Chairil Anwar (18 Juli 1922 - 28 April 1949) lebih banyak dikenal anak sekolahan dengan puisi-puisi perjuangannya. Dan yang sering dibacakan mereka, mungkin puisi berjudul "Aku", "Diponegoro", atau mungkin "Krawang Bekasi" dan "Perjanjian Dengan Bung Karno".
Jarang yang mengerti, bahwa Chairil Anwar seorang yang juga sangat piawai dalam merangkai kata-kata puitik romantik. Kemampuannya, membuat puisi Huesca karya John Cornford, atau "A Song of the Sea" karya Hsu Chih Mo (menjadi "Datang Dara Hilang Dara - Datang Dara Hilang Dara") "kalah indah" dibanding terjemahan Chairil.
Beberapa pacar Chairil yang tersebut dalam puisi antara lain, Mirat dan Sri Ayati. Pada perempuan yang terakhir itulah, percintaan Chairil sebagai binatang jalang, agaknya terpaut lebih sublim.
Patung Dada Chairil Anwar, di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, di depan patung Pangeran Diponegoro, yang pada batu pondasi patungnya ditatahkan baris-baris puisi "Diponegoro" karya Chairil Anwar.
Berikut beberapa sajak cinta Chairil Anwar.
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
TAMAN
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
Maret, 1943
LAGU BIASA
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana…
Maret 1943
SAJAK PUTIH
buat tunanganku Mirat
bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah…
Buat miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di
alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…
18 Januari 1944
PEMBERIAN TAHU
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk cium tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!
1946
HAMPA
kepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di luar, sepi mendesak-desak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepaskan diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
Selasa, April 27, 2010
Senin, April 26, 2010
Surat Penyair Muda Kepada Chairil Anwar
Mengenang kematian seseorang, bisa jadi menyesakkan. Mungkin lebih membahagiakan mengenang kelahiran. Namun, mengenang kematian penyair besar Chairil Anwar, tetap lebih menggetarkan, dan menginspirasi.
Saya menyodorkan kembali tulisan lama, yang dibuat pada 1980, sebuah tulisan yang saya ikutkan dalam lomba pengenalan karya Chairil Anwar waktu itu tingkat nasional waktu itu. Syukur, akhirnya tulisan tersebut menjadi salah satu pemenangnya (juara I, Dr. Mursal Esten, II, Sunardian Wirodono, dan III, Drs. Suripan Sadi Hutomo).
Sekedar untuk mengenang, dan mengingatkan, bahwa Chairil Anwar, yang lahir pada 18 Juli 1922 dan wafat pada 28 April 1949, adalah tokoh besar dalam dunia sastra Indonesia. Justeru, ketika ia mati muda, dan hanya menyodorkan sedikit karya. Namun ia adalah meteor yang mencerahkan bangsanya.
Jika dalam tulisan ini masih “mliyak-mliyuk”, mohon pemakluman, karena ditulis pada masanya, ketika masih berusia 19 tahun. Terima kasih pada Harian Berita Nasional Yogyakarta, yang pernah memuat tulisan ini, hingga saya menjadi memiliki dokumentasinya, juga kepada Dik Titi yang mengklipingnya, serta Wit yang memindahkannya ke computer.Terima kasih dan salam, Sunardian Wirodono.
Oleh Sunardian Wirodono
“Sekali berarti,
sudah itu mati”
Chairil Anwar penyairku sayang.
Menyebut namamu, entah kenapa, aku selalu menjadi malu sendiri. Dari namamu, seakan aku berkaca, dalam cermin yang jernih. Dan yang tak dapat menipuku, betapa buruk rupaku! Engkau tahu kenapa? Engkau adalah seorang penyair besar, pelopor Angkatan 45.
Tapi bukan namamu itu yang membuatku malu padamu, Chairil. Puisi-puisimulah, karya-karyamulah, yang membuatku jadi malu. Kurang lebih tujuh tahun engkau menulis, tetapi menurut HB Jassin, temanmu itu, engkau hanya menulis 72 sajak asli, dua sajak saduran, kemudian 11 terjemahan, ditambah tujuh prosa asli, dan empat prosa terjemahan. Semuanya berapa, Chairil? Hanya 96.
Sembilan puluh enam tulisan dalam tujuh tahun. Tujuh puluh dua sajak asli dalam tujuh tahun.
Chairil! Chairil!
Dulu aku pernah punya keyakinan, bahwa seorang penyair yang hebat, ialah penyair yang produktif. Penyair yang banyak-banyak menulis sajak. Kau tahu, sahabatku seorang penyair muda, mengatakan padaku, bahwa sehari ia harus (kuulangi, harus) menghasilkan tiga biji sajak. Baginya, satu minggu tiga biji sajak, sudah merupakan kecelakaan besar. Luar biasa!
Tetapi apa yang dihasilkannya? O, kami ini seperti Buto Cakil dalam pewayangan. Kami hanya keluar untuk menujukkan Arjuna-lah ternyata, yang lebih sakti. Namun bukan “sekali berarti sudah itu mati.” Tidak. Lebih tetatnya, “sekali muncul, sudah itu mampus!”
Inflasi puisi dan penyair, yang melanda anak muda, seperti yang kualami juga, sebagaimana halnya proyek KB yang gagal. Memang banyak penyair yang lahir, tapi untuk apa? Sekedar lahir saja? Dan engkau tetap berdiri di sana? Tegak tak tergoyahkan. Mendekap tangan, sambil melihat kami tertatih-tatih berjalan: O, inikah penyair muda?
Ah, Chairil,sekarang aku jadi mengerti, lantas terdiam dan tertunduk, bahwa seni bukan perkara sambilan. Ia tidak bisa setengah-setengah. Ia tak bisa dihasilkan melulu dari perasaan saja. Tetapi kita juga punya otak yang menimbang, untuk memilih, mengupas, dan kadang-kadang membuangnya sama sekali.
Aku masih ingat tulisanmu dulu, “Sajak terbentuk dari kata-kata, seperti juga lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung, dan sebagainya, tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan mengganggap kualitas cat dan kain, atau batu pualam. Sebagai soal yang penting ialah hasil yang dicapainya itu.”
Ya, itulah yang membuat aku mengerti, kenapa kau begitu hati-hati menulis sajak. Bahkan bisa saja sebuah sajak, selesai setelah merenung-renung selama berhari-hari, berbulan-bulan. Hal itu menunjukkan, bahwa engkau seorang penyair yang asyik bergelut dengan teknik. Tapi tidak ternyata. Bahwa engkau sendiri pun mengatakan, hasil kesenian bukanlah melulu soal teknik. Dan aku kira, engkau memang benar.
Bahwa hasil kesenian bukan melulu soal kemulusan teknik,tetapi bagaimana kedahsyatan menceritakan hidup secara intens dan otentik. Itu yang sampai kepadaku. Bahwa seni bukan perkara sambilan, bukan hal yang bisa dikerjakan setengah- setengah. Ia adalah soal mati dan hidup. Sebab kerja setengah-setengah, hanya akan membuat kita menjadi improvisator besar. Kerja improvisasi tetaplah jauh berada di bawah, dan rendah, dibanding hasil seni cipta lainnya, yang berproses atas intensitas dan ketekunan kreatif.
Siapakah engkau sebenarnya Chairil? Itulah yang menarikku, untuk menulis surat kepadamu. Meski aku tahu, surat ini takkan pernah sampai kepadamu, seorang penyair besar, namun hanya mampu ‘menulis sajak sejumlah tujuhpuluhdua biji?
Kenapa engkau menulis puisi? Dan untuk apa menjadi penyair?
Aku sering mendapat pertanyaan seperti itu. Bahkan ada pula yang bertanya, “untuk siapa sebenarnya puisi itu? Kalau misalkan untuk masyarakat, kenapa puisi justru sering membingungkan masyarakat?” Pertanyaan ini sering menggodaku, untuk menyadarkan kepada para penanya. Puisi adalah sebuah dunia komunikasi dua arah. Jelas dia diperuntukkan, bukan hanya dirahasiakan. Sebab puisi adalah yang menjadi pijar-pijar keindahan, atas dasar kebenaran dan kemanusiaan.
Itulah sebabnya, puisi senantiasa hadir, bukan untuk dimengerti tetapi untuk dinikmati. Ia multi-interpretable. Ia bukan sebuah dunia yang praktis-pragmatis. Nah, disinilah letak kesalahan itu. Orang-orang selalu mengganggap, dan memposisikan, bahwa puisi tak banyak beda dengan makanan yang tinggal telan.
Sajak mempunyai dunia sendiri, ia punya hukum-hukum tersendiri. Ia tak mungkin, dan memang tak harus identik, dengan kehidupan nyata sehari-hari, meski ia berangkat dari sana juga. Moral sajak bukanlah moral yang praktis-pragmatis.
Namun kenapa orang-orang selalu salah tangkap, atau katakanlah bingung terhadap puisi? Dan yang lebih celaka lagi, khususnya bagi orang-orang yang tak terbuka, mereka dengan membabi-buta lantas menuduh, bahwa puisi adalah dunia mimpi, rengekan penyair yang patah hati, atau tumpahan generasi sakit hati.
Chairil , tentu saja menyakitkan hati bukan? Tapi baiklah, kita terima saja tuduhan itu. Bahwa kehidupan sekarang sudah demikian garang. Orang-orang saling berkejaran, memburu mimpi-mimpi berkilatan. Kemajuan berpikir, pembangunan yang dilakukan pemerintah, kemajuan tingkat industri dan teknologi. Semuanya itu telah membuat manusia lebih percaya kepada daya rasionalnya, daripada sesuatu yang bersifat emosional. Manusia terlalu sibuk dengan dunia luarnya, dan ia tak punya waktu lagi untuk merenung , bercermin, menoleh ke belakang, tentang apa yang telah diperbuatnya. Inilah bagiku, Chairil, yang menyebabkan puisi pun dipandang dari segi yang praktis, memperkosa puisi dengan telanjang.
Keadaan ini bukannya tak berbahaya. Dari sudut materi kebendaan, barangkali tahapan masyarakat termasuk kaya duniawi, tetapi nilai kerohanian? Kosong sama sekali. Manusia telah kehilangan daya untuk bermain-main.
Barangkali aneh, kenapa manusia harus berfantasi, manusia harus punya daya untuk bermain-main?
Chairil, penyairku sayang.
Engkau tentu mengerti, bahwa jika manusia ingin hidup terus, ia harus mencari keuntungan dari pengalamannya yang paling kaya, yaitu sejarahnya sendiri. Harus mampu membebaskan diri dari rutinitas. Harus berani membuat diri berjarak pada masa lampau, dengan cara merayakannya. Dari situlah daya fantasi bisa membebaskan diri dari kehidupa yang terjebak borjuasi, established, arrive.
Fantasi membuka kemungkinan ladang baru. Bisa menikmati hidup dengan lebih kaya dan intens, dengan lebih gembira dan kreatif. Para ahli ilmu jiwa menerangkan, bahwa orang yang tak mempunyai kesadaran akan waktu, masa lampau, masa kini, dan masa depan, sungguh dia telah mengalami desintegrasi sebagai manusia.
Mereka menghapus segala mimpi, menghapus segala kenangan, hiduplah demi masa kini yang nyata. Boleh saja tentu, dan silakan! Tapi ia akan mengalami depresi. Ini juga berlaku bagi masyarakat bangsa. Masyarakat yang sudah menjadi sinis terhadap sejarahnya, adalah manusia yang sinis pula terhadap masa depannya. Dan itu berarti padamlah daya juangnya.
Kita harus hidup realistis, kata kaum pragmatis. Dan karena itu anjurannya, memecahkan soal-soal rasional, tak perlu diganggu oleh fantasi. Dunia ini harus dibagi menjadi dua, menjadi dunia fantasi dan dunia fakta. Dan keduanya, harus dipisahkan jauh-jauh, hanya kepada kenyataan saja kita menaruh hormat.
Chairil, dari pendapat di atas itulah, salah satu sebab, kenapa orang menjadi sinis terhadap puisi, salah satu manisfestasi daya fantasi manusia yang sah. Dari sinilah penyair menjadi manusia aneh, di mata masyarakat. Dan menganggap bahwa penyair hanyalah manusia gila. Manusia yang kerjanya bermenung-menung, dengan pakaiannya yang khas, kumal dan jarang mandi. Tetapi, aku kemudian menyergahnya dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud kenyataan itu?
Ternyata yang bernama kenyataan , tak selalu punya arti yang sama. Engkau tentunya lebih mengerti Chairil, bahwa peranan fanstasi, ternyata amat besar. Penemuan-penemuan baru dalam bidang teknik, sering diakibatkan oleh fantasi, oleh insiprasi-ilham, sebab fantasi juga merupakan bakat untuk hidup. Oleh fantaai kita boleh mengambil jarak terhadap obyek dan proyeksi, kita bisa memperluas pandangan.
Masyarakat membutuhkan pembaruan, dan pembaruan dapat dirintis oleh para pemimpin kita, oleh mereka yang berani mempergunakan fantasinya. Tentu saja, fantasi yang dimaksudkan disini, ialah fantasi yang diteruskan. Fantasi yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari. Fantasi dalam arti harus berpangkal pada kenyataan, dan berpulang pula kepadanya. Fantasi bukanlah kompensasi, tetapi ia merupakan kegiatan intelek kita.
Dan jika mencoba menjawab pertanyaan, mengapa sajak itu membingungkan masyarakat, aku menjawabnya, karena masyarakat sudah kehilangan daya fantasinya. Ia sudah asyik masyuk dengan dunia yang serba praktis. Dan ini juga dikenakan dalam menikmati sebuah sajak.
Tetapi apakah kita harus menyalahkan masyarakat? Ah , itu perbuatan membabi buta. Kupikir kita memang harus memaklumi diri, mencoba untuk bersikap terbuka. Kita tinjau dahulu bagaimana sastra modern berbentuk tulisan, maka pertama-tama ia menembus kepada orang -orang yang mengerti baca-tulis, dan yang paling dini, ia menembus lewat tembok-tembok sekolah. Tapi bagaimana sastra diperlakukan di sekolah-sekolah? Pelajaran ini ternyata lebih banyak berkutat dengan angka-angka. Kapan Pujangga Baru lahir? Siapa pelopornya? Kapan Angkatan ‘45 muncul? Siapa penggeraknya? Apa saja karya penyair itu? Dan sejenisnya!
Begitukah? Wajarkah ini? Itulah se,babnya jika kita bertanya kepada anak sekolah, penyair A itu siapa? Mereka pasti mengenal baik-baik. Kapan lahirnya, apa saja buah karyanya? Tapi adakah mereka membaca karya sastranya? Orang tahu, anak-anak SD barangkali juga tahu, siapa engkau Chairil. Chairil Anwar, penyair besar Indonesia. Pelopor Angkatan ‘45. Kumpulan sajaknya ada tiga, “Deru Campur Debu”, “Kerikil Tajam, dan Yang Terhempas dan Yang Putus”. serta yang terakhir “Tiga Menguak Takdir” bersama Rivai Apin dan Asrul Sani.
Tapi adakah mereka membaca sajak-sajakmu? Masyarakat lebih mengerti, apa-siapa kamu, tapi tidak mengerti bagaimana dan mengapa kamu? Jadi, mengapa kita harus terbuka dan memaklumi keadaan ini? Padahal, segala sesuatu bermula, dari kenyataan juga, seni merupakan barang mewah, atau lebih tepatnya barangkali. Aneh!
Tentu saja kita tak usah menertawakan atau mengejeknya, sebab itu tak akan mengubah keadaan. Lebih utama, kitalah yang melangkahkan kaki mendekati mereka. Sebab selama masyarakat bersikap pasif terhadap sastra, selama itu pulalah keadan akan sama saja. Dan boleh jadi, justru akan bertambah buruk. Kita tak menginginkan bahwa seni merupakan barang mewah, merupakan benda asing, yang bertengger di menara gading.
Chairilku, penyairku!
Selama Tuhan masih menghendaki, bahwa dunia ini masih bersih, maka penyair akan tetap lahir, dan bermunculan . Sebab penyair (atau manusia yang mempunyai citra budi Tuhan), adalah orang yang peka membaca, akan ke mana arah larinya jaman.
Karena semestinya, seorang seniman, penyair, haruslah seorang pemimpin yang berani, membuka hutan belukar dan menciptanya bagai ladang-ladang baru, sebagai tempat bernaung. Dan lewat puisi-puisinya, penyair menyampaikan kegelisahnnya tentang misteri hidup. Obsesinya adalah, pencarian makna hidup yang hakiki. Esensi kehidupan ini dicoba diperhitungkannya, apakah hidup ini sebenarnya, mengapa dan bagaimana hidup ini, siapakah hidup itu?
Sebuah sajak adalah sebuah dunia tersendiri. Ia boleh dikatakan sebagai fantasi kegiatan intelek kita. Berangkat dari kenyataan, dan berpulang juga dari kenyataan. Hanya selama proses puitik terjadi dalam diri penyair, ia mengalami sublimasi dan ini personal sifatnya. Ia tergantung kepada intensitas pengalaman hidup penyairnya.
Puisi lantas mempunyai hukum-hukum tersendiri, realitas dan kebenaran sendiri. Oleh karena itu, seperti aku katakan di atas, ia tak harus identik dengan kenyataan hidup sehari-hari. Meskipun ia berangkat dari sana.
Dunia sajak adalah dunia imajinatif, impresif, yang ia berbeda dengan dunia keseharian yang praktis-pragmatis. Namun keduanya bisa saling berhubungan. Keduanya bisa saling bersentuhan. Saling mencerminkan diri, itulah jika terjadi perbedaan antara keduanya. Dan karena itu wajar serta tak perlu diperdebatkan. Apa yang mungkin dalam dunia sajak, belum tentu ada dunia nyata, dan begitu sebaliknya. Dari perbedaan yang timbul itu, keduanya bisa saling melengkapi, saling berhubungan dan salin g mencerminkan. Sebab, sebuah sajak bukanlah menunjuk kepada sikap perbuatan, namun ia menujuk kepada sikap batin. Sehabis menghayati sajak, tidak cukup berhenti pada menghayati saja, memahaminya saja, tapi mesti juga menghubungkannya dengan kehidupan, mencari relevansinya bagi kehidupan.
Dari sinilah kita bisa mengerti, adakah sajak hanya melulu sebuah permainan?
Kalau sampai waktuku
Ku ‘mau tak seorangpun ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang , menerjang
Duka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang sedih peri
Dan aku lebih tak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Demikianlah engkau menulis dalam sajakmu “Aku”. Lantang dan beringas. Dan ini pun tak luput dari tafsiran yang dangkal. Sajak ini, jika ditangkap secara verbal, maka tak ayal engkau dituduh sebagai orang yang brutal, anti-sosial, dan tak percaya kepada Tuhan, pemberontak kelas berat. Namun benarkah itu? Jika ditangkap begitu saja, sangat mungkin sekali.
Inilah salahnya, Chairil, mengapa orang suka mengatakan sajak adalah dunia sakit hati penyairnya, lantaran ia gila atau sentimentil. Padahal, jika kita menangkapnya secara simbolik, akan tersembul sebuah nafas pemberontakan jaman, pada saat dimana sajak itu engkau tulis.
Sajak bertahun 1943 itu, jaman Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah Jepang. Dari gambaran itu, aku mengerti kenapa engkau meradang, kenapa ingin hidup seribu tahun lagi. Sajak itu memang terdengar individualistis. Tetapi aku yakin, bahwa itu bukan egoisme. Tetapi ia merupakan individu dari individu-individu. Personal dalam pengertian karakter hakiki manusia.
Ia semestinya bukan sekedar rangkaian kata-kata, sentimentalitas cengeng penyairnya, ratap tangis, karena kehilangan kasihnya,…
Sebuah sajak, memang sebuah pernyataan yang personal. Tetapi ia personal yang unversal. Pembaca yang kemudian dituntut untuk memahami, bahwa sejak dilahirkan penyairnya, dengan pertaruhan jiwa, pikiran dan perasaannya, bahkan seluruh kehidupannya, berhasil memasuki dunia yang lebih besar dari dirinya, dan menyatukan dirinya dengan dunia.
Kemudian dari itu diciptakan kembali sebuah dunia tafsirannya, dunia yang diselaminya, dirasakannya, dilihatnya, sebagai dunia baru. Inilah sebabnya, mengapa sebuah sajak bersifat personal-universal. Sebab berbicara tentang hakekat kehidupan, orang sebagai bukan orang-perorang, melainkan menjadi milik khas manusia. Walau pun pengalaman atau pun daya tangkap manusia terhadap kehidupan, bisa sangat berbeda-beda. Namun dari ketidaksamaan itu, bisa saling melengkapi. Inilah bukti bahwa manusia juga makluk yang sosial. Ia tak bisa hidup sendiri, tetapi saling bergantung satu sama lainnya.
Jerit sekian juta rakyat Indonesia untuk merdeka, bebas lepas dari belenggu penjajah, itulah suara alam yang ditangkap oleh seorang penyair. Sajak ‘Aku’ merupakan simbolisme Indonesia yang sedang berjuang merebut kembali kemerdekaannya. Dari sini engkau, Chairil, hanyalah seorang transformator keinginan seluruh bangsa.
Dengan pembawaan yang intens, menerima, merasakan, dan memikirkan pengaruh sekitarnya, dan melontarkan kembali lewat kekakuannya. Engkau jadikan derita seluruh bangsa menjadi deritamu sendiri.
Chairil, oleh karena itu, kadang begitu sedih, jika mendengar engkau marah kepada kami. Bukan karena kami bodoh, dan mengacuhkanmu, namun agaknya orang-orang yang malas untuk merenung, berkaca ke dalam jagat dalamnya, itu yang tak mereka punya. Mereka begitu percaya terhadap kemampuan sang akal. Untuk dapat membaca ke mana larinya jaman, aku yakin kita tak hanya percaya kepada kepandaian, tetapi terutama terletak kepada kejujuran kita dalam menilai langkah-langkah yang telah diambil. Sebab masalah kemanusiaan, bukanlah milik para ilmuwan eksak saja, tetapi juga milik kaum moralis, budayawan, dengan para pencatat jamannya seperti engkau Chairil.
Kebijaksanaan, nah inilah dia, hanya milik orang-orang yang jujur dan berani melihat buruk mukanya di cermin. Itulah seorang pemimpin yang dibutuhkan. Seperti katamu juga, seorang seniman haruslah seorang perintis jalan, adik, “penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba, penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar, tak bertepi, seniman adalah tanda dari hidup yang melepas-bebas.
Jangan pula menceraikan diri dari penghidupan, berkesendirian,... kita tak boleh lagi sebagai alat musik kehidupan, kita pemain lagu dari penghidupan, membikin kita selamanya berterus-terang. Karena keberanian, kesadaran, kepercayaan, dan pengetahuan kita punya.”
Ah, Chairil, tentunya engkau lebih mengerti, daripada aku. Aku begitu kagum dengan begitu banyak buku-buku yang telah engkau lahap, dan dengan petualanganmu yang mempesona itu. Sedang aku? Malas baca buku. Miskin pengalaman, tak berani bertualang, lekas puas dengan beberapa puisi, yang tercipta begitu saja.
Tapi, bagaimana aku berani kurang ajar, berani bicara soal puisi kepadamu, Chairil? Duh, duh,… Chairil, pantaskah aku?
Chairil Anwar, penyairku sayang.
Ijinkan, ijinkan aku mengagumimu. Bukan lantaran aku hendak mendewakan kamu, sebab kamu adalah manusia juga, dan tak lepas pula dari cacat. Tetapi sekali lagi, ijinkan bahwa engkau telah membuka cakrawala baru dalam hatiku. Dan karena itulah aku mengagumimu.
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing
Nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Dia sebetulnya api dan abu
Aku hendak bicara
Suaraku hilang , tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa
Ambil peduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil tutup telinga terpicing
Mata
Menunggu roda yang mesti
Tiba
Sajakmu di atas yang berjudul ‘Kesabaran’ sungguh mengerikan dan membuat aku sedih. Kenapa engkau tak ambil peduli, pada dunia yang enggan disapa, Chairil? Adakah engkau patah hati, terhadap dunia yang tak berkesudahan ini?Aku lantas tercenung, betapa gelapnya nanti?
Chairil! Bagaimana pun penyair harus tetap hadir, manakala Tuhan masih menghendaki kehidupan ini lebih bersih. Dan untuk mencucinya dengan pijar-pijar keindahan, atas dasar kebenaran dan kemanusiaan, penyairlah yang akan mencatat laju dunia ini. Dengan kerinduan, semangat pada dunia yang fana ini, dan ia pula yang mengajak kita kepada dimensi hidup yang baru.
Aku pernah membaca sebuah tulisan, yang kurang lebih begini “Seorang penyair, adalah seorang yang menyajikan pengalaman tertentu kepada masyarakatnya. Pengalaman yang disajikan, adalah khas milik dia, dan bersifat representati f , konkrit. Berbeda dengan seorang ilmiah, yang menyajikan pengalamannya secara akal, deskriptif -analisis.
Penyair menyajikan pengalamanya yang paling bermakna, dalam bentuk kesatuan yang hayati, untuk dialami kembali oleh pembaca atau pendengarnya. Meski seorang ilmiawan mempunyai pengalaman yang sama dengan seorang penyair, tetapi ia akan menyajikan pengalamannya secara berbeda dengan seorang penyair. Ia akan menggambarkan pengalamannya secara akal. Ia tidak menyajikan pengalamannya itu, melainkan gambaran ‘tentang’ pengalaman itu. Sedangkan seorang penyair, seperti digambarkan di atas, akan menyajikan pengalaman dengan segala perasannya, yang dilandasi daya hayatnya, terhadap kehidupan. Intens atau tidak, tergantung pada kekayaan batin masing-masing.
Oleh karen itu, puisi sebagaimana dunia penyair, adalah sebuah tafsiran, yang teramat luas. Ia multi-interpretable, sesuai pula dengan daya intensitas, penghayatan masing-masing penanggapnya. Tetapi, Chairil, sayangnya ia menjadi barang yang begitu digampangkan, ia menjadi barang dengan penikmat tertentu saja. Sebab apa boleh buat, orang-orang demikian terpesona dengan hal-hal yang serba akal. Mereka lebih memandang daya rasionya, padahal kau tahu bukan? Hal itu terasa pincang. Sebab manusia, di samping hidup dengan rasio, memiliki juga emosi dan daya imajinasi.
Agaknya daya imajinasi ini, yang bersifat emosional, dipandang lebih rendah daripada daya rasionalnya.
Padahal menurut beberapa ahli jiwa, bahwa berfantasi, berimanjinasi, adalah sebuah kegiatan mental yang tarafnya sama dengan kegiatan-kegiatan lain. Berfantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif.
Tentu saja kita bertanya, kenapa dibutuhkan imajinasi itu? Jawabnya, karena cakrawala pemikiran kita terlalu kompleks, sehingga tak dapat dijadikan atau dimiliki darah daging kita secara rasional saja. Antara kenyataan dan kemungkinan, tentu saja kalimat itu akan terasa aneh, lebih-lebih di Indonesia yang sedang giat-giatnya membangun.
Dan kemudian kita akan mendengar berondongan jargon: Kita harus meninggalkan angan-angan, imajinasi, kita harus hidup secara realistis, tak ada waktu untuk berkhayal, dengan mengimpikan kemungkinan-kemungkinan, segalanya harus serba nyata dan pasti. Pokoknya membangun dan membangun. Jangan yang lain, jangan bermimpi di siang bolong.
Tentu saja pembangunan harus jalan terus. Tetapi pembangunan untuk apa? Untuk siapa? Untuk manusia dan untuk kemanusiaan tentunya, demikian paling tidak yang tertulis dalam Undang-undang Dasar 1945. Bahwa pembangunan adalah demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tetapi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat macam apa? Macam rakyat Amerika? Eropa?
Sementara itu, kita dihadapkan pada kenyataan yang lain. Sungai dan laut kita telah tercemar dengan kotoran-kotoran teknologi. Udara tak lagi jernih karena polusi, hutan makin menipis.
Teknologi membuat segala-galanya. Namun meski semua bisa dicapai oleh teknologi, sumber-sumber tenaga bumi kita semakin lama semakin menyusut. Sementara penduduk makin bertambah, dan peperangan dahsyat atas berbagai kepentingan, tak bisa dihindari lagi. Mereka mau lari ke mana? Hutan rimba sudah tiada, tak ada ruang yang mau berbagi, mereka tak bisa kembali lagi ke sana.
Adakah kita mau mempercepat keadaan itu, sebagaimana gerimis mempercepat kelam? Membangun? Tentu saja kita mengatakan silahkan! Namun terhadap masalah yang menyangkut masa depan, hendaknya kita berfikir lebih jauh akan segala sebab dan akibat yang dari segi kebudayaan dipandang merosot, dan mendapatkan perlakuan yang layak.
Pembangunan yang membabibutakan manusia yang serba rasional, dan memperhitungkan hidup manusia dengan melulu kekuatan pikirnya (sementara ia lupa masalah manusia bukanlah masalah yang angka-angka, manusia bukan obyek, melainkan di situ ia berperan juga), maka ia menjadi subyek yang harus pula menggerakkan dirinya secara penuh.
Namun sekali lagi, jika di sini kita sebutkan tentang daya fantasi, bukan berarti bahwa tulisan ini hendak mengajak untuk melulu berangan-angan dan tak usah kerja. Silakan bermimpi, sekedar mimpi yang timbul dari angan-angan kosong. Tidak. Mimpi yang kita maksud adalah mimpi yang berangkat dari kenyataan yang kembali ke kenyataan pula. Ia harus mimpi yang diteruskan.
Jika ada yang menuduh bahwa anak muda kita terlalu banyak berfantasi, aku tidak setuju dengan pendapat itu. Mereka memang sering melamun, tetapi hal itu adalah melamun kosong. Melamun akibat kekosongan yang menganga. Bukan fantasi yang kreatif. Mereka kesepian tetapi tak bisa menggunakannya sebagai senjata kreatifnya. Mereka mengeluh, tetapi bukan lebih kreatif.
Fantasi di sini yang kumaksud ialah fantasi kreatif. Berdialog dengan alam, dengan kennyataan. Sebab dengan fantasi itu, bukan bertentangan dengan pikiran yang logis melainkan melengkapinya.
Chairilku yang baik.
Oleh karenanya, Chairilku, penyair akan tetap hadir. Dan meski telah tiada, ada yang ditinggalkannya. Puisi-puisi adalah sepercik kebenaran manusiawi. Ia memang tak berlaku umum dan cocok dengan segala cuaca. Tetapi sekali masuk, ia akan langsung menukik ke dasar kalbu, tentang hakekat hidup, tentang kerinduan, dan semangat, pada masa silam dan masa mendatang. Dan itulah yang membuat manusia ingin memberi nilai pada hidupnya.
Sajak-sajak yang kau tinggalkan, akan tetap berguna. Ia sebagai penjaga jiwa hidup. Minimal sebagaimana penjaga sejarah. Itu pun jika kita menyadarinya. Karena jika pun ada banyak mutiara terpendam, tetaplah tidak bakal menarik jika kita malas menggosoknya hingga berkilap.
Hanya bagi orang yang bermata jeli sajalah, ia akan berguna. Puisi-puisi adalah, sekali lagi, pijar keindahan yang berdasarkan kebenaran, dan kemanusiaan. Tentang hidup, tentang maut, tentang kegaiban, dan segala misteri kehidupan ini. Dan sajak-sajakmu, Chairil, mengajakku terus untuk mengadakan dialog. Dengan diri-sendiri, dan dialog dengan sang maha ghalib, tentang apa arti cita-cita, masa depan, semangat, kerinduan, harapan, dan kenyataan.
Di situlah, sajak berdiri sebagai suatu dunia tafsiran. Ia tidak hadir secara telanjang, ia merupakan dunia rekaan, yang kaya akan makna kehidupan. Menggugah kesadaran batin, dan untuk kemudian direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, untuk kemudian menjejak langkah lebih maju. Sajak-sajakmu, Chairil, adalah juga pertanyaan yang bukan saja milikmu. Ia adalah pertanyaan manusia.
Chairil Anwar, sayang.
Memang tragis, engkau mati muda, tetapi dalam usia semuda itu, engkau adalah bara api, yang panas membakar, siapa saja. Sekarang barulah terasa, kuakui dengan jujur, bahwa dengan diam-diam kamu telah memberikan jalan kepadaku. Ke arah dunia yang lebih sedikit jernih.
Aku mengerti engkau adalah manusia biasa. Bagaimana pun juga besarnya semangat hidup, bagaimana pun juga tingginya cita-cita, tetapi apa artinya jika dengan tanpa kita tahu dan tanpa kita mau tahu, datang dan terhempaslah segalanya? Kehidupan hanyalah sebuah pematang begitu kecilnya, begitu mungilnya. Padahal lautan maha dalam, mukul dentur selama. Betapa akan hancur lebur seketika, jika laut murka dan pematang sirna. Pematang itu akan terasa sia-sia dipupuk:
Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji pematang kita
Hingga hancur remuk redam
Kurnia bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia di pupuk
Chairil Anwar, penyairku sayang.
Sebagai anak muda, aku mengagumimu. Ini tanpa malu-malu aku tulis surat ini kepadamu.
Chairil, Chairil, Chairil.
Aku mendoa semoga engkau mendapat ampun dari Tuhan, meski hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Meski tidak minta ampun, atas segala dosa, tidak memberi pamit, pada siapa saja. Aku tidak pernah berkeberatan, untuk memamitkan dan memintakan ampun segala perbuatanmu. Sebagai manusia biasa juga, bahwa engkau memanglah bukan nabi. Meski dari puisimu, engkau telah menuliskan segalanya.
Chairil Anwar,
Chairil Anwar,
Chairil Anwar.
Jatimulyo, 15 April 1980
Saya menyodorkan kembali tulisan lama, yang dibuat pada 1980, sebuah tulisan yang saya ikutkan dalam lomba pengenalan karya Chairil Anwar waktu itu tingkat nasional waktu itu. Syukur, akhirnya tulisan tersebut menjadi salah satu pemenangnya (juara I, Dr. Mursal Esten, II, Sunardian Wirodono, dan III, Drs. Suripan Sadi Hutomo).
Sekedar untuk mengenang, dan mengingatkan, bahwa Chairil Anwar, yang lahir pada 18 Juli 1922 dan wafat pada 28 April 1949, adalah tokoh besar dalam dunia sastra Indonesia. Justeru, ketika ia mati muda, dan hanya menyodorkan sedikit karya. Namun ia adalah meteor yang mencerahkan bangsanya.
Jika dalam tulisan ini masih “mliyak-mliyuk”, mohon pemakluman, karena ditulis pada masanya, ketika masih berusia 19 tahun. Terima kasih pada Harian Berita Nasional Yogyakarta, yang pernah memuat tulisan ini, hingga saya menjadi memiliki dokumentasinya, juga kepada Dik Titi yang mengklipingnya, serta Wit yang memindahkannya ke computer.Terima kasih dan salam, Sunardian Wirodono.
Oleh Sunardian Wirodono
“Sekali berarti,
sudah itu mati”
Chairil Anwar penyairku sayang.
Menyebut namamu, entah kenapa, aku selalu menjadi malu sendiri. Dari namamu, seakan aku berkaca, dalam cermin yang jernih. Dan yang tak dapat menipuku, betapa buruk rupaku! Engkau tahu kenapa? Engkau adalah seorang penyair besar, pelopor Angkatan 45.
Tapi bukan namamu itu yang membuatku malu padamu, Chairil. Puisi-puisimulah, karya-karyamulah, yang membuatku jadi malu. Kurang lebih tujuh tahun engkau menulis, tetapi menurut HB Jassin, temanmu itu, engkau hanya menulis 72 sajak asli, dua sajak saduran, kemudian 11 terjemahan, ditambah tujuh prosa asli, dan empat prosa terjemahan. Semuanya berapa, Chairil? Hanya 96.
Sembilan puluh enam tulisan dalam tujuh tahun. Tujuh puluh dua sajak asli dalam tujuh tahun.
Chairil! Chairil!
Dulu aku pernah punya keyakinan, bahwa seorang penyair yang hebat, ialah penyair yang produktif. Penyair yang banyak-banyak menulis sajak. Kau tahu, sahabatku seorang penyair muda, mengatakan padaku, bahwa sehari ia harus (kuulangi, harus) menghasilkan tiga biji sajak. Baginya, satu minggu tiga biji sajak, sudah merupakan kecelakaan besar. Luar biasa!
Tetapi apa yang dihasilkannya? O, kami ini seperti Buto Cakil dalam pewayangan. Kami hanya keluar untuk menujukkan Arjuna-lah ternyata, yang lebih sakti. Namun bukan “sekali berarti sudah itu mati.” Tidak. Lebih tetatnya, “sekali muncul, sudah itu mampus!”
Inflasi puisi dan penyair, yang melanda anak muda, seperti yang kualami juga, sebagaimana halnya proyek KB yang gagal. Memang banyak penyair yang lahir, tapi untuk apa? Sekedar lahir saja? Dan engkau tetap berdiri di sana? Tegak tak tergoyahkan. Mendekap tangan, sambil melihat kami tertatih-tatih berjalan: O, inikah penyair muda?
Ah, Chairil,sekarang aku jadi mengerti, lantas terdiam dan tertunduk, bahwa seni bukan perkara sambilan. Ia tidak bisa setengah-setengah. Ia tak bisa dihasilkan melulu dari perasaan saja. Tetapi kita juga punya otak yang menimbang, untuk memilih, mengupas, dan kadang-kadang membuangnya sama sekali.
Aku masih ingat tulisanmu dulu, “Sajak terbentuk dari kata-kata, seperti juga lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung, dan sebagainya, tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan mengganggap kualitas cat dan kain, atau batu pualam. Sebagai soal yang penting ialah hasil yang dicapainya itu.”
Ya, itulah yang membuat aku mengerti, kenapa kau begitu hati-hati menulis sajak. Bahkan bisa saja sebuah sajak, selesai setelah merenung-renung selama berhari-hari, berbulan-bulan. Hal itu menunjukkan, bahwa engkau seorang penyair yang asyik bergelut dengan teknik. Tapi tidak ternyata. Bahwa engkau sendiri pun mengatakan, hasil kesenian bukanlah melulu soal teknik. Dan aku kira, engkau memang benar.
Bahwa hasil kesenian bukan melulu soal kemulusan teknik,tetapi bagaimana kedahsyatan menceritakan hidup secara intens dan otentik. Itu yang sampai kepadaku. Bahwa seni bukan perkara sambilan, bukan hal yang bisa dikerjakan setengah- setengah. Ia adalah soal mati dan hidup. Sebab kerja setengah-setengah, hanya akan membuat kita menjadi improvisator besar. Kerja improvisasi tetaplah jauh berada di bawah, dan rendah, dibanding hasil seni cipta lainnya, yang berproses atas intensitas dan ketekunan kreatif.
Siapakah engkau sebenarnya Chairil? Itulah yang menarikku, untuk menulis surat kepadamu. Meski aku tahu, surat ini takkan pernah sampai kepadamu, seorang penyair besar, namun hanya mampu ‘menulis sajak sejumlah tujuhpuluhdua biji?
Kenapa engkau menulis puisi? Dan untuk apa menjadi penyair?
Aku sering mendapat pertanyaan seperti itu. Bahkan ada pula yang bertanya, “untuk siapa sebenarnya puisi itu? Kalau misalkan untuk masyarakat, kenapa puisi justru sering membingungkan masyarakat?” Pertanyaan ini sering menggodaku, untuk menyadarkan kepada para penanya. Puisi adalah sebuah dunia komunikasi dua arah. Jelas dia diperuntukkan, bukan hanya dirahasiakan. Sebab puisi adalah yang menjadi pijar-pijar keindahan, atas dasar kebenaran dan kemanusiaan.
Itulah sebabnya, puisi senantiasa hadir, bukan untuk dimengerti tetapi untuk dinikmati. Ia multi-interpretable. Ia bukan sebuah dunia yang praktis-pragmatis. Nah, disinilah letak kesalahan itu. Orang-orang selalu mengganggap, dan memposisikan, bahwa puisi tak banyak beda dengan makanan yang tinggal telan.
Sajak mempunyai dunia sendiri, ia punya hukum-hukum tersendiri. Ia tak mungkin, dan memang tak harus identik, dengan kehidupan nyata sehari-hari, meski ia berangkat dari sana juga. Moral sajak bukanlah moral yang praktis-pragmatis.
Namun kenapa orang-orang selalu salah tangkap, atau katakanlah bingung terhadap puisi? Dan yang lebih celaka lagi, khususnya bagi orang-orang yang tak terbuka, mereka dengan membabi-buta lantas menuduh, bahwa puisi adalah dunia mimpi, rengekan penyair yang patah hati, atau tumpahan generasi sakit hati.
Chairil , tentu saja menyakitkan hati bukan? Tapi baiklah, kita terima saja tuduhan itu. Bahwa kehidupan sekarang sudah demikian garang. Orang-orang saling berkejaran, memburu mimpi-mimpi berkilatan. Kemajuan berpikir, pembangunan yang dilakukan pemerintah, kemajuan tingkat industri dan teknologi. Semuanya itu telah membuat manusia lebih percaya kepada daya rasionalnya, daripada sesuatu yang bersifat emosional. Manusia terlalu sibuk dengan dunia luarnya, dan ia tak punya waktu lagi untuk merenung , bercermin, menoleh ke belakang, tentang apa yang telah diperbuatnya. Inilah bagiku, Chairil, yang menyebabkan puisi pun dipandang dari segi yang praktis, memperkosa puisi dengan telanjang.
Keadaan ini bukannya tak berbahaya. Dari sudut materi kebendaan, barangkali tahapan masyarakat termasuk kaya duniawi, tetapi nilai kerohanian? Kosong sama sekali. Manusia telah kehilangan daya untuk bermain-main.
Barangkali aneh, kenapa manusia harus berfantasi, manusia harus punya daya untuk bermain-main?
Chairil, penyairku sayang.
Engkau tentu mengerti, bahwa jika manusia ingin hidup terus, ia harus mencari keuntungan dari pengalamannya yang paling kaya, yaitu sejarahnya sendiri. Harus mampu membebaskan diri dari rutinitas. Harus berani membuat diri berjarak pada masa lampau, dengan cara merayakannya. Dari situlah daya fantasi bisa membebaskan diri dari kehidupa yang terjebak borjuasi, established, arrive.
Fantasi membuka kemungkinan ladang baru. Bisa menikmati hidup dengan lebih kaya dan intens, dengan lebih gembira dan kreatif. Para ahli ilmu jiwa menerangkan, bahwa orang yang tak mempunyai kesadaran akan waktu, masa lampau, masa kini, dan masa depan, sungguh dia telah mengalami desintegrasi sebagai manusia.
Mereka menghapus segala mimpi, menghapus segala kenangan, hiduplah demi masa kini yang nyata. Boleh saja tentu, dan silakan! Tapi ia akan mengalami depresi. Ini juga berlaku bagi masyarakat bangsa. Masyarakat yang sudah menjadi sinis terhadap sejarahnya, adalah manusia yang sinis pula terhadap masa depannya. Dan itu berarti padamlah daya juangnya.
Kita harus hidup realistis, kata kaum pragmatis. Dan karena itu anjurannya, memecahkan soal-soal rasional, tak perlu diganggu oleh fantasi. Dunia ini harus dibagi menjadi dua, menjadi dunia fantasi dan dunia fakta. Dan keduanya, harus dipisahkan jauh-jauh, hanya kepada kenyataan saja kita menaruh hormat.
Chairil, dari pendapat di atas itulah, salah satu sebab, kenapa orang menjadi sinis terhadap puisi, salah satu manisfestasi daya fantasi manusia yang sah. Dari sinilah penyair menjadi manusia aneh, di mata masyarakat. Dan menganggap bahwa penyair hanyalah manusia gila. Manusia yang kerjanya bermenung-menung, dengan pakaiannya yang khas, kumal dan jarang mandi. Tetapi, aku kemudian menyergahnya dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud kenyataan itu?
Ternyata yang bernama kenyataan , tak selalu punya arti yang sama. Engkau tentunya lebih mengerti Chairil, bahwa peranan fanstasi, ternyata amat besar. Penemuan-penemuan baru dalam bidang teknik, sering diakibatkan oleh fantasi, oleh insiprasi-ilham, sebab fantasi juga merupakan bakat untuk hidup. Oleh fantaai kita boleh mengambil jarak terhadap obyek dan proyeksi, kita bisa memperluas pandangan.
Masyarakat membutuhkan pembaruan, dan pembaruan dapat dirintis oleh para pemimpin kita, oleh mereka yang berani mempergunakan fantasinya. Tentu saja, fantasi yang dimaksudkan disini, ialah fantasi yang diteruskan. Fantasi yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari. Fantasi dalam arti harus berpangkal pada kenyataan, dan berpulang pula kepadanya. Fantasi bukanlah kompensasi, tetapi ia merupakan kegiatan intelek kita.
Dan jika mencoba menjawab pertanyaan, mengapa sajak itu membingungkan masyarakat, aku menjawabnya, karena masyarakat sudah kehilangan daya fantasinya. Ia sudah asyik masyuk dengan dunia yang serba praktis. Dan ini juga dikenakan dalam menikmati sebuah sajak.
Tetapi apakah kita harus menyalahkan masyarakat? Ah , itu perbuatan membabi buta. Kupikir kita memang harus memaklumi diri, mencoba untuk bersikap terbuka. Kita tinjau dahulu bagaimana sastra modern berbentuk tulisan, maka pertama-tama ia menembus kepada orang -orang yang mengerti baca-tulis, dan yang paling dini, ia menembus lewat tembok-tembok sekolah. Tapi bagaimana sastra diperlakukan di sekolah-sekolah? Pelajaran ini ternyata lebih banyak berkutat dengan angka-angka. Kapan Pujangga Baru lahir? Siapa pelopornya? Kapan Angkatan ‘45 muncul? Siapa penggeraknya? Apa saja karya penyair itu? Dan sejenisnya!
Begitukah? Wajarkah ini? Itulah se,babnya jika kita bertanya kepada anak sekolah, penyair A itu siapa? Mereka pasti mengenal baik-baik. Kapan lahirnya, apa saja buah karyanya? Tapi adakah mereka membaca karya sastranya? Orang tahu, anak-anak SD barangkali juga tahu, siapa engkau Chairil. Chairil Anwar, penyair besar Indonesia. Pelopor Angkatan ‘45. Kumpulan sajaknya ada tiga, “Deru Campur Debu”, “Kerikil Tajam, dan Yang Terhempas dan Yang Putus”. serta yang terakhir “Tiga Menguak Takdir” bersama Rivai Apin dan Asrul Sani.
Tapi adakah mereka membaca sajak-sajakmu? Masyarakat lebih mengerti, apa-siapa kamu, tapi tidak mengerti bagaimana dan mengapa kamu? Jadi, mengapa kita harus terbuka dan memaklumi keadaan ini? Padahal, segala sesuatu bermula, dari kenyataan juga, seni merupakan barang mewah, atau lebih tepatnya barangkali. Aneh!
Tentu saja kita tak usah menertawakan atau mengejeknya, sebab itu tak akan mengubah keadaan. Lebih utama, kitalah yang melangkahkan kaki mendekati mereka. Sebab selama masyarakat bersikap pasif terhadap sastra, selama itu pulalah keadan akan sama saja. Dan boleh jadi, justru akan bertambah buruk. Kita tak menginginkan bahwa seni merupakan barang mewah, merupakan benda asing, yang bertengger di menara gading.
Chairilku, penyairku!
Selama Tuhan masih menghendaki, bahwa dunia ini masih bersih, maka penyair akan tetap lahir, dan bermunculan . Sebab penyair (atau manusia yang mempunyai citra budi Tuhan), adalah orang yang peka membaca, akan ke mana arah larinya jaman.
Karena semestinya, seorang seniman, penyair, haruslah seorang pemimpin yang berani, membuka hutan belukar dan menciptanya bagai ladang-ladang baru, sebagai tempat bernaung. Dan lewat puisi-puisinya, penyair menyampaikan kegelisahnnya tentang misteri hidup. Obsesinya adalah, pencarian makna hidup yang hakiki. Esensi kehidupan ini dicoba diperhitungkannya, apakah hidup ini sebenarnya, mengapa dan bagaimana hidup ini, siapakah hidup itu?
Sebuah sajak adalah sebuah dunia tersendiri. Ia boleh dikatakan sebagai fantasi kegiatan intelek kita. Berangkat dari kenyataan, dan berpulang juga dari kenyataan. Hanya selama proses puitik terjadi dalam diri penyair, ia mengalami sublimasi dan ini personal sifatnya. Ia tergantung kepada intensitas pengalaman hidup penyairnya.
Puisi lantas mempunyai hukum-hukum tersendiri, realitas dan kebenaran sendiri. Oleh karena itu, seperti aku katakan di atas, ia tak harus identik dengan kenyataan hidup sehari-hari. Meskipun ia berangkat dari sana.
Dunia sajak adalah dunia imajinatif, impresif, yang ia berbeda dengan dunia keseharian yang praktis-pragmatis. Namun keduanya bisa saling berhubungan. Keduanya bisa saling bersentuhan. Saling mencerminkan diri, itulah jika terjadi perbedaan antara keduanya. Dan karena itu wajar serta tak perlu diperdebatkan. Apa yang mungkin dalam dunia sajak, belum tentu ada dunia nyata, dan begitu sebaliknya. Dari perbedaan yang timbul itu, keduanya bisa saling melengkapi, saling berhubungan dan salin g mencerminkan. Sebab, sebuah sajak bukanlah menunjuk kepada sikap perbuatan, namun ia menujuk kepada sikap batin. Sehabis menghayati sajak, tidak cukup berhenti pada menghayati saja, memahaminya saja, tapi mesti juga menghubungkannya dengan kehidupan, mencari relevansinya bagi kehidupan.
Dari sinilah kita bisa mengerti, adakah sajak hanya melulu sebuah permainan?
Kalau sampai waktuku
Ku ‘mau tak seorangpun ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang , menerjang
Duka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang sedih peri
Dan aku lebih tak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Demikianlah engkau menulis dalam sajakmu “Aku”. Lantang dan beringas. Dan ini pun tak luput dari tafsiran yang dangkal. Sajak ini, jika ditangkap secara verbal, maka tak ayal engkau dituduh sebagai orang yang brutal, anti-sosial, dan tak percaya kepada Tuhan, pemberontak kelas berat. Namun benarkah itu? Jika ditangkap begitu saja, sangat mungkin sekali.
Inilah salahnya, Chairil, mengapa orang suka mengatakan sajak adalah dunia sakit hati penyairnya, lantaran ia gila atau sentimentil. Padahal, jika kita menangkapnya secara simbolik, akan tersembul sebuah nafas pemberontakan jaman, pada saat dimana sajak itu engkau tulis.
Sajak bertahun 1943 itu, jaman Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah Jepang. Dari gambaran itu, aku mengerti kenapa engkau meradang, kenapa ingin hidup seribu tahun lagi. Sajak itu memang terdengar individualistis. Tetapi aku yakin, bahwa itu bukan egoisme. Tetapi ia merupakan individu dari individu-individu. Personal dalam pengertian karakter hakiki manusia.
Ia semestinya bukan sekedar rangkaian kata-kata, sentimentalitas cengeng penyairnya, ratap tangis, karena kehilangan kasihnya,…
Sebuah sajak, memang sebuah pernyataan yang personal. Tetapi ia personal yang unversal. Pembaca yang kemudian dituntut untuk memahami, bahwa sejak dilahirkan penyairnya, dengan pertaruhan jiwa, pikiran dan perasaannya, bahkan seluruh kehidupannya, berhasil memasuki dunia yang lebih besar dari dirinya, dan menyatukan dirinya dengan dunia.
Kemudian dari itu diciptakan kembali sebuah dunia tafsirannya, dunia yang diselaminya, dirasakannya, dilihatnya, sebagai dunia baru. Inilah sebabnya, mengapa sebuah sajak bersifat personal-universal. Sebab berbicara tentang hakekat kehidupan, orang sebagai bukan orang-perorang, melainkan menjadi milik khas manusia. Walau pun pengalaman atau pun daya tangkap manusia terhadap kehidupan, bisa sangat berbeda-beda. Namun dari ketidaksamaan itu, bisa saling melengkapi. Inilah bukti bahwa manusia juga makluk yang sosial. Ia tak bisa hidup sendiri, tetapi saling bergantung satu sama lainnya.
Jerit sekian juta rakyat Indonesia untuk merdeka, bebas lepas dari belenggu penjajah, itulah suara alam yang ditangkap oleh seorang penyair. Sajak ‘Aku’ merupakan simbolisme Indonesia yang sedang berjuang merebut kembali kemerdekaannya. Dari sini engkau, Chairil, hanyalah seorang transformator keinginan seluruh bangsa.
Dengan pembawaan yang intens, menerima, merasakan, dan memikirkan pengaruh sekitarnya, dan melontarkan kembali lewat kekakuannya. Engkau jadikan derita seluruh bangsa menjadi deritamu sendiri.
Chairil, oleh karena itu, kadang begitu sedih, jika mendengar engkau marah kepada kami. Bukan karena kami bodoh, dan mengacuhkanmu, namun agaknya orang-orang yang malas untuk merenung, berkaca ke dalam jagat dalamnya, itu yang tak mereka punya. Mereka begitu percaya terhadap kemampuan sang akal. Untuk dapat membaca ke mana larinya jaman, aku yakin kita tak hanya percaya kepada kepandaian, tetapi terutama terletak kepada kejujuran kita dalam menilai langkah-langkah yang telah diambil. Sebab masalah kemanusiaan, bukanlah milik para ilmuwan eksak saja, tetapi juga milik kaum moralis, budayawan, dengan para pencatat jamannya seperti engkau Chairil.
Kebijaksanaan, nah inilah dia, hanya milik orang-orang yang jujur dan berani melihat buruk mukanya di cermin. Itulah seorang pemimpin yang dibutuhkan. Seperti katamu juga, seorang seniman haruslah seorang perintis jalan, adik, “penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba, penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar, tak bertepi, seniman adalah tanda dari hidup yang melepas-bebas.
Jangan pula menceraikan diri dari penghidupan, berkesendirian,... kita tak boleh lagi sebagai alat musik kehidupan, kita pemain lagu dari penghidupan, membikin kita selamanya berterus-terang. Karena keberanian, kesadaran, kepercayaan, dan pengetahuan kita punya.”
Ah, Chairil, tentunya engkau lebih mengerti, daripada aku. Aku begitu kagum dengan begitu banyak buku-buku yang telah engkau lahap, dan dengan petualanganmu yang mempesona itu. Sedang aku? Malas baca buku. Miskin pengalaman, tak berani bertualang, lekas puas dengan beberapa puisi, yang tercipta begitu saja.
Tapi, bagaimana aku berani kurang ajar, berani bicara soal puisi kepadamu, Chairil? Duh, duh,… Chairil, pantaskah aku?
Chairil Anwar, penyairku sayang.
Ijinkan, ijinkan aku mengagumimu. Bukan lantaran aku hendak mendewakan kamu, sebab kamu adalah manusia juga, dan tak lepas pula dari cacat. Tetapi sekali lagi, ijinkan bahwa engkau telah membuka cakrawala baru dalam hatiku. Dan karena itulah aku mengagumimu.
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing
Nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Dia sebetulnya api dan abu
Aku hendak bicara
Suaraku hilang , tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa
Ambil peduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil tutup telinga terpicing
Mata
Menunggu roda yang mesti
Tiba
Sajakmu di atas yang berjudul ‘Kesabaran’ sungguh mengerikan dan membuat aku sedih. Kenapa engkau tak ambil peduli, pada dunia yang enggan disapa, Chairil? Adakah engkau patah hati, terhadap dunia yang tak berkesudahan ini?Aku lantas tercenung, betapa gelapnya nanti?
Chairil! Bagaimana pun penyair harus tetap hadir, manakala Tuhan masih menghendaki kehidupan ini lebih bersih. Dan untuk mencucinya dengan pijar-pijar keindahan, atas dasar kebenaran dan kemanusiaan, penyairlah yang akan mencatat laju dunia ini. Dengan kerinduan, semangat pada dunia yang fana ini, dan ia pula yang mengajak kita kepada dimensi hidup yang baru.
Aku pernah membaca sebuah tulisan, yang kurang lebih begini “Seorang penyair, adalah seorang yang menyajikan pengalaman tertentu kepada masyarakatnya. Pengalaman yang disajikan, adalah khas milik dia, dan bersifat representati f , konkrit. Berbeda dengan seorang ilmiah, yang menyajikan pengalamannya secara akal, deskriptif -analisis.
Penyair menyajikan pengalamanya yang paling bermakna, dalam bentuk kesatuan yang hayati, untuk dialami kembali oleh pembaca atau pendengarnya. Meski seorang ilmiawan mempunyai pengalaman yang sama dengan seorang penyair, tetapi ia akan menyajikan pengalamannya secara berbeda dengan seorang penyair. Ia akan menggambarkan pengalamannya secara akal. Ia tidak menyajikan pengalamannya itu, melainkan gambaran ‘tentang’ pengalaman itu. Sedangkan seorang penyair, seperti digambarkan di atas, akan menyajikan pengalaman dengan segala perasannya, yang dilandasi daya hayatnya, terhadap kehidupan. Intens atau tidak, tergantung pada kekayaan batin masing-masing.
Oleh karen itu, puisi sebagaimana dunia penyair, adalah sebuah tafsiran, yang teramat luas. Ia multi-interpretable, sesuai pula dengan daya intensitas, penghayatan masing-masing penanggapnya. Tetapi, Chairil, sayangnya ia menjadi barang yang begitu digampangkan, ia menjadi barang dengan penikmat tertentu saja. Sebab apa boleh buat, orang-orang demikian terpesona dengan hal-hal yang serba akal. Mereka lebih memandang daya rasionya, padahal kau tahu bukan? Hal itu terasa pincang. Sebab manusia, di samping hidup dengan rasio, memiliki juga emosi dan daya imajinasi.
Agaknya daya imajinasi ini, yang bersifat emosional, dipandang lebih rendah daripada daya rasionalnya.
Padahal menurut beberapa ahli jiwa, bahwa berfantasi, berimanjinasi, adalah sebuah kegiatan mental yang tarafnya sama dengan kegiatan-kegiatan lain. Berfantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif.
Tentu saja kita bertanya, kenapa dibutuhkan imajinasi itu? Jawabnya, karena cakrawala pemikiran kita terlalu kompleks, sehingga tak dapat dijadikan atau dimiliki darah daging kita secara rasional saja. Antara kenyataan dan kemungkinan, tentu saja kalimat itu akan terasa aneh, lebih-lebih di Indonesia yang sedang giat-giatnya membangun.
Dan kemudian kita akan mendengar berondongan jargon: Kita harus meninggalkan angan-angan, imajinasi, kita harus hidup secara realistis, tak ada waktu untuk berkhayal, dengan mengimpikan kemungkinan-kemungkinan, segalanya harus serba nyata dan pasti. Pokoknya membangun dan membangun. Jangan yang lain, jangan bermimpi di siang bolong.
Tentu saja pembangunan harus jalan terus. Tetapi pembangunan untuk apa? Untuk siapa? Untuk manusia dan untuk kemanusiaan tentunya, demikian paling tidak yang tertulis dalam Undang-undang Dasar 1945. Bahwa pembangunan adalah demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tetapi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat macam apa? Macam rakyat Amerika? Eropa?
Sementara itu, kita dihadapkan pada kenyataan yang lain. Sungai dan laut kita telah tercemar dengan kotoran-kotoran teknologi. Udara tak lagi jernih karena polusi, hutan makin menipis.
Teknologi membuat segala-galanya. Namun meski semua bisa dicapai oleh teknologi, sumber-sumber tenaga bumi kita semakin lama semakin menyusut. Sementara penduduk makin bertambah, dan peperangan dahsyat atas berbagai kepentingan, tak bisa dihindari lagi. Mereka mau lari ke mana? Hutan rimba sudah tiada, tak ada ruang yang mau berbagi, mereka tak bisa kembali lagi ke sana.
Adakah kita mau mempercepat keadaan itu, sebagaimana gerimis mempercepat kelam? Membangun? Tentu saja kita mengatakan silahkan! Namun terhadap masalah yang menyangkut masa depan, hendaknya kita berfikir lebih jauh akan segala sebab dan akibat yang dari segi kebudayaan dipandang merosot, dan mendapatkan perlakuan yang layak.
Pembangunan yang membabibutakan manusia yang serba rasional, dan memperhitungkan hidup manusia dengan melulu kekuatan pikirnya (sementara ia lupa masalah manusia bukanlah masalah yang angka-angka, manusia bukan obyek, melainkan di situ ia berperan juga), maka ia menjadi subyek yang harus pula menggerakkan dirinya secara penuh.
Namun sekali lagi, jika di sini kita sebutkan tentang daya fantasi, bukan berarti bahwa tulisan ini hendak mengajak untuk melulu berangan-angan dan tak usah kerja. Silakan bermimpi, sekedar mimpi yang timbul dari angan-angan kosong. Tidak. Mimpi yang kita maksud adalah mimpi yang berangkat dari kenyataan yang kembali ke kenyataan pula. Ia harus mimpi yang diteruskan.
Jika ada yang menuduh bahwa anak muda kita terlalu banyak berfantasi, aku tidak setuju dengan pendapat itu. Mereka memang sering melamun, tetapi hal itu adalah melamun kosong. Melamun akibat kekosongan yang menganga. Bukan fantasi yang kreatif. Mereka kesepian tetapi tak bisa menggunakannya sebagai senjata kreatifnya. Mereka mengeluh, tetapi bukan lebih kreatif.
Fantasi di sini yang kumaksud ialah fantasi kreatif. Berdialog dengan alam, dengan kennyataan. Sebab dengan fantasi itu, bukan bertentangan dengan pikiran yang logis melainkan melengkapinya.
Chairilku yang baik.
Oleh karenanya, Chairilku, penyair akan tetap hadir. Dan meski telah tiada, ada yang ditinggalkannya. Puisi-puisi adalah sepercik kebenaran manusiawi. Ia memang tak berlaku umum dan cocok dengan segala cuaca. Tetapi sekali masuk, ia akan langsung menukik ke dasar kalbu, tentang hakekat hidup, tentang kerinduan, dan semangat, pada masa silam dan masa mendatang. Dan itulah yang membuat manusia ingin memberi nilai pada hidupnya.
Sajak-sajak yang kau tinggalkan, akan tetap berguna. Ia sebagai penjaga jiwa hidup. Minimal sebagaimana penjaga sejarah. Itu pun jika kita menyadarinya. Karena jika pun ada banyak mutiara terpendam, tetaplah tidak bakal menarik jika kita malas menggosoknya hingga berkilap.
Hanya bagi orang yang bermata jeli sajalah, ia akan berguna. Puisi-puisi adalah, sekali lagi, pijar keindahan yang berdasarkan kebenaran, dan kemanusiaan. Tentang hidup, tentang maut, tentang kegaiban, dan segala misteri kehidupan ini. Dan sajak-sajakmu, Chairil, mengajakku terus untuk mengadakan dialog. Dengan diri-sendiri, dan dialog dengan sang maha ghalib, tentang apa arti cita-cita, masa depan, semangat, kerinduan, harapan, dan kenyataan.
Di situlah, sajak berdiri sebagai suatu dunia tafsiran. Ia tidak hadir secara telanjang, ia merupakan dunia rekaan, yang kaya akan makna kehidupan. Menggugah kesadaran batin, dan untuk kemudian direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, untuk kemudian menjejak langkah lebih maju. Sajak-sajakmu, Chairil, adalah juga pertanyaan yang bukan saja milikmu. Ia adalah pertanyaan manusia.
Chairil Anwar, sayang.
Memang tragis, engkau mati muda, tetapi dalam usia semuda itu, engkau adalah bara api, yang panas membakar, siapa saja. Sekarang barulah terasa, kuakui dengan jujur, bahwa dengan diam-diam kamu telah memberikan jalan kepadaku. Ke arah dunia yang lebih sedikit jernih.
Aku mengerti engkau adalah manusia biasa. Bagaimana pun juga besarnya semangat hidup, bagaimana pun juga tingginya cita-cita, tetapi apa artinya jika dengan tanpa kita tahu dan tanpa kita mau tahu, datang dan terhempaslah segalanya? Kehidupan hanyalah sebuah pematang begitu kecilnya, begitu mungilnya. Padahal lautan maha dalam, mukul dentur selama. Betapa akan hancur lebur seketika, jika laut murka dan pematang sirna. Pematang itu akan terasa sia-sia dipupuk:
Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji pematang kita
Hingga hancur remuk redam
Kurnia bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia di pupuk
Chairil Anwar, penyairku sayang.
Sebagai anak muda, aku mengagumimu. Ini tanpa malu-malu aku tulis surat ini kepadamu.
Chairil, Chairil, Chairil.
Aku mendoa semoga engkau mendapat ampun dari Tuhan, meski hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Meski tidak minta ampun, atas segala dosa, tidak memberi pamit, pada siapa saja. Aku tidak pernah berkeberatan, untuk memamitkan dan memintakan ampun segala perbuatanmu. Sebagai manusia biasa juga, bahwa engkau memanglah bukan nabi. Meski dari puisimu, engkau telah menuliskan segalanya.
Chairil Anwar,
Chairil Anwar,
Chairil Anwar.
Jatimulyo, 15 April 1980
Rabu, April 21, 2010
Alangkah Mbuletnya Negeri Ini.
Oleh Sunardian Wirodono
Hari-hari ini, kita merasakan, betapa mbuletnya bangsa ini. Tak ada dalam sejarah kita, kita ditawan oleh bertumpuk persoalan hokum, yang meletakkan kita sebagai manusia-manusia yang tidak berdaya.
Persoalan terbesar, persis sebagaimana ketika Mohammad mengatakan pada ummat, “Perpecahan itu tidak akan terjadi, sekiranya di antara kalian tidak ada yang merasa lebih pandai.”
Psikologi konflik yang terciptakan, lebih karena masing-masing pihak merasa paling pintar dan benar. Dengan pandangan normative masing-masing, maka, yang terjadi sebenarnya adalah pertarungan wacana dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Hingga akhirnya, perdebatan kita yang sesungguhnya hanyalah perdebatan semantic, pertarungan wacana, yang kesemuanya itu kehilangan substansi pemaknaannya.
Problem yang lebih serius dari itu semua, kita tidak memiliki kepemimpinan yang inspiring, yang mampu member dan memiliki arah atas kepemimpinannya. Yang muncul hanyalah kepemimpinan wacana, dengan pemikiran-pemikiran normative, namun tidak operasional.
Contoh kasus yang terjadi atas kembuletan hokum kita, dimulai dari Antasari, kemudian Bibit dan Chandra, dan senyampang dengan itu, berbagai kasus dan actor mengiringinya. Cicak vs Buaya, Century, Tim 8, Miranda Gultom, Susno Duaji, Misbakhun, Budiono, KPK, Sri Mulyani, Lapindo, Satgas Mafia Hukum, Gayus Tambunan, Syahril Johan, dan seterusnya dan sebagainya. Belum pula dengan selingan-selingan “kecil” seperti kasus Benteng, Priok, juga beberapa kejadian di Makasar, Papua.
Dan puncak dari semuanya itu, pada akhirnya pengadilan memenangkan gugatan Anggodo Wijoyo. Presiden yang konon selalu mengedepankan azas presidensial, tidak bisa berkomentar mengenai kemenangan gugatan pra-peradilan Anggodo itu. Dan jika pun muncul, paling hanyalah pernyataan normatifnya, bahwa kita hormati hokum.
Presiden, dan para ahlinya, sama sekali mengabaikan, bahwa semua hal itu mengacaukan psikologi politik kebangsaan kita, yang menjadi semakin tidak jelas arahnya. Pertanyaannya, mengapa terjadi pembiaran atas semuanya ini? Adakah memang kita akan dilarutkan dalam kembuletan ini, hingga ada ruang kosong yang diabaikan rakyat?
Bagaimana moral politik kita, bisa mentolerir (dan bahkan memenangkan) Anggodo, hanya atas pertimbangan pandangan normative hokum? Bagaimana seorang tersangka, yang akhirnya tidak diproses hokum, bisa dimenangkan? Di mana grand design bangsa ini?
Pertanyaan selanjutnya, apakah ini semuanya terjadi tanpa disadari, atau justeru berjalan atas scenario jangka panjang, dengan berbagai hiden agenda? Itu yang mesti dijawab. Karena, jika kita berbicara pada tataran bangsa dan Negara, pertimbangan manusiawi tidak bisa dikedepankan. Semua kepala, mesti mengerahkan semua kemampuan maksimal mereka, dank arena itu rakyat membiayainya lewat berbagai pungutan dan pajak Negara.
Namun, jika kita mencoba melakukan pendekatan historis, kita mengetahui, bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono merupakan protet dari kepemimpinan yang ditawan oleh masa lalu. Dan sebagai potret, ia tak bisa keluar dari frame yang membelenggunya.
Proses kepolitikan bangsa dan Negara ini, memang telah mengalami kemandegan yang cukup lama. Jauh sebelum Soeharto berkuasa, dari 1967 hingga 1998, Soekarno telah membelenggu kita dengan Demokrasi Terpimpinnya (1957-1966). Proses politik yang kemudian terjadi, berbeda terbalik dengan masa-masa sebelumnya (1945-1955), dimana prakarsa dan partisipasi public terbuka, dan rakyat menjadi terlatih, sehingga kita sebagai Negara muda, mampu menyelenggarakan Pemilihan Umum paling demokratis pada 1955.
Modal Demokrasi
Soekarno, atas bujuk rayu dan mereka yang berkepentingan atas perang dingin, pada akhirnya membonsai partisipasi itu, membubarkan partai politik, dan kemudian melahirkan Soeharto yang jauh lebih canggih dalam perekayasaan social budaya masyarakat kita. Orde Baru, adalah suatu orde yang mendisain bangsa ini menjadi sangat formalistis dalam berfikir, pragmatis dalam bertindak, dan pada akhirnya vandalistic dalam berkuasa.
Reformasi Politik 1998, adalah sebuah omong kosong. Karena reformasi itu sama sekali tidak memiliki nilai transformasi. Kita tidak mengalami dari bangsa ulat menjadi kepompong dan kemudian kupu-kupu. Reformasi tanpa proses perubahan nilai (transforming), adalah palsu. Hingga yang terjadi, kepolitikan yang tanpa watak, tanpa arah, karena memang tidak diproses sedemikian rupa, tidak dilatih, tidak terbiasa berbeda, dan seterusnya.
Depolitisasi yang dilakukan oleh Soeharto, telah membonsai bangsa ini, hingga ketika muncul presiden Habibie, bahkan Gus Dur sekali pun, apalagi Megawati dan Yudhoyono, kita tidak melihat arah yang jelas.
Munculnya kekuatan pro-demokrasi, ternyata berjalan atas berbagai kompromi. Kompromi politik ini dan itu, hamper menjadi kemustian, hingga yang sekarang ini pun, karena masing-masing pihak merasa paling pintar, paling benar, paling berhak. Komunikasi social, budaya, dan politik kita lahir dari pendekatan yang formalistic (segala sesuatu konon berdasar prosedur, norma, hokum, tapi kehilangan susbtansi). Berbagai aktivitas, dan gerak masyarakat bangsa, hamper bisa pasti bergerak atas pragmatism masing-masing, yakni azas kemanfaatan, yang tentu ukurannya pendek, diri sendiri atau pun kelompok. Akibatnya, vandalism dalam menjalankan peran masing-masing, karena kita memang tidak terlatih dalam berbeda pendapat dan berproses secara partisipatif.
Di tengah semuanya itu, media massa, terus-menerus memproduksi wacana, dengan kepentingannya sendiri, yakni keuntungan atas investasinya. Menjadi meragukan, jika pers adalah kekuatan ke-empat demokrasi, karena kekuatan tidak pernah lahir dari pragmatism, atas nama keuntungan diri pribadi maupun kelompok. Pers yang juga tak memiliki agenda kebangsaan, tak memiliki proyeksi, kecuali hanya sebagai penari atas gendang orang lain. Produksi wacana tanpa agenda, adalah bencana yang jauh lebih berbahaya.
Kepemimpinan dengan atau tanpa Agenda
Mengapa Yudhoyono sering disebut peragu dan tidak mempunyai keberanian? Karena begitu mbuletnya agenda yang dimiliki, termasuk bagaimana kekuatan itu diraih atas yang bernama strategi politik kompromi, dengan koalisi atau pun power sharing.
Jika ia presiden dengan system presidensial, mengapa tidak memiliki keberanian untuk mengganti Kapolri, Jaksa Agung, atau para hakim yang tidak serah dengan pidato-pidato (pencitraan) politiknya? Jika ia mengatakan, bahwa masing-masing pihak, eksekutif, yudikatif, dan legislative adalah terpisah dan jangan dicampur adukkan, bagaimana sikapnya tentang sikap DPR dalam kasus Bank Century? Bagaimana ketika semua (pembentukan Tim 8, Satgas Mafia Hukum, KPK, dan berbagai institusi politik serta hukum), itu tiba-tiba saja dimentahkan oleh Anggodo Gugat?
Betapa mbuletnya. Lepas dari setuju dan tidak, Soeharto adalah presiden yang paling operasional. Jika saja ia tidak melakukan kejahatan kebudayaan (menjadikan bangsa ini formalis, pragmatis, dan vandalis), ia pemimpin yang kita butuhkan. Persoalannya, bisa tidak memakai manajemen Soeharto agar operasional, namun dengan content yang tidak menciderai demokrasi dan kebudayaan bangsa?
Benarkah semua ini karena ketidaktahuan, kelalaian, atau justeru sebuah grand-design? Dan konsentrasi perhatian kita tersedot dalam teori conflict serta teori konspirasi itu?
Dan kita semakin tidak mau tahu, ketika UU tentang penyiaran, otonomi daerah, bahkan UU kepolitikan, yang semua lahir dari proses politik 1998, pelan-pelan hendak direduksi, kemudian kita kembali pada orde baru yang terbarukan?
Alangkah mbuletnya negeri ini. Dan kita pun ogah memikirkannya, karena pragmatism itu memang sudah terpateri begitu dalam. Para pejuang demokrasi dulu, sering menyitir kata-kata penyair yang hilang, Widji Tukul dengan satu katanya: “Lawan!”. Mungkin, kini dibutuhkan penyair yang akan menulis, untuk dikutip dengan alas an romantic, hanya satu kata; “Prek!”
Dan kita masih menunggu lagi, untuk 15, 20 atau lebih dari itu.
Yogyakarta, 21 April 2010.
Hari-hari ini, kita merasakan, betapa mbuletnya bangsa ini. Tak ada dalam sejarah kita, kita ditawan oleh bertumpuk persoalan hokum, yang meletakkan kita sebagai manusia-manusia yang tidak berdaya.
Persoalan terbesar, persis sebagaimana ketika Mohammad mengatakan pada ummat, “Perpecahan itu tidak akan terjadi, sekiranya di antara kalian tidak ada yang merasa lebih pandai.”
Psikologi konflik yang terciptakan, lebih karena masing-masing pihak merasa paling pintar dan benar. Dengan pandangan normative masing-masing, maka, yang terjadi sebenarnya adalah pertarungan wacana dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Hingga akhirnya, perdebatan kita yang sesungguhnya hanyalah perdebatan semantic, pertarungan wacana, yang kesemuanya itu kehilangan substansi pemaknaannya.
Problem yang lebih serius dari itu semua, kita tidak memiliki kepemimpinan yang inspiring, yang mampu member dan memiliki arah atas kepemimpinannya. Yang muncul hanyalah kepemimpinan wacana, dengan pemikiran-pemikiran normative, namun tidak operasional.
Contoh kasus yang terjadi atas kembuletan hokum kita, dimulai dari Antasari, kemudian Bibit dan Chandra, dan senyampang dengan itu, berbagai kasus dan actor mengiringinya. Cicak vs Buaya, Century, Tim 8, Miranda Gultom, Susno Duaji, Misbakhun, Budiono, KPK, Sri Mulyani, Lapindo, Satgas Mafia Hukum, Gayus Tambunan, Syahril Johan, dan seterusnya dan sebagainya. Belum pula dengan selingan-selingan “kecil” seperti kasus Benteng, Priok, juga beberapa kejadian di Makasar, Papua.
Dan puncak dari semuanya itu, pada akhirnya pengadilan memenangkan gugatan Anggodo Wijoyo. Presiden yang konon selalu mengedepankan azas presidensial, tidak bisa berkomentar mengenai kemenangan gugatan pra-peradilan Anggodo itu. Dan jika pun muncul, paling hanyalah pernyataan normatifnya, bahwa kita hormati hokum.
Presiden, dan para ahlinya, sama sekali mengabaikan, bahwa semua hal itu mengacaukan psikologi politik kebangsaan kita, yang menjadi semakin tidak jelas arahnya. Pertanyaannya, mengapa terjadi pembiaran atas semuanya ini? Adakah memang kita akan dilarutkan dalam kembuletan ini, hingga ada ruang kosong yang diabaikan rakyat?
Bagaimana moral politik kita, bisa mentolerir (dan bahkan memenangkan) Anggodo, hanya atas pertimbangan pandangan normative hokum? Bagaimana seorang tersangka, yang akhirnya tidak diproses hokum, bisa dimenangkan? Di mana grand design bangsa ini?
Pertanyaan selanjutnya, apakah ini semuanya terjadi tanpa disadari, atau justeru berjalan atas scenario jangka panjang, dengan berbagai hiden agenda? Itu yang mesti dijawab. Karena, jika kita berbicara pada tataran bangsa dan Negara, pertimbangan manusiawi tidak bisa dikedepankan. Semua kepala, mesti mengerahkan semua kemampuan maksimal mereka, dank arena itu rakyat membiayainya lewat berbagai pungutan dan pajak Negara.
Namun, jika kita mencoba melakukan pendekatan historis, kita mengetahui, bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono merupakan protet dari kepemimpinan yang ditawan oleh masa lalu. Dan sebagai potret, ia tak bisa keluar dari frame yang membelenggunya.
Proses kepolitikan bangsa dan Negara ini, memang telah mengalami kemandegan yang cukup lama. Jauh sebelum Soeharto berkuasa, dari 1967 hingga 1998, Soekarno telah membelenggu kita dengan Demokrasi Terpimpinnya (1957-1966). Proses politik yang kemudian terjadi, berbeda terbalik dengan masa-masa sebelumnya (1945-1955), dimana prakarsa dan partisipasi public terbuka, dan rakyat menjadi terlatih, sehingga kita sebagai Negara muda, mampu menyelenggarakan Pemilihan Umum paling demokratis pada 1955.
Modal Demokrasi
Soekarno, atas bujuk rayu dan mereka yang berkepentingan atas perang dingin, pada akhirnya membonsai partisipasi itu, membubarkan partai politik, dan kemudian melahirkan Soeharto yang jauh lebih canggih dalam perekayasaan social budaya masyarakat kita. Orde Baru, adalah suatu orde yang mendisain bangsa ini menjadi sangat formalistis dalam berfikir, pragmatis dalam bertindak, dan pada akhirnya vandalistic dalam berkuasa.
Reformasi Politik 1998, adalah sebuah omong kosong. Karena reformasi itu sama sekali tidak memiliki nilai transformasi. Kita tidak mengalami dari bangsa ulat menjadi kepompong dan kemudian kupu-kupu. Reformasi tanpa proses perubahan nilai (transforming), adalah palsu. Hingga yang terjadi, kepolitikan yang tanpa watak, tanpa arah, karena memang tidak diproses sedemikian rupa, tidak dilatih, tidak terbiasa berbeda, dan seterusnya.
Depolitisasi yang dilakukan oleh Soeharto, telah membonsai bangsa ini, hingga ketika muncul presiden Habibie, bahkan Gus Dur sekali pun, apalagi Megawati dan Yudhoyono, kita tidak melihat arah yang jelas.
Munculnya kekuatan pro-demokrasi, ternyata berjalan atas berbagai kompromi. Kompromi politik ini dan itu, hamper menjadi kemustian, hingga yang sekarang ini pun, karena masing-masing pihak merasa paling pintar, paling benar, paling berhak. Komunikasi social, budaya, dan politik kita lahir dari pendekatan yang formalistic (segala sesuatu konon berdasar prosedur, norma, hokum, tapi kehilangan susbtansi). Berbagai aktivitas, dan gerak masyarakat bangsa, hamper bisa pasti bergerak atas pragmatism masing-masing, yakni azas kemanfaatan, yang tentu ukurannya pendek, diri sendiri atau pun kelompok. Akibatnya, vandalism dalam menjalankan peran masing-masing, karena kita memang tidak terlatih dalam berbeda pendapat dan berproses secara partisipatif.
Di tengah semuanya itu, media massa, terus-menerus memproduksi wacana, dengan kepentingannya sendiri, yakni keuntungan atas investasinya. Menjadi meragukan, jika pers adalah kekuatan ke-empat demokrasi, karena kekuatan tidak pernah lahir dari pragmatism, atas nama keuntungan diri pribadi maupun kelompok. Pers yang juga tak memiliki agenda kebangsaan, tak memiliki proyeksi, kecuali hanya sebagai penari atas gendang orang lain. Produksi wacana tanpa agenda, adalah bencana yang jauh lebih berbahaya.
Kepemimpinan dengan atau tanpa Agenda
Mengapa Yudhoyono sering disebut peragu dan tidak mempunyai keberanian? Karena begitu mbuletnya agenda yang dimiliki, termasuk bagaimana kekuatan itu diraih atas yang bernama strategi politik kompromi, dengan koalisi atau pun power sharing.
Jika ia presiden dengan system presidensial, mengapa tidak memiliki keberanian untuk mengganti Kapolri, Jaksa Agung, atau para hakim yang tidak serah dengan pidato-pidato (pencitraan) politiknya? Jika ia mengatakan, bahwa masing-masing pihak, eksekutif, yudikatif, dan legislative adalah terpisah dan jangan dicampur adukkan, bagaimana sikapnya tentang sikap DPR dalam kasus Bank Century? Bagaimana ketika semua (pembentukan Tim 8, Satgas Mafia Hukum, KPK, dan berbagai institusi politik serta hukum), itu tiba-tiba saja dimentahkan oleh Anggodo Gugat?
Betapa mbuletnya. Lepas dari setuju dan tidak, Soeharto adalah presiden yang paling operasional. Jika saja ia tidak melakukan kejahatan kebudayaan (menjadikan bangsa ini formalis, pragmatis, dan vandalis), ia pemimpin yang kita butuhkan. Persoalannya, bisa tidak memakai manajemen Soeharto agar operasional, namun dengan content yang tidak menciderai demokrasi dan kebudayaan bangsa?
Benarkah semua ini karena ketidaktahuan, kelalaian, atau justeru sebuah grand-design? Dan konsentrasi perhatian kita tersedot dalam teori conflict serta teori konspirasi itu?
Dan kita semakin tidak mau tahu, ketika UU tentang penyiaran, otonomi daerah, bahkan UU kepolitikan, yang semua lahir dari proses politik 1998, pelan-pelan hendak direduksi, kemudian kita kembali pada orde baru yang terbarukan?
Alangkah mbuletnya negeri ini. Dan kita pun ogah memikirkannya, karena pragmatism itu memang sudah terpateri begitu dalam. Para pejuang demokrasi dulu, sering menyitir kata-kata penyair yang hilang, Widji Tukul dengan satu katanya: “Lawan!”. Mungkin, kini dibutuhkan penyair yang akan menulis, untuk dikutip dengan alas an romantic, hanya satu kata; “Prek!”
Dan kita masih menunggu lagi, untuk 15, 20 atau lebih dari itu.
Yogyakarta, 21 April 2010.
Senin, April 19, 2010
MAX HAVELAAR : Tetap Hidup di Belanda
Kompas, Senin, 19 April 2010 | Hingga 150 tahun sejak diterbitkan pertama kali, Max Havelaar tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak gerakan sosial. Kini Max Havelaar tidak hanya merujuk pada judul sebuah karya sastra, tetapi juga menjadi nama jalan, museum, hingga merek produk kopi dan teh yang diperdagangkan dengan sistem fair trade.
"Tak ada novel lain di Belanda yang bisa memengaruhi kesusasteraan dan opini publik seperti Max Havelaar,” kata Marita Mathijsen, Profesor Sastra Belanda Modern Universitas Amsterdam Belanda dalam peringatan 150 tahun Max Havelaar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Senin (12/4).
Dengan delapan halaman naskah pidato, Marita membahas keunggulan Max Havelaar dari sisi estetika dan etika. Menurutnya, Max Havelaar bukan saja karya sastra yang disajikan dengan satire, lucu, serta memuat nilai-nilai humanisme dan etika yang abadi. Pencapaian di sisi estetika dan etika itulah yang membuat Max Havelaar bertahan, bahkan terus menempati posisi puncak dalam daftar karya sastra Belanda hingga kini.
Max Havelaar adalah buku yang ditulis Multatuli. Buku itu diluncurkan pertama kali pada 15 Mei 1860 oleh penerbit De Ryter di Amsterdam, Belanda. Multatuli yang berarti ”saya sudah banyak menderita” itu merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai di kantor Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda.
Marita mencatat, Douwes Dekker tiba di Batavia pada 1839 saat berusia 19 tahun. Pada Januari 1856, ia kemudian tiba di Rangkas Bitung, sebuah desa kecil di Lebak, Banten.
Di desa kecil itu, Douwes Dekker melihat warga hidup dalam kemiskinan, dieksploitasi, dan ditindas. Mereka tidak hanya harus melayani pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa, tetapi juga tuan-tuan pribumi yang secara tradisional menjadi raja mereka. Dari desa kecil inilah kisah Max Havelaar bermula.
Rasa bersalah
Melalui tokoh Max Havelaar, Multatuli alias Douwes Dekker bertutur tentang kondisi pribumi yang miskin dan tertindas di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Munculnya Max Havelaar itu menimbulkan gelombang rasa bersalah kolektif pada diri orang Belanda. ”Mereka menjadi sadar bahwa yang dilakukan salah,” kata Marita.
Karya itu juga memunculkan perdebatan sengit di parlemen Belanda. Sejarah kemudian mencatat bahwa buku tersebut menjadi salah satu pemicu berakhirnya sistem tanam paksa di Hindia Belanda dan dimulainya politik etis dengan pembangunan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi.
Menurut Marita, pengaruh Max Havelaar tidak hanya berhenti di situ. Muatan nilai humanisme dan etika dalam karya ini membuatnya menjadi sumber inspirasi bagi gerakan sosial lain yang muncul jauh setelah diterbitkannya Max Havelaar.
Pada tahun 1900, Max Havelaar dan Multatuli menjadi bahan bacaan penting bagi gerakan reformasi, vegetarian, dan sosialis yang mulai mencuat. Gerakan perempuan yang muncul sekitar tahun 1920 juga menjadikan buku ini sebagai sumber bacaan penting. Gerakan humanis yang muncul pasca-Perang Dunia II di Belanda juga dipengaruhi buku tersebut.
Meski memberi pengaruh besar pada gerakan sosial yang muncul setelahnya, Marita mengakui, Max Havelaar bukanlah karya yang antikolonial. Pengakuan itu ia sampaikan guna menjawab pertanyaan dari peserta diskusi yang mempersoalkan sikap Multatuli terhadap kolonialisme. Melalui karyanya, Douwes Dekker dinilai hanya hendak memperbaiki sistem kolonialisme dan bukan menghapusnya. ”Dia memang bukan orang yang antikolonial,” tuturnya.
Akan tetapi, Max Havelaar memang tidak bisa dibaca dengan perspektif antikolonial yang muncul jauh setelah era Douwes Dekker. Karya ini mestinya dibaca dengan melihat konteks zaman itu. ”Karya ini tentu saja ditulis oleh orang kulit putih dan dari perspektif orang kulit putih. Saat karya ini ditulis, belum ada pikiran tentang antikolonial. Namun, pada zamannya, apa yang disampaikan dalam karya ini sangat luar biasa,” tuturnya.
Bagi Marita, terlepas dari perdebatan yang muncul, Max Havelaar tetaplah sebuah karya besar karena berhasil mengubah suatu tatanan pada zamannya.
Setelah 150 tahun, Max Havelaar pun terus hidup. Berbeda dengan kebanyakan pelajar Indonesia yang hanya mengenal Multatuli dari buku wajib sejarah, karya ini tetap populer di kalangan pelajar Belanda. Max Havelaar juga masih selalu ditengok masyarakat Belanda masa kini yang membutuhkan panduan dalam menyikapi keberadaan imigran dari Afrika dan Amerika Selatan di negaranya.
Max Havelaar dan Multatuli kini juga ditemui di banyak tempat sebagai nama jalan, museum, merek kopi, hingga nama perahu. Dengan semua itu, Max Havelaar tetap hidup hingga kini di Belanda....(Idha Saraswati)
"Tak ada novel lain di Belanda yang bisa memengaruhi kesusasteraan dan opini publik seperti Max Havelaar,” kata Marita Mathijsen, Profesor Sastra Belanda Modern Universitas Amsterdam Belanda dalam peringatan 150 tahun Max Havelaar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Senin (12/4).
Dengan delapan halaman naskah pidato, Marita membahas keunggulan Max Havelaar dari sisi estetika dan etika. Menurutnya, Max Havelaar bukan saja karya sastra yang disajikan dengan satire, lucu, serta memuat nilai-nilai humanisme dan etika yang abadi. Pencapaian di sisi estetika dan etika itulah yang membuat Max Havelaar bertahan, bahkan terus menempati posisi puncak dalam daftar karya sastra Belanda hingga kini.
Max Havelaar adalah buku yang ditulis Multatuli. Buku itu diluncurkan pertama kali pada 15 Mei 1860 oleh penerbit De Ryter di Amsterdam, Belanda. Multatuli yang berarti ”saya sudah banyak menderita” itu merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai di kantor Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda.
Marita mencatat, Douwes Dekker tiba di Batavia pada 1839 saat berusia 19 tahun. Pada Januari 1856, ia kemudian tiba di Rangkas Bitung, sebuah desa kecil di Lebak, Banten.
Di desa kecil itu, Douwes Dekker melihat warga hidup dalam kemiskinan, dieksploitasi, dan ditindas. Mereka tidak hanya harus melayani pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa, tetapi juga tuan-tuan pribumi yang secara tradisional menjadi raja mereka. Dari desa kecil inilah kisah Max Havelaar bermula.
Rasa bersalah
Melalui tokoh Max Havelaar, Multatuli alias Douwes Dekker bertutur tentang kondisi pribumi yang miskin dan tertindas di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Munculnya Max Havelaar itu menimbulkan gelombang rasa bersalah kolektif pada diri orang Belanda. ”Mereka menjadi sadar bahwa yang dilakukan salah,” kata Marita.
Karya itu juga memunculkan perdebatan sengit di parlemen Belanda. Sejarah kemudian mencatat bahwa buku tersebut menjadi salah satu pemicu berakhirnya sistem tanam paksa di Hindia Belanda dan dimulainya politik etis dengan pembangunan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi.
Menurut Marita, pengaruh Max Havelaar tidak hanya berhenti di situ. Muatan nilai humanisme dan etika dalam karya ini membuatnya menjadi sumber inspirasi bagi gerakan sosial lain yang muncul jauh setelah diterbitkannya Max Havelaar.
Pada tahun 1900, Max Havelaar dan Multatuli menjadi bahan bacaan penting bagi gerakan reformasi, vegetarian, dan sosialis yang mulai mencuat. Gerakan perempuan yang muncul sekitar tahun 1920 juga menjadikan buku ini sebagai sumber bacaan penting. Gerakan humanis yang muncul pasca-Perang Dunia II di Belanda juga dipengaruhi buku tersebut.
Meski memberi pengaruh besar pada gerakan sosial yang muncul setelahnya, Marita mengakui, Max Havelaar bukanlah karya yang antikolonial. Pengakuan itu ia sampaikan guna menjawab pertanyaan dari peserta diskusi yang mempersoalkan sikap Multatuli terhadap kolonialisme. Melalui karyanya, Douwes Dekker dinilai hanya hendak memperbaiki sistem kolonialisme dan bukan menghapusnya. ”Dia memang bukan orang yang antikolonial,” tuturnya.
Akan tetapi, Max Havelaar memang tidak bisa dibaca dengan perspektif antikolonial yang muncul jauh setelah era Douwes Dekker. Karya ini mestinya dibaca dengan melihat konteks zaman itu. ”Karya ini tentu saja ditulis oleh orang kulit putih dan dari perspektif orang kulit putih. Saat karya ini ditulis, belum ada pikiran tentang antikolonial. Namun, pada zamannya, apa yang disampaikan dalam karya ini sangat luar biasa,” tuturnya.
Bagi Marita, terlepas dari perdebatan yang muncul, Max Havelaar tetaplah sebuah karya besar karena berhasil mengubah suatu tatanan pada zamannya.
Setelah 150 tahun, Max Havelaar pun terus hidup. Berbeda dengan kebanyakan pelajar Indonesia yang hanya mengenal Multatuli dari buku wajib sejarah, karya ini tetap populer di kalangan pelajar Belanda. Max Havelaar juga masih selalu ditengok masyarakat Belanda masa kini yang membutuhkan panduan dalam menyikapi keberadaan imigran dari Afrika dan Amerika Selatan di negaranya.
Max Havelaar dan Multatuli kini juga ditemui di banyak tempat sebagai nama jalan, museum, merek kopi, hingga nama perahu. Dengan semua itu, Max Havelaar tetap hidup hingga kini di Belanda....(Idha Saraswati)
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...