Oleh Sunardian Wirodono
Pentingkah rok mini? Itu soal sudut pandang. Pentingkah korupsi? Itu soal sudut pandang. Pentingkah BBM naik? Itu soal sudut pandang. Pentingkah,…
Jika semua soal sudut pandang, apakah sesungguhnya pandangan kita mengenai semua hal itu? Apakah pandangan kita juga hanyalah soal sudut pandang?
Betapa malangnya bangsa yang selalu ribet soal sudut pandang, sekali pun bisa dimengerti, semuanya adalah karena tidak didapatnya kebersamaan di dalamnya. Entah itu kebersamaan kepentingan, atau kebersamaan dalam menyelesaikan masalah sebagai esensi dari semua masalah kita hari ini.
Cara untuk mengatasi munculnya keberbagaian pandangan, bukannya belum kita sepakati, namun pemahaman akan hal itu, sudah barang tentu menunjukkan kualitas pemahaman. Kualitas pemahaman yang hanya sampai pada makna teoritis belaka, bukan pada makna dan hakikatnya.
Kesepakatan kita dalam berdemokrasi secara modern, belum tentu dibarengi dengan sikap tawadu’ bagaimana bersikap demokratis itu. Semua orang kemudian mengajukan kilah-kilah mereka sendiri, lebih pada persoalan alat namun bukan pada sikap bagaimana bekerja dengan hal itu.
Alangkah menyedihkannya, karena kita telah jauh berjalan setidaknya lebih dari setengah abad kemerdekaan kita, telah lebih dari seperempat abad dengan kritik Orba atas Orla, dan telah pula sepuluh tahun lebih kritik Oref atas Orba.
Jadi apa sebenarnya tesis kita tentang perubahan? Masih saja kita berjalan di tempat, bahwa keindonesiaan ini hanya dipandang dari sudut kekuasaan kepemimpinan. Tak beranjak dari sejak pandangan Ken Arok, Kertanegara, Sultan Agung, dan sebagainya. Padahal, sekali lagi padahal, sejarah senantiasa membetikan bukti, tidak ada seorang yang mampu mengklaim kemutlakannya, bahkan secanggih apapun cara Soeharto mendoktrin kita atas hal itu, toh pada akhirnya lewat juga dia.
Lantas mesti bagaimana menyikapi semuanya ini? Jika kita tak bisa berharap dari generasi sekarang, tentu saja harapan adalah pada generasi yang akan datang. Generasi yang mampu belajar dari jago-jago pemikiran generasi Sukarno-Hatta namun tidak memiliki kemampuan manajerial yang bagus, belajar dari manajemen kekuasaan Soeharto namun tak bisa menghindari tendensi kecualasan, belajar dari betapa jagoannya kita beradu-argumen namun tak sensitive pada prioritas dan tak tahu mencari jalan dari kemacetan ini?
Jika ini bagian dari pembusukan politik yang mesti dilalui, kita mesti merelakan hilangnya satu generasi SBY hingga Anas Urbaningrum, dan benar-benar memulai mempunyai keberanian memutuskan dan membangun system.
Masihkah kita percaya pada Satria Piningit? Pahlawan Baru? Seorang yang Santun dan Cerdas? Sudah cukup rasanya kita ditipu dengan dongeng-dongeng itu. Kita membutuhkan generasi yang bisa bekerja sama, mengerti prioritas dan arah masa depan bangsa dan Negara, dan memiliki keberanian untuk memutuskan dan mengerjakannya!
Jika partai politik yang semula kita harapkan bisa menciptakan peluang dan mekanisme itu pun terjebak dalam kedunguan mereka, jalan politik tidak pernah tertutup di luar berbagai institusi politik yang hanya kamuflase dari pribadi-pribadi rombengan itu. Berpolitik adalah bersiasat untuk mencari kemungkinan bagi kepentingan orang lain. Dan di sana, hanya diperlukan kesediaan untuk berbagi, dengan akal sehat, bahwa hidup bukan hanya pemenuhan kepentingan pribadi kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar