Wakil Presiden Boediono mengatakan, Indonesia saat ini menghadapi kendala besar terkait ancaman defisit anggaran akibat subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) yang membengkak. Wapres mengatakan, pemerintah harus menurunkan subsidi BBM demi kondisi keuangan negara yang lebih baik.
Wapres mengatakan, pemerintah berupaya mengurangi membengkaknya subsidi dengan mengurangi belanja-belanja yang tak perlu. "Kalau kita tidak melakukan apa-apa, defisit anggaran bisa mencapai lebih dari 4 persen. Hal ini sudah melanggar aturan keuangan negara. Karena itu belanjanya yang harus dipotong," kata Wapres di hadapan para kepala daerah di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (16/3/2012). | Demikian kutipan berita dari Kompas.Com.
Dari seorang teman, saya mendapatkan inbox ini (beberapa saya edit penulisannya): Pemerintah selalu berargumen, kenaikan BBM adalah untuk menyelamatkan APBN supaya tidak jebol. Berikut perhitungan data yang tidak pernah disampaikan kepada rakyat:
Dengan tidak mengurangi subsisi dan tidak menaikkan harga BBM, sebetulnya APBN tidak jebol! Berikut ini data yang dikompilasi dari berbagai sumber, terutama dari para ekonom yang tidak bermazhab neolib.
Indonesia menghasilkan 930.000 barel/hari (1 barel = 159 liter), Harga Minyak Mentah = 105 USD per-barel. Biaya Lifting + Refining + Transporting (LRT) = 10 USD per-barel = (10/159) x Rp.9000 = Rp 566 per-liter.
Biaya LRT untuk 63 Milyar Liter = 63 Milyar x Rp 566 = Rp. 35,658 Trilyun. Lifting = 930.000 barel per hari, atau = 930.000 x 365 = 339,450 juta barel per tahun.
Hak Indonesia adalah 70%, maka = 237,615 Juta barel per-tahun. Konsumsi BBM di Indonesia = 63 Milyar Liter per tahun, atau dibagi dengan 159 = 396,226 Juta barel per tahun.
Pertamina memperoleh dari Konsumen = 63 Milyar Liter x Rp 4.500 = Rp. 283,5 Trilyun. Pertamina membeli dari Pemerintah = 237,615 Juta barel @USD 105 x Rp 9.000 = Rp 224,546 Trilyun.
Kekurangan yang harus di impor = Konsumsi BBM di Indonesia – Pembelian Pertamina ke pemerintah = 158,611 Juta barel = 158,611 juta barel @USD 105 x Rp 9.000 = Rp 149,887 Trilyun.
Kesimpulan:
1. Pertamina memperoleh hasil penjualan BBM premium sebanyak 63 Milyar liter dengan harga Rp 4.500 yang hasilnya = Rp 283,5 Trilyun
2. Pertamina harus impor dari Pasar Internasional Rp 149,887 Trilyun
3. Pertamina membeli dari Pemerintah Rp. 224,546 Trilyun
4. Pertamina mengeluarkan uang untuk LRT 63 Milyar Liter @ Rp 566 = Rp 35,658 Trilyun
5. Jumlah pengeluaran Pertamina Rp. 410,091 trilyun
6. Pertamina kekurangan uang, maka Pemerintah yang membayar kekurangan ini, yang di Indonesia pembayaran kekurangan ini di sebut “SUBSIDI”
7. Kekurangan yang dibayar pemerintah (SUBSIDI) = Jumlah pengeluaran Pertamina dikurangi dengan hasil penjualan Pertamina BBM kebutuhan di Indonesia = Rp 410,091 Trilyun– Rp 283,5 Trilyun = Rp 126,591 Trilyun
8. Tapi ingat, Pemerintah juga memperoleh hasil penjualan (juga kepada Pertamina, karena Pertamina juga membeli dari pemerintah), sebesar Rp 224,546 Trilyun (Catatan Penting: Hal inilah yang tidak pernah disampaikan oleh Pemerintah kepada masyarakat).
9. Maka kesimpulan dari kesimpulan, adalah Pemerintah malah kelebihan uang, yaitu sebesar perolehan hasil penjualan ke Pertamina – kekurangan yang dibayar Pemerintah (subsidi) = Rp 24,546 Trilyun – Rp 126,591 Trilyun = Rp 97,955 Trilyun.
Artinya, APBN tidak jebol (jika saja keuntungan itu ketahuan ke mana).
Pertanyaannya kemudian: Di mana sisa uang keuntungan jual BBM sebesar Rp 97,955 Trilyun? Itu baru hitungan 1 (satu) tahun. Di mana uang rakyat yang merupakan keuntungan Pemerintahan selama 7 (tujuh) kekuasaan dalam menjual BBM?
Apa artinya BLT dengan keuntungan Rp 97 trilyun yang “lenyap” itu? Siapa yang untung, siapa yang buntung? Tampak tulus dan betulkah apa yang dikatakan Boediono, atau SBY dan para Menterinya soal kenaikan BBM ini? Soal ketulusan, tentu urusan Tuhan yang menilainya, tapi soal hitung-hitungan dunia, mana yang perang Iran atau apa kek, semestinya kita tidak boleh bodoh-bodoh banget untuk dikibuli. Sayangnya, kita para rakyat, sama sekali tidak mempunyai wakil dalam sistem pemerintahan yang mengaku demokrasi ini.
Jika boleh mengadu pada Setan Belang (karena Tuhan sudah diklaim milik ormas tertentu), semogalah Setan Belang sudi terbang di atas langit Jakarta, dan menjatuhkan bebatuan panas tepat di kepala para otak mesum koruptor dan politikus busuk itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar