Wakil Presiden Boediono mengatakan, Indonesia saat ini menghadapi kendala besar terkait ancaman defisit anggaran akibat subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) yang membengkak. Wapres mengatakan, pemerintah harus menurunkan subsidi BBM demi kondisi keuangan negara yang lebih baik.
Wapres mengatakan, pemerintah berupaya mengurangi membengkaknya subsidi dengan mengurangi belanja-belanja yang tak perlu. "Kalau kita tidak melakukan apa-apa, defisit anggaran bisa mencapai lebih dari 4 persen. Hal ini sudah melanggar aturan keuangan negara. Karena itu belanjanya yang harus dipotong," kata Wapres di hadapan para kepala daerah di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (16/3/2012). | Demikian kutipan berita dari Kompas.Com.
Dari seorang teman, saya mendapatkan inbox ini (beberapa saya edit penulisannya): Pemerintah selalu berargumen, kenaikan BBM adalah untuk menyelamatkan APBN supaya tidak jebol. Berikut perhitungan data yang tidak pernah disampaikan kepada rakyat:
Dengan tidak mengurangi subsisi dan tidak menaikkan harga BBM, sebetulnya APBN tidak jebol! Berikut ini data yang dikompilasi dari berbagai sumber, terutama dari para ekonom yang tidak bermazhab neolib.
Indonesia menghasilkan 930.000 barel/hari (1 barel = 159 liter), Harga Minyak Mentah = 105 USD per-barel. Biaya Lifting + Refining + Transporting (LRT) = 10 USD per-barel = (10/159) x Rp.9000 = Rp 566 per-liter.
Biaya LRT untuk 63 Milyar Liter = 63 Milyar x Rp 566 = Rp. 35,658 Trilyun. Lifting = 930.000 barel per hari, atau = 930.000 x 365 = 339,450 juta barel per tahun.
Hak Indonesia adalah 70%, maka = 237,615 Juta barel per-tahun. Konsumsi BBM di Indonesia = 63 Milyar Liter per tahun, atau dibagi dengan 159 = 396,226 Juta barel per tahun.
Pertamina memperoleh dari Konsumen = 63 Milyar Liter x Rp 4.500 = Rp. 283,5 Trilyun. Pertamina membeli dari Pemerintah = 237,615 Juta barel @USD 105 x Rp 9.000 = Rp 224,546 Trilyun.
Kekurangan yang harus di impor = Konsumsi BBM di Indonesia – Pembelian Pertamina ke pemerintah = 158,611 Juta barel = 158,611 juta barel @USD 105 x Rp 9.000 = Rp 149,887 Trilyun.
Kesimpulan:
1. Pertamina memperoleh hasil penjualan BBM premium sebanyak 63 Milyar liter dengan harga Rp 4.500 yang hasilnya = Rp 283,5 Trilyun
2. Pertamina harus impor dari Pasar Internasional Rp 149,887 Trilyun
3. Pertamina membeli dari Pemerintah Rp. 224,546 Trilyun
4. Pertamina mengeluarkan uang untuk LRT 63 Milyar Liter @ Rp 566 = Rp 35,658 Trilyun
5. Jumlah pengeluaran Pertamina Rp. 410,091 trilyun
6. Pertamina kekurangan uang, maka Pemerintah yang membayar kekurangan ini, yang di Indonesia pembayaran kekurangan ini di sebut “SUBSIDI”
7. Kekurangan yang dibayar pemerintah (SUBSIDI) = Jumlah pengeluaran Pertamina dikurangi dengan hasil penjualan Pertamina BBM kebutuhan di Indonesia = Rp 410,091 Trilyun– Rp 283,5 Trilyun = Rp 126,591 Trilyun
8. Tapi ingat, Pemerintah juga memperoleh hasil penjualan (juga kepada Pertamina, karena Pertamina juga membeli dari pemerintah), sebesar Rp 224,546 Trilyun (Catatan Penting: Hal inilah yang tidak pernah disampaikan oleh Pemerintah kepada masyarakat).
9. Maka kesimpulan dari kesimpulan, adalah Pemerintah malah kelebihan uang, yaitu sebesar perolehan hasil penjualan ke Pertamina – kekurangan yang dibayar Pemerintah (subsidi) = Rp 24,546 Trilyun – Rp 126,591 Trilyun = Rp 97,955 Trilyun.
Artinya, APBN tidak jebol (jika saja keuntungan itu ketahuan ke mana).
Pertanyaannya kemudian: Di mana sisa uang keuntungan jual BBM sebesar Rp 97,955 Trilyun? Itu baru hitungan 1 (satu) tahun. Di mana uang rakyat yang merupakan keuntungan Pemerintahan selama 7 (tujuh) kekuasaan dalam menjual BBM?
Apa artinya BLT dengan keuntungan Rp 97 trilyun yang “lenyap” itu? Siapa yang untung, siapa yang buntung? Tampak tulus dan betulkah apa yang dikatakan Boediono, atau SBY dan para Menterinya soal kenaikan BBM ini? Soal ketulusan, tentu urusan Tuhan yang menilainya, tapi soal hitung-hitungan dunia, mana yang perang Iran atau apa kek, semestinya kita tidak boleh bodoh-bodoh banget untuk dikibuli. Sayangnya, kita para rakyat, sama sekali tidak mempunyai wakil dalam sistem pemerintahan yang mengaku demokrasi ini.
Jika boleh mengadu pada Setan Belang (karena Tuhan sudah diklaim milik ormas tertentu), semogalah Setan Belang sudi terbang di atas langit Jakarta, dan menjatuhkan bebatuan panas tepat di kepala para otak mesum koruptor dan politikus busuk itu.
Sabtu, Maret 17, 2012
Eknonomi Berdikari dalam Konsepsi Sukarno dan Indonesia Masa Kini
Pada tahun 1932, Sukarno menuliskan analisisnya. Ekonomi Indonesia yang berwatak kolonial setidak-tidaknya memiliki tiga ciri sebagai berikut: Pertama, diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju. Kedua, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk negara-negara industri maju. Ketiga, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara industri maju.
Tigapuluhan tahun kemudian, pada tahun 1963, setelah masuknya Irian Barat sebagai bagian sah Republik Indonesia, Sukarno mencanangkan; Menghapuskan sistem ekonomi kolonial menjadi sistem "Ekonomi Merdeka", dengan bahasa yang populer adalah "Ekonomi Berdikari" (Berdiri di Atas Kaki Sendiri);
1. Indonesia tidak hanya memasok bahan mentah tapi menciptakan nilai tambahnya di Indonesia sendiri. Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi Tuan Di Bumi-nya sendiri.
2. Indonesia harus menciptakan pasar-pasarnya sendiri, bahkan menguasai Pasar Internasional. Untuk itulah diciptakan Poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking (Poros ini bukan sekedar poros politik, tapi Poros Perdagangan. Lalu diciptakan Pasar bersama di antara negara-negara Non Blok. Di atas Pasar itu, barulah bisa dibangun Ekonomi Baru yang Merdeka, Ekonomi yang didasarkan pada kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya).
3. Indonesia harus memutar kapitalnya sendiri, membangun kekayaannya sendiri. Pembangunan Kapitalnya ini dijabarkan amat luas yang kemudian disusun oleh Djuanda. Nilai Lebih atas Produk harus dibangun di bumi Indonesia.
Konsepsi itu kemudian dipidatokan Sukarno saat berteriak “Mengganjang Malaysia” sekaligus meledek Malaysia sebagai "Negara yang berdiri tanpa konsepsi-konsepsi".
Jelas bagi Indonesia, konsepsi Sukarno adalah menghancurkan pasar dominasi asing, dan ini amat menakutkan bagi Amerika Serikat dan negara sekutunya. Karena ketika pasar-pasar itu kita kuasai, "Maka Lonceng kematian Kapitalisme akan berbunyi,…"
Tapi, lonceng itu tak pernah berbunyi. Melainkan Sukarno kemudian dibui di Wisma Yaso, hingga ajalnya! Dan Indonesia masa kini? Persis yang dipidatokan Sukarno setengah abad lalu!
Tigapuluhan tahun kemudian, pada tahun 1963, setelah masuknya Irian Barat sebagai bagian sah Republik Indonesia, Sukarno mencanangkan; Menghapuskan sistem ekonomi kolonial menjadi sistem "Ekonomi Merdeka", dengan bahasa yang populer adalah "Ekonomi Berdikari" (Berdiri di Atas Kaki Sendiri);
1. Indonesia tidak hanya memasok bahan mentah tapi menciptakan nilai tambahnya di Indonesia sendiri. Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi Tuan Di Bumi-nya sendiri.
2. Indonesia harus menciptakan pasar-pasarnya sendiri, bahkan menguasai Pasar Internasional. Untuk itulah diciptakan Poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking (Poros ini bukan sekedar poros politik, tapi Poros Perdagangan. Lalu diciptakan Pasar bersama di antara negara-negara Non Blok. Di atas Pasar itu, barulah bisa dibangun Ekonomi Baru yang Merdeka, Ekonomi yang didasarkan pada kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya).
3. Indonesia harus memutar kapitalnya sendiri, membangun kekayaannya sendiri. Pembangunan Kapitalnya ini dijabarkan amat luas yang kemudian disusun oleh Djuanda. Nilai Lebih atas Produk harus dibangun di bumi Indonesia.
Konsepsi itu kemudian dipidatokan Sukarno saat berteriak “Mengganjang Malaysia” sekaligus meledek Malaysia sebagai "Negara yang berdiri tanpa konsepsi-konsepsi".
Jelas bagi Indonesia, konsepsi Sukarno adalah menghancurkan pasar dominasi asing, dan ini amat menakutkan bagi Amerika Serikat dan negara sekutunya. Karena ketika pasar-pasar itu kita kuasai, "Maka Lonceng kematian Kapitalisme akan berbunyi,…"
Tapi, lonceng itu tak pernah berbunyi. Melainkan Sukarno kemudian dibui di Wisma Yaso, hingga ajalnya! Dan Indonesia masa kini? Persis yang dipidatokan Sukarno setengah abad lalu!
Rabu, Maret 14, 2012
Dongeng tentang Anjing dan Sekerat Daging
Dongeng Gubahan Sunardian Wirodono
Syahdan, menurut sahibul bokis, adalah seekor anjing yang merasa bingung saking laparnya. Sebentar hari lagi, BBM naik, demikian juga TDL. Anjing itu benar-benar sedih. Apa hubungannya?
Tentu saja ada, karena ia seekor anjing yang dipelihara oleh keluarga miskin, yang kebetulan tinggal di Indonesia, di jaman SBY pula! Kenaikan BBM dan TDL, pastilah berimbas padanya. Dan itu sudah dirapatkan oleh keluarga yang memeliharanya. Pembagian jatah masing-masing akan dipangkas. Termasuk dog-food bagi beliau (si anjing) ini.
Persoalan yang dihadapinya kini, pantaskah seekor anjing berdemonstrasi menuntut Presiden lengser, karena tak becus mengelola negara besar seperti Indonesia ini? Huks, huks!
Seharian penuh, beliau tidak mendapat makanan. Padahal, hampir seluruh bak sampah yang ia temui, tak ada sisa makanan. Karena sudah diembat oleh para manusia, yang entah darimana tiba-tiba saja seperti dikopipaste hingga jumlahnya berjibun. Rasanya, bahkan lebih banyak dari timbunan sampah itu sendiri. Di depan Istana Negara, anjing banget deh (ini makian), bak sampah pun tak ada. Kata para filsuf, mereka yang tak menghasilkan sampah pun, pastilah karena tidak pernah menghasilkan apa pun.
Tiba-tiba, ketika saat-saat genting menjelang, yakni ketika rasa putus asa menjerat leher dan melilit di usus perutnya, sang Anjing pun akhirnya melihat sepotong daging yang lezat. Tergeletak begitu saja di atas tanah. Bergegas beliau menggondol daging itu, dan berlari ke tempat tinggalnya, tak putus-putusnya ia bersyukur, “Oh, my Godness! Sungguh Tuhan Mahabesar!”
Belum sampai ke tujuan, di tengah perjalanan ia melewati jembatan sebuah sungai. Ia berjalan denga hati-hati, sekali pun jembatan itu masih utuh. Di tengah-tengah sungai, ia melongok ke bawah. Ia kaget, ia melihat seekor anjing yang lain, di bawah jembatan, juga sedang menggigit sepotong daging yang sama besarnya. Oh, tidak, sepertinya, bahkan lebih besar dari daging yang digondolnya.
“Gila, Meck! Daging yang digondolnya itu tampaknya lebih besar,” gerutu si Anjing kita ini, “jika aku sedikit lebih galak padanya, siapa tahu ia akan melepaskan daging itu dan lari,...”
Anjing kita pun kemudian beraksi. Ia pelototin si anjing di bawah jembatan itu. Eh, anjing itu balik memelototinya pula. Makin melotot Anjing kita ini, makin melotot pula si anjing di bawah. Begitu terus, apapun kelakuan Anjing kita begitu pula yang dilakukan bersamaan oleh si anjing di bawah.
“Grrrrrggghhhhhhh,...” si Anjing kita menjadi marah. Dasar anjing, ia menggonggong. Ia membuka mulutnya, dan, lepaslah sekerat daging yang digigitnya. Jatuh ke sungai!
Sampai dongeng ini ditulis, Anjing kita itu tak pernah tahu, bahwa anjing di bawah jembatan itu adalah bayangan dari si Anjing tokoh kita itu sendiri.
Anjing itu berdiri bengong di atas jembatan. Adakah kita mesti beritahu si tokoh kita ini? Rasanya tidak perlu. Apalagi, sekerat daging yang jatuh tadi, telah mengundang para kere di bawah jembatan untuk berebutan. Huks, huks!
Syahdan, menurut sahibul bokis, adalah seekor anjing yang merasa bingung saking laparnya. Sebentar hari lagi, BBM naik, demikian juga TDL. Anjing itu benar-benar sedih. Apa hubungannya?
Tentu saja ada, karena ia seekor anjing yang dipelihara oleh keluarga miskin, yang kebetulan tinggal di Indonesia, di jaman SBY pula! Kenaikan BBM dan TDL, pastilah berimbas padanya. Dan itu sudah dirapatkan oleh keluarga yang memeliharanya. Pembagian jatah masing-masing akan dipangkas. Termasuk dog-food bagi beliau (si anjing) ini.
Persoalan yang dihadapinya kini, pantaskah seekor anjing berdemonstrasi menuntut Presiden lengser, karena tak becus mengelola negara besar seperti Indonesia ini? Huks, huks!
Seharian penuh, beliau tidak mendapat makanan. Padahal, hampir seluruh bak sampah yang ia temui, tak ada sisa makanan. Karena sudah diembat oleh para manusia, yang entah darimana tiba-tiba saja seperti dikopipaste hingga jumlahnya berjibun. Rasanya, bahkan lebih banyak dari timbunan sampah itu sendiri. Di depan Istana Negara, anjing banget deh (ini makian), bak sampah pun tak ada. Kata para filsuf, mereka yang tak menghasilkan sampah pun, pastilah karena tidak pernah menghasilkan apa pun.
Tiba-tiba, ketika saat-saat genting menjelang, yakni ketika rasa putus asa menjerat leher dan melilit di usus perutnya, sang Anjing pun akhirnya melihat sepotong daging yang lezat. Tergeletak begitu saja di atas tanah. Bergegas beliau menggondol daging itu, dan berlari ke tempat tinggalnya, tak putus-putusnya ia bersyukur, “Oh, my Godness! Sungguh Tuhan Mahabesar!”
Belum sampai ke tujuan, di tengah perjalanan ia melewati jembatan sebuah sungai. Ia berjalan denga hati-hati, sekali pun jembatan itu masih utuh. Di tengah-tengah sungai, ia melongok ke bawah. Ia kaget, ia melihat seekor anjing yang lain, di bawah jembatan, juga sedang menggigit sepotong daging yang sama besarnya. Oh, tidak, sepertinya, bahkan lebih besar dari daging yang digondolnya.
“Gila, Meck! Daging yang digondolnya itu tampaknya lebih besar,” gerutu si Anjing kita ini, “jika aku sedikit lebih galak padanya, siapa tahu ia akan melepaskan daging itu dan lari,...”
Anjing kita pun kemudian beraksi. Ia pelototin si anjing di bawah jembatan itu. Eh, anjing itu balik memelototinya pula. Makin melotot Anjing kita ini, makin melotot pula si anjing di bawah. Begitu terus, apapun kelakuan Anjing kita begitu pula yang dilakukan bersamaan oleh si anjing di bawah.
“Grrrrrggghhhhhhh,...” si Anjing kita menjadi marah. Dasar anjing, ia menggonggong. Ia membuka mulutnya, dan, lepaslah sekerat daging yang digigitnya. Jatuh ke sungai!
Sampai dongeng ini ditulis, Anjing kita itu tak pernah tahu, bahwa anjing di bawah jembatan itu adalah bayangan dari si Anjing tokoh kita itu sendiri.
Anjing itu berdiri bengong di atas jembatan. Adakah kita mesti beritahu si tokoh kita ini? Rasanya tidak perlu. Apalagi, sekerat daging yang jatuh tadi, telah mengundang para kere di bawah jembatan untuk berebutan. Huks, huks!
Sabtu, Maret 10, 2012
Dongeng Kancil Versus Siput
Didongengkan Kembali oleh Sunardian Wirodono
Syahdan, pada suatu pagi gokil, Kancil sedang nongkrong di Monas. Matanya terus menatap sebongkah emas yang nangkring di pucuk tugu itu.
Seekor siput mengagetkannya, “Ngapain ente, pagi-pagi bengong di sini?”
Kancil tak bergeming, tatapannya terus ke atas. Ia menggeremeng, “Gimana ya, kalau Anas Urbaningrum digantung di situ?”
“Siapa? Anas Urbaningrum? Itu nama makhluk apaan? Binatang juga?” Siput bertanya.
“Hus! Itu makhluk berjenis manusia. Dia politikus!”
“Oh, sebangsa tikus,…”
“Dogol! Politikus itu julukan manusia yang bekerja di ranah politik!”
“Hmmm, kalau ranah Minang?”
“Garing lu!” Kancil sewot.
“Cil, gini aja deh, daripada ente mikirin gimana cara nyolong emas, kita lomba lari aja gimana?” Siput tiba-tiba menawarkan gagasan yang ajaib.
“Lomba lari? Lomba lari ame elu?” Kancil menoleh dan membelalakkan matanya.
“Iya, daripada ente cuma mikir menaikkan derajat dari nyolong timun ke nyolong emas, mendingan lomba lari. Badan sehat, tubuh kuat, bisa bikin timnas sepakbola yang hebat,…!”
“Elu kagak sakit ‘kan?” Kancil masih juga belum percaya.
“Yeeee, sombong deh! Kalau ente bisa menang lomba lari ame ane, Indonesia boleh ente ambil semuanya,…”
“Enak aja. Emang ini Negara elu, main ngasih ke orang aja!”
“Jangan hanya koruptor yang bisa jual negeri ini, Siput juga bisa!”
Hatta, akhirnya, Kancil pun bersetuju. Lomba lari antara Kancil versus Siput digelar. Entah bagaimana cerita, lomba lari ini agaknya menjadi event langka di dunia, dan banyak pihak tertarik. Beberapa sponsor dunia mendukung acara ini. Beberapa stasiun TV mancanegara berdatangan, bahkan ada pula yang mau siaran live. Tiga TV Indonesia, yang konon kaya raya, ditolak panitia, karena penawaran mereka sangat rendah.
Sepanjang route lomba lari itu, terlihat meriah. Umbul-umbul, spanduk, baliho, dan juga penonton yang memenuhi kanan-kiri jalan. Dari Monas, Thamrin, Gatot Subroto terus menggeblas sepanjang tol Cipularang menuju Bandung, Ciamis, Banjarnegara, Banyumas, Yogya, Sala, Pacitan, Banyuwangi, Tabanan, Maumere, Papua, pokoknya muter melintas Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan akhirnya melintasi ke Bakauheni, Cilegon,… dan kembali ke Monas (Catatan Panitia, sebenarnya mau melintas ke Cikeas, tapi lantaran ribet soal protokoler, lintasan itu dibatalkan).
“Siaaaaappppp,… 7, 6, 5, 4,… goooo!”
Tapi Kancil tidak bersegera lari. Ia bahkan hanya jalan santai, “Huahahaha, mana bisa Siput ngalahin gue. Gue jalan gini aja dia masih di belakang,…”
“Cil, kamu di mana?” suara Siput terdengar di depan Kancil.
Busyet! Bujugbuneng! Kagak salah? Kancil mempercepat langkah. Setiap ia menengok ke belakang, ia dengar suara Siput sudah di depannya. Kancil pun akhirnya berlari, tapi terus kejadian itu berulang. Setiap menengok ke belakang, Siput tidak terlihat, dan ia dengar suara Siput memanggil-manggil di depannya. Kancil makin mempercepat lari.
Tak terasa Kancil sudah berlari sampai ke luar tol, menuju Ciamis. Tapi, terus saja kejadian berulang seperti itu. Siput selalu memanggil di depan Kancil.
Di Malioboro malam-malam, nafas Kancil sudah mau putus, kehausan dan laper. Pengen ia ngegudeg bentar aja, eh, si Siput meneriakinya dari Sala, “Hoiiii, Cil, aku lagi nikmati Nasi Timlo nih, uwenak nan,…!”
Kancil segera menggeblas. Masa’ dirinya kalah dengan Siput? Bener-bener ini dongeng ngaco.
Tapi demikianlah. Sampai ke hutan-hutan Papua, yang merupakan medan paling dikuasai Kancil, Siput selalu terdengar memanggil di depannya. Sulawesi, Kalimantan,… terus hingga akhirnya di bunderan Monas kembali. Kancil melihat Siput itu nangkring di pelana kuda yang ditunggangi Pangeran Diponegoro di taman itu.
“Di jaman pembangunan ini,…” teriak Siput, membaca puisi Chairil Anwar yang terukir di kaki patung Pahlawan Goa Selarong itu.
Bagaimana bisa Kancil kalah cepat dengan Siput? Oh, my Godness!
“Majuuuu, ini barisan tak bergenderang berpalu,…” Siput terus saja berteriak bagaikan Rendra berdeklamasi.
Akhirnya, Kancil pun gantung diri di Monas!
Syahdan, pada suatu pagi gokil, Kancil sedang nongkrong di Monas. Matanya terus menatap sebongkah emas yang nangkring di pucuk tugu itu.
Seekor siput mengagetkannya, “Ngapain ente, pagi-pagi bengong di sini?”
Kancil tak bergeming, tatapannya terus ke atas. Ia menggeremeng, “Gimana ya, kalau Anas Urbaningrum digantung di situ?”
“Siapa? Anas Urbaningrum? Itu nama makhluk apaan? Binatang juga?” Siput bertanya.
“Hus! Itu makhluk berjenis manusia. Dia politikus!”
“Oh, sebangsa tikus,…”
“Dogol! Politikus itu julukan manusia yang bekerja di ranah politik!”
“Hmmm, kalau ranah Minang?”
“Garing lu!” Kancil sewot.
“Cil, gini aja deh, daripada ente mikirin gimana cara nyolong emas, kita lomba lari aja gimana?” Siput tiba-tiba menawarkan gagasan yang ajaib.
“Lomba lari? Lomba lari ame elu?” Kancil menoleh dan membelalakkan matanya.
“Iya, daripada ente cuma mikir menaikkan derajat dari nyolong timun ke nyolong emas, mendingan lomba lari. Badan sehat, tubuh kuat, bisa bikin timnas sepakbola yang hebat,…!”
“Elu kagak sakit ‘kan?” Kancil masih juga belum percaya.
“Yeeee, sombong deh! Kalau ente bisa menang lomba lari ame ane, Indonesia boleh ente ambil semuanya,…”
“Enak aja. Emang ini Negara elu, main ngasih ke orang aja!”
“Jangan hanya koruptor yang bisa jual negeri ini, Siput juga bisa!”
Hatta, akhirnya, Kancil pun bersetuju. Lomba lari antara Kancil versus Siput digelar. Entah bagaimana cerita, lomba lari ini agaknya menjadi event langka di dunia, dan banyak pihak tertarik. Beberapa sponsor dunia mendukung acara ini. Beberapa stasiun TV mancanegara berdatangan, bahkan ada pula yang mau siaran live. Tiga TV Indonesia, yang konon kaya raya, ditolak panitia, karena penawaran mereka sangat rendah.
Sepanjang route lomba lari itu, terlihat meriah. Umbul-umbul, spanduk, baliho, dan juga penonton yang memenuhi kanan-kiri jalan. Dari Monas, Thamrin, Gatot Subroto terus menggeblas sepanjang tol Cipularang menuju Bandung, Ciamis, Banjarnegara, Banyumas, Yogya, Sala, Pacitan, Banyuwangi, Tabanan, Maumere, Papua, pokoknya muter melintas Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan akhirnya melintasi ke Bakauheni, Cilegon,… dan kembali ke Monas (Catatan Panitia, sebenarnya mau melintas ke Cikeas, tapi lantaran ribet soal protokoler, lintasan itu dibatalkan).
“Siaaaaappppp,… 7, 6, 5, 4,… goooo!”
Tapi Kancil tidak bersegera lari. Ia bahkan hanya jalan santai, “Huahahaha, mana bisa Siput ngalahin gue. Gue jalan gini aja dia masih di belakang,…”
“Cil, kamu di mana?” suara Siput terdengar di depan Kancil.
Busyet! Bujugbuneng! Kagak salah? Kancil mempercepat langkah. Setiap ia menengok ke belakang, ia dengar suara Siput sudah di depannya. Kancil pun akhirnya berlari, tapi terus kejadian itu berulang. Setiap menengok ke belakang, Siput tidak terlihat, dan ia dengar suara Siput memanggil-manggil di depannya. Kancil makin mempercepat lari.
Tak terasa Kancil sudah berlari sampai ke luar tol, menuju Ciamis. Tapi, terus saja kejadian berulang seperti itu. Siput selalu memanggil di depan Kancil.
Di Malioboro malam-malam, nafas Kancil sudah mau putus, kehausan dan laper. Pengen ia ngegudeg bentar aja, eh, si Siput meneriakinya dari Sala, “Hoiiii, Cil, aku lagi nikmati Nasi Timlo nih, uwenak nan,…!”
Kancil segera menggeblas. Masa’ dirinya kalah dengan Siput? Bener-bener ini dongeng ngaco.
Tapi demikianlah. Sampai ke hutan-hutan Papua, yang merupakan medan paling dikuasai Kancil, Siput selalu terdengar memanggil di depannya. Sulawesi, Kalimantan,… terus hingga akhirnya di bunderan Monas kembali. Kancil melihat Siput itu nangkring di pelana kuda yang ditunggangi Pangeran Diponegoro di taman itu.
“Di jaman pembangunan ini,…” teriak Siput, membaca puisi Chairil Anwar yang terukir di kaki patung Pahlawan Goa Selarong itu.
Bagaimana bisa Kancil kalah cepat dengan Siput? Oh, my Godness!
“Majuuuu, ini barisan tak bergenderang berpalu,…” Siput terus saja berteriak bagaikan Rendra berdeklamasi.
Akhirnya, Kancil pun gantung diri di Monas!
Rabu, Maret 07, 2012
Jalan Politik Senantiasa Terbuka bagi yang Berakal Sehat
Oleh Sunardian Wirodono
Pentingkah rok mini? Itu soal sudut pandang. Pentingkah korupsi? Itu soal sudut pandang. Pentingkah BBM naik? Itu soal sudut pandang. Pentingkah,…
Jika semua soal sudut pandang, apakah sesungguhnya pandangan kita mengenai semua hal itu? Apakah pandangan kita juga hanyalah soal sudut pandang?
Betapa malangnya bangsa yang selalu ribet soal sudut pandang, sekali pun bisa dimengerti, semuanya adalah karena tidak didapatnya kebersamaan di dalamnya. Entah itu kebersamaan kepentingan, atau kebersamaan dalam menyelesaikan masalah sebagai esensi dari semua masalah kita hari ini.
Cara untuk mengatasi munculnya keberbagaian pandangan, bukannya belum kita sepakati, namun pemahaman akan hal itu, sudah barang tentu menunjukkan kualitas pemahaman. Kualitas pemahaman yang hanya sampai pada makna teoritis belaka, bukan pada makna dan hakikatnya.
Kesepakatan kita dalam berdemokrasi secara modern, belum tentu dibarengi dengan sikap tawadu’ bagaimana bersikap demokratis itu. Semua orang kemudian mengajukan kilah-kilah mereka sendiri, lebih pada persoalan alat namun bukan pada sikap bagaimana bekerja dengan hal itu.
Alangkah menyedihkannya, karena kita telah jauh berjalan setidaknya lebih dari setengah abad kemerdekaan kita, telah lebih dari seperempat abad dengan kritik Orba atas Orla, dan telah pula sepuluh tahun lebih kritik Oref atas Orba.
Jadi apa sebenarnya tesis kita tentang perubahan? Masih saja kita berjalan di tempat, bahwa keindonesiaan ini hanya dipandang dari sudut kekuasaan kepemimpinan. Tak beranjak dari sejak pandangan Ken Arok, Kertanegara, Sultan Agung, dan sebagainya. Padahal, sekali lagi padahal, sejarah senantiasa membetikan bukti, tidak ada seorang yang mampu mengklaim kemutlakannya, bahkan secanggih apapun cara Soeharto mendoktrin kita atas hal itu, toh pada akhirnya lewat juga dia.
Lantas mesti bagaimana menyikapi semuanya ini? Jika kita tak bisa berharap dari generasi sekarang, tentu saja harapan adalah pada generasi yang akan datang. Generasi yang mampu belajar dari jago-jago pemikiran generasi Sukarno-Hatta namun tidak memiliki kemampuan manajerial yang bagus, belajar dari manajemen kekuasaan Soeharto namun tak bisa menghindari tendensi kecualasan, belajar dari betapa jagoannya kita beradu-argumen namun tak sensitive pada prioritas dan tak tahu mencari jalan dari kemacetan ini?
Jika ini bagian dari pembusukan politik yang mesti dilalui, kita mesti merelakan hilangnya satu generasi SBY hingga Anas Urbaningrum, dan benar-benar memulai mempunyai keberanian memutuskan dan membangun system.
Masihkah kita percaya pada Satria Piningit? Pahlawan Baru? Seorang yang Santun dan Cerdas? Sudah cukup rasanya kita ditipu dengan dongeng-dongeng itu. Kita membutuhkan generasi yang bisa bekerja sama, mengerti prioritas dan arah masa depan bangsa dan Negara, dan memiliki keberanian untuk memutuskan dan mengerjakannya!
Jika partai politik yang semula kita harapkan bisa menciptakan peluang dan mekanisme itu pun terjebak dalam kedunguan mereka, jalan politik tidak pernah tertutup di luar berbagai institusi politik yang hanya kamuflase dari pribadi-pribadi rombengan itu. Berpolitik adalah bersiasat untuk mencari kemungkinan bagi kepentingan orang lain. Dan di sana, hanya diperlukan kesediaan untuk berbagi, dengan akal sehat, bahwa hidup bukan hanya pemenuhan kepentingan pribadi kita.
Pentingkah rok mini? Itu soal sudut pandang. Pentingkah korupsi? Itu soal sudut pandang. Pentingkah BBM naik? Itu soal sudut pandang. Pentingkah,…
Jika semua soal sudut pandang, apakah sesungguhnya pandangan kita mengenai semua hal itu? Apakah pandangan kita juga hanyalah soal sudut pandang?
Betapa malangnya bangsa yang selalu ribet soal sudut pandang, sekali pun bisa dimengerti, semuanya adalah karena tidak didapatnya kebersamaan di dalamnya. Entah itu kebersamaan kepentingan, atau kebersamaan dalam menyelesaikan masalah sebagai esensi dari semua masalah kita hari ini.
Cara untuk mengatasi munculnya keberbagaian pandangan, bukannya belum kita sepakati, namun pemahaman akan hal itu, sudah barang tentu menunjukkan kualitas pemahaman. Kualitas pemahaman yang hanya sampai pada makna teoritis belaka, bukan pada makna dan hakikatnya.
Kesepakatan kita dalam berdemokrasi secara modern, belum tentu dibarengi dengan sikap tawadu’ bagaimana bersikap demokratis itu. Semua orang kemudian mengajukan kilah-kilah mereka sendiri, lebih pada persoalan alat namun bukan pada sikap bagaimana bekerja dengan hal itu.
Alangkah menyedihkannya, karena kita telah jauh berjalan setidaknya lebih dari setengah abad kemerdekaan kita, telah lebih dari seperempat abad dengan kritik Orba atas Orla, dan telah pula sepuluh tahun lebih kritik Oref atas Orba.
Jadi apa sebenarnya tesis kita tentang perubahan? Masih saja kita berjalan di tempat, bahwa keindonesiaan ini hanya dipandang dari sudut kekuasaan kepemimpinan. Tak beranjak dari sejak pandangan Ken Arok, Kertanegara, Sultan Agung, dan sebagainya. Padahal, sekali lagi padahal, sejarah senantiasa membetikan bukti, tidak ada seorang yang mampu mengklaim kemutlakannya, bahkan secanggih apapun cara Soeharto mendoktrin kita atas hal itu, toh pada akhirnya lewat juga dia.
Lantas mesti bagaimana menyikapi semuanya ini? Jika kita tak bisa berharap dari generasi sekarang, tentu saja harapan adalah pada generasi yang akan datang. Generasi yang mampu belajar dari jago-jago pemikiran generasi Sukarno-Hatta namun tidak memiliki kemampuan manajerial yang bagus, belajar dari manajemen kekuasaan Soeharto namun tak bisa menghindari tendensi kecualasan, belajar dari betapa jagoannya kita beradu-argumen namun tak sensitive pada prioritas dan tak tahu mencari jalan dari kemacetan ini?
Jika ini bagian dari pembusukan politik yang mesti dilalui, kita mesti merelakan hilangnya satu generasi SBY hingga Anas Urbaningrum, dan benar-benar memulai mempunyai keberanian memutuskan dan membangun system.
Masihkah kita percaya pada Satria Piningit? Pahlawan Baru? Seorang yang Santun dan Cerdas? Sudah cukup rasanya kita ditipu dengan dongeng-dongeng itu. Kita membutuhkan generasi yang bisa bekerja sama, mengerti prioritas dan arah masa depan bangsa dan Negara, dan memiliki keberanian untuk memutuskan dan mengerjakannya!
Jika partai politik yang semula kita harapkan bisa menciptakan peluang dan mekanisme itu pun terjebak dalam kedunguan mereka, jalan politik tidak pernah tertutup di luar berbagai institusi politik yang hanya kamuflase dari pribadi-pribadi rombengan itu. Berpolitik adalah bersiasat untuk mencari kemungkinan bagi kepentingan orang lain. Dan di sana, hanya diperlukan kesediaan untuk berbagi, dengan akal sehat, bahwa hidup bukan hanya pemenuhan kepentingan pribadi kita.
Jumat, Maret 02, 2012
Stand Up Comedy Indonesia? Yah, Lumayanlah! Hanya Tidak Cukup Cerdas
Oleh Sunardian Wirodono
Munculnya acara standup comedy di televisi, tentu menarik dan cukup menyegarkan. Setidaknya, ada alternatif bagi yang jenuh dengan lawak model Srimultan, yang hingga kini merajai dalam program-program lelucon di tv kita, dengan berbagai variannya seperti Extravaganza, Kejar Tayang, Sketsa Tawa, OVJ, Ada Sule, dan lain sejenisnya.
Setidaknya, Standup Comedy tampak lebih terpelajar, terdidik, lebih intelektual, lebih cerdas dan terkonsep. Sekali pun pada akhirnya, segera ketahuan, bahwa nafas para "komedian" (dalam tanda petik, artinya tidaklah murni komedian), ternyata sangatlah pendek. Meski di sana ada acara "Battle Comic", toh pada kenyataannya materi komedi mereka tak jauh beda dengan lawak-lawak konvensional. Hanya bedanya, ia dibawakan secara tunggal, monolog, dan kemampuan berbahasa yang lebih gaul (meski, sayang banget standup comedy memakai bahasa lu-gue yang, yah, gitulah). Belum lagi kenyataannya materi yang dibawakan adalah materi-materi hafalan. Bahkan, segera ketahuan, materi-materi itu mereka comot begitu saja dari berbagai situs humor yang ada di internet (nah, soal hak cipta, dunia humor kita emang paling menyedihkan). Jadi?
Itu artinya, standup comedy benar-benar hanya nama, namun tidak dalam qua-teknis memadai materinya. Bahkan dalam "Stand Up Comedy Koper" yang digagas Butet K dan Agus Noor di TIM Jakarta beberapa waktu lalu, pertunjukan itu hanya dalam rangka "eksploitasi" trend standup comedy, bukan dalam konteks memberi roh atau mengeksplorasi. Karena hampir semua materi lawakannya, bukanlah materi lawakan yang baru. Bahkan, karena tuntutan pengadeganan, membuat stand-up itu tak beda dengan dagelan-dagelan khas Indonesia Raya.
Apakah materi lawak standup comedy selalu harus baru? Bukan soal itu. Lebih pada kualitas materi lawakan yang dengan logikanya sendiri, mampu menyodorkan sudut pandang berbeda dalam melihat kehidupan ini, baik dalam perilaku sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Artinya, kemampuan logika dalam menanggapi itulah, yang kurang terpenuhi, karena masih tetap mengandalkan teks atau naskah sebagai hafalan. Itu terlihat, dalam 'battle comic' di Metro, meski kesannya ada tema yang disodorkan spontan, namun terlihat introduction para "komediannya" masih gagap, tidak bisa langsung tune-in (dengan sepenuh maaf juga saya sampaikan, ketika muncul Marwoto Kawer, Setyawan Tiada Tara, Gareng, dan satu lagi saya lupa, dalam 'battle comic', betapa kasihannya mereka, karena mis-staging).
Sejarah kelahiran standup comedy, yang muncul di tanah Eropa pada abad 18, tentu membawa filosofinya sendiri. Ia tumbuh bersama konstruks masyarakatnya, dan seorang comic menjadi lebih bertumpu pada kemampuan seorang analis, sekali pun kemudian sebagai teknik pemaparan, mereka harus membangun cerita sebagai pengandaian. Kualitas analisnya bukanlah untuk memecahkan masalah, melainkan untuk melakukan elaborasi psikologis, memandang masalah dari sudut lain, dan selalu cenderung berempati pada korban sebagai subyek, bukan korban sebagai obyek sebagaimana konsep "superioritas" bangsa kita yang membuat lelucon kita dari tahun ke tahun penuh penyiksaan pada orang cacat, bodoh, minoritas, dan sejenisnya itu.
Tentu saja teori ini boleh disangkal, toh orang Indonesia super-kreatif dalam berkilah. Namun kita bisa melihat, para cerdik-pandai kita, apalagi mereka yang bergerak di lapangan kebudayaan dan politik, selalu merupakan manusia yang punya sense of humor yang bagus, mampu melemparkan joke-joke segar yang benar-benar spontan merespons situasi, tanpa harus menghafal-hafal koleksi lelucon. Orang-orang ini, jauh lebih lucu dibandingkan para artis standup commedy kita itu. Kemampuan intelektualitas, akan menjadi pertaruhan penting. Karenanya, ketika acara itu mengundang Mario Teguh, segera terasa bahwa ia menjadi lebih lucu dan segar.
Beberapa orang mengatakan standup comedy yang marak di Indonesia ini sebagai "smart comedy". Wah, tentu saja berlebihan. Dan tidak sangat nyata sesungguhnya, meskipun potensinya ada, asal mau banyak belajar, dan tidak anti kritik karena merasa sudah disukseskan oleh media.
Tapi, baiklah, yang ini pun tetap merupakan perkembangan menarik.
Munculnya acara standup comedy di televisi, tentu menarik dan cukup menyegarkan. Setidaknya, ada alternatif bagi yang jenuh dengan lawak model Srimultan, yang hingga kini merajai dalam program-program lelucon di tv kita, dengan berbagai variannya seperti Extravaganza, Kejar Tayang, Sketsa Tawa, OVJ, Ada Sule, dan lain sejenisnya.
Setidaknya, Standup Comedy tampak lebih terpelajar, terdidik, lebih intelektual, lebih cerdas dan terkonsep. Sekali pun pada akhirnya, segera ketahuan, bahwa nafas para "komedian" (dalam tanda petik, artinya tidaklah murni komedian), ternyata sangatlah pendek. Meski di sana ada acara "Battle Comic", toh pada kenyataannya materi komedi mereka tak jauh beda dengan lawak-lawak konvensional. Hanya bedanya, ia dibawakan secara tunggal, monolog, dan kemampuan berbahasa yang lebih gaul (meski, sayang banget standup comedy memakai bahasa lu-gue yang, yah, gitulah). Belum lagi kenyataannya materi yang dibawakan adalah materi-materi hafalan. Bahkan, segera ketahuan, materi-materi itu mereka comot begitu saja dari berbagai situs humor yang ada di internet (nah, soal hak cipta, dunia humor kita emang paling menyedihkan). Jadi?
Itu artinya, standup comedy benar-benar hanya nama, namun tidak dalam qua-teknis memadai materinya. Bahkan dalam "Stand Up Comedy Koper" yang digagas Butet K dan Agus Noor di TIM Jakarta beberapa waktu lalu, pertunjukan itu hanya dalam rangka "eksploitasi" trend standup comedy, bukan dalam konteks memberi roh atau mengeksplorasi. Karena hampir semua materi lawakannya, bukanlah materi lawakan yang baru. Bahkan, karena tuntutan pengadeganan, membuat stand-up itu tak beda dengan dagelan-dagelan khas Indonesia Raya.
Apakah materi lawak standup comedy selalu harus baru? Bukan soal itu. Lebih pada kualitas materi lawakan yang dengan logikanya sendiri, mampu menyodorkan sudut pandang berbeda dalam melihat kehidupan ini, baik dalam perilaku sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Artinya, kemampuan logika dalam menanggapi itulah, yang kurang terpenuhi, karena masih tetap mengandalkan teks atau naskah sebagai hafalan. Itu terlihat, dalam 'battle comic' di Metro, meski kesannya ada tema yang disodorkan spontan, namun terlihat introduction para "komediannya" masih gagap, tidak bisa langsung tune-in (dengan sepenuh maaf juga saya sampaikan, ketika muncul Marwoto Kawer, Setyawan Tiada Tara, Gareng, dan satu lagi saya lupa, dalam 'battle comic', betapa kasihannya mereka, karena mis-staging).
Sejarah kelahiran standup comedy, yang muncul di tanah Eropa pada abad 18, tentu membawa filosofinya sendiri. Ia tumbuh bersama konstruks masyarakatnya, dan seorang comic menjadi lebih bertumpu pada kemampuan seorang analis, sekali pun kemudian sebagai teknik pemaparan, mereka harus membangun cerita sebagai pengandaian. Kualitas analisnya bukanlah untuk memecahkan masalah, melainkan untuk melakukan elaborasi psikologis, memandang masalah dari sudut lain, dan selalu cenderung berempati pada korban sebagai subyek, bukan korban sebagai obyek sebagaimana konsep "superioritas" bangsa kita yang membuat lelucon kita dari tahun ke tahun penuh penyiksaan pada orang cacat, bodoh, minoritas, dan sejenisnya itu.
Tentu saja teori ini boleh disangkal, toh orang Indonesia super-kreatif dalam berkilah. Namun kita bisa melihat, para cerdik-pandai kita, apalagi mereka yang bergerak di lapangan kebudayaan dan politik, selalu merupakan manusia yang punya sense of humor yang bagus, mampu melemparkan joke-joke segar yang benar-benar spontan merespons situasi, tanpa harus menghafal-hafal koleksi lelucon. Orang-orang ini, jauh lebih lucu dibandingkan para artis standup commedy kita itu. Kemampuan intelektualitas, akan menjadi pertaruhan penting. Karenanya, ketika acara itu mengundang Mario Teguh, segera terasa bahwa ia menjadi lebih lucu dan segar.
Beberapa orang mengatakan standup comedy yang marak di Indonesia ini sebagai "smart comedy". Wah, tentu saja berlebihan. Dan tidak sangat nyata sesungguhnya, meskipun potensinya ada, asal mau banyak belajar, dan tidak anti kritik karena merasa sudah disukseskan oleh media.
Tapi, baiklah, yang ini pun tetap merupakan perkembangan menarik.
Lily Syafruddin Prawiranegara : Dongeng Perempuan Penjual Sukun Goreng
Wanita itu berjualan sukun goreng, untuk menghidupi empat anaknya yang masih kecil. Perjuangan hidup yang berat dijalani wanita ini, selama suaminya berada di Sumatera menjalankan tugas negara.
Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari Icah, anaknya, "Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno, dan Wakil Presiden Om Hatta, serta Om Henkie (Hamengku Buwana IX)?" tanya Icah.
"Ayahmu sering mengatakan kepada ibu, agar kita jangan bergantung pada orang lain, Nak. Kalau tidak penting sekali jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang,” kata ibunya.
"Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat," sergah Icah lagi.
"Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu, adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah, seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu," kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Lily, Ibu empat anak itu tak lain istri Menteri Keuangan pertama Indonesia, Syafruddin Prawiranegara. Nama lengkapnya Teungku Halimah.
Pada waktu dialog itu, suaminya menjabat sebagai Ketua Dewan PDRI, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, yang tak lain adalah Presiden. Ketika itu, Sukarno dan Hatta ditawan Belanda, dan pemerintahan RI yang berkedudukan di Yogyakarta, jatuh dalam Agresi Militer II Belanda tahun 1948.
| "Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia", Memoar Presiden PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), Akmal Nasery Basral.
Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari Icah, anaknya, "Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno, dan Wakil Presiden Om Hatta, serta Om Henkie (Hamengku Buwana IX)?" tanya Icah.
"Ayahmu sering mengatakan kepada ibu, agar kita jangan bergantung pada orang lain, Nak. Kalau tidak penting sekali jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang,” kata ibunya.
"Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat," sergah Icah lagi.
"Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu, adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah, seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu," kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Lily, Ibu empat anak itu tak lain istri Menteri Keuangan pertama Indonesia, Syafruddin Prawiranegara. Nama lengkapnya Teungku Halimah.
Pada waktu dialog itu, suaminya menjabat sebagai Ketua Dewan PDRI, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, yang tak lain adalah Presiden. Ketika itu, Sukarno dan Hatta ditawan Belanda, dan pemerintahan RI yang berkedudukan di Yogyakarta, jatuh dalam Agresi Militer II Belanda tahun 1948.
| "Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia", Memoar Presiden PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), Akmal Nasery Basral.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...