Senin, Agustus 17, 2009
Semoga Kata Merdeka Pun Tak Lupa Kita Teriakkan Hari Ini
(Renungan Kemerdekaan)
Jika tak ada aral-melintang, dan kelalaian yang bodoh menimpa, semoga hari ini Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia akan dikumandangan kembali. Lengkap dengan lagu Indonesia Raya.
Apa yang kita sebut aral melintang, ialah karena terjadinya insiden Sidang Paripurna DPR-RI 14 Agustus 2009, dengan tak dinyanyikannya lagu Indonesia Raya, yang selama 63 tahun adalah bagian integral dan merupakan protokoler negara. Dan hal tersebut benar-benar tidak bisa dimengerti oleh akal sehat.
Sama dengan ketika kita tidak bisa mengertinya, mengapa perjalanan demokrasi ini, perlahan bukannya menuju pada kualitasnya yang membaik. Karena yang terjadi, apa yang kita sebut reformasi dan transisi demokrasi, hanyalah sebuah interlude, untuk kita kembali pada situasi sebelum 1998. Yakni, perlahan namun pasti, peranan dan prakarsa rakyat mulai kembali diciutkan.
Adakah semuanya itu, karena ketiga presiden sipil (Habibie, Gus Dur, dan Megawati), dinilai gagal, lantas kemudian rakyat perlahan dipaksa percaya, bahwa hanya militer yang siap untuk memimpin Indonesia? Tentu saja, presiden kita kali ini, bukanlah militer. Namun siapun juga tahu, bahwa kata-kata tersebut penyangkalan yang sia-sia. Kita bisa melihat secara persis, bagaimana protokoler negara pada jaman Habibie, Gus Dur dan Megawati, dan yang kemudian terjadi kini.
Dan akibatnya, protoler yang underpressure itu bisa jadi penyebab dari lalainya mereka tidak mencantumkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dalam sebuah ritual kenegaraan sepenting Pidato Kenegaraan menyambut Kemerdekaan Indonesia. Nasib. Bagaimana lembaga-lembaga Negara kini juga harus bersiap dengan pertanyaan dari Istana, hingga tak kurang LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang mestinya bebas intervensi, menurut Ikrar Nusa Bakti, mulai mengalami jaman yang sama dengan Soeharto, setelah “orang-orang itu” sekarang berada di pusat kekuasaan.
Kekisruhan Pemilu 2009, bagaimana pun adalah wajah dari kualitas demokrasi Indonesia. Bukan soal sengaja atau tidak sengaja. Namun kondisi teknis penyelenggaraan itu sendiri, rentan dengan berbagai pelanggaran. Dan di negara di mana para lawyer bisa begitu piawai berdebat, persoalan hukum tak lebih dari naskah sebuah lakon teater. Apa yang terjadi, jelas menunjukkan bahwa reformasi yang coba digulirkan tahun 1998, telah selesai dalam sepuluh tahun kemudian.
Kini, kekuasaan sepenuh-penuhnya berada di tangan pemerintah. Berbagai aturan, undang-undang negara, sampai pada berbagai kinerja lembaga negara, berada dalam kooptasi pemerintah, yang agaknya menginginkan kekuasaan tersentral kembali. Sebagaimana pemerintahan Orde “Soeharto” Baru, dan perlahan mengintrodusir tentang tidak perlunya kekuatan oposisi.
Dan mereka yang mencoba berbeda, akan dikroyok beramai-ramai, dengan berbagai alasan yang masuk akal, dengan teori dan dalil-dalil demokrasi, oleh para doktor lulusan Amerika, dan juga kini, para budayawan dan penyair kenamaan, yang menjadi bagian dari bangunan rekayasa kekuatan baru sekarang ini.
Belum lagi, karakter kepresidenan kita, perlahan kembali berada dalam kekuasaan protokoler dan kepentingan elite. Sehingga ia kembali ke wajah aslinya. Kaku, tidak ramah, reaktif, penuh perhitungan dengan pencitraan (sehingga pidato kenegaraan pun membutuhkan telepromter, agar kelihatan gaya dan penuh gesture seperti para presenter televisi), terlalu protokoler, dan justeru hasilnya kelalaian protokoler,...
Apakah yang terjadi di negara ini? Tentu, hidup terus berlangsung, dan mungkin saja dipercaya lebih baik dari masa lalu. Tapi, kebaikan dalam pengertian apa? Keberuntungan ekonomi individu, atas berbagai “kekayaan” yang dimilikinya sekarang? Tanpa pemilu dan presiden pun, masing-masing individu manusia yang ingin survive, selalu mengalami akumulasinya. Semiskin apapun dia, sebagaimana para pemulung di kampung-kampung, buruh-buruh pasar, tukang becak, kini juga memiliki ponsel. Adakah itu indikasi keberhasilan seorang presiden? Alangkah mengerikan, jika capaian seorang pemimpin negara hanyalah diukur dari kepemilikan ponsel kaum miskin.
Apakah kemerdekaan bangsa itu, sebagaimana dikhotbahkan oleh Anindya D Bakrie, yang entah untuk target apa memasang iklan di berbagai televisi, bermakna keberdayaan masyarakat dan bangsa? Keberdayaan apa, jika begitu banyak iklan-iklan pencitraan diri, baik dilakukan individu dan lembaga negara, dan hanya menguntungkan agency periklanan, namun tidak untuk rakyat secara keseluruhan, karena proyek “pencitraan” itu juga merupakan lahan korupsi? Apakah kesan tentang sekolah gratis itu jauh lebih penting untuk fakta bahwa sekolah itu benar-benar gratis, dengan harus mengeluarkan anggaran biaya negara? Apakah kemerdekaan itu artinya juga membebaskan mereka yang memiliki uang membeli dan memiliki media untuk memajang iklan dirinya, untuk misalnya meraih kesempatan menjadi ketua umum partai politik?
Apakah dengan demikian juga, cara kita memuliakan martabat dan keberdayaan bangsa? Apakah kebanggaan kita atas pecahnya rekor dunia, dengan mengadakan upacara peringatan 17 Agustus di dasar laut Malalayang, Sulawesi Utara (16/8) yang dilakukan oleh 2818 penyelam itu, mampu menjawab harga diri bangsa yang daya kompetisinya dinilai paling rendah di dunia, namun tingkat korupsinya paling tinggi di dunia? Bagaimana pula kita bisa bangga, jika bukan para pejuang bangsa yang memerdekaan negeri ini, tetapi di iklan-iklan media apapun, Pepsodent bisa mengklaim, bahwa dialah yang telah memerdekakan negara ini dari gigi yang berlobang,...
Apakah presiden sebagai Kepala Negara akan mengadakan pidato penyambutan prestasi anak bangsa, yang telah mampu memecahkan rekor dunia itu? Mengapa tidak sekalian mengusulkan, agar kita mengadakan Olympiade Korupsi, agar kita menjadi juara nomor satu dalam event internasional?
Setelah interlude reformasi 10 tahun ini (1998-2008), perlahan kita melihat formalisme berfikir, kembali ditegakkan. Pragmatisme bertindak, kembali dikuatkan. Dan vandalisme dalam kekuasaan semakin dipraktikkan. Berikut dengan kepemimpinan yang kering, tanpa impresi, alergi pada kritik serta reaktif karena begitu cemasnya kehilangan citra diri yang santun dan penuh adab. Yang terasa adalah pemerintahan yang tidak begitu ramah pada mereka yang berbeda pandangan, dan kembali kita pada model mutlak-mutlakan, lebih sibuk mengklaim kebenaran dan ikhlas kehilangan kebenaran.
Pada sisi itu, kita tidak lagi bisa bertanya pada intelektual, cendekiawan, budayawan, atau penyair, manakala mereka pun kini berbondong-bondong, atau diam-diam dan malu-malu kucing garong. Turut serta dalam gerbong kekuasaan, menjadi salah satu tim sukses bayangan sang presiden. Dan kita akan melihat, bagaimana perjalanan negara bangsa ini. Dengan kekuasaan yang lebih mencemaskan popularitas, untuk pertaruhan 2014 yang dianggap jauh lebih penting, dibanding arah yang tak jelas selama ini. Kita akan kembali pada untaian kata-kata normatif, tanpa ekspresi, sekali pun penuh polesan para konsultan media.
Jika tak ada aral-melintang, dan kelalaian yang bodoh menimpa, semoga hari ini Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia akan dikumandangan kembali. Lengkap dengan lagu Indonesia Raya.
Tapi, sekiranya boleh mengusulkan, setelah Indonesia Raya, nyanyikanlah segera “Bedil Sepuluh Dua, Jelang 40 Tahun Indonesia Merdeka” dari Konser Rakyat Leo Kristi yang ada dalam album Nyanyian Tambur Jalan (1984), dengan sedikit mengubah syairnya (dari 40 tahun menjadi 64 tahun). Mungkin menarik;
Kubeli bedil sepuluh dua,
di jalan pulang Surabaya,
tidak untuk menembakmu Bung,
tidak untuk menembakmu Bung,
peringatan dalam diam,
tidak satu lelap di sini,....
Jelang 64 tahun merdeka,
malam lebih dingin dari biasa,
srek srek thothok thothok,
srek srek srek thothok thothok,
suara penyapu jalan,
berpadu dengan kereta,...
Berjanjilah dalam janji,
di perjalanan semakin sukar ini,
berjanjilah dalam janji,
hati semakin tegar,...
Itu pun, kalau SBY tidak marah. Karena, sekali pun ia selalu dipuja-puji memiliki kesantunan, dan bahkan paling santun, tampak bahwa responsnya sering berlebihan, karena kesantunannya tak bisa menutupi karakternya yang reaktif.
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 16 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar