Minggu, Juni 30, 2013
Memilih Pemimpin Bukan Memilih Kerbau
Kerbau, tampaknya binatang yang penting dalam peribahasa kita. Hal itu menunjuk, bagaimana binatang ini makhluk yang akrab dan dekat dengan perikehidupan manusia, khususnya manusia di Negeri Urang Awak (Sumatera Barat), tempat bahasa Indonesia berkembang dari sejak awalnya, lewat karya-karya sastra jaman-jaman Poedjangga Lama. Hingga muncul nama Minangkabau, pemuliaan masyarakat Minang atas yang bernama Kabau (kerbau) itu.
Dalam menasehati bagaimana orangtua menjaga anak-anaknya (terutama anak gadis) agar selamat, muncul peribahasa; Kerbau jangan dimaling orang, ayam jangan dimaling musang. Bahkan dalam interaksi sosial, dalam jual-beli atau bertukar barang, orang Padang menasehatkan jangan seperti membeli kerbau di padang. Artinya, jangan membeli sesuatu dengan tidak melihat barangnya terlebih dulu (nasehat yang dalam bisnis on-line agak merepotkan).
Bahkan, untuk menggambarkan hendaknya manusia selalu memegang janji yang telah diucapkan, dikatakan 'kerbau dipegang talinya'. Penjabarannya, jika kerbau dipegang talinya, manusia dipegang janjinya. Demikian pula munculnya peribahasa 'menghambat kerbau berlabuh', untuk menggambarkan bagaimana cara kita menegakkan sesuatu yang akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan orang lain. Kenapa begitu?
Karena 'seekor kerbau berkubang, semua kena luluknya'. Satu yang bersalah, semua kena hukumannya. Gara-gara salah melakukan pendataan orang miskin, maka ketua RT/RW, Lurah, Camat, Pegawai Kantor Pos yang tak tahu-menahu, kena semprot warga miskin yang tak mendapat BLSM. Bayangkanlah! Itu ibaratnya, 'kerbau punya susu, sapi punya nama'. Kita yang bersusah-payah (berhadapan langsung dengan rakyat, bersitegang, dan dicacimaki), orang lain (orang partai, menteri, presiden) yang mendapatkan nama alias dapat keuntungan bahwa dirinya pro-rakyat dan pilihlah saya!
Semuanya itu akibat 'kerbau diberi berpelana, kuda diberi berpasangan'. Kurang cocok untuk menerapkannya.
Begitulah, kalau kita salah orang, salah milih pemimpin, salah milih presiden. Semuanya sudah terlanjur, serba susah; Seperti kerbau terjepit leher, dihela tanduk panjang, dilakukan badan bersih.
Maka kelak, jangan milih kerbau sebagai presiden. Bisa repot tentu. Seperti kerbau dicocok hidung, orang bodoh selalu menurut perintah orang lain, entah itu bernama pemodal asing, negeri asing, atau calo-calo asing di dalam dan di luar setgab. Akibatnya, 'seperti kerbau mandi', kurang bersih!
Tapi, yakinilah, kerbau adalah makhluk ciptaan Tuhan. Hanya manusia bodohlah yang tidak bisa mengelola dan memanfaatkannya. Tetapi, lebih bodoh lagi bila masyarakat manusia memilih kerbau sebagai pemimpinnya. Manusia pintar pasti memilih manusia yang lebih pintar sebagai pemimpinnya. Dan manusia pintar, bukan manusia yang minum jamu tolak-angin, sebagaimana manusia pintar juga bukan manusia bejo, yang suka masuk-angin.
Selasa, Juni 18, 2013
Sinetron BBM Bergenre Telenovela Indonesia
Sinetron (istilah yang
muncul di Indonesia dari sinema elektronik) tentang drama kenaikan harga BBM,
sudah usai. Kita tahu endingnya, sebagaimana jenis-jenis telenovela yang
bertele-tele, hanya menyajikan melodrama dan hyperbola.
Dimulai dengan pemasangan poster-poster penolakan kenaikan
BBM di beberapa kota oleh PKS, kemudian muncul beberapa statemen mereka, bahwa
Menteri-meneri asal PKS tidak berkaitan dengan partai lagi. Menurut Anis Matta,
menteri adalah bawahan Presiden, berada dalam koalisi (setgab) tidak berarti
harus seragam dengan pemerintah (karena demokrasi tidak harus seragam, sic),
kemudian pernyataan Hidayat Nur Wahid bahwa wajar PKS main di dua kaki. Sama
mengherankannya dengan PKS menolak kenaikan harga BBM tetapi menyetujui
kenaikan angka untuk BLSM, dan pada akhirnya mereka menghargai keputusan
pemerintah soal kenaikan itu.
Pada sisi lain, Demokrat yang memimpin koalisi, sebagai
gerbong partai pendukung pemerintah, mengatakan sesuai aturan dalam koalisi,
yang tidak sejalan dengan koalisi akan mendapatkan sangsi dikeluarkan dari
koalisi. Namun, Demokrat beraninya menggertak “PKS silakan keluar”, sementara
PKS berbalas pantun, “kami nunggu surat dikeluarkan”. Jadi, dua-duanya hanya
bersinetron gertak sambal agar kelihatan gagah, padahal sampah tak berguna.
PKS hendak memakai hukuman dikeluarkan itu sebagai strategi
mendapat simpati publik karena didzalimi. Tapi Demokrat hanya berkoar-koar di
luar, karena tak mau dijebak oleh PKS. Akhirnya, sikap yang dipakai benar-benar
kelas politik anak kecil, menggantung nasib orang. SBY akan mendiamkannya.
Jadinya? Politik sandera-menyandera adalah politik khas Orde Baru Soeharto, dan
partai-partai itu menunjukkan sebagai anak didik Soeharto yang patuh.
Lihat juga Golkar, meski ikut dalam setgab, partai oportunis
ini mengatakan kenaikan harga BBM adalah domain pemerintah, tak ada kaitannya
dengan koalisi. Omongan apalagi ini? Gara-gara dalam RAPBN-P 2013 dicantumkan
Rp 155 milyar untuk menolong kasus Lumpur Lapindo? Sementara di beberapa
negara, untuk penghematan anggaran mereka berani memangkas pos-pos yang tak
penting, di Indonesia kenaikan harga BBM bisa sejalan dengan kenaikan subsidi
BLSM alias balsem itu. Duitnya dari mana, jika upaya peningkatan pendapatan
negara tidak dimaksimalkan sementara penghasilan negara juga digerogoti
korupsi? Satu-satunya jalan, menaikkan utang luar negeri dengan alasan untuk
menolong perekonomian rakyat miskin. Hasilnya apa? Para penjahat pemerintah
bisa merampok duit kanan-kiri untuk pundi-pundi kekayaan pribadi dan
kelompoknya menghadapi Pemilu 2014. PAN, PPP, PKB, jadi partai pelengkap
penderita saja, karena dapat pundi-pundi yang cukup untuk biaya mengikuti
putaran Pemilu kelak.
Maka kita kemudian akan mendapat khotbah dari seorang chatib
tidak lagi tiap Jumat, tapi tiap hari, tentang neraca anggaran yang sehat dan
berimbang dari Chatib Basri. Dengan dalil-dalil neolibnya yang hanya dia yang
paham, tentang akrobat angka-angka itu. Kita diyakinkan sebagai negara yang
punya harapan dalam pertumbuhan yang significan.
Kenapa bukan SBY sendiri yang akan mengumumkan kenaikan BBM?
Karena beliaunya sedang sibuk twitteran atau nungguin disain akun fesbuknya
selesai. Udah kebelet nyetatus!
Sebuah sinetron bergenre telenovella yang bertele-tele.
Di mana-mana aku
selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; Benar sekali.
Tetapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk
menjadi benar,... | Pramoedya Ananta Toer
Senin, Juni 10, 2013
Soehartoisme dan Bahaya Latent Orde Baru Bangkit Kembali
Taufik Kiemas, adalah salah seorang korban politik
Soehartoisme pada jaman awal Orde Baru (yang salah satu tekadnya adalah
memberangus Sukarnoisme). Dan ketika TK, sebagai ketua MPR-RI meninggal,
beberapa elite politik dan capres Indonesia tidak tampak melayat,
karena dalam waktu bersamaan mereka sedang mengikuti haul kelahiran HM
Soeharto di Solo dan Yogyakarta.
Sebagai suatu kebetulan, tidak ada yang aneh di sana. Tulisan ini juga tidak dalam semangat mengonfrontasikan antara TK dan HMS. Tulisan ini hanya ingin sekedar mengingatkan soal isme, paham, aliran, atau setidaknya sebuah sistem politik yang dibangun oleh seorang yang ditabalkan sebagai pemimpin, utamanya presiden di sebuah negeri yang mengaku demokratis.
Ketika saya melewati Ngawi, Sragen, Karanganyar, Solo (melintas di depan Kalitan), poster, spanduk, banner, baliho Soeharto, tampak meriah dipasang sepanjang jalan. Ada apa ini? Oh, ternyata akan ada hajatan besar, peringatan kelahiran HM Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921).
Sebagai pribadi, Soeharto bisa jadi, dan bisa saja, pribadi yang baik. Namun sebagai presiden, dengan sistem pemerintahannya yang otoritarian (dalam politik, ekonomi, serta kebudayaan), menyebabkan bangsa ini macet, stagnan, dan mengalami involusi.
Maka yang lahir kemudian adalah formalisme dalam berfikir dan beragama, pragmatisme dalam bertindak, dan vandalisme dalam berkekuasaan.
Tanjakan peradaban bangsa yang dibangun sejak 1908, 1928, 1945, dan puncaknya 1955 (ketika Pemilu pertama di Indonesia), perlahan nyungsep karena perang dingin AS-Rusia, comunisto-phobia) hingga betapa dominannya Soehartoisme. Pandangan mutlak-mutlakan Soehartoisme, menyebabkan kita tidak terdidik dalam perbedaan dan diskusi, tak terlatih dalam negosiasi dan berdemokrasi. Sistem pendidikan, sistem ekonomi, bahkan berkeagamaan pun perlahan menjadi formal dan artifisial.
Dulu di jaman Soeharto, selalu dibanggakan swa-sembada beras. Namun program intensifikasi yang hanya memberi makan (eksploitatif dengan pupuk an-organik) pada tanaman, menyebabkan kini kualitas tanah kita hancur, dan butuh waktu puluhan tahun untuk mengembalikan kesuburannya (sehingga siapapun presiden setelah Soeharto, tidak akan mudah mencapai 'prestasi' Soeharto karena tanah itu telah dirusak sebelumnya).
Tanah sebagai dasar peradaban manusia yang hancur itu, sama halnya dengan hancurnya peradaban bangsa. Membutuhkan waktu untuk menyembuhkannya kembali. Kerusakan sistem kepemimpinan Soeharto yang eksploitatif itu, memotong sejarah perdaban bangsa sehingga kita macet dan tidak punya kemampuan eksplorasi.
Jangankan orang awam, kadang saya temu seniman dan ilmuwan, yang suka ngomong dan membela rakyat, tiba-tiba bisa berkata; Jaman Soeharto lebih enak ya? Meski jaman sebelumnya tidak lebih baik dari jaman Soeharto, namun keadaban bangsa berjalan lebih baik. Dan jaman setelah Soeharto, meski harus melalui proses penyembuhan (juga melewati proses pembusukan Soehartoisme) yang panjang, pasti akan lebih baik lagi. Tentu saja salah satu syaratnya adalah, meninggalkan ajaran dan sistem Soehartoisme yang mutlak-mutlakan, merasa benar sendiri, dan hanya mengabdi pada kepentingannya sendiri. Kita percaya, anak-anak muda generasi Anies Baswedan dan kawan-kawan seangkatannya, akan menjadikan Indonesia lebih baik, jika bahaya latent Orde Baru bisa kita lewati dengan baik pula. Butuh kesabaran untuk revolusi jiwa.
Soeharto sebagai pribadi mungkin baik. Tetapi sebagai pemimpin negara, kejahatan kemanusiaannya telah menjebak Indonesia dalam sebuah involusi kebudayaan. Dan hingga kini kita sedang merasai akibat-akibatnya.
Limabelas tahun reformasi, tampaknya makin penting mewaspadai bahaya latent Orde Baru. Termasuk mewaspadai para capres yang membawa-bawa nama atau foto Soeharto.
Sebagai suatu kebetulan, tidak ada yang aneh di sana. Tulisan ini juga tidak dalam semangat mengonfrontasikan antara TK dan HMS. Tulisan ini hanya ingin sekedar mengingatkan soal isme, paham, aliran, atau setidaknya sebuah sistem politik yang dibangun oleh seorang yang ditabalkan sebagai pemimpin, utamanya presiden di sebuah negeri yang mengaku demokratis.
Ketika saya melewati Ngawi, Sragen, Karanganyar, Solo (melintas di depan Kalitan), poster, spanduk, banner, baliho Soeharto, tampak meriah dipasang sepanjang jalan. Ada apa ini? Oh, ternyata akan ada hajatan besar, peringatan kelahiran HM Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921).
Sebagai pribadi, Soeharto bisa jadi, dan bisa saja, pribadi yang baik. Namun sebagai presiden, dengan sistem pemerintahannya yang otoritarian (dalam politik, ekonomi, serta kebudayaan), menyebabkan bangsa ini macet, stagnan, dan mengalami involusi.
Maka yang lahir kemudian adalah formalisme dalam berfikir dan beragama, pragmatisme dalam bertindak, dan vandalisme dalam berkekuasaan.
Tanjakan peradaban bangsa yang dibangun sejak 1908, 1928, 1945, dan puncaknya 1955 (ketika Pemilu pertama di Indonesia), perlahan nyungsep karena perang dingin AS-Rusia, comunisto-phobia) hingga betapa dominannya Soehartoisme. Pandangan mutlak-mutlakan Soehartoisme, menyebabkan kita tidak terdidik dalam perbedaan dan diskusi, tak terlatih dalam negosiasi dan berdemokrasi. Sistem pendidikan, sistem ekonomi, bahkan berkeagamaan pun perlahan menjadi formal dan artifisial.
Dulu di jaman Soeharto, selalu dibanggakan swa-sembada beras. Namun program intensifikasi yang hanya memberi makan (eksploitatif dengan pupuk an-organik) pada tanaman, menyebabkan kini kualitas tanah kita hancur, dan butuh waktu puluhan tahun untuk mengembalikan kesuburannya (sehingga siapapun presiden setelah Soeharto, tidak akan mudah mencapai 'prestasi' Soeharto karena tanah itu telah dirusak sebelumnya).
Tanah sebagai dasar peradaban manusia yang hancur itu, sama halnya dengan hancurnya peradaban bangsa. Membutuhkan waktu untuk menyembuhkannya kembali. Kerusakan sistem kepemimpinan Soeharto yang eksploitatif itu, memotong sejarah perdaban bangsa sehingga kita macet dan tidak punya kemampuan eksplorasi.
Jangankan orang awam, kadang saya temu seniman dan ilmuwan, yang suka ngomong dan membela rakyat, tiba-tiba bisa berkata; Jaman Soeharto lebih enak ya? Meski jaman sebelumnya tidak lebih baik dari jaman Soeharto, namun keadaban bangsa berjalan lebih baik. Dan jaman setelah Soeharto, meski harus melalui proses penyembuhan (juga melewati proses pembusukan Soehartoisme) yang panjang, pasti akan lebih baik lagi. Tentu saja salah satu syaratnya adalah, meninggalkan ajaran dan sistem Soehartoisme yang mutlak-mutlakan, merasa benar sendiri, dan hanya mengabdi pada kepentingannya sendiri. Kita percaya, anak-anak muda generasi Anies Baswedan dan kawan-kawan seangkatannya, akan menjadikan Indonesia lebih baik, jika bahaya latent Orde Baru bisa kita lewati dengan baik pula. Butuh kesabaran untuk revolusi jiwa.
Soeharto sebagai pribadi mungkin baik. Tetapi sebagai pemimpin negara, kejahatan kemanusiaannya telah menjebak Indonesia dalam sebuah involusi kebudayaan. Dan hingga kini kita sedang merasai akibat-akibatnya.
Limabelas tahun reformasi, tampaknya makin penting mewaspadai bahaya latent Orde Baru. Termasuk mewaspadai para capres yang membawa-bawa nama atau foto Soeharto.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...