Rabu, Juli 29, 2009
Kemenangan yang Hambar
Kompas, Rabu, 29 Juli 2009 | 03:21 WIB
Syamsuddin Haris
Meski masih menunggu keputusan sengketa hasil pemilu oleh Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum akhirnya menetapkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang Pilpres 2009 dalam satu putaran. Namun, mengapa suasana kemenangan ini terasa agak hambar?
Keberhasilan SBY-Boediono meraih 73,8 juta suara (60,8 persen) dalam pilpres lalu harus diakui sebagai catatan sejarah baru bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Melalui dukungan besar itu, Presiden Yudhoyono memperbarui mandatnya untuk kembali memimpin negeri ini selama lima tahun ke depan. Itu artinya periode 2009-2014 merupakan peluang emas Yudhoyono untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa karena jelas tak ada lagi kesempatan ketiga untuk dirinya.
Namun, tidak terasa adanya ”gereget” atas kemenangan Yudhoyono. Jenderal kelahiran Pacitan ini bahkan berpidato ”sendirian” di Puri Cikeas dalam menyambut penetapan hasil rekapitulasi suara pilpres yang dilakukan KPU. Belum terekam kiriman untaian bunga dan ucapan selamat para pendukung, apalagi dari lawan politik. Mengapa?
Kegeraman atas KPU
Suasana hati publik yang sedih bercampur geram dan marah pascabom Mega Kuningan bisa jadi adalah salah satu faktor hambarnya penetapan capres pemenang Pilpres 2009. Situasi damai dan kondusif pascapilpres dikoyak bom bunuh diri para teroris pengecut yang tak pernah jelas motif dan tujuannya. Seolah kita sebagai bangsa yang berhasil melembagakan proses demokrasi—kendati masih cacat di sana-sini—tak boleh menikmati segenap kredit dari keberhasilan itu.
Meski demikian, ada tiga faktor penting lain perlu dicatat. Pertama, kegeraman masyarakat atas setiap respons negatif KPU terhadap kritik dan gugatan yang dialamatkan kepada kinerja buruk mereka. Seperti terekam dalam memori publik, KPU tak hanya berkali-kali mengubah jadwal kampanye dan daftar pemilih tetap tanpa perbaikan signifikan, tetapi juga gagal membangun kepercayaan publik.
Lebih jauh lagi, KPU mencoba ”melawan” Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menunda eksekusi atas keputusan MK soal cara penetapan kursi legislatif tahap 3, padahal tiap keputusan MK bersifat final. Kini KPU harus siap menghadapi gugatan baru terkait pembatalan beberapa pasal Keputusan KPU Nomor 15 Tahun 2009 tentang mekanisme penetapan kursi legislatif oleh Mahkamah Agung (MA).
Kinerja buruk KPU ini tak hanya membuat publik geram dan hambar menyambut usainya Pileg dan Pilpres 2009, tetapi juga berpotensi mengundang ketidakpastian politik baru terkait perubahan peta politik hasil pemilu pascakeputusan MA. Karena itu, evaluasi mendasar atas kinerja KPU oleh Presiden dan DPR selaku pembentuk komisi mutlak diperlukan.
Pernyataan prematur
Faktor kedua adalah pernyataan Presiden Yudhoyono pascapengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Pernyataan Yudhoyono yang mengaitkan pengeboman dengan hasil pilres, bahkan secara tak langsung menuduh keterlibatan salah seorang kandidat capres, bukan hanya prematur, tetapi juga melukai nurani bangsa yang sedang berduka. Hanya selang dua hari, juru bicara Polri menemukan fakta-fakta awal bom bunuh diri Mega Kuningan dan secara tak langsung membantah pernyataan Kepala Negara.
Bagian lain pernyataan Yudhoyono yang juga mengecewakan publik adalah bahwa seolah akan ada revolusi, pendudukan kantor KPU, dan upaya menghambat pelantikan dirinya sebagai presiden. Entah dari mana aparat intelijen mendapat informasi itu. Yang jelas pernyataan itu justru menjadikan Yudhoyono sebagai sasaran kritik. Yudhoyono tak hanya dianggap mencari simpati dengan pernyataannya, tetapi juga tak percaya diri atas mandat absolut yang diperoleh melalui Pilpres 2009.
Pascapilpres seharusnya menjadi momentum bagi presiden terpilih untuk merajut kembali kebersamaan dan merangkul mereka yang berbeda pilihan politik sehingga terbangun harapan akan Indonesia yang lebih baik. Keindahan demokrasi justru tampak saat semua pihak yang sebelumnya berkompetisi secara politik akhirnya saling merangkul dan bekerja sama membangun negeri seusai pemilu.
Belum ada sportivitas
Faktor ketiga adalah belum tumbuhnya kultur sportivitas dalam berkompetisi di negeri ini. Seperti tecermin dari persepakbolaan nasional yang tak kunjung maju, dalam pemilu pun belum ada tradisi menerima kekalahan secara sportif. Pasangan capres yang kalah belum mau menerima kekalahan kendati selisih perolehan suara amat besar sehingga hampir mustahil bisa dikejar melalui bukti kecurangan yang dibawa ke MK.
Benar, pasangan capres yang kalah memiliki hak politik menggugat hasil pilpres. Namun, jika selisih perolehan suara terlampau jauh, pilihan paling bijak adalah sportif mengakui kekalahan dan memberi selamat kepada capres terpilih. Pembelajaran bagi bangsa ke depan sudah dilakukan Kalla-Wiranto dengan tidak ikut menandatangani hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan KPU, juga Megawati-Prabowo tidak hadir di kantor KPU.
Saat ini, agenda kolektif bangsa adalah membuktikan kepada dunia bahwa demokrasi di negeri ini tidak tergoyah oleh teror dan bom bunuh diri. Untuk itu kerja sama dan rekonsiliasi para elite politik diperlukan agar kepercayaan masyarakat, domestik, dan internasional segera pulih. Tentu akan amat elok apabila Yudhoyono sebagai presiden terpilih mengambil inisiatif untuk itu.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar