Taufik Kiemas, adalah salah seorang korban politik
Soehartoisme pada jaman awal Orde Baru (yang salah satu tekadnya adalah
memberangus Sukarnoisme). Dan ketika TK, sebagai ketua MPR-RI meninggal,
beberapa elite politik dan capres Indonesia tidak tampak melayat,
karena dalam waktu bersamaan mereka sedang mengikuti haul kelahiran HM
Soeharto di Solo dan Yogyakarta.
Sebagai
suatu kebetulan, tidak ada yang aneh di sana. Tulisan ini juga tidak
dalam semangat mengonfrontasikan antara TK dan HMS. Tulisan ini hanya
ingin sekedar mengingatkan soal isme, paham, aliran, atau setidaknya
sebuah sistem politik yang dibangun oleh seorang yang ditabalkan sebagai
pemimpin, utamanya presiden di sebuah negeri yang mengaku demokratis.
Ketika saya melewati Ngawi, Sragen, Karanganyar, Solo (melintas di
depan Kalitan), poster, spanduk, banner, baliho Soeharto, tampak meriah
dipasang sepanjang jalan. Ada apa ini? Oh, ternyata akan ada hajatan
besar, peringatan kelahiran HM Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921).
Sebagai pribadi, Soeharto bisa jadi, dan bisa saja, pribadi yang baik.
Namun sebagai presiden, dengan sistem pemerintahannya yang otoritarian
(dalam politik, ekonomi, serta kebudayaan), menyebabkan bangsa ini
macet, stagnan, dan mengalami involusi.
Maka yang lahir kemudian
adalah formalisme dalam berfikir dan beragama, pragmatisme dalam
bertindak, dan vandalisme dalam berkekuasaan.
Tanjakan peradaban
bangsa yang dibangun sejak 1908, 1928, 1945, dan puncaknya 1955 (ketika
Pemilu pertama di Indonesia), perlahan nyungsep karena perang dingin
AS-Rusia, comunisto-phobia) hingga betapa dominannya Soehartoisme.
Pandangan mutlak-mutlakan Soehartoisme, menyebabkan kita tidak terdidik
dalam perbedaan dan diskusi, tak terlatih dalam negosiasi dan
berdemokrasi. Sistem pendidikan, sistem ekonomi, bahkan berkeagamaan pun
perlahan menjadi formal dan artifisial.
Dulu di jaman Soeharto,
selalu dibanggakan swa-sembada beras. Namun program intensifikasi yang
hanya memberi makan (eksploitatif dengan pupuk an-organik) pada tanaman,
menyebabkan kini kualitas tanah kita hancur, dan butuh waktu puluhan
tahun untuk mengembalikan kesuburannya (sehingga siapapun presiden
setelah Soeharto, tidak akan mudah mencapai 'prestasi' Soeharto karena
tanah itu telah dirusak sebelumnya).
Tanah sebagai dasar peradaban
manusia yang hancur itu, sama halnya dengan hancurnya peradaban bangsa.
Membutuhkan waktu untuk menyembuhkannya kembali. Kerusakan sistem
kepemimpinan Soeharto yang eksploitatif itu, memotong sejarah perdaban
bangsa sehingga kita macet dan tidak punya kemampuan eksplorasi.
Jangankan orang awam, kadang saya temu seniman dan ilmuwan, yang suka
ngomong dan membela rakyat, tiba-tiba bisa berkata; Jaman Soeharto lebih
enak ya? Meski jaman sebelumnya tidak lebih baik dari jaman Soeharto,
namun keadaban bangsa berjalan lebih baik. Dan jaman setelah Soeharto,
meski harus melalui proses penyembuhan (juga melewati proses pembusukan
Soehartoisme) yang panjang, pasti akan lebih baik lagi. Tentu saja salah
satu syaratnya adalah, meninggalkan ajaran dan sistem Soehartoisme yang
mutlak-mutlakan, merasa benar sendiri, dan hanya mengabdi pada
kepentingannya sendiri. Kita percaya, anak-anak muda generasi Anies
Baswedan dan kawan-kawan seangkatannya, akan menjadikan Indonesia lebih baik,
jika bahaya latent Orde Baru bisa kita lewati dengan baik pula. Butuh
kesabaran untuk revolusi jiwa.
Soeharto sebagai pribadi mungkin
baik. Tetapi sebagai pemimpin negara, kejahatan kemanusiaannya telah
menjebak Indonesia dalam sebuah involusi kebudayaan. Dan hingga kini
kita sedang merasai akibat-akibatnya.
Limabelas tahun reformasi, tampaknya makin penting mewaspadai bahaya latent Orde Baru. Termasuk mewaspadai para capres yang membawa-bawa nama atau foto Soeharto.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar