang entah di mana ia tinggalkan. Ia harus menemukannya sebelum
tanggal 9 April 2014.
Kenapa harus tanggal itu? Karena tanggal itu
tanggal keramat bagi bangsa dan negara Indonesia? Tidak. Alasan sejatinya,
karena cerita silat lidah ini hanya dikontrak hingga tanggal itu. Jika kitab
itu ditemukan setelah tanggal 9 April 2014, pasti akan jadi sia-sia karena
tidak dituliskan lagi. Dan kalau tidak ada jejak tulisannya, siapa yang akan
membacanya, mengetahuinya, bahwa kitab itu ditemukan? Kan jadinya sia-sia
belaka penemuan itu?
“Lha ‘kan kamu nulisnya bisa diperpanjang lagi,
sampai 20 April kek,…” Mbambang menawar pada yang menulis cersil gombal ini.
“Hadeh, nggak bisa dong! Emangnya nulis model kaum
seniman, deadlinenya mundur-mundur terus gara-gara ilham belum muncul,
sementara kaki udah capek jongkok di toilet! Padahal sekarang ilham tak jelas
apa kerjaannya. Entah jadi tukang gerobak atau penunggu counter HP,” jawab yang
nulis cerita.
Mbambang patah hati. Mau main fesbukan kok yang
muncul makin banyak fesbuker tukang negasi, sok pinter, Arabian style dan suka
ngeklaim paling tahu apa kerjaan Tuhan. Ia pun kembali ke pasar Imogiri, tempat
pertama kali ia menikmati wedang uwuh dan kehilangan Kitab Pararaton itu.
“Siang, Pakde Karwo,…” Mbambang duduk pada dingklik
panjang di angkringan Pakde Karwo. Angkringannya menyediakan sega kucing
garong, nasinya sedikit lebih banyak dibanding sega kucing biasa, apalagi sega
kucing penyakitan.
“Waduhhhh, Den Mbambang,” Pakde Karwo menyambut
dengan gembira. Ketawanya lebar, dan makin terasa lebar dengan tiadanya gigi di
situ, meski kumisnya mirip gubernur Jawa Timur yang entah siapa namanya. “Mau
minum apa? Wedang uwuh apa wedang secang?”
“Pakde,…” Mbambang berbisik mendekat pada Pakde
Karwo. “Pakde masih ingat hari apa saya ke sini kemarin?”
“Wah, ya lupa, mungkin Selasa Wage apa Kliwon ya?
Lupa!” Pakde Karwo garuk-garuk kepala. Soalnya kalau garuk-garuk aspal jalanan
bukan saja melanggar aturan, tapi juga bakal sakit di kuku. Bahkan mungkin ada
yang tega menyebutnya gila. Kalau salah sebut tidak apa. Tapi kalau benar gila,
gimana?
Wajah Mbambang terlihat lesu. Bagaimana jika kitab
itu tidak diketemukannya? Mungkinkah Kanjeng Ratu kalinyamat bakal menyunting
dirinya sebagai suami? Ah, mana mungkin, dikecewakan kok malah diambil jadi
suami. Dibunuh habis-habisan sampai tujuh turunan barangkali malah bisa
terjadi. Tapi namanya juga barangkali. Bisa barang bisa kali. Tidak pasti.
Persis janji politikus busuk.
“Kenapa ta, Den, kok wajahnya kelihatan suntrut?”
Lamunan Mbambang buyar. Apalagi melihat penampilan
Kanjeng Ratu Kalinyamat yang terakhir. Sungguh tak diharapkan. Dari perempuan
cantik tiba-tiba berubah menjadi jerangkong. Bukan hanya mengecewakan melainkan
juga mengerikan.
Padahal, dengan kesadaran penuh, Mbambang kini siap
berhadapan dan melihat Kanjeng Ratu Kalinyamat yang bugil. Toh waktu remajanya
dulu ia sudah banyak latihan, melihat gambar-gambar porno di majalah atau di
komik-komik dari Amerika. Bahkan, waktu SMP dia sudah kecanduan Motinggo Boesye
dan Abdullah Harahap. Membaca buku sambil tiduran, dengan satu tangan memegang
buku dan satunya lagi memegang,… bantal!
Bayangan sensualitas Kanjeng Ratu Kalinyamat tampak
begitu sempurna. Jauh lebih sempurna dibanding Sharon Stone. Coba saja jika dua
orang itu disandingkan. Atau, bagaimana kalau Sharon Stone sendiri yang
memainkan karakter Kanjeng Ratu Kalinyamat, dan benar ada adegan tapa telanjang
itu? Tapi,…
Tiba-tiba warung angkringan Pakde Karwo ambyar
sewalang-walang. Hancur lebur berantakan. Dua roda yang menyangganya
berpencaran. Satu jatuh menimpa kucing kawin di barat pasar. Satunya menimpa
kepala sepasang gelandangan yang sedang making love di balik bak sampah.
Delapan ninja dengan warna kuning tai mengepung
Mbambang. Tapi meski berpakaian a la Ninja, semuanya bersenjatakan keris, yang
terhunus mengarah ke Mbambang. Hm, kodifikasi murahan. Apakah rakyat mudah
dibujuk dengan ini semua? Suara rakyat suara Tuhan, ya Allah! Mereka tidak tahu
bahwa Tuhan pun golput. Menyerahkan semua pilihan pada manusia, toh mereka
semua sudah tahu resikonya.
“Yeaaaaaahhhhhhhhh,…!” delapan ninja kuning tai itu
pun menerjang serentak.
Mbambang terdesak. Secepat kilat ia mencelat.
Mumbul dan hinggap di dahan pohon kluwih. Begitu ia melongok, terlihat di bawah
delapan ninja kuning tai kesemuanya mampus. Saling tertusuk oleh keris teman
masing-masing.
Dengan tenang, Mbambang meloncang turun. Jleb,
jleb! Begitu bunyi dua kakinya menapak ke tanah.
Namun tak berapa lama kemudian, justeru Pakde Karwo
berteriak, “Den Mbambaaaaaangngngng, awaaassss!”
Mbambang jatuh terjengkang. Matanya berkunang-kunang.
Tapi pastilah jumlahnya tak sampai seribu, karena seribu kunang-kunang hanya
ada di Manhattan. Itu pun menurut Prof. Dr. Umar Kayam almarhum. Dalam cerpen.
Di hadapannya, lagi-lagi, seorang perempuan dengan
rancangan kostum model Victoria Street. Dua tangannya mengacungkan samurai.
Tegak lurus pada belah matanya yang tajam. Ada sisi gothicnya, dan lebih
mengumbar auratnya. Namanya juga gothic. Goyang Ithic.
“Bibirnya kelihatan mesum. Pastilah perempuan ini
dari golhit,…” Mbambang membatin.
“Hm, laki-laki piktor, pastilah kau sebangsa
golput,…” perempuan gothic itu menjawab dalam batin juga.
“Jangan di tengah pasar, aku ladenin kamu di
ara-ara amba,…” Mbambang melesat ke arah tenggara dari Pasar Imogiri.
Secepat itu juga, perempuan gothic melesat,
menyusul Mbambang.
“Lha warungku piye, Cukkkkkk,….!” Pakde Karwo
nangis-nangis gulung-koming.
18 |
Pertarungan berlanjut di ara-ara amba. Sebuah tanah lapang yang benar-benar
lapang. Dari jejak kaki keduanya tampak, pertarungan berlangsung sangat seru.
Rumputan di tanah lapang itu jadi rusak, terinjak-injak dan tercerabut dari
akarnya.
“Serahkan Kitab Pararaton itu,…” seru samurai gothic
dengan cuncum bra ukuran 38. Cuncum itu diberi balutan emas, pating kerlip, dan persis penyanyi ndangdhut dari
India.
“Langkahi dulu mayatku,…” jawab Mbambang menirukan
jawaban Ibu Tien Soeharto ketika Pak Harto minta ijin untuk menikah lagi.
Pantesan, waktu Ibu Tien meninggal dulu, Pak Harto sering melompat-lompat di
atas nisan isterinya. Namun bukannya beroleh ijin dari marhumah, malah 1998 Pak
Harto longsor dari kursi kepresidenan.
“Ora dadi presiden ora patheken,...” kata Pak Harto
waktu itu.
Iyalah, 32 tahun berkuasa masa’ patheken? Toh
hingga cucu-cicit Soeharto sampai kini juga tak ada yang terlihat miskin.
Bahkan Titiek Hediati kini maju jadi caleg DPR-RI dari dapil Daerah Istimewa
Yogyakarta.
DIY memang daerah istimewa, konon ini kota pelajar
dan kota perjuangan, namun Orde Baru sepertinya juga bakal bangkit dari daerah
ini. Dan di panggung kampanye Alun-alun Kidul, Mbak Tutut meyakinkan massa
berkaos kuning, “Kita bertekad mengembalikan kejayaan Pak Harto dengan
Golkar,...”
“Langit memang masih membiru,” teriak ARB, “tapi
pada mulai menguning,...”
Iyalah. Tokai kadang juga berwarna kuning.
Uhuk, uhuk.
Pertarungan sangat serunya. Tapi perempuan itu
seperti bertenaga kuda. Masih tampak tegar. Barangkali dari sini istilah kuda
betina lahir. Barangkali. Itu pun kalau para munsyi setuju. Namun biasanya,
persetujuan susah didapat di negeri ini. Yang subur adalah pertengkaran dengan
berbagai dalih.
Cersil, alias cerita silat, boleh saja menjadi
bacaan populer. Namun cersilid, cerita silat lidah, jauh lebih populer. Lihat
saja para capres dan pendukungnya dalam Pemilu 2014, sangat memukau idiom-idiomnya.
Penuh sadisme yang pancasilais.
“Hiaaaaaatttttt,...” perempuan gothic itu
melancarkan serangan dengan sabetan samurainya.
“Hufft!” Mbambang memelengkan kepalanya ke kiri.
Coba kalau ke kanan, kupingnya pasti putus tiada ampun.
Mbambang tak ingin terlihat bodoh bagai Basiyo,
yang ketika dihantam kiri menghindar ke kiri. Hantam kanan meleng ke kanan.
Pantas saja Basiyo lebih dikenal sebagai pelawak Dagelan Mataram daripada
seorang pesilat handal.
Tapi sepandai-pandai tupai melompat, kadang
terpeleset juga.
Mbambang nyungsep ke tanah. Gedebug!
Kepalanya sedikit benjol.
“Hiyungggg athow,...!” tanpa sadar Mbambang
melenguh. Lenguhan ndhesit.
Perempuan gothic tak memberi kesempatan. Ia terus
saja merangsek. Ia angkat tinggi-tinggi samurainya. Dengan sekuat tenaga ia
ayunkan tepat ke leher Mbambang.
Mbambang bergulingan dengan sigap.
Jleb! Samurai itu nancap di tanah.
Mbambang salto. Dua kakinya kini nangkring di bahu
perempuan gothic. Perempuan itu membungkuk dan menarik dua kaki Mbambang.
Lagi-lagi Mbambang terjengkang. Cekakar,
glangsarrrr.
Seni beladiri perempuan gothic ini lumayan juga.
Bisa jadi ia belajar silat pada Bramantyo, atau mungkin Whany Dharmawan, dua
pesilat tangguh dari Yogyakarta. Entahlah. Tidak penting.
Mbambang mencoba bangkit. Tapi tubuh perempuan itu
sudah berada di atasnya. Woman on top.
Dua tangannya mencekik leher Mbambang.
“Katakan cepat, di mana Kitab Pararaton,...”
perempuan gothic matanya mendelik kejam.
Mbambang tidak menjawab. Bagaimana bisa menjawab,
lehernya dicekik hingga ia susah bernafas.
“Bohong!” teriak perempuan gothic.
Hadeh, belum juga menjawab, sudah dibentak, kata
hati Mbambang. Perempuan kalau perkasa memang sering aneh. Merasa sudah tahu
apa yang belum dijawab orang lain. Apalagi dengan suaminya.
Tapi bukan cersil bermutu jika Mbambang tak bisa
membebaskan diri. Dengan sekuat tenaga ia dorong perempuan di atasnya itu,
“Huaaahhhh!”
Kini posisi sebaliknya. Mbambang duduk di atas
perut perempuan gothic itu.
Namun hanya beberapa detik, tahu-tahu Mbambang
terlempar beberapa meter ke belakang. Punggungnya membentur sebuah pohon besar.
Brug.
Beberapa saat Mbambang kehilangan kesadaran.
Pikirannya melayang ketika ia berada di atas tubuh perempuan gothic itu.
Pikiran kotor.
Tapi sejujurnya, perempuan gothic ini bertubuh
menggoda. Bagaimana tubuh yang menggoda itu? Hanya mereka yang pikirannya mesum
bisa menguraikan dengan tepat. Selebihnya jangan percaya, karena lelaki genit
juga bisa berimprovisasi untuk menyenangkan perempuan. Apalagi jika ada maunya.
Tapi, demikianlah perempuan gothic ini, yang dijamin lebih sexy dibanding
Saskia Gotik.
Pantas saja Mbambang kurang konsentrasi. Padahal,
ajaran dari semua pendekar silat, konsentrasi adalah investasi bagi kemenangan
dalam pertarungan. Sedetik saja lengah, nyawa bisa melayang. Meski belum ada
pembuktian hingga kini, dengan apa nyawa melayang. Sayap? Adakah yang tahu
nyawa punya sayap? Sementara pelindung perempuan dengan double wing saja tak
bisa terbang! Promosinya malah ahli hisap, dan memberi kebebasan pada aktvitas
perempuan di kala datang bulan.
“Katakan di mana Kitab Pararaton kau sembunyikan?”
perempuan gothic melancarkan pukulan sembari ngomong.
“Aku sendiri lupa di mana,...” Mbambang menjawab
culun.
“Bohong. Dasar laki-laki.”
“Apa hubungan laki-laki dengan bohong?”
“Hubungannya erat, bahkan identik!”
“Hadeh, sexys! Kebohongan, kejujuran, itu bisa pada
siapa saja. Apa kau pikir Ratu Atut Choisiyah jujur, karena dia perempuan?
Apakah Kanjeng Nabi tukang bohong karena dia lelaki?”
“Tidak sepatutnya membandingkan Atut dengan Nabi.
Nggak sepadan!”
“Lho, Kanjeng Nabi juga manusia. Tak ada yang
menyebut Kanjeng Nabi Tuhan!”
“Stop! Dalam semua cersil tak ada dialog macam
begini. Lanjutkan pertarungan!” perempuan Gothic tampak jengkel.
Pertarungan pun berlanjut. Mbambang kini tak mau
lagi lengah karena kurang fokus. Ia tak ingin seperti lelaki dogol, yang lena
karena godaan cuncum bra berukuran 38 itu.
19 |
Mbambang mengamuk membabi-buta. Tidak penting apakah kalau babi buta mengamuk
mengerikan atau tidak? Kalau babi binatang haram, bagaimana jika ungkapannya
diganti ‘mengamuk mengonta buta’? Biar sedikit lebih religius?
Jika tak setuju tak usah sewot, apalagi ngamuk.
Perempuan gothic pun akhirnya klenger. Sebuah totokan
pada belahan dadanya membuatnya tak sadarkan
diri. Totokan tepat di tengah antara susu kiri dan kanan perempuan gothic itu.
Sebagai pendekar yang baik hati dan tidak sombong,
Mbambang menelpon 108 untuk mencari tahu nomor telpon rumah sakit terdekat. Ia
kemudian menelpon pihak rumah sakit dan memohon ambulance untuk mengambil
perempuan gothic, yang nyekangkang di tengah ara-ara amba.
Mbambang kemudian ginkang. Dari pohon ke pohon.
Dari pohon ke bukit. Dari bukit ke pohon. Minggat meninggalkan korbannya.
Bersamaan dengan itu terdengar nguing, nguing, nguiiing,... dari sirene mobil
ambulance, yang kemudian membawa perempuan gothic itu pergi.
Mbambang masih pusing, di mana Kitab Pararaton
berada? Pakde Karwo yang ditemuinya hanya bisa menangis terguguk, gara-gara
gerobaknya hancur berkeping-keping. Sudah tiga hari Pakde Karwo tidak jualan.
“Berapa harga gerobak itu?” bertanya Mbambang di
depan rumah Pakde Karwo.
“Harganya tak seberapa, hiks, tapi nilai sejarahnya
itu,...” Pakde Karwo menjawab sambil terguguk.
Oh, my Godness! Betapa mahalnya nilai sejarah itu.
Tak bisa terbeli dengan uang. Mbambang garuk-garuk kepala. Betapa dahsyatnya
rakyat kecil Indonesia ini. Bisa jadi karena ajaran Bapak Revolusi Indonesia,
jasmerah, jasmerah, jasmerah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Padahal, siapa sesungguhnya yang meninggalkan?
Sejarah atau rakyat jelata?
Apalagi kini bukan hanya jasmerah, melainkan ada
juga jaskuning, jasbiru, jashijau, jasoranye. Dan yang terbaru;
jasijus-ijasijusijas!
Mbambang pun mesti membelikan gerobak angkringan
yang baru untuk Pakde Karwo. Tidak mungkin dia mengembalikan masa sebelum
gerobak itu jadi sasaran pukulan teroris golhit yang memburu Mbambang.
Dan sejarah gerobak yang tak ternilai harganya itu
pun hilang, berganti harapan baru dengan gerobak baru. Apalagi Mbambang
meninggalkan segepok uang untuk kulakan aman selama seminggu.
“Wah, sampeyan caleg nomer berapa? Partainya apa?”
“Hus, saya bukan caleg, Pakde!” tukas Mbambang.
“Lha, kok baik hati memberi saya uang?”
Mbambang hanya tersenyum.
“Saya akan coblos sampeyan yang baik hati dan dekat
dengan rakyat kecil ini,...” Pakde Karwo masih ngotot.
“Pakde tahu bungkusan yang saya bawa waktu saya
pertama kali ke angkringan Pakde Dulu?” Mbambang mencoba mengalihkan perhatian.
Coba kalau bisa mengalihkan ibukota RI, pasti sudah dialihkannya kemarin sore.
Pakde Karwo terdiam. Tampak ia sedang
mengingat-ingat.
“Dulu pakai baju apa ya?” Pakde Karwo balik
bertanya.
“Ya sama seperti ini. Celana komprang, dengan baju
tanpa kancing begini,” jawab Mbambang yang kemudian menjelaskan bagaimana
kostum yang dipakainya.
“Memangnya nggak pernah ganti?”
“Dalam cersil, nggak ada tokoh-tokohnya gonta-ganti
baju, Pakde. Si Buta dari Goa Hantu, To Pek Liong, Boo Key, Wiro Sableng, Wiro
Dono, semuanya kostumnya tetap. Nggak ganti-ganti. Mungkin juga nggak pernah
mandi. Lihat saja yang namanya Superman, Batman, Spiderman, Gundala, Godam,
pakaiannya gitu-gitu mulu,...”
“Kasihan sekali,...” gumam Pakde Karwo. “Apa mereka
cuma punya,...”
“Ya, mungkin saja bisa punya banyak,” tukas
Mbambang. “Tapi mungkin semua koleksi pakaiannya sama warna dan modelnya. Coba
Pakde lihat, banyak politikus kita semuanya pakai baju putih-putih. Itu baju
putih mereka bukan hanya satu jumlahnya. Mungkin dua lemari, dan bisa jadi
sekali pakai buang.”
“Sayang sekali,...”
“Lebih sayang lagi kalau tubuh mereka yang suci
terkotori. Makanya, baju pun hanya sekali pakai, untuk menjaga kesucian mereka.
Yang namanya Batman itu, bahkan sejatinya pengusaha. Kaya raya. Tapi, pengusaha
kaya raya ‘kan biasanya agak sedikit gemblung, gaya hidupnya aneh-aneh, Pakde.”
Pakde Karwo kembali hanya manggut-manggut.
“Sudah ingat, Pakde, saya membawa bungkusan itu?”
Pakde Karwo kembali mengingat-ingat. Sepertinya ia
menyelamatkan bungkusan yang dibawa Mbambang. Ia masukkan ke dalam gerobak
angkringannya.
“Lha, tapi, gerobak itu ‘kan hancur
sewalang-walang,....” tiba-tiba Pakde Karwo mendesis.
“Maksudnya? Maksudnya Kitab Pararaton itu ada di
dalam gerobak? Dan kemudian ikut hancur lebur bersama gerobak itu?”
Pakde Karwo terdiam beberapa saat. Ia menganggukkan
kepala perlahan.
Mbambang tepok jidat.
Mampus aku! Bagaimana nanti menjawab pertanyaan
Kanjeng Ratu Kalinyamat, jika tiba-tiba makjegagik queen of nude itu
menagihnya?
Mbambang melesat ke pasar Imogiri. Ke TKP. Pakde
Karwo melongo karena Mbambang tiba-tiba lenyap.
“Setaaaaannnnnnn,...!” Pakde Karwo lari nggendring
ke jalanan kampung.
KPU (Komisi Pemilihan Umum) Mbuantul tiba pada
kesimpulan, bahwa kegiatan demokrasi 2014 ini ditengarai dengan kemungkinan
adanya aksi terorisme. Hal itu dinyatakan ketika mereka datang ke rumah sakit
Mbuantul. Karena berdasar laporan paramedia, di balik kostum perempuan gothic
yang dirawat di rumah sakit itu, ditemukan sticker partai politik peserta Pemilu
2014.
Partai politik apa? KPU memilih bungkam dengan
mengatakan semuanya masih dalam penyelidikan, dan untuk menjaga stabilitas
politik. Padahal, cara-cara demikian justru berpotensi membuat instabilitas.
Dan wartawan sering meneruskan kebodohan itu dengan menambah-nambahi
interpretasi ngaslak. Mestinya Dewan Pers mengubah pendapat mengenai “fakta dan
opini”. Berita, dari sononya, pasti tak lepas dari opini. Tapi fakta pastilah
bisa dibedakan dengan asumsi, sekali pun asumsi bisa mengandung kebenaran, namun
toh harus dibuktikan dengan fakta. Kalau fakta harus dibedakan dengan opini,
bagaimana Dewan Pers menilai berita politik dari Metro TV, MNC Group, TV-One,
dan sebagainya itu? UU Pokok Pers kita sendiri termasuk tak jelas, bahkan kalah
pancasilais dengan pers di Amerika Serikat yang sekuler.
Tapi di pasar Imogiri, Mbambang tak menemukan
apa-apa. Halaman pasar, tempat angkringan Pakde Karwo berada, sama sekali sudah
bersih. Mbambang menyalahkan petugas kebersihan yang terlalu rajin. Padahal,
biasanya sampah di biarkan numpuk berbulan-bulan, sampai muncul surat pembaca
di media, dan baru dibersihkan.
Mbambang mendekat ke petugas kebesihan pasar.
“Bapak tahu, siapa yang bertugas menyapu pasar ini
pada hari Selasa Wage kemarin?” Mbambang langsung memberondong dengan
pertanyaan.
“Waduh, saya lupa!”
Hadeh, semua orang dengan mudahnya mengatakan lupa,
lupa, lupa! Bangsa yang pelupa adalah bangsa yang tidak akan bisa menjadi
bangsa pengingat. Camkan itu, saudara-saudara, wahai!
Mbambang muter-muter di halaman pasar yang mulai
sepi. Pasar Imogiri hanya ramai pada pagi hari hingga lohor. Pada jam-jam
berikutnya, hanya tampak beberapa penjual makanan kecil. Itu pun hanya
beberapa, tak lebih dari sepuluh.
Terduduk di selasar pasar, wajah Mbambang terlihat
kusut.
Handphonenya memberi tanda ada SMS masuk. Dari
Susilo; Di mana kamu?
Mbambang tak segera membalasnya. Apa yang dilakukan
Susilo kini? Masih di Blitar, dengan cemcemannya?
Mbambang mengabaikan. Pikirannya penuh dengan
pertanyaan. Soal Kitab Pararaton itu. Padahal tanggal 9 April tinggal dua
minggu lagi. Apa jadinya jika kitab itu tak ditemukan? Apa jadinya, duhai!
20 |
Mbambang ubeg-ubegan dari pasar ke pasar. Terutama di los barang bekas dan
loakan. Sampai ke Pasar Beringharjo dan Pasar Klithikan di Yogyakarta. Juga
Pasar Senthir maupun Pasar Kenthir. Siapa tahu Kitab Pararaton sudah berpindah
tangan ke pedagang loak?
Jalan menuju kota agaknya tak mudah. Macet di
mana-mana. Apalagi karena ulah para peserta kampanye. Belum berkuasa pun sudah menyengsarakan lain
orang.
“Pados napa to, Den?” seorang perempuan pemulung
benda-benda bekas menyapa Mbambang di pasar Beringharjo. Dia menanyakan apa
yang dicari Mbambang.
“Buku-buku lama, Mbak,...” Mbambang menjawab
sekenanya.
“Buku apa? Novel? Saya ada ini, bagus-bagus lho.
Ada karya Nick Carter, Freddy S., Any Arrow, Motinggo Boesye, Abdullah
Harahap,...” perempuan pemulung itu menyebut beberapa nama.
Mbambang memperhatikan wajah perempuan pemulung
itu.
“Dapat darimana?”
“Dari Bu Ilenk, koleksinya banyak yang begituan.”
“Bu Ilenk?”
“Iya, Bu Ilenk.”
“Yang begituan itu yang seperti apa?”
“Ya gitu, bacaan porno gitu. Tapi, fantasi
seksualnya lebih dahsyat lho, Den. Tidak sebagaimana karya-karya Ayu Utami atau
Ayu Laksmi. Lebih hidup dan jujur.”
“Maksudnya norak?”
“Iya, jujur ‘kan norak. Cerita erotis dengan bahasa
yang coba dipuitiskan itu jadi terasa munafik. Pernah membaca Histoire secrete
d'Isabelle de Baviere, reine de France karya Marquis de Sade?” perempuan
pemulung itu nyerocos dengan lancarnya. “Karya-karya sastra Indonesia sekarang
Cuma menang di komunitasnya saja, Den. Coba, sampeyan deket ama GM, aktif di
Salihara, pasti segera jadi terkenal dan berwibawa. Bisa dapat biaya sekolah
gratis ke luar negeri segala, lho, Den,... Atau ke Kompas, apalagi kalau bisa
jadi teman baik Jakob Oetama! Nulis dulu di Kompasiana, hihihihi,...”
Mbambang terperangah. Perempuan pemulung itu terus
saja nyerocos. Wajahnya tidak meyakinkan. Pakaiannya kumal bertembel bendera
dan poster parpol. Dilihat dari nomor urut parpol, sepertinya itu poster Pemilu
2009. Ada gambar parpol yang sudah marhum.
“Sampeyan ini pemulung apa kritikus sastra
dekaden?”
“Saya drop-out dari filsafat UGM, Den. Bukan
drop-out sih, tapi terpesona pada tokoh kita dalam novel-novel Iwan
Simatupang,...” perempuan pemulung itu memungut puntung rokok yang masih nyala.
Dihisapnya dalam-dalam.
Asap mengepul dari mulut dan hidung perempuan
pemulung itu. Sangat fasih.
Mbambang mencoba membayangkan, bagaimana seandainya
perempuan pemulung itu mandi, atau diajaknya ke SPA untuk perawatan berat.
Garis wajahnya ayu. Gabungan antara tiga sampai enam artis paling cantik se
Indonesia. Jika satu gelas teh dengan satu sendok gula ditambahi enam sendok
gula, pasti manis sekali. Begitu juga tentu enam artis cantik ditumbuk jadi
satu, pasti jadi artis yang cantiknya enam kali lipat.
“Kalau dilihat dari matanya, Den ini sepertinya
lama nggak ML,...” perempuan pemulung itu nyolot sembari menghembuskan asap
rokoknya.
Jakun Mbambang turun-naik. Dari sejak muncul dari
jilid pertama, Mbambang mengakui, penulis belum memberinya kesempatan untuk
meluncaskan hasrat seksualnya. Bagaimana kalau di jilid sekarang ini?
Dengan perempuan gelandangan ini?
“Saya juga lama nggak ML,...” perempuan pemulung
itu menggeremeng. Matanya lurus ke depan. Dengan pandangan kosong bernuansa
merah jambu. Sunyi menggigit. Sampai berdarah.
“Di mana?” Mbambang memberanikan bertanya pada
perempuan pemulung itu.
“Apanya?” perempuan pemulung itu menatap wajah
Mbambang. Sinar matanya berkilat.
“Kalau kita ML?” Mbambang agak gagap.
“Di taman monumen Satoe Maret. Di belakang
patung-patung itu. Di sana aman,...” bisik perempuan pemulung itu dengan
kerlingan nakal. Kerlingan nakal itu ngerling sambil nggampar tanpa sebab.
Kayak anak kecil kalau menggampar temannya tanpa alasan.
“Sore-sore begini?”
“Justeru sore begini aman!”
“Bagaimana kalau menunggu malam?”
“Terus bagaimana cara menghabiskan waktu untuk
menunggu itu?”
“Apakah aku perlu menjawab pertanyaaan itu?”
Malam merambat perlahan. Matahari sudah nyungsep di
balik Gedung Negara. Wajah patung raksasa membawa gupala, masih saja seperti
dulu. Matanya tak berubah, demikian juga rambutnya yang berpotongan jadul. Ia
seperti tak pedulikan betapa cepatnya jaman berubah. Dasar patung!
Titik nol Yogyakarta tiap malam selalu riuh. Ada
ratusan anak muda, nongkrong di pinggir jalan, lelaki dan perempuan. Mahasiswa,
pelajar, buruh, asisten dosen yang masih giat pacaran, komunitas ini dan
komunitas itu, tumplek-bleg. Jika dituliskan obrolan mereka sepanjang malam
hingga dini hari, mungkin menghasilkan buku ukuran standar sebanyak 300-900
halaman. Kalau tiap malam satu orang melahirkan satu buku, dalam satu malam di
titik nol itu, akan lahir ratusan buku baru. Kalau sebulan? Sejuta buku bisa
lahir dari sini. Kalau setahun?
Tak terbayangkan. Orang Indonesia memang dahsyat.
Jika saja mereka mau.
Perempuan pemulung itu menggandeng tangan Mbambang
yang malu-malu. Jangan-jangan nanti ada temannya yang melihat. Tapi sepertinya
tidak. Tak mungkin teman-temannya nongkrong di titik nol. Mereka kini lebih
banyak nongkrong di cafe-cafe eksklusif, biar dikata mereka adalah bagian dari
gaya hidup modern yang keren.
Sepertinya perempuan pemulung itu sangat hafal, di
mana pagar taman yang bisa dilewati dengan aman.
Keduanya kini tepat berada di longkangan
patung-patung tentara, yang dulu mempertahankan Ibukota Republik Indonesia dari
serangan Belanda.
Mbambang masih jerih, melongok ke orang-orang yang
begadangan di titik nol.
Tapi agaknya perempuan pemulung itu tak sabar. Dia
tarik leher Mbambang. Perempuan pemulung itu mencium bibir Mbambang dengan
rakus. Bunyinya berdenyit-denyit seperti ban mobil mencium licin aspal jalanan.
Mereka bergulingan di rerumputan taman Satoe Maret.
Bagaikan kisah Adam dan Eve di taman Eden. Tanpa busana. Tiada mereka peduli
para pengomong-kosong di sepanjang jalan. Dalam dingin malam yang membara.
Langit begitu tohor.
Tanpa bintang.
21 |
Sementara itu, Susilo dan perempuan sopirnya melarikan diri dari Blitar.
Seharusnya mereka dimintai keterangan dan harus melapor ke Polsek Bendo Gerit.
Pihak hotel melaporkan kejadian perkelahian di kamar yang ditempati Susilo
bersama perempuan sopirnya. Tapi Susilo memerintahkan untuk kabur.
Kota Blitar yang kecil sempat heboh. Dengan bantuan kepolisian kota, empat mobil patroli diturunkan mengejar
mobil Susilo. Berkoordinasi dengan polsek-polsek wilayah lainnya, semua jalanan
kota Blitar dijaga polisi. Beberapa polisi yang bertugas di ring luar penjagaan
Ibas Yudhoyono, yang sedang berkampanye di Blitar, uring-uringan karena
dipindah ke ring kering. Karena menjaga keselamatan anak presiden lebih basah
rasanya, jika nasib untung bisa naik pangkat mendadak.
Jarak mobil Susilo dengan pengejarnya semakin
dekat. Sementara di ujung jalan, barisan polisi siap menghadang. Bunyi sirene
begitu ribut. Menguing-uing.
Tepat ketika jarak tembak semakin dekat, tiba-tiba
mobil Susilo membubung terbang.
Para polisi semestinya bisa segera melakukan
tindakan. Tapi agaknya mereka memilih terbengong-bengong. Susilo lepas dari
kejaran.
Dengan ketinggian yang rendah (maksudnya gimana?),
mobil Susilo menuju ke arah timur laut. Melintasi hutan kota, perbukitan, dan
rumah-rumah penduduk yang menyemut.
Jika diikuti persoalan dengan pihak kepolisian,
Susilo menduga posisinya jadi serba sulit. Apalagi dengan mobil
super-canggihnya, dengan perempuan bukan muhrimnya dalam satu kamar hotel. Apa
kata dunia tentang hal itu? Tidak patut ditiru oleh generasi muda. Maunya, biar
para ortu yang yang ruksak (ruksak itu rusak banget, menurut Ali Topan bin
Teguh Esha dalam episode pertama dan terakhir kalinya).
Apalagi dalam situasi politik seperti saat ini.
Sangat tidak menguntungkan. Orang akan dengan mudah curiga, kemudian membuat
teori-teori kodok bangkong seolah-olah menguasai data. Membuat analisis dan
konklusi soal konspirasi, tapi datanya sampah melulu. Persis kelakuan Rhoma
Irama, yang percaya ibunda Jokowi beragama Kristen, hanya karena dia membacanya
di internet. Dan menurutnya, kalau sudah dari internet, sahih dan canggih.
Pantes saja beliau diganjar gelar profesor, gelar paling cocok bagi mereka yang
suka disebut pinter tapi nulis di jurnal ilmiah juga kagak. Dulu sedikit banget
Indonesia punya profesor, kini berjibun profesor, tapi apa karya mereka?
Susilo pun kemudian nongkrong di Taman Bungkul,
sebuah pusat jajanan serba ada gagasan Tri Rismaharini.
“Kita tetap harus bertemu Bung Karno,” gerutu
Susilo sambil mencomot sate susu dibalik, begitu tulis di daftar menu.
Maksudnya sate usus.
“Bagaimana caranya, Boss? Panggil dukun?”
“Kenapa tidak? Malaysia saja panggil dukun untuk
mencari pesawat yang hilang, masa’ Indonesia kalah dengan Malaysia? Bisa-bisa
dukun produk Indonesia didakunya pula.”
Selesai menangsel perut, mobil Susilo pun meluncur
ke sebuah hotel super-mewah di bilangan Darmo. Tentu dengan menggunakan jalan
darat, agar tidak mengundang nafsu wartawan infotainment.
“Beritahu Pakde Karwo, kita ada di Surabaya,...”
perintah Susilo pada sopirnya. Entah siapa namanya, dari sejak kemunculannya,
tak pernah di antara mereka menyebut nama. Padahal sebenarnya gampang, tinggal
penulisnya memberi nama; Pariyem atau Angelina. Tapi alasan penulisnya sungguh
tidak bermutu. Ia malu menanya siapa nama perempuan sopir itu. Bukan muhrimnya,
begitu alas an yang dikemukakan.
“Jiancuk, Rek!” tiba-tiba terdengar suara makian.
Susilo celingukan. Tak ada siapa-siapa kecuali
dirinya, sopirnya dan seorang petugas cleaning service hotel.
Petugas cleaning service itu kelihatan malu.
Agaknya ia takut dikira memaki tamu hotel. Sembari menjauh, cleaning service
itu berkata sopan, “Maaf, tadi RBT dari hape saya yang bunyi, maaf,...”
“Jancuk, Rek, kon iku!” kali ini Susilo yang
memaki. Bukan RBT.
Arek-arek jaman sekarang suka aneh-aneh. RBT kok
isinya makian. Tapi sekarang ada juga RBT yang bunyinya lebay; Hidup SBY!
Pokoke Jokowi! Mampus kau Ruhut! I love you SW!
Padahal Kalau RBT isinya daging ‘kan lumayan?
Ya, kalau lumayan, kalau lu manyun?
Susilo bersolilokui meniru model pelawak Srimulat.
“Pakde Karwo bilang, Boss tidak boleh meninggalkan
Surabaya sebelum bertemu dengannya,” perempuan sopir memberitahu.
“Beritahu dia, ada masalah di Bendo Gerit, biar dia
selesaikan!”
“Siap, Boss!”
“Dolly udah ditutup ya?”
“Masih banyak, Boss.”
Percakapan terhenti.
Di kamar hotel, mereka berdua memperhatikan
sekeliling. Tiap sudut ruangan mereka periksa. Agaknya mereka tak ingin kasus
Bendo Gerit terulang.
“Tangan saya gatel, Boss.”
“Kenapa?”
“Kita berada dalam cerita silat, tapi jarang banget
berantemnya. Jadi gatel,...”
“Kalau gatel dikukur aja,...”
Keduanya lagi-lagi terdiam. Oh ya, lupa
memberitahu. Keduanya berada di satu kamar. Bukan untuk urusan syahwat, tapi
demi keamanan. Kalau syahwat muncul, itu pengecualian. Ini masih mending, one
by one. Bukan threesome ala ulama MUI Bogor.
Siapa sesungguhnya Susilo ini? Atau, siapa
sebenarnya Susilo ini? Dia ini orangnya siapa? ARB? Prabowo? SBY? Wiranto?
Mega? Atau Soeharto?
Begitu rapatnya Susilo menyembunyikan identitasnya.
Bahkan penulis ceritanya pun tidak tahu. Entah saking rapetnya menjaga rahasia,
atau saking guoblognya yang nulis.
Karena bukan rahasia lagi, banyak penulis yang
tidak tahu apa yang ditulisnya. Apalagi kalau yang nulis ternyata mentornya.
Dan para cabe-cabean, biasanya perempuan semriwing, yang ingin jadi penulis,
kemudian lebih sibuk main esek-esek dengan mentornya yang cowok. Mentor cewek
untuk calon penulis cowok sepertinya tak pernah ada dalam sejarah kesusasteraan
kita yang adiluhung. Sejak jaman Gajah Mada bersumpah tan amukti palapa, sumpah
mampus hal itu sepertinya belum pernah terjadi. Seks dan Sastra Kita (seperti
buku seri esei Pustaka Sinar Harapan jaman dahulu, kebetulan ditulis oleh
Goenawan Mohamad, yang konon selain sastrawan juga ahli seks jurusan sufi dan
elitis), tampaknya makin relevan. Seks itu pun juga ada kasta-kastanya. Ada
kasta yang sudra, yang meski sudah sangat jawara merangkai kata, tapi karena
sembarang menancapkan kelamin, akhirnya dituntut dengan kasus perkosaan oleh
gadis yang dihamilinya.
Jadi jangan hanya nyindir Chairil Anwar atau Bung
Karno sebagai playboy yang thukmis. Mengutip sebuah status fesbuk, mereka yang
kalah akan menyerang, mereka yang hina akan mencaci-maki. Dan semakin tampak
bagaimana seseorang tak bisa menjaga harkat dan kehormatannya. Hanya karena
ingin menjadi presiden. Seolah-olah, presiden adalah segalanya. Padahal,
menurut Ruth Sahanaya, hanya kaulah segalanya. Yang lainnya tidak.
“Pakde Karwo minta bertemu malam ini,” perempuan
sopir Susilo memberitahu sms yang diterimanya.
“Hadeh. Setiap hendak bersambung ‘kan mestinya
ceritanya agak mesum dikit, agar pembaca penasaran.”
“Tapi ini Pakde Karwo yang minta. Dia penguasa Jawa
Timur, Boss. Muncul gossip, ada juga yang mencalonkan Pakde Karwo jadi presiden
alternatif.”
“Hanya karena kumisnya? Kalau cuma begitu
syaratnya, Surya Paloh malah pakai brewok pula.”
“Prof. Rhoma Irama, bahkan di dadanya juga tumbuh
bulu, sexy banget, Boss. Apalagi kalau kancing bajunya dilepas.”
“Norak! Presiden kok hanya karena tampilan fisik,”
Susilo agak jealousy. “Nyatanya, banyak akhirnya yang kecewa dengan SBY, yang
dulu ibu-ibu pada tergila-gila karena kegagahannya. Katanya, lebih ganteng
dibanding Megawati. Nggak tahunya ini presiden paling lebay yang pernah
dimiliki Indonesia!”
“Nggak takut disomasi, Boss?”
“Bung Karno itu presiden yang keren. Ia manusia
yang menghayati, bahwa semakin tinggi pohon, semakin tinggi angin menerpanya.
Tetapi semakin tinggi pohon semakin dalam dan kuat akarnya di dalam tanah. Dan
itu pohon yang tak mudah goyah. Pohon yang tinggi tapi akarnya cethek, akalnya
dangkal pula. Makanya kecenderungannya dikit-dikit curhat dan marah-marah.”
“Boss, Pakde Karwo sudah menunggu di suite lounge
di lantai bawah,” perempuan sopir mengingatkan Susilo.
Tapi Susilo akhirnya buru-buru turun, sembari
menggerutu. Gagal lagi adegan mesum dalam jilid kali ini.
Jika bukan Pakde Karwo yang ingin bertemu, Susilo
pasti lebih memilih kelonan di kamar. Seperti Teletubies. Berpelukaaaannnn,…!
22 | “Kitab
Pararaton itu tampaknya ada di Yogya!” kata Pakde Karwo sehabis menyeruput
minumannya.
“Apakah itu artinya Sultan HB-X hendak mencapreskan
diri?” Susilo menyelidik.
“Sepertinya tidak. Momentumnya sudah lewat.”
“Darimana Pakde Karwo punya pendapat seperti itu?”
“Soal Sultan?”
“Soal Kitab Pararaton!”
“Di Imogiri, saya bertemu yang bernama Mbambang itu,…”
“Mbambang?” Susilo terbeliak.
“Dia mencari-cari barangnya yang ketinggalan di
gerobak angkringan saya,…”
“Dan barang itu Kitab Pararaton?”
“Belum jelas juga. Soalnya, barang itu saya simpan
di gerobak, tapi gerobaknya diledakkan oleh kelompok salah paham. Barang bawaan
Mbambang yang ketinggalan itu pasti ikut meledak juga, hiks,…”
“Pertanyaan saya, darimana Pakde Karwo mengetahui
barang milik Mbambang itu Kitab Pararaton?”
Pakde Karwo kemudian menceritakan kejadian yang
dialaminya di Imogiri.
“Saya mendapatkan informasi paling valid. Mbambang
menceritakan pada salah satu tikus yang kita tempatkan di Yogya. Dia sedang
mencari-cari Kitab Pararaton itu. Waktu itu, ia bertemu dengan tikus kita di
los loakan pasar Beringharjo, dan katanya dia sedang mencari Kitab Pararaton
itu,…”
Susilo belum juga mudeng dengan alur cerita Pakde
Karwo.
“Kalau belum jelas juga, baca ulang deh, cersil ini
pada jilid 20!” Pakde Karwo berkata jengkel.
Langit Surabaya gelap. Tapi terasa terang di
permukaan tanah yang pernah melahirkan Bung Tomo itu. Tentu saja, karena malam
hari, dan lampu kota terasa semarak. Dan Tri Rismaharini mendapat berbagai
penghargaan internasional atas berbagai program tamanisasi itu.
Semalaman Susilo termangu-mangu. Pikirannya sibuk
dengan dugaan. Bagaimana bisa Kitab Pararaton yang dicari-carinya itu juga
diburu oleh Mbambang? Apa kepentingannya? Bahaya kalau kitab itu jatuh ke
tangan Golput. Sebagai Golhit, tujuh turunan Susilo tak akan bisa menerima hal
itu. Kalau perlu, meniru-niru Ken Arok, tumpes kelor keturunan Golput sampai
tujuh turunan pula.
Susilo ragu-ragu hendak menghubungi Mbambang. Ia
kini perlu berhati-hati untuk berkomunikasi dengan Mbambang. Sudah pasti,
Golput adalah musuh Golhit. Dan tak akan ada kompromi untuk itu. Politik
Nusantara adalah politik bunuh-bunuhan. Tak boleh ada matahari kembar.
Cerita-cerita klasik peninggalan nenek-moyang kita, lebih berisi soal kuasa
tunggal dan kehendak saling melenyapkan.
Dari ujung Sabang hingga dataran Merauke,
sambung-menyambung menjadi dendam tak berkesudahan. Semua merasa saling benar
dan mulia. Dan politik yang dikembangkan hanyalah karena berapa banyak jumlah
gerombolannya. Itu sebabnya pula, para capres yang berasal dari luar Jawa,
mesti berhitung dengan populasi mayoritas penduduk Indonesia ini. Tidak
rasional? Dari berbagai sudut keilmuan, justeru itulah yang paling rasional,
meski para orientalis mengatakan; Pilih pemimpinmu bukan karena ras, suku, dan
agama. Tapi bereka yang belajar sosiologi politik dan kebudayaan manusia, tak
pernah bisa menjatuhkan fakta-fakta politik yang ada. Apalagi variable politik
kita belumlah sangat problematis. Karena bangsa ini juga lebih banyak
didewasakan dengan teas-tesa konflik tipologis, belum sampai pada konflik
psikologis dan dialektis. Beberapa Negara yang rekayasa sosialnya berjalan
genuine, telah menyelesaikan sentiment-sentimen itu, hingga seperti Amerika
Serikat yang rasialis pun memenangkan Barrack Obama yang berkulit hitam. Dan
film "12 Years a Slave" pun bisa menjadi film terbaik, peraih Piala
Oscar, setelah 86 tahun penyelenggaraan Academy Award.
Sekali pun tentu, proses perjalanan Negara ini tak
perlu menunggu begitu lama sebagaimana AS yang harus menunggu sampai 200-an
tahun lebih. Dengan teknologi komunikasi dan akses informasi seperti sekarang
ini, dunia menjadi sempit, dan Indonesia bisa belajar jauh lebih cepat.
Peribahasa Jawa yang mengatakan “ndonya ora mung sak godhong kelor” (dunia tak
selebar daun kelor), bisa jadi hanya bisa dipakai oleh motivator tangguh, di
jaman dunia tak lebih tebal dari kulit ari ini. Sebelum seratus tahun Indonesia
Merdeka, semestinya pembelajaran demokrasi itu sudah jauh lebih dari cukup.
Perlahan akan hilang pula isyu-isyu sipil-militer,
trah darah biru dan trah darah item, dan apalagi akan makin hilang pula ukuran
presiden berdasar kegantengan dan kecantikan. Sungguh betapa memalukannya
pencapaian politik kita hari ini, yang masih sexys, dan bahkan masih belum
jenjem dengan isyu SARA.
Bukankah semestinya kita kembali ke azali, bahwa
nilai dan ukuran manusia ialah pada apa yang diperbuatnya? Dan bukankah
perbuatan adalah manifestasi yang dipikirkan, dituliskan, dikatakan, berdasar
pengetahuan dan moralitasnya?
Ukuran-ukuran normatif yang selama ini diyakini,
mestilah dikritisi secara proporsional. Jika ARB mendapatkan resistensi yang
tinggi, bukan karena ia dari Sulawesi atau Sumatera, misalnya. Bukankah Yusuf
Kalla yang berasal dari tanah yang sama dengan ARB lebih dapat diterima oleh
suku Jawa? Tanya kenapa coba. Bukankah Jokowi dan Amien Rais yang sama-sama
dari Solo juga tidak mendapatkan penerimaan yang sama? Tanya kenapa coba.
Itulah kepentingan, katamu. Dan itulah politik. Politik kelas ecek-ecek.
Pandangan tipologis yang menempatkan karakter
manusia berdasar dari asal suku atau etnisnya, adalah pandangan jadul warisan
VOC dalam politik devide et impera. Jika bangsa Jawa adalah munafik, Batak
tegas, Makassar berani, Sunda curang, Betawi malas, alangkah bodohnya Tuhan
menciptakan manusia. Betapa seringnya kita membodoh-bodohkan Tuhan, dengan cara
memuliakan Tuhan, seolah manusia hanya boleh menerima takdir yang sudah
ditetapkan. Manusia malas, munafik, keji, jujur, khianat, bukan karena dari
mana etnisnya berasal, tapi dari perbuatan yang dilakukan. Dan siapa pun serta
di mana pun bisa melakukan apa pun di dunia ini. Buktinya, banyak anak-anak
Indonesia yang pintar, dan mendapat kedudukan penting dan strategis di berbagai
Negara. Hanya karena kualitas kepemimpinan yang buruk dan korup menjadikan
bangsa dan Negara ini blangsak. Sekali pun dikatakan tongkat dan kayu jadi
tanaman di tanah air ini. Penghiburan bangsa pengidap inferiority complex.
Susilo mengusap-usap jidatnya. Malam ini ia tidur
sendirian. Ia meminta perempuan sopirnya untuk membiarkannya sendiri.
Pikirannya tentang Mbambang dan Kitab Pararaton telah melenyapkan libidonya.
Apakah ia harus menyusul Mbambang di Yogya? Tidak
harus. Bukankah ia punya banyak anak buah yang ditebar di seluruh Indonesia
Raya?
Tapi Susilo agak gamang. Banyak orang kini menyewa
intel. Jangan-jangan beberapa bukan hanya double agen, tapi mungkin triple,
fourple, dan seterusnya. Maklumlah, intel juga manusia, dan manusia doyan duit,
wong setan saja sekarang juga doyan duit, setidaknya setan yang berujud
manusia.
“Kamu di mana?” Susilo menghubungi perempuan
sopirnya. Didengarnya suara riuh dalam handphone.
“Diskotik, Boss,” terdengar suara perempuan sopir
di antara riuh-rendah musik dan ketawa lelaki-perempuan.
“Kita ke Yogya sekarang,…”
“Waduh, lagi hang-out nih, Boss,… ada brondong
basah!”
“Kutunggu dalam lima menit,…”
“Walah, jarak diskotik ini dengan hotel minimal
setengah jam!”
“Kalau tidak kutinggal,…”
“Emang Boss bisa pegang kemudi mobil itu?”
Jiancuk! Susilo mondar-mandir di kamarnya. Seumur
hidup ia tak bisa mengemudikan mobil. Waktu kecil ia belajar naik sepeda roda
tiga, itu pun jotah-jatuh mulu. Dan hingga kini ia trauma.
Mau tidak mau ia terpaksa menunggu perempuan sopir
keparat itu.
Sebetulnya, diskotik itu terletak di underground
room hotel. Tinggal naik lewat lift, dalam waktu kurang lima menit sebenarnya
bisa. Tapi hasrat libido perempuan sopir itu bagaikan hendak meledak. Ia
melakukan fast-sex dengan brondong basah yang ditemunya di diskotik. Duapuluh
menit cukup.
Buru-buru perempuan sopir itu menarik celana
hipstersnya. Meninggalkan brondong basah pingsan di atas closset.
23 | Susilo
terbang ke Yogya dengan mobil super deluxenya. Jalanan di beberapa kota macet,
apalagi jika sedang dipakai para peserta kampanye. Tapi perjalanan Susilo
lancar-lancar saja, karena mobil yang dikendarai melayang di angkasa. Kenapa
melayang di angkasa? Karena tak bisa melayang di lautan.
Siapa pembuat mobil itu? Tak penting diceritakan, karena bisa mengganggu mood pembaca cerita silat. Disangkanya
nanti malah jadi sastra automotif. Sastra? Hihihi, maaf, cerbung ding, alias
cerita mbambung.
Tapi tak mudah bertemu Mbambang di kota kecil
Yogyakarta. Sudah dua malam Susilo nongkrong di titik nol, dan bahkan
menyelinap di taman kota belakang patung Satoe Maret, iya tidak menemuinya.
Bahkan juga tikus betina yang diinformasikan oleh Pakde Karwo pun tak
ditemunya.
“Siapa?” seorang ibu-ibu yang jualan barang loakan
menjawab pertanyaan Susilo dengan suara cempreng.
Susilo jadi kelicutan.
“Di sini banyak orang yang ngilokan kertas, buku
bekas, kumpulan skripsi, barang-barang loakan,…” jawab ibu itu kembali dengan
suaranya yang buanter banget, “Bahkan kemarin ada tuh yang njual buku 33 Tokoh
Sastra Paling Berpengaruh, sampek tujuh kiloan,...”
“Dia perempuan gelandangan,…” Susilo mencoba
menjelaskan.
“Haiya yang jualan barang-barang bekas di sini cuma
gelandangan umumnya. Masa’ menteri jualan barang bekas di sini,… Menteri itu
tidak jualan. Menteri itu korupsi! Eh, ada ding kemarin yang ke sini,
perempuan, namanya Fatin Hamama. Bukan njual, tapi dia nyari buku bekas tulisan
Empu Sedah. Itu soal gimana cara bikin racun arsinekum. Ya, mana saya ngerti,”
ibu itu terus saja ngomong dengan suaranya yang kenceng.
“Katanya dia bekas mahasiswa filsafat UGM,…”
“Si Fatin Hamama itu?”
“Bukan! Yang sering menjual barang bekas ke
Ibu,...”
“Huahahahahaha,…” ibu itu malah ketawa ngakak. Satu
los pasar loak pun ikut tertawa terbahak tanpa sebab. Gemuruh ketawa ngakak itu
hampir merobohkan pasar, yang berdiri sejak Kraton Mataram Ngayogyakarta
Hadiningrat berdiri pada tahun 1755, beberapa bulan usai Perjanjian Giyanti.
“Mana ada gelandangan kuliah di UGM? UGM sekarang bukan kampus rakyat atau
kampus ndesa. Di situ mahal sekarang, jauh lebih mahal dari kampus swasta. Anak
saya diterima di situ, tapi nggak kuat mbayar uang gedungnya. Negara apa iki,
mung nggolek duwit thok,…”
Mbambang tak tahan mendengar suara keras ibu itu.
Ia pun memilih pamitan pergi.
Ke mana harus dicari? Menghubunginya lewat
handphone? Pasti berakibat lebih buruk. Tapi bukankah golput dan golhit harus
dipertemukan dan ditarungkan? Kalau tidak, bagaimana sebuah cerita tanpa
antagonis? Semua orang baik-baik saja, jujur, tulus, mulia, ikhlas,… Nggak ada
cerita dong!
Cerita harus dengan protagonis dan antagonis, kata
para mentor penulisan. Tentu saja itu hanya nasehat untuk kaum penulis yang tak
bisa membuat cerita. Umumnya mereka menulis setelah beol, bertapa di closset
berjam-jam, nunggu wangsit, sampai antrean di luarnya mencapai 50 meter. Karena
ternyata lupa hal itu dilakukan di WC Umum.
Menulis adalah menulis. Asal kau punya pengetahuan,
referensi, kemudian memiliki sikap. Selebihnya adalah soal teknis, soal
keberanian untuk menulis dan menulis, hingga sebagaimana pendekar terampil
memainkan pedangnya. Sebagaimana pengayuh beca yang terampil mengemudikan beca
di gang-gang sempit. Sebagaimana petani mencangkuli sawahnya sebelum masa
tanam. Asal bukan sebagaimana capres yang berani nyapres tapi tidak tahu pantas
dan tidaknya.
“Iki kok malah how to be writing, piye toh?” protes
seorang pembaca.
“Iya, ki, mulai ra mutu iki,” protes pembaca lainnya
(hihihi, purak-puraknya ada yang membaca).
Susilo dan perempuan sopirnya menggelandang di
Malioboro. Dingin udara malam seolah menyusuri ulu hati. Untunglah hanya
seolah. Kalau betulan, betapa menyakitkannya.
Di lesehan gudeg Malioboro, Susilo bertemu dengan
seorang lelaki tua, kurus, berambut gondrong. Lelaki itu memperkenalkan diri
sebagai Umbu Landu Paranggi.
“Oh, Anda dari Sumba?” Susilo takjub.
Lelaki tua gondrong itu mengangguk.
Susilo memberi perintah pada perempuan sopirnya
untuk mencari data soal Umbu Landu Paranggi. Melalui sms, perempuan sopir itu
memberitahu Susilo, bahwa Umbu Landu Paranggi adalah presiden Malioboro.
“Ohhhh, Anda Umbu Landu Paranggi, presiden
Malioboro?” Susilo makin takjub. Dengan khidmat ia mengulurkan tangan untuk
berjabatan. Susilo mencium tangan Umbu Landu Paranggi. Dengan penuh hormat.
Persis Anas Urbaningrum jaman dulu kala, ketika mencium tangan Susilo Bambang
Yudhoyono. Jaman ketika mereka sama-sama masih memakai jaket biru.
Kini Anas Urbaningrum lebih suka memakai baju
putih. Demikianlah simbol para pejuang yang hatinya putih bersih, karena
barusan dicat dengan cat tembok tahan air.
“Bagaimana Anda bisa terpilih sebagai presiden
Malioboro?” Mbambang bertanya jujur. “Pakai kampanye terbuka atau tertutup?
Waktu itu, apa visi-misi Anda?”
Umbu Landu Paranggi memandang sesaat wajah Susilo.
“Pernah menulis puisi?” bertanya Umbu Landu
Paranggi.
Susilo menggelengkan kepala.
“Pernah membaca puisi?”
Lagi-lagi Susilo menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, pejamkan mata,…”
Susilo nurut memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian, sekitar lima menit, Susilo
gelisah menunggu apa yang akan dikatakan presiden Malioboro itu.
Tapi Susilo kaget membuka mata ketika dengkulnya
ditepuk oleh perempuan sopirnya.
Susilo melihat sekeliling. Sosok Umbu Landu
Paranggi lenyap-nyap, tiada, bersama bakul gudeg dan orang-orang yang lesehan
di kaki lima Malioboro.
Yang terlihat hanya lorong kaki lima yang senyap.
Sesekali saja suara raungan sepeda motor membelah malam. Itulah malam
kadang-kadang terbelah. Mengumpul jadi satu lagi. Kemudian terbelah lagi pas
ada sepeda motor lewat.
Buru-buru Susilo dan perempuan sopirnya
meninggalkan tempat itu.
Tapi diujung gang, tak jauh dari patung Jenderal
Sudirman, tiba-tiba muncul segerombolan lelaki mengepung Susilo dan sopirnya.
Masing-masing dengan senjata di tangan. Susilo dan perempuan sopirnya berdiri
beradu punggung. Pertarungan tak terhindarkan. Dua lawan 11 orang.
Susilo dan sopirnya tak punya pilihan lain. Mereka
pun mengeluarkan senjata andalan masing-masing.
Suara dentingan senjata seolah orang lagi BBM-an.
Centang-centing dan sesekali disertai suara mengaduh.
Susilo dan sopirnya meloncat berbarengan, ke
tengah-tengah jalan Malioboro. Mencari tempat yang lebih leluasa. Tapi karena
kadang muncul kendaraan yang melintasi jalan itu, Susilo pun menarik
musuh-musuhnya ke halaman gedung DPRD-DIY. Ada area taman yang cukup luas untuk
sebuah perkelahian yang seru.
Di halaman gedung DPRD-DIY itu, terdapat patung
Jenderal Sudirman yang lusuh dengan jubah yang tak kalah lusuh. Ia berdiri
dengan anggunnya, seolah melihat rakyat jelata, yang terbungkuk-bungkuk
kelaparan, menderita sakit, dan berharap Jenderallah yang akan menolong dan
melindungi. Di sekeliling Jenderal Sudirman terdapat beberapa patung rakyat
desa, penduduk kampung, dan beberapa prajurit yang tertembak Belanda. Kenapa
tidak mengeluh pada wakil rakyat yang berada di dalam gedung?
Ini malam hari. Wakil rakyat sesuai jadwal, hanya
bekerja pada jam-jam kantor. Itu pun kantor mungkin hanya ramai lima tahun sekali.
Seorang bertubuh gemuk, dengan membawa kampak
bersimbol tengkorak, meloncat sembari mengayunkan kampaknya. Susilo yang
menjadi sasaran buru-buru menghindar. Tapi dengan tangkas lelaki gemuk itu
terus mengejarnya sembari mengobat-abitkan kampaknya.
Hingga kampak itu membabat leher Jenderal Sudirman.
Dan jatuhlah kepala sang Jenderal berparu-paru satu itu. Clangggg! Blug,
gludhug,… begitu bunyinya. Kepala Jenderal Sudirman terkulai di rerumputan.
24 |
Menikmati breakfast di depan kamar losmen di bilangan Sarkem, Mbambang kaget
membaca berita koran “Kedaulatan Rakyat”. Dalam headline koran legendaris
Yogyakarta itu, ditulis; “Leher Jenderal Sudirman Putus: Perkelahian Misterius
Terjadi di Depan Gedung DPRD-DIY.”
Tapi sebagaimana judulnya, yang menyebut perkelahian
itu misterius, tidak diketahui siapa yang
berkelahi. Tak ada korban yang tinggal, kecuali kepala Jenderal Sudirman yang
nyungsep di rerumputan. Seorang petugas kebun buru-buru melaporkan pada pihak
keamanan, tentang apa yang dilihatnya di sekitar patung Jenderal Sudirman.
Kegemparan meruyak di Yogyakarta. Tapi kini
keributan cukup terisolasi, karena twitter dan fesbuk lumayan mampu menjadi
media katarsis. Hanya pemerintahan yang bodoh saja yang tidak berterimakasih
pada Mark Zuckerbergh, yang telah banyak membantu mengurangi stress sosial yang
massif.
Mbambang tercenung.
Beberapa media cetak yang dibacanya, menyebut apa
yang terjadi berkaitan dengan aksi-aksi yang mau menggagalkan Pemilu 2014.
Apalagi ada juga wartawan yang menulis hal itu dikaitkan dengan kejadian di
Imogiri Mbuantul.
Darah Mbambang berdesir. Justeru karena ia tahu
persis, peristiwa apa yang dimaksudkan di Imogiri itu.
Kini justeru yang ada dalam otak Mbambang adalah
soal Susilo. Mungkinkah Susilo berada di balik semua aksi ini? Bukan tidak
mungkin, Golhit akan melakukan segala cara, untuk mengatakan Golput adalah
penjahat, pendosa yang pantas masuk neraka? Makanya KPU selalu
berteriak-teriak; “Tolak Golput!”
Mbambang pun menerima penolakan itu, dan tidak akan
maksa datang ke TPS, daripada diusir karena ditolak.
Tapi aksi teror yang dilakukan para Golhit di
mana-mana ini tak bisa dibiarkan. Aksi teror itu pasti dilakukan atas keyakinan
jurus andalan dari guru mereka yang bernama Soeharto. Bangun opini publik untuk
munculnya common enemy, bagaimana caranya agar justeru Golputlah yang dituding
melakukan aksi teror itu. Karena dengan banyaknya aksi terror, Pemilu akan
dibatalkan. Dan yang senang dengan tak adanya Pemilu siapa lagi jika bukan kaum
Golput? Kaum Golput akan dituding jadi biang bencana. Padahal, para Golhit yang
haus kekuasaanlah yang akan menikmati pembatalan pemilu itu. Setidaknya 506
caleg pertahana tak perlu was-was tersingkir, dan bisa bikin proyek-proyek lagi
untuk lima tahun ke depan.
Itu sama dengan taktik Soeharto dulu, bagaimana
menciptakan musuh-musuh bersama. Dengan menciptakan bahaya latent PKI. Dengan
memunculkan slogan ‘politik no ekonomi yes’, dan diam-diam rakyat dibonsai
dalam sistem pendidikan dengan doktrin berfikir formal dan bertindak pragmatis.
Dan perlahan namun pasti, dirinya muncul dan dianggap sebagai pahlawan. Sebagai
Bapak Pembangunan. Hingga akhirnya ARB penuh keyakinan hendak mengembalikan
kekuasaan model Soeharto, jika menang dalam Pemilu nanti.
Dalam sebuah kerumunan manusia yang pendek akal,
dengan kaum elitenya yang panjang akal, satu-satunya cara hanyalah memotong
akal yang panjang untuk disambung ke akal yang pendek. Hingga adil sama
panjang. Bagaimana memotong akal itu? Tentu saja potong kepalanya.
Dan simbol yang dikirimkan adalah kepala Jenderal
Sudirman. Dia adalah Jenderal Besar. Hanya tiga jenderal besar di Indonesia
ini. Jenderal Sudirman, Jenderal AH Nasution, dan Jenderal Soeharto. Panglima
TNI ABRI hendak memberikan gelar jenderal besar pada Susilo Bambang Yudhoyono,
tapi konon yang bersangkutan menolaknya. Hal itu konon meniru taktik Soeharto,
dalam menciptakan bluffing. Analisisnya: Moeldoko mengusulkan gelar jenderal
besar itu atas suruhan SBY, dan ketika hal itu dilakukan Moeldoko, SBY
menolaknya. Dengan demikian muncullah pendapat; Betapa rendah hatinya SBY. Tapi
di jaman internet begitu lugas, model pencitraan gaya bluffing itu jadi
bulan-bulanan empuk para pasukan dunia maya. Ada yang menulis: SBY menolak
gelar itu, karena isterinya tersinggung, takut dikira suaminya lelaki yang
gagal diet. Dan Ani Yudhoyono khawatir kalau dianggap tidak bisa mengurus
suami. Jadilah SBY menolak gelar jenderal besar itu, takut isterinya ngambek.
Mbambang tersedak.
Potong kepala seorang Jenderal Besar? Itu sangat
serius. Dan itu dilakukan pada kepala Jenderal Sudirman? Meski cuma kepala
patung, jangan-jangan itu simbol-simbol yang dikirimkan kepada Golput, untuk
menghentikan aksinya, dan agar bertobat masuk menjadi Golhit?
“Bisa jadi Susilo berada di belakang layar aksi
ini,” Mbambang mendesis.
Mbambang ini analisisnya ngawur juga. Kepo. Ia
tidak tahu bahwa yang melibas kepala Jenderal Sudirman adalah orang yang
bertarung melawan Susilo. Untung saja Mbambang tidak ngetuit atau posting
analisis politik model dukun beranak ke fesbuk. Kalau iya, pasti nambah eneg
dunia maya yang semua orang seolah ahli teori konspirasi kodok bangkong buatan
AS, Yahudi, atau RRC. Tapi kok tidak ada teori konspirasi dengan negara Timur
Tengah, dengan kaum Salafi dan Wahabinya? Tanya coba, kenapa, dan siapa yang
selama ini ribut dan ribet dengan teori konspirasi. Mereka yang percaya teori
konspirasi, adalah mereka yang menghina bahwa bangsa Indonesia sebenarnya bisa
membangun sistem demokrasi, dan membuat semua teori klenik itu tidak ada
artinya. Baca ajaran-ajaran politik Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syafruddin
Prawiranegara, Agus Salim, Natsir, Sjahrir, Ki Hajar Dewantara, HOS
Cokroaminoto, Douwes Dekker, notulasi rapat BPUPKI dalam pidato Bung Karno 1
Juni 1945. Semuanya lebih dari cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
yang baik budi dan tidak sombong, apalagi bodoh.
Mbambang pun dengan berhati-hati melongok ke TKP.
Ia memakai wig dan kacamata hitam.
Dan Yogyakarta pun di mata Mbambang menjadi hitam.
“Jogja Ora Didol” demikian kata-kata yang ditabalkan di mural-mural kota. Tapi
pembangunan hotel tetap saja terus berlangsung, dan membuat kota ini makin
macet. Aneh, padahal hotel-hotel itu dibangun di pinggir jalan, bukan di tengah
jalan.
Mbambang menyusup di antara kerumunan banyak orang.
Matanya waspada mengamati sekeliling.
Dadanya berdegup kencang. Di antara kerumunan
orang, ia lihat ada sesosok perempuan sexy. Pakaiannya biasa saja. Casual.
Tetapi bentuk tubuh, kulit, juga cara make-up, tak bisa menutupi bahwa
perempuan itu pastilah bukan penduduk setempat. Jika pun penduduk setempat,
rasanya tidak mungkin perempuan secantik itu turut serta rakyat jelata melihat
tontonan seperti ini.
Tapi bukankah Yogyakarta kota yang banyak
dikunjungi para wisman, dan biasa saja dengan perempuan cantik aneka rupa?
Tidak, bantah Mbambang pada dirinya.
Dan ia pun mendekat ke arah perempuan sexy itu.
Mencoba menarik perhatiannya. Posisi mereka, perempuan sexy, orang lain, dan
kemudian Mbambang.
Hidung Mbambang yang tajam mengenali merk parfum
apa yang dipakai perempuan sexy ini.
Mbambang mengajak bicara pada orang yang berada di
sebelah perempuan sexy.
“Sepertinya perusakan patung itu disengaja,...”
Mbambang berkata dengan suara agak keras. Biar si perempuan sexy ikut
mendengarnya.
“Ngapa harus ngerusak patung?” sahut lelaki yang
diajak Mbambang bicara.
“Si pemenggal kepala itu hanya mengirimkan sinyal,
yang harus dibaca oleh lawannya.”
“Bacok saja langsung kepala lawan, kenapa patung
yang tidak bersalah dirusak? Anarkis!”
“Itulah perlawanan simbolik. Efeknya jauh lebih
dahsyat,...” Mbambang berkata sembari berusaha melirik perempuan sexy di
sebelah lelaki itu. Bibirnya sexy banget. Dadanya ranum. “Ini permainan politik
tingkat tinggi,...”
Mbambang tanpa pamit ngeloyor pergi.
“Tapi, bukahkah,...” lelaki yang berdiri di sebelah
perempuan sexy menukas. Tapi begitu ditolehnya, Mbambang sudah tiada, ia pun
hanya bisa memaki, “O, asu ki! Trukbyangane silit!”
Mbambang sudah nongkrong di angkringan gang menuju
Sarkem. Ia mencomot tahu bacem yang tampak bantat.
Baru saja hendak mencaplok tahu bacem, suara
perempuan menyapanya, “Hai,...”
Perempuan sexy yang semula di depan gedung DPRD-DIY
itu duduk di sebelah Mbambang.
Jangan-jangan perempuan sexy ini salah satu
penghuni The Flower Market? Sial! Gimana dong? Tapi, kecantikannya natural.
Tapi, Sarkem?
25 | “Boleh
numpang duduk di sini?” perempuan sexy itu berkata lembut pada Mbambang. Pada
huruf ‘s’ yang meluncur dari bibirnya, yang sensual itu, seolah benar-benar ada
es-nya disitu. Mbambang membayangkan bagaimana jika air es itu menetes ke ulu
hatinya. Hidup piktor!
“Sepertinya Abang bukan dari sini,…” perempuan itu
memulai percakapan setelah memesan wedang
jahe panas.
“Sepertinya Nona juga bukan dari sini,…” Mbambang
memain-mainkan pikirannya.
“Panggil saya Dor,…” perempuan itu berkata sembari
mengaduk wedang jahenya.
“Oh, ya? Nama yang asyik. Dor dari Perancis?”
“Saya lahir sebelum waktunya,” Dor tidak menjawab
pertanyaan Mbambang, “masih delapan bulan di kandungan Mama,…”
“Bagaimana bisa?”
“Mama waktu itu mendengar letusan pestol, dan
lahirlah saya,…”
Huahahaha, Mbambang ketawa dalam hati. Coba dia tak
ingat sopan-santun, yang diajarkan orangtuanya dulu, pasti diledakkan ketawanya
di situ.
“Dor dilahirkan di Indonesia?”
“Saya aseli Indonesia, dilahirkan di Indonesia,…”
sahut perempuan yang hidungnya dari India, bibirnya dari Perancis, rambutnya
dari Amerika, perutnya dari Itali, pantatnya dari Afrika,… “Kenapa?”
“Kalau Dor lahir di Inggris atau Amerika, mungkin
akan diberi nama Bang,…!”
“Xixixixie,…” Dor ketiwi. “Abang belum menjawab
pertanyaan Dor.”
“Oh, pertanyaan yang mana?”
“Abang dari mana?”
“Dor dari mana?”
“Ditanya balas nanya,…”
“Dalam cerita wayang, yang terjadi seperti itu.”
“Kita bukan wayang.”
“Tuhan adalah mahadalang, yang mempertemukan kita,….”
Preeeettt, Mbambang menyahut sendiri omongannya,
dalam hati.
Peyang, rutuk Dor juga dalam hati.
Dan terjadilah dialog dalam hati antara keduanya.
Mempertemukan apanya? Sinetron banget! Murahan!
Tapi, suka ‘kan?
Stop romantisme ecek-ecek ini. Indonesia akan jadi
lembek jika hanya disodori hal remeh-temeh begini. Kecuali memang tulisan ini
disponsori oleh mereka yang menginginkan bangsa ini lembek, yang hanya akan
dijadikan kaum konsumen dan sapi perah dari berbagai Negara industri, hingga
Indonesia akhirnya jatuh miskin dan tak bisa apa-apa, kecuali hanya ketempatan
tanah dan air tapi tak kuasa apa-apa. Negara kaya yang punya ini dan itu, tapi
jadi sapi perah para calo importir. Dan presidennya, dan parlemennya, dan kaum
cerdik-cendekia serta para senimannya, cukup puas bermain-main kata dan citra.
Mbambang harus waspada. Ia menyesal beberapa hari
meluncaskan hasrat seksualnya pada perempuan gelandangan di Monumen Satoe
Maret. Bukan karena mereka ML di monument yang semestinya dijunjung tinggi
kesuciannya, tapi ia merasa perempuan itu bukan gelandangan sebenarnya. Pasti
dia perempuan terdidik, setidaknya dalam urusan permainan seks. Jujur sebagai
lelaki, Mbambang sangat menikmati making love itu. Tapi masalahnya, perempuan
gelandangan itu lenyap. Sialnya lagi, siapa namanya ia juga tak mengetahui.
Karenanya kini Mbambang tak akan mudah gegabah.
“Apalah artinya nama,…” Mbambang berkata sembarang.
“Itu kata William Shakespeare. Tidak bagus
laki-laki mati di atas ranjang tanpa nama,….”
Mbambang terpana. Ia lihat Dor menyeruput wedang
jahe. Bibirnya yang sensual menyentuh bibir gelas. Dua bibir itu bergesekan.
Tapi agaknya bibir gelas diam saja. Dingin. Bisa jadi gelas itu frigid.
Adakah perempuan jaman sekarang memang seperti Dor?
Kebanyakan, maksudnya. Bukan semuanya. Nanti kalian perempuan baik-baik pada
ngamuk membaca ini.
Apakah Dor termasuk pembunuh laki-laki di atas
ranjang?
Mbambang sebenarnya tertarik. Tapi mati sebelum
Kitab Pararaton ditemukan? Tidak! Kalau pun terjadi peristiwa ia tidur dengan
Dor, ia tak ingin mati, apalagi di atas ranjang.
“Abang dari Batak?” Dor membuyarkan dialog batin
Mbambang. Uhuk, dialog batin.
“Abang dari Pacitan. Jadi bukan Abang, karena di
Pacitan abang berarti merah. Tidak baik lelaki di panggil merah,…”
“Kenapa? Bukankah kelihatan macho?”
Mbambang hanya membatin, jangan-jangan benar
adanya, perempuan sexy ini salah satu anggota komunitas Sarkem dari gang dua.
Kalau gang yang satu itu rumah penduduk biasa. Jangan salah nawar isteri orang.
“Pacitan, satu daerah dengan SBY?”
“Beda daerah dengan Surabaya,…”
“Kok Surabaya?”
“Tadi Dor menyebut SBY? Masih sama-sama Jawa Timur,
tapi beda, utara-selatan.”
“SBY maksudnya Susilo Bambang Yudhoyono,…”
“Oh, saya kira SBY singkatan Surabaya. Saya nggak
kenal,…”
“Kan sama-sama Pacitan?”
“Saya hanya tahu dia presiden. Tapi tidak kenal.
Kalau Nia Ramadhani saya kenal.”
“Siapa dia?”
“Mantunya Aburizal Bakrie. Tapi Aburizal Bakrienya
saya nggak kenal. Tapi tahu. Olivia dan Marcella Zalianty, saya juga tahu, tapi
mereka tidak tahu saya,…”
“Ribet ah!” Dor tampak gemas.
“Dor sendiri ngapain ke Yogya?”
“Travelling aja. Kali-kali ada cowo keren,…”
Tersirap darah Mbambang ke ubun-ubun. Beberapa kali
perempuan di sebelahnya ini memberikan sinyal. Tapi tidak. Ia tidak akan lagi
sembarangan dan mudah digoda. Ini tahun politik. Seks pun bisa jadi di dalamnya
berisi kepentingan politik. Atau bisa jadi sex itu perlu, sambil berpolitik. Di
Indonesia mengobral janji, di Maladewa mengobral janji.
“Mau temenin Dor enggak?”
Mbambang tak segera menjawab. Ia tatap wajah Dor
seksama. Intuisi Mbambang mengatakan bahwa Dor bukan perempuan dari Sarkem.
Tetapi justeru itu yang membuatnya mesti waspada. Ia merasa telah banyak
bercerita pada perempuan gelandangan soal Kitab Pararaton. Itu kebodohan yang
sangat. Kalau perempuan gelandangan itu benar-benar gelandangan, pastilah ia
tidak akan lenyap seusai percintaan di monument titik nol Yogyakarta.
Pastilah perempuan gelandangan itu hanya mata-mata.
Yang mungkin saja dia kini sudah mampus dan jasadnya dibuang di Laut Selatan.
Kini tiba-tiba muncul Dor.
“Mau temenin Dor enggak?”
Mbambang tersedar. Ia menatap sekali lagi wajah
Dor.
“Mau temenin Dor enggak?”
“Ngapain?”
“Kok ngapain! Ke mana gitu kek, kok ngapain,…”
“Ke mana?”
“Papua.”
“Papua?”
“Iya, Papua.”
“Papua?”
“Iyaaaaa gantengngngng,…!” Dor tampak gemas.
Tangannya mau menggampar Mbambang.
26 |
Mbambang mengantar Dor balik ke hotelnya. Jam sudah menunjuk lebih dini hari.
Dor agaknya mabuk.
Mereka berdua baru saja dari sebuah pusat perdugeman di
jalan Magelang di Kota Pelajar itu. Di halaman diskotik sempat Mbambang melihat
sebuah Ferrari putih dengan sticker bertuliskan FPI dalam ukuran cukup
mencolok. Hendak razia? Oho, bukan, tapi mengambil
jatah.
Di dalam kamar, Dor seolah tanpa daya. Dan ambruk
di atas ranjang yang empuk. Telungkup.
Mbambang agak kelimpungan juga. Pantat perempuan
sexy itu seperti mengajak.
Perlahan Mbambang mendekat pada Dor. Ia naik ke
ranjang, dan menarik Dor ke tengah.
Agaknya Dor sudah tak sadarkan diri. Ia membenahi
posisi tidur Dor. Ia telentangkan dan dicarikannya bantal. Dada Dor terlihat
jelas. Puting susunya seolah hendak menjebol tanktopnya yang tipis. Kalau
tanktop tebal, tidak bagus untuk kesehatan. Apalagi jika bahannya bukan dari
kain.
Mbambang menarik selimut untuk Dor. Ia selimuti
perempuan yang tampak tak berdaya itu.
Perlahan Mbambang turun dari ranjang.
Duduk di kursi tak jauh dari ranjang, Mbambang
melihat bagaimana lelapnya Dor tertidur.
Mbambang masih mikir, siapa Dor ini sebenarnya.
Padanya ia mengaku, orangtuanya seorang menteri jaman KIB Jilid I, tapi
disingkirkan SBY pada KIB Jilid II. Katanya karena ia tidak bisa memenuhi
permintaan salah satu kerabat istana.
Tapi Dor tidak memberi tahu siapa nama ayahnya.
Setidaknya belum.
Benarkah? Atau hanya omongan perempuan yang otaknya
sudah diracuni alkohol dan narkotika?
Yogyakarta adalah kota kecil yang masuk dalam empat
besar kota Indonesia yang jadi jaring peredaran narkoba. Dan pernah pula
menjadi yang terbesar di antara Jakarta, Denpasar, Bandung.
Tidak perlu intelijen yang canggih untuk mengetahui
bisnis narkoba di Yogyakarta ini, juga di kota-kota lain mestinya. Tapi
senyatanya inilah bisnis yang paling mudah dikamuflasekan, dan masyarakat cukup
dibodoh-bodohi dengan menciptakan common enemy, bahwa “merokok dapat
membunuhmu”.
Sementara bisnis narkoba disembunyikan seolah penuh
misteri. Padahal, jika kita merunut dari korban, adakah penjual yang tidak
membutuhkan korban? Tapi korban narkoba hanya diperlakukan sebagai obyek,
bahkan kalau perlu sapi perah. Untuk tuduhan sebagai Bandar berapa, untuk
pemakai berapa. Berapa puluh sampai ratus juta rupiah.
Sama bodohnya dengan mengatakan: Perokok pasif
lebih berbahaya daripada perokok aktif. Kalau begitu logikanya, para perokok
pasif jadilah perokok aktif, maka akan tidak lebih berbahaya. Sementara dengan
peringatan: Merokok dapat membunuhmu, maka hanya pemerintah yang biadablah yang
membiarkan rokok tetap diproduksi. Bukankah membiarkan rokok dibuat dan
dipasarkan sama dengan membiarkan pembunuh berkeliaran? Kata apalagi yang
pantas untuk pembiaran pembunuh bebas berkeliaran jika bukan pemerintahan yang
bar-bar?
Sebelum rokok membunuh, kenapa tidak petani
tembakau, atau tanaman tembakau itu dibasmi sampai akar-akarnya, sebagai
asal-muasal kejahatan kemanusiaan? Ayo ciptakanlah musuh-musuh bersama untuk
menutup betapa dekadennya pemerintahan ini, yang lebih menghamba pada
kapitalisme global daripada memakai logika-logika untuk mensejahterakan
rakyatnya. Padahal dalam berbagai riset mutakhir, daun tembakau mempunyai banyak
kasiat. Tapi mana yang berani berbicara dengan data akurat, mana tradisi riset
kita dalam lembaga pemerintah dan kampus-kampus mengenai tembakau? Apa perlu
menghidupkan kembali Haji Agus Salim untuk mengatakan bagaimana Belanda dulu
menjajah Indonesia karena daun tembakau?
Perlahan Mbambang bangkit dari duduknya. Ia
pandangi sejenak Dor yang lelap.
Mbambang kemudian keluar dari kamar hotel.
Di lobby hotel Mbambang pura-pura bertanya di mana
ia bisa dapatkan rokok. Jam dinding hotel menunjuk pukul empat pagi.
“Ada di seberang jalan. Boleh saya yang ke sana
saja, Tuan,…” bagian security menawarkan diri.
“Biarkan saya melemaskan kaki bentar,…” Mbambang
berkata sembari menuju pintu ke luar.
“Oh, silakan,…”
Mbambang berjalan ke luar hotel. Udara dingin malam
langsung menyergap. Lebih kenyal dibanding dingin AC. Dinginnya terasa lebih
orisinal.
Mbambang memang seolah menuju ke kios rokok yang
masih buka, di seberang hotel. Tapi ia tampak menyetop taksi dan kemudian
meluncur entah ke mana.
“Ke mana, Pak?”
“Sarkem!”
Sopir taksi tampak mengamati wajah Mbambang dari
kaca spion.
Mbambang lama-lama hafal dengan pandangan curiga
semacam itu. Beberapa kali ia mengalami selama ia menyebut lokasi losmen
tempatnya tinggal. Ya memang losmennya di dekat Sarkem, apa mesti menjawab ke
Masjid Abdurrahim di Kecamatan Gedongkiwa? Itu lebih mengundang pertanyaan
baru, yang lebih tidak mengenakkan.
Sarkem jauh lebih dikenal siapapun.
Tapi betapa kagetnya Mbambang. Setiba di kamar
losmen, ia dapati ruangannya berantakan. Tak ada barang milik Mbambang yang
hilang. Tapi semuanya modal-madul tak karuan. Kasur, bantal, bahkan isi
barang-barang di dalam tas punggungnya,…
Buru-buru Mbambang berlari ke ruang depan. Ia temui
pengurus losmen, yang wajahnya ndilalahnya persiiissss banget dengan Jenderal
Purnawirawan Wiranto. Atau jangan-jangan Wiranto yang menyamar jadi penjaga
losmen? Bukankah di Solo, Wiranto pernah menyamar jadi pengayuh becak? Mbambang
terdiam sesaat. Jadi lupa apa yang hendak dikatakan. Ia membayangkan, bagaimana
kalau Wiranto menyamar jadi waria pengamen? Pasti langsung dapat simpati
masyarakat secara luas. Apalagi kalau kotak bang-bungnya ditempeli sticker
Win-HT!
“Ada apa, Mas?” lelaki berwajah Wiranto itu
bertanya.
“Mmmm, kamu nggak ngerti apa yang terjadi?”
“Soal perkelahian di depan Gedung DPRD itu?”
“Di kamar losmen ini, tepatnya di kamar yang aku
pakai!” Mbambang rada jengkel.
“Lho, lha ada apa to, Mas Mbambang?” lelaki
berwajah Wiranto itu tampak bodoh.
Tanpa banyak bicara, Mbambang mengajak pengurus
losmen melihat kamarnya, “Lihat,…!”
“Woooohhhhh,…!” hanya itu kata yang terucap dari
mulut Jenderal Wiranto, eh, yang mirip Wiranto ding.
“Kok saya nggak tahu ya?” pengurus losmen itu masih
saja terbengong.
“Bagaimana bisa ada orang masuk kamu nggak ngerti?
Ke kamar yang tentu bukan kamar dia, karena itu aku sewa. Ngerti?”
“Ngerti, Mas.”
“Ngerti apa?”
“Ngerti kalau saya nggak ngerti ada kejadian gini
ini!”
Mbambang tak bisa berharap banyak. Ia hanya
memaki-maki dalam hati. Siapa lagi setan yang mengaduk-aduk perasaan dan
pikirannya kali ini? Kitab Pararaton belum juga jelas juntrungannya, kini ada
lagi masalah.
Mbambang sendirian termangu di ruang tamu losmen.
Sepasang lelaki-perempuan muncul dari luar losmen.
Wajah keduanya tidak mirip dengan siapa-siapa. Tidak mirip ARB dan Olivia
Zalianty misalnya. Tidak. Sepertinya wajah mereka otentik.
“Ada kamar, Mas?” yang lelaki mendekat dan bertanya
pada Mbambang.
Makne ancuuukkkkk! Kamar tentu saja ada, tapi soal
isi atau kosong emang gue pikirin? Mbambang merutuki nasib dirinya.
“Ada kamar, Mas?” lelaki itu mengulang
pertanyaannya.
Mbambang sempat melihat wajah perempuan pasangan
lelaki itu. Wajahnya mesum banget.
Beranjak dari duduknya, Mbambang akhirnya menjawab
dengan sebal, “Ada tuh,…!”
Mbambang melangkah keluar. Meninggalkan sepasang
horny kebingungan.
“Pagi-pagi kok udah kebelet ngamar,…!” gerutu
Mbambang panjang pendek.
27 |
Mbambang akhirnya pindah tempat. Ia merasa dirinya menjadi buron, meski tak
tahu siapa yang memburunya. Sementara ini ia merasa kaum Golhitlah yang
memburu. Dan ia kenal salah satu dedengkotnya, Susilo.
Susilo dan Mbambang boleh saja menurut kajian sejarah
pertemanan adalah sohib karib. Di mana ada Susilo di situ ada Mbambang. Di mana
tak ada Susilo di situ pula Mbambang tak ada.
Seolah kembar tak identik. Mereka bagai Thompson dan Thomson. Satu pakai p yang
satunya tidak.
Tapi politik telah memisahkan mereka. Kini keduanya
berhadapan. Menjadi musuh. Satunya Golhit, yang satunya Golput.
Meski sesungguhnya semuanya bermula dari sesuatu
yang sepele. Soal pilihan. Dan pilihan adalah hak. Tapi di negeri yang belum
siap berdemokrasi, Golput seolah suatu masalah besar, hingga perlu bawa-bawa
agama segala. Padahal, sebetulnya antara yang Golhit dan Golput hanya saling
tidak kenal saja, dan itu membuktikan bahwa demokrasi kita belum menjadi
laku-jantra dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan celakanya, kedua belah
pihak memang cenderung saling melenyapkan, kalau bisa. Padahal tidak bisa.
Jadi? Biarkan saja itu menjadi pertarungan abadi. Toh Sisyphus sesungguhnya
juga bisa merasakan, pada dorongan batu yang kemudian, selalu menjadi lebih
baik dari sebelumnya. Lebih ringan dan lebih cepat.
Hanya mereka yang menutup diri dari gesekan, dan
selalu menghindarinya, tak akan pernah siap menghadapi jaman yang bergerak.
Apalagi jika kulina mutlak-mutlakan. Dan ia hanya mampu melolong-lolong membawa
masa lalunya, sembari merutuki orang lain. Mereka adalah zombie-zombi Obelix
yang berkeliaran di sekitar kita. Dengan batu menhir yang digendongnya ke
mana-mana. Mereka ialah orang-orang yang terbujuk dan terpengaruh oleh ajaran
Mbah Surip, tak gendong ke mana-mana,…
Berada di seputaran titik nol Yogyakarta, dada
Mbambang berdesir. Ia melihat patung-patung Monumen Satoe Maret. Ada laskar
rakyat dengan senjata laras panjang dan juga mortir, ada satu-satunya sosok
perempuan menggendong bakul nasi. Perempuan selalu saja diposisikan di ruang
domestic, membawa bakul nasi, siap-sedia melayani para lelaki berjuang.
Adakah lima sosok yang yang selalu diam mematung di
monumen itu sempat menyaksikan, atau mendengar lenguh Mbambang bersama
perempuan gelandangan, beberapa waktu lalu? Dan kemudian para sosok patung itu
berinisiatif untuk melakukan foursame?
Patung-patung sosok yang mulia itu, tentu tak
sehina-dina pikiran Mbambang yang kotor, apalagi pikiran penulisnya yang lebih
kotor lagi.
“Semua yang mengaku Golput berdiri dan berkumpul di
tengah,…” tiba-tiba terdengar suara dari sebuah megaphone.
Gerombolan kaum begadangan di titik nol
terperangah. Tak lama kemudian, muncul beberapa kendaraan lapis baja dari empat
penjuru angin. Dari arah alun-alun lor, dari arah Sultan Agung, Ahmad Dahlan,
dan Malioboro.
Tapi para gerombolan begadangan tak ada yang
berdiri. Bahkan yang sedang berdiri buru-buru duduk, atau jongkok.
Mbambang mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Kendaraan lapis baja itu lengkap dengan moncong
laras panjangnya. Entah berisi water-canon atau peluru yang bisa
menghancurleburkan tubuh manusia.
Dari mana mereka? Pasti, pastilah ini ulah Golhit
dalam gerakan membasmi Golput sebagai musuh masyarakat.
Benar-benar Pemilu yang memuakkan, apalagi Iwan
Fals bahkan sembari bergitar menyanyikan; Satu Suara Satu Harapan!
Pertanyaannya, harapan untuk siapa? Dan harapan apa?
Tiba-tiba, Mbambang berdiri di antara keriuhan kaum
duduk dan kaum jongkok di titik nol.
“Tangkap orang ituuuuu,…” teriakan di megaphone
cetar membahana.
Beberapa orang berkostum ninja hitam berloncatan
dari kendaraan lapis baja. Menyerbu ke arah Mbambang berdiri.
Mbambang segera meloncat, ginkang dengan menginjak
beberapa kepala kaum jongkok di situ. Dalam sekali salto, Mbambang kini berdiri
di tengah-tengah halaman Gedung Negara, tempat di mana dulu Bung Karno dan Bung
Hatta berkantor, ketika ibukota RI berada di Yogyakarta.
Para ninja hitam pun memburunya masuk, meloncati
pagar runcing Gedung Negara.
Pertarungan pecah di halaman Gedung Negara. Satu
lawan entah berapa. Mungkin lebih dari 20 orang.
Dengan tangan isi, Mbambang meladeni pertarungan
itu. Tidak mungkin ia bertarung dengan tangan kosong. Isi dalam ilmu tarung,
tidak harus sesuatu yang material berujud benda seperti pisau belati atau
pedang. Bukankan ilmu pengetahuan atau kesaktian itu immaterial? Para penulis
cersil sering berangkat dari pandangan bahwa senjata itu material. Para pendekar
yang berbahaya, selalu mereka yang bisa menyatukan segala senjata material itu
masuk melebur dalam tubuh dan jiwanya. Itulah mengapa Mushashi pada akhirnya
mendapatkan samurai yang terbuat dari kayu, namun ketajaman dan kekuatannya
melebihi besi baja murni, made in Japan sekali pun.
Oleh karenanya, kaum yang suka merazia pedagang
kecil dengan pentungan, sambil berteriak-teriak Allahu Akbar itu, ilmunya masih
cethek. Beda jauh dengan Gus Dur, pendekar buta yang senjatanya bukanlah pedang
atau pun pentungan, apalagi menyiram air the ke muka lawan bicara.
Sementara 20-an lebih ninja, bersenjatakan aneka
rupa. Ada yang membawa pedang, golok, pisau belati, tombak, dan lain
sebagainya. Mereka berteriak-teriak penuh nafsu, untuk bisa menghabisi
Mbambang. Namun agaknya Mbambang tak habis-habis juga. Tersentuh pun tidak.
Bahkan, sudah delapan ninja mampus tertusuk pedang kawan sendiri.
Tapi seolah peribahasa Melayu, patah tumbuh hilang
berganti. Begitu ada satu atau dua ninja yang tewas, lima-enam ninja baru datang
membantu.
Sungguh pertarungan yang melelahkan. Sila
fantasikan sendiri, bagaimana pertarungan itu terjadi. Perjanjiannya: Jangan
bikin Mbambang kalah!
“Cabut bulu ketekmu,….” terdengar suara lembut
berbisik di telinga Mbambang.
Mbambang terhenyak mendengar suara itu.
“Kanjeng Ratu Kalinyamat?” Mbambang berdesis. Ia
ingat, itu suara Kanjeng Ratu Kalinyamat.
“Cabut bulu ketekmu, banting ke tanah,…” suara
lembut itu terdengar lagi.
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Mbambang meraba
ketiaknya. Basah oleh keringat. Pasti baunya seduce banget! Ia cabut bulu
keteknya sembari meringis. Dan kemudian dia banting ke rerumputan.
Tiba-tiba di seputaran Mbambang muncul
empat-lima-enam Mbambang. Semuanya persis dengan Mbambang. Mereka kemudian
serentak bertarung dengan para ninja.
Para ninja jiper juga melihat hal itu.
Buron mereka tiba-tiba seperti Kethek Anoman yang
mempunyai kesaktian aji-mundri. Jika Anoman adalah kakek moyang bangsa
Indonesia, kenapa tidak dimanfaatkan untuk melipat-gandakan rupiah, dan
menggulingkan kekuasaan dollar AS yang selama ini menjajah Indonesia? Kenapa
coba?
Para ninja akhirnya kewalahan. Mereka pun mundur
secara tidak teratur. Kalau mereka mundur teratur, tidak logis. Wong kalah dan
ketakutan kok masih ingat aturan mundur. Para pemimpin kita tidak pernah
mengajari rakyatnya untuk mundur, apalagi teratur. Biasanya mundur karena
kepepet, ketika bukti tak terbantahkan, dan rekaman hasil sadapan KPK
diperdengarkan.
Sekiranya masih bisa membantah, apalagi di media,
para tersangka dan terutama pengacaranya, pastilah terus bernyanyi, bahwa
dirinya tidak bersalah, korban konspirasi, politicking, dan sejenisnya. Kalau
perlu, bersumpah-sumpah jika terbukti salah gantung di Monas.
Tak berapa lama kemudian, kendaraan berat lapis
baja itu masing-masing mundur, dan kemudian lenyap dari lingkar titik nol.
Kaum muda warga Negara begadangan itu pun kembali
ke keasyikan masing-masing. Yang beserta pacar melanjutkan perannya sebagai
PHP, Pemberi Harapan Palsu. Bagi yang jomblo, mengharap malam itu ada yang patah
hati dan move on ke hatinya. Seperti malam-malam biasanya, seperti tak ada
apa-apa, dan biasa saja. Dan televisi terus saja pokoke njoget, sembari
mengobral janji politik, bahwa Indonesia kelak lebih baik di tangannya.
28 | Di
kamar sempit sebuah losmen, yang entah apa nama dan di mana, Mbambang duduk
termangu. Nama dan tempat losmen sengaja dirahasiakan. Itu pesan Mbambang pada
penulis, karena terhadap siapapun ia kini tak percaya. Juga pada pembaca cersil
ini, Mbambang bercuriga karena merekalah yang mengetahui pertama kali di mana
posisi Mbambang. Sedikit saja informasi
keluar dari mulutnya, bisa jadi membahayakan keselamatan.
Sesungguhnyalah ia kini sampai pada pertanyaan, apa
yang terjadi selama ini. Untuk apa dan karena apa. Itu soalnya. Kalau sekedar
pertarungan Golput dan Golhit, semestinya tak perlu heboh-heboh banget. Dan
kenapa mesti terjadi konflik fisik, sedangkan konflik batin saja sudah menguras
energi? Persoalannya juga makin tak jelas, ketika Kanjeng Ratu Kalinyamat menitipkan
Kitab Pararaton kepadanya. Dan makin tak jelas ketika kejelasan kitab itu pun
kini juga kabur. Dan ketidakjelasan itu pun makin bertambah-tambah, ketika
Susilo pun mencari-cari Kitab Pararaton. Begitu juga para mereka yang
mencapreskan diri. Semua sibuk mencari Kitab Pararaton.
Tiba-tiba ia dikagetkan dengan kemunculan Kanjeng
Ratu Kalinyamat yang duduk di tepi ranjang, persis di hadapannya. Tidak nude.
Wajahnya ayu dan muda. Tidak semengerikan ketika menemuinya di penyekapan dulu,
berwujud jerangkong. Tapi berwujud jerangkong atau wanita ayu, tetap saja
membuat jantung hati Mbambang berdesir.
“Soal Kitab Pararaton itu, maafkan, saya belum,…”
Mbambang mencoba membuka percakapan. Itu pilihan yang lebih sopan, dibanding
jika dia membuka pakaian Kanjeng Ratu Kalinyamat. Wong tidak nude pun kelihatan
jelas, bagaimana lekuk tubuh Kanjeng Ratu Kalinyamat. Lekuk dadanya yang
menonjol, bagaikan buah yang ranum. Mata leontin kalungnya jatuh tepat di
belahan dada, membentuk garis lengkung yang indah. Apalagi kutubaru kebayanya
sedikit agak rendah. Mungkin itu disain dari Avantie.
Meski Kanjeng Ratu Kalinyamat anak dari Sultan
Abdul Fatah, raja dari kerajaan Jawa pertama yang kedaulatan negaranya berdasar
syariat Islam, toh Kanjeng Ratu belum berhijab. Mungkin jika di Demak dulu
sudah ada Polisi Syariat seperti di Aceh masa kini, atau sudah berdiri FPI,
bisa jadi Kanjeng Ratu Kalinyamat memakai jilbab. Itu baru dugaan. Bisa jadi
beliau tetap cuek.
Narasi yang tidak penting.
“Aku sudah mengetahuinya,” Kanjeng Ratu Kalinyamat
kemudian terdengar membalas omongan Mbambang.
“Lantas, kenapa paduka menemui saya?” Mbambang
bertanya bodoh.
“Tapi aku sudah tahu di mana kini Kitab Pararaton
itu berada,…” berkata Kanjeng Ratu Kalinyamat.
“Di mana Kanjeng?”
“Lho, kok jadi kamu yang nafsu!”
“Maafkan saya.”
“Tapi kau lelaki yang baik,…” Kanjeng Ratu
Kalinyamat memuji.
Kepala Mbambang tidak membesar. Itu tidak masuk
akal. Emangnya plembungan!
Pun hatinya juga tidak berbunga-bunga. Bisa mampus
dia kalau tiba-tiba di hatinya tumbuh bunga-bunga.
Mbambang tidak berani bertanya apa yang dimaksud
Kanjeng Ratu Kalinyamat. Padahal, malu bertanya sesat di jalan. Sementara
banyak bertanya ngabisin pulsa. Dengan pedoman masa lalu, betapa susahnya hidup
di jaman sekarang.
“Maksud Kanjeng?” Mbambang akhirnya terpaksa
memberanikan bertanya. Soalnya ditunggu dari tadi, Kanjeng Ratu Kalinyamat tak
jua buka mulut. Padahal, kalau bibirnya sedikit terbuka sexy banget.
“Setidaknya, Dor tidak kamu apa-apain,…” berkata
Kanjeng Ratu Kalinyamat akhirnya.
Owalah! Cuma itu ternyata! Ngobrong dol!
Jika dituruti kata hati, malam itu pasti
diladeninya ajakan Dor. Apalagi Dor tidak hanya menggodanya, tapi setengah
memaksa, setengahnya lagi pengen memperkosa Mbambang.
Tapi Mbambang tidak mengikuti hati nuraninya.
Apalagi kini ia harus waspada, setelah hati nurani dipakai nama partai politik.
Sebagai Golput, ia tidak mudah terbujuk-rayu, meski Harry Tanoe menghadiahinya
traktor bajak sawah.
“Tapi kau harus mengiyakan ajakan Dor ke Papua. Ini
perintah!”
Gruengngngngng. Terdengar sound effect mengiringi
kekagetan Mbambang. Tidak salah dengarkah? Ke Papua bersama Dor? Kanjeng Ratu
Kalinyamat kenal juga Dor?
Siapa sesungguhnya Kanjeng Ratu ini? Jangan-jangan
dia penjelmaan hantu? Ya, pastilah penjelmaan hantu. Kalau tidak, ngapain
beliau yang sudah meninggal pada abad 17 itu masih gentayangan di abad 21 ini?
Tidak rela melepaskan dunia yang penuh pesona dan godaan ini? Mau niru ARB yang
begitu semangat hendak mengajari nasionalisme pada Olivia dan Marcella Zalianty,
dab kemudian terpaksa banting stir bersama keluarga bagi-bagi boneka beruang?
Pelajaran nasionalisme memang sangat menggelorakan
semangat para ortu kita. Dengan nasionalisme, apa saja kita korbankan. Termasuk
harga diri. Idrus Marham yang doktor itu, mati-matian membela bossnya. Dan
ternyata tak lebih hanyalah seorang politikus. Bagian dari tikus kebanyakan,
dari sebuah negeri yang sudah kebanyakan tikus ini.
“Mengapa Kanjeng memerintahkan demikian?”
“Ini perintah rahasia!”
“Kok?”
“Yang bernama rahasia tak boleh ditanyakan. Jangan
terlalu banyak bertanya.”
“Kenapa, Kanjeng?”
“Ngabisin pulsa,…”
Mbambang ketawa njungkel-jempalik dalam hati.
“Kok tahu-tahunya Kanjeng Ratu Kalinyamat dengan
dagelan garing itu?”
“Tadi SW nulis narasinya kayak gitu!”
“Ini bukan cersil Njeng Ratu, ini cersilid, cerita
silat lidah,…”
“Aku tahu. Males mbacanya. Udah temui dia di rumah
sakit,…”
“Di rumah sakit? Bukannya di hotel?”
“Iya tadinya di hotel, tapi begitu bangun tidur
kamu tidak ada, dianya mau bunuh diri. Makanya terus dilarikan ke rumah
sakit,…”
“Dilarikan? Apakah hotel itu tidak menyediakan
ambulance, atau menghubungi rumah sakit untuk menjemputnya?” Mbambang terpana.
“Damned!” Kanjeng Ratu Kalinyamat memaki Mbambang.
Tidak sopan, tokoh sejarah diajak guyonan tidak mutu. “Makanya jangan terlalu
banyak baca situs-situs internet. Baca buku-buku yang ditulis orang-orang dulu
kala, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan kaya. Anak-anak sekarang
membedakan subyek dan obyek nggak ngerti, membedakan kata kerja dan kata sifat
pun bego. Apalagi bisa nangkep idiom dan kata-kata tersirat dari yang tersurat.
Bahasa tulis itu bahasa komunikasi yang tidak selentur senirupa, senimusik,
atau senitari. Ia membutuhkan prasyarat teknis elementer. Coba saja kamu baca
tulisan kaum alay, di antara para alayers pun tetap terjadi mis-komunikasi.”
“Tapi bahasa Indonesia yang baik dan benar ‘kan
kaku?”
“Itu karena tidak becus nulis saja, terus nyalahin
bahasa!”
“Ini cersil atau pelajaran bahasa Indonesia,
Kanjeng?”
“Cepat susul Dor sekarang, sebelum dia mampus!”
Kanjeng Ratu Kalinyamat berteriak kencang. Kalau berteriak lirih, bagaimana
coba?
Mbambang pun tanpa ba-bi-bu lagi langsung
menggeblas pergi.
Ke mana?
Ke rumah sakit.
Iya, tapi rumah sakit mana?
Mbambang termangu di pinggir jalan. Untung dia
belum menyetop taksi.
Dengan dogolnya Mbambang kembali ke losmen.
Sial. Kanjeng Ratu Kalinyamat sudah minggat.
“Busyet! Terus di mana harus mencarinya?” Mbambang
terpeyang-peyang. Pusing jadinya. Dan kenapa dirinya harus pergi ke Papua bersama
Dor? Pasti ini sebuah rancangan untuk cerita mesum.
29 |
Mbambang akhirnya memutuskan pergi juga.
“Selamat siang, Pak. Kemana ini, Pak?” bertanya sopir
taksi setelah Mbambang duduk di jok belakang dan menutup pintu taksi.
“Ke mana aja,…”
Sopir taksi menoleh ke arah Mbambang.
“Jalan aja dulu,…” Mbambang merasa tertekan dengan
pandangan sopir taksi.
Akhirnya sopir taksi pun menurut perintah Mbambang.
“Bapak tahu rumah sakit di kota ini?”
“Wah, banyak rumah sakit di Yogya ini, Pak.”
“Satu saja, sebutkan.”
“Bethesda? Sardjito? Panti Rapih?” sopir itu balik
bertanya.
“Yang paling dekat dengan pusat kota, dan ada
UGD-nya.”
“Semua rumah sakit yang besar ada di pusat kota,
Pak,…”
Hadeh, kok jadi ribet. Mbambang merutuki nasibnya.
“Kita ke Hyatt!” Mbambang akhirnya tercerahkan. Ke
hotel tempat Dor menginap.
Dari Hyatt akhirnya Mbambang mengetahui di mana Dor
dirawat. Taksi pun kemudian menuju ke rumah sakit itu.
Jalanan penuh sesak di mana-mana. Beberapa anak
muda, juga para bangkotan dan anak-anak kecil, memenuhi jalanan dengan aneka
kendaraan mereka. Hari itu ada kampanye dari lima parpol dengan jurkam nasional
masing-masing. Disebar di lima wilayah DIY, tetapi para peserta arak-arakan
sudah memenuhi jalanan di Yogyakarta yang sempit. Tak ada kampanye parpol saja
macet, apalagi ini.
Setiba di ruang perawatan, Mbambang menemui Dor
yang masih tertidur. Sudah tidak di UGD lagi.
Wajah Dor kelihatan pucat. Tidak liar. Tapi masih
lumayan cantik. Bibirnya tebal. Cemipok.
Dua orang perempuan perawan masuk, membuyarkan
lamunan Mbambang.
“Selamat siang,…” sapa salah seorang perempuan
perawat itu.
“Siang,…” Mbambang tergagap menyahutnya.
Seorang perawat memeriksa suhu tubuh Dor. Perawat
yang satunya lagi mendekat ke Mbambang.
“Bapak ini suaminya?” bertanya perawat itu.
“Oh,…” Mbambang tergagap.
“Atau tunangan? Pacar?” perawat itu
memberondongnya.
“Mmmm,…” Mbambang tak bisa juga menemukan jawaban
yang pas. “Kenapa dia, Mba?”
“Sudah baikan, kok. Bapak bisa ke kantor
administrasi kami?” perawat itu lagi-lagi bertanya, seolah tak memberi
kesempatan Mbambang memahami masalahnya.
Dan Mbambang menurut saja.
Dan Mbambang kemudian puyeng tujuh keliling. Bagian
administrasi menyodori biaya perawatan Dor. Duapuluhtiga juta rupiah. Kenapa
aku yang mesti membayarnya, bertanya Mbambang dalam hati.
“Beliau bisa pulang besok pagi, kalau semua masalah
administrasinya bisa selesai hari ini,” kata petugas administrasi dengan
dingin. Tidak sedingin es, tapi lumayan dinginlah.
Mbambang kembali terduduk di kamar perawatan Dor.
Perempuan itu masih juga menutup matanya. Seperti manusia mati. Hanya gerakan
halus dadanya yang turun naik, meyakinkan Mbambang jika Dor masih bernafas.
Untuk urusan dada naik turun, mungkin Mbambang lumayan bisa dipercaya.
Dor masih tampak mengenakan tanktop yang dikenakan
waktu pertemuan terakhir dengan Mbambang. Para dokter lelaki pasti suka dengan
pasien seperti Dor. Dokter perempuan pasti juga suka. Bukankah dokter adalah
makhluk yang baik hati, penolong sesame tanpa memungut biaya? Yang memungut biaya
‘kan bagian administrasi, bukan dokter.
Jantung Mbambang berdebur lebih cepat. Tangan kiri
Dor bergerak perlahan. Naik ke dadanya.
Mbambang beranjak dari duduknya. Berdiri dan
mendekati Dor.
Di sisi ranjang, Mbambang memegangi paha Dor yang
bertutupkan selimut rumah sakit.
Perlahan mata Dor terbuka.
Mbambang menatap mata perempuan itu.
Kedua mata mereka bersitatap.
“Abang,….” Dor berusaha bangun.
“Jangan bergerak,…” Mbambang mencegahnya.
“Abang ke mana aja,…?” suara lemah Dor.
“Kamu ngapain aja?”
“Abang jahat,…!”
“Abang tidak jahat,…”
Cut!
Mbambang akhirnya tak bisa mengelak dari ajakan
Dor. Kini keduanya berada di ketinggian 3.000 feet di atas Laut Jawa. Pesawat
dari Yogyakarta mengarah ke bandara Sultan Hasanudin Makassar.
“Kenapa sih dulu Abang ninggalin Dor?”
“Aku nggak ninggalin apa-apa. Duit aja nggak
gablek, kok ninggalin,…”
“Maksudnya ninggal Dor gitu lho, peyang!”
Wah, perempuan kalau sudah nyebut peyang, biasanya
sayang-sayang gemes.
“Gimana ya rasanya bercinta di ketinggian gini?”
Dor mulai serangan-serangan khasnya.
“Makanya, beli jet pribadi.”
“Ke Maladewa?”
“Ngapain ke sana?”
“Ajarin aku nasionalisme, Bang,…”
“You lie,…!”
Mereka berdua tertawa. Sebentar lagi mungkin
gebug-gebugan.
“Abang berani nge-kiss aku di sini?” Dor merayu.
“Jangan! Lihat, di samping kita ada anak kecil,…”
“Terus kenapa? Kiss ‘kan tanda kasih sayang?
Anak-anak kecil harus dibiasakan dengan bahasa kasih sayang. Jangan
dibentak-bentak,…”
“Hm, jadul! Kiss kok tanda kasih-sayang. Aku maunya
kiss yang bikin kamu horny dan orgasm,…!”
Dor membelalakkan matanya ke arah Mbambang.
“Are you serius, man?”
“Men mbahmu! Namaku Mbambang. Dan aku bangga dengan
nama itu.”
Dan seterusnya. Sebenarnya bukan dialog penting.
Sebuah cerita yang baik mestinya hanya menuliskan yang penting. Tapi, apa sih
yang penting yang pernah dituliskan dalam cerita ini? Nothing! Apalagi yang
ngarep sebagai cerita silat. Kalau cerita silit, mungkin.
“Ngapain kamu ngajak aku ke Papua?”
“Kalau nggak mau ya udah, balik aja ndiri!
Sekarang!”
“Nyemplung ke laut? Hm. Jebakan perempuan!”
“Emang kenapa kalau perempuan? Tukang jebak? Trus,
laki-laki makhluk mulia? Shit!”
“Apa yang dilakukan pilot dan pramugarinya di
sana?” Mbambang menunjuk ruang cockpit dengan dagunya.
“Making love!”
Dengan refleks Mbambang menarik tubuh Dor, dan
mencium bibirnya erat-erat.
Dor gelagepan.
30 | Udara
panas bandara Sentani langsung menyergap. Mbambang dan Dor tiba di Jayapura,
sebuah kota paling timur di Indonesia, berbatasan dengan negara Papua Niugini.
Sebuah papan pengumuman dengan tulisan hampir sama,
banyak bertebar di lobi bandara. Larangan makan pinang. Ini sama sekali tak ada
di bandara mana pun di dunia.
“Orang-orang Papua banyak yang masih suka makan pinang,” Dor tampaknya tahu
apa yang dibingungkan Mbambang. “Mereka suka meludah di mana-mana. Dan ludah
orang yang makan pinang, kayak darah. Orang Papua menyebutnya meludah
merah-merah,...”
Sepertinya sudah tak ada yang memakan pinang di
Bandara. Dan tak ada yang meludah sembarang tempat. Tapi lobi bandara tetap
saja tampak kotor. Sampah plastik, puntung rokok, bersebaran sembarang tempat.
Pengalaman pertama yang tak nyaman untuk Mbambang.
Menikmati kopi sembari kadang menggeser-geser tempat duduk, karena petugas
kebersihan yang menjalankan tugasnya. Apalagi bukan kopi Papua yang
dinikmatinya. Yang ada hanya kopi sachetan. Fuh, sama sekali tidak nyaman,
sekali pun ada perempuan cantik di sampingnya.
Itu sangat menyedihkan. Di negara yang kaya kopi,
terbesar nomor tiga di dunia, bangsa ini lebih banyak menikmati kopi sachetan.
Kopi kelas paria, karena biji-biji kopi yang berkualitas sudah diekspor ke luar
negeri. Bahkan kopi Papua, menjadi salah satu andalan Starbuck’s di Amerika.
Banyak yang tak sadar, bubuk kopi yang beredar di
Indonesia, termasuk yang ditawarkan Iwan Fals, adalah kopi berkualitas rendah.
Bahkan, kopi-kopi sachetan mencampurkan bahan-bahan dari luar yang kualitasnya
murahan. Belum pula yang menambahkan tepung jagung untuk mendapatkan rasa gurih
dan manis.
“Kenapa sih?” Dor melihat wajah Mbambang yang aneh.
“Cabut yuk, nggak enak!” Mbambang beranjak dari
duduknya.
Di Bandara Sentani tak banyak orang berambut
keriting khas Papua. Kebanyakan justeru orang Makassar, dari suku Wajo, yang
boleh dikata menguasai Papua. Dari sopir taksi, calo, pedagang, para penjual
tiket, dan yang membuka cafe atau kios-kios di bandara. Beberapa orang Papua
kebanyakan menjadi kuli angkut atau petugas kebersihan.
Dor sepertinya sudah terbiasa di Papua. Beberapa
orang di Bandara tampak mengenalnya dan say-hello.
“Tampaknya kau sering ke daerah ini?” Mbambang
mulai curiga.
Dor tak segera menjawab. Ia melambaikan tangan pada
seseorang.
Seorang lelaki Papua yang tinggi besar datang
mendekat.
“Ada halangankah?” Dor bertanya pada lelaki Papua
itu.
Lelaki itu menggeleng.
“Wajimo, kenalkan, ini Mbambang, rekan kakak dari
Jakarta.”
Lelaki yang disebut Wajimo mengulurkan tangan.
Mbambang menyambutnya.
“Wajimo!”
“Mbambang.”
Tak banyak percakapan di dalam mobil. Mbambang
tiba-tiba merasa was-was. Siapa sesungguhnya Dor ini? Dan ia juga tak habis
pikir, apa sesungguhnya yang dimau Kanjeng Ratu Kalinyamat, dengan menyuruhnya
mengikuti Dor.
Perjalanan yang tak nyaman. Sama tak nyamannya
dengan kondisi jalanan Jayapura. Jalanan yang rusak, dan kemacetan lalu-lintas.
Apalagi ketika APILL tak berfungsi, karena aliran listrik dari PLN mampus.
Semua kendaraan tak ada yang mau mengalah.
Kota Jayapura adalah ibukota provinsi Papua. Kota
ini merupakan ibukota provinsi yang terletak paling timur di Indonesia, di
sebuah teluk bernama Jayapura.
Kota ini didirikan oleh Kapten Infanteri F.J.P
Sachses, dari kerajaan Belanda pada 7 Maret 1910. Dari tahun 1910 hingga 1962,
kota ini dikenal sebagai Hollandia, ibukota distrik dengan nama yang sama di
timur laut Papua Barat. Kota ini sempat disebut Kota Baru, dan pernah pula
mendapat nama sebagai Sukarnopura, memakai nama Presiden Indonesia pada waktu
itu, dua tahun sebelum kejatuhannya.
Nama Jayapura, tentu bukan nama asli suku Papua,
karena bau-bau Sanskerta. Arti literal Jayapura, sebagaimana kota Jaipur di
Rajasthan, adalah 'Kota Kemenangan'. Dalam bahasa Sanskerta, jaya berarti
kemenangan, dan pura adalah kota. Nama itu ditabalkan oleh Soeharto, untuk
menghapuskan nama Sukarnapura sebelumnya. Siapakah yang dimaksud menang?
Mungkin Soeharto, yang pernah menjadi komandan Tri Kora dalam perebutan Irian
Barat dari Belanda.
Sesungguhnya wilayah ini bukan wilayah yang
terasing. Kota Jayapura telah sejak lama bersentuhan dengan dunia luar. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya orang-orang yang pernah singgah di Tanah Papua
seperti seseorang berbangsa Spanyol bernama Ynico Ortis De Fretes. Dengan
kapalnya yang bernama San Juan, Ynico berlayar pada tahun 1545, dari Tidore ke
Meksiko. Dalam perjalanan tersebut, rombongan Ynico tiba di sekitar muara
sungai Mamberamo pada Juni 1545, memberikan nama Nova Guinea untuk tanah Papua.
Usai kedatangan Ortis de Fretes, muncul
pengarung-pengarung lain, di antaranya Alvaro Memdana Ne Neyra pada 1567, dan
Antonio Ma pada 1591 hingga 1593.
Bagian utara dari Belanda Nugini diduduki oleh
pasukan Jepang pada tahun 1942. Pasukan Sekutu mengusir Jepang setelah
pendaratan amfibi dekat Hollandia sejak 21 April 1944. Daerah ini menjadi
markas Jenderal Douglas MacArthur, hingga penaklukan Filipina pada Maret 1945.
Lebih dari 20 pangkalan AS didirikan dan setengah juta personel AS bergerak
melalui daerah ini.
Tapi untuk apa Mbambang mesti ke Papua?
Ia sendiri sungguh-sungguh tidak mengerti. Tetapi
setidaknya, ia sedikit terbebaskan dari tekanan rasa bersalah. Setidaknya pada
Kanjeng Ratu Kalinyamat, yang menitipkan Kitab Pararaton padanya dan justeru
kitab itu lenyap saat di tangannya.
Perjalanan darat agaknya masih lama. Bokong
Mbambang mulai terasa pedas juga. Ia duduk di depan, di sisi Wajimo yang
memegang kemudi. Sementara Dor berada di jok tengah.
Tanah-tanah terasa gersang dan kering, meski
beberapa pepohonan tampak rindang. Tapi seperti tidak terawat. Bisa jadi karena
jarak matahari jauh lebih dekat dibanding di Jawa.
Kendaraan yang dikemudikan Wajimo pun memasuki
halaman rumah yang cukup besar dan modern. Tampak nuansa etnis Papua, tetapi
dengan bentuknya yang sama sekali baru.
Di ruang tamu, begitu banyak pernak-pernik artefak
dan kerajinan tangan Papua.
Mbambang sendirian di ruang tamu. Asyik mengamati
benda-benda asing yang selama ini hanya dilihatnya dari gambar-gambar.
Hampir satu jam sendirian di ruangan itu, Mbambang
tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana terjawab,
wong ia bertanya-tanya dalam hati.
Di meja minuman kopi aseli Papua agaknya cukup
menenangkannya, meski tinggal separoh. Tiga batang rokok dia bakar sudah. Ia
abaikan peringatan dalam bungkus rokok: Merokok Membunuhmu! Biarin!
Dor muncul. Sudah nampak segar dan berganti
pakaian. Pakaian yang sopan. Casual.
“Sudah habis kopinya? Sudah berapa batang rokok?”
Dor duduk berseberang meja dengan Mbambang.
“Boleh aku mulai dengan kecurigaan?” Mbambang balas
bertanya.
“Tentang Dor?”
Mbambang mengangguk.
“Dor seorang anak Indonesia. Bapaknya dulu menteri.
Dan kini Dor menemani orang-orang Papua untuk menyongsong hidup baru,...” Dor
berbicara dengan gaya seorang presenter televisi. “Cukup?”
“Belum cukup. Kamu aktif di LSM?”
“Tidak.”
“Terus?”
“Terus nabrak,...”
Mbambang tersenyum kecut. Maklum belum mandi.
“Bagaimana kalau aku mandi dulu?” Mbambang tak
menemukan kata yang lebih baik dari itu.
“Mandi sendiri, atau,...”