Sinetron (istilah yang
muncul di Indonesia dari sinema elektronik) tentang drama kenaikan harga BBM,
sudah usai. Kita tahu endingnya, sebagaimana jenis-jenis telenovela yang
bertele-tele, hanya menyajikan melodrama dan hyperbola.
Dimulai dengan pemasangan poster-poster penolakan kenaikan
BBM di beberapa kota oleh PKS, kemudian muncul beberapa statemen mereka, bahwa
Menteri-meneri asal PKS tidak berkaitan dengan partai lagi. Menurut Anis Matta,
menteri adalah bawahan Presiden, berada dalam koalisi (setgab) tidak berarti
harus seragam dengan pemerintah (karena demokrasi tidak harus seragam, sic),
kemudian pernyataan Hidayat Nur Wahid bahwa wajar PKS main di dua kaki. Sama
mengherankannya dengan PKS menolak kenaikan harga BBM tetapi menyetujui
kenaikan angka untuk BLSM, dan pada akhirnya mereka menghargai keputusan
pemerintah soal kenaikan itu.
Pada sisi lain, Demokrat yang memimpin koalisi, sebagai
gerbong partai pendukung pemerintah, mengatakan sesuai aturan dalam koalisi,
yang tidak sejalan dengan koalisi akan mendapatkan sangsi dikeluarkan dari
koalisi. Namun, Demokrat beraninya menggertak “PKS silakan keluar”, sementara
PKS berbalas pantun, “kami nunggu surat dikeluarkan”. Jadi, dua-duanya hanya
bersinetron gertak sambal agar kelihatan gagah, padahal sampah tak berguna.
PKS hendak memakai hukuman dikeluarkan itu sebagai strategi
mendapat simpati publik karena didzalimi. Tapi Demokrat hanya berkoar-koar di
luar, karena tak mau dijebak oleh PKS. Akhirnya, sikap yang dipakai benar-benar
kelas politik anak kecil, menggantung nasib orang. SBY akan mendiamkannya.
Jadinya? Politik sandera-menyandera adalah politik khas Orde Baru Soeharto, dan
partai-partai itu menunjukkan sebagai anak didik Soeharto yang patuh.
Lihat juga Golkar, meski ikut dalam setgab, partai oportunis
ini mengatakan kenaikan harga BBM adalah domain pemerintah, tak ada kaitannya
dengan koalisi. Omongan apalagi ini? Gara-gara dalam RAPBN-P 2013 dicantumkan
Rp 155 milyar untuk menolong kasus Lumpur Lapindo? Sementara di beberapa
negara, untuk penghematan anggaran mereka berani memangkas pos-pos yang tak
penting, di Indonesia kenaikan harga BBM bisa sejalan dengan kenaikan subsidi
BLSM alias balsem itu. Duitnya dari mana, jika upaya peningkatan pendapatan
negara tidak dimaksimalkan sementara penghasilan negara juga digerogoti
korupsi? Satu-satunya jalan, menaikkan utang luar negeri dengan alasan untuk
menolong perekonomian rakyat miskin. Hasilnya apa? Para penjahat pemerintah
bisa merampok duit kanan-kiri untuk pundi-pundi kekayaan pribadi dan
kelompoknya menghadapi Pemilu 2014. PAN, PPP, PKB, jadi partai pelengkap
penderita saja, karena dapat pundi-pundi yang cukup untuk biaya mengikuti
putaran Pemilu kelak.
Maka kita kemudian akan mendapat khotbah dari seorang chatib
tidak lagi tiap Jumat, tapi tiap hari, tentang neraca anggaran yang sehat dan
berimbang dari Chatib Basri. Dengan dalil-dalil neolibnya yang hanya dia yang
paham, tentang akrobat angka-angka itu. Kita diyakinkan sebagai negara yang
punya harapan dalam pertumbuhan yang significan.
Kenapa bukan SBY sendiri yang akan mengumumkan kenaikan BBM?
Karena beliaunya sedang sibuk twitteran atau nungguin disain akun fesbuknya
selesai. Udah kebelet nyetatus!
Sebuah sinetron bergenre telenovella yang bertele-tele.
Di mana-mana aku
selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; Benar sekali.
Tetapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk
menjadi benar,... | Pramoedya Ananta Toer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar