Selasa, Juli 21, 2009

Budaya Belanja pada Zaman Batavia



Pemandangan di sekitar Harmoni pada akhir abad ke-19. Gedung paling kiri dalam gambar adalah Toko Eigen Hulp, toserba pertama di Batavia, yang berdiri di pangkal Jalan Molenvliet West (Jalan Gajah Mada), lokasi berdirinya Hotel Des Indes di kemudian hari, yang lalu dibongkar pada 1980-an dan diganti oleh pusat perdagangan Duta Merlin hingga sekarang.

Kompas, Kamis, 9 Juli 2009 | Tak mau kalah dengan Singapura yang punya event wisata belanja tahunan Great Singapore Sale, pada 18 Juli sampai 18 Agustus mendatang Jakarta juga akan menggelar Jakarta Big Sale. Bulan belanja ini diselenggarakan dalam rangka menarik wisatawan Nusantara di masa liburan sekolah, sekalian memeriahkan ulang tahun ke-482 Jakarta.

Jakarta sebutulnya sudah jadi surga belanja, shopping city. Ratusan pusat perdagangan dan perbelanjaan—sejak yang disebut toserba, mal, plasa, sampai pusat perdagangan (trade center)—bertebaran di hampir setiap sudut kota. Warga Ibu Kota yang shopaholic bahkan ada yang bilang, mal-mal Jakarta lebih wah, lebih nyaman, dan barangnya lebih komplet dan murah dibandingkan dengan yang ada di negara-negara tetangga.

Sumber-sumber sejarah menunjukkan, toko-toko modern dan budaya berbelanja, termasuk pesta diskonnya, mulai tumbuh kembang di Jakarta pada awal abad ke-19 setelah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1808 memindahkan pusat kota dari Batavia Lama, daerah Kota sekarang, ke Weltevreden, kawasan di sekitar Harmoni, Lapangan Banteng, dan Medan Merdeka.

Sekitar seabad kemudian, Batavia sudah berkembang kian jauh ke selatan dengan dibangunnya daerah Menteng dan Gondangdia.

Menteng dan Gondangdia mulai dikembangkan pada awal abad ke-20 sebagai kawasan permukiman baru bagi warga Eropa. Sementara itu, pembangunan Weltevreden lebih diarahkan menjadi kawasan perkantoran dan perdagangan. Toko-toko besar umumnya berdiri di sepanjang Molenvliet West (Jalan Gajah Mada), Rijswijkstraat (Jalan Majapahit), Rijswijk (Jalan Veteran), dan Noordwijk (Jalan Juanda).

Daerah pertokoan dan perbelanjaan yang paling ramai di Weltevreden adalah Pasar Baru, yang masih ada sampai sekarang. Di sepanjang jalan-jalan itulah berdiri rumah-rumah toko milik orang Eropa, China, dan Jepang.

Daerah di sekitar Harmoni dikenal sebagai Lingkungan Perancis, Fraanse Buurt karena banyak pedagang Perancis membuka usahanya di sana. Misalnya, perusahaan dan toko roti Leroux & Co di Rijswijkstraat, milik warga keturunan Perancis, Jacques Leroux. Toko yang juga menjual aneka kue dan biskuit ini didirikan pada 1852 dan bertahan sampai akhir abad ke-19.

Toko lainnya adalah Oger Freres di ujung Rijswijkstraat, di sudut Jalan Majapahit dan Jalan Suryopranoto sekarang. Ini adalah toko milik dua penjahit Perancis bersaudara yang biasa membuat pakaian bagi tuan-tuan Batavia, mulai dari para pengusaha kaya sampai pejabat Hindia Belanda, baik sipil maupun militer.

Sampai awal abad ke-20, busana-busana buatan Oger Freres dianggap sebagai barometer busana pria Batavia. Toko penjahit kelas atas ini mampu bertahan selama lebih dari seabad sejak pertama dibuka pada 1823.

Pusat perbelanjaan raksasa berbentuk mal belum dikenal di zaman kolonial.
Akan tetapi, konsep department store atau toserba sudah dikenal cukup lama. Toserba pertama sudah berdiri sejak akhir abad ke-19, yakni tahun 1980-an. Nama pasar swalayan pertama itu Eigen Hulp, yang dalam bahasa Indonesia kira-kira artinya ”Mandiri” atau ”Tolong Menolong”.

Uniknya, toserba yang juga pasar swalayan pertama ini pemiliknya bukan konglomerat atau pengusaha kaya, Akan tetapi, sebuah lembaga koperasi. Konsumen Eigen Hulp terutama adalah keluarga-keluarga pegawai pemerintahan Hindia Belanda dan warga sipil lainnya.

Menurut budayawan Betawi, Alwi Shahab, toserba di Molenvliet West (Jalan Gajah Mada) ini memproduksi dan menjual, antara lain, pakaian seragam bagi tentara Hindia Belanda di Batavia.

Sejak awal abad ke-20, toko-toko di Batavia boleh dikata sudah dapat memenuhi segala kebutuhan rumah tangga warga kelas atasnya. Sebagian warga Batavia lebih suka berbelanja di Pasar Baru dan Pasar Senen. Kedua pasar itu dipenuhi toko-toko milik pedagang keturunan Tionghoa, Jepang, dan India, yang biasa disebut orang Bombay. Di kedua tempat itu lebih banyak dijual berbagai barang impor dari negara asal masing-masing pemiliknya.

Toko-toko di Molenvliet bisa dicapai dengan menumpang trem listrik, yang lewat di sana dari Jatinegara atau Tanah Abang menuju Pasar Ikan. Namun, banyak para tuan dan nyonya Belanda yang lebih suka pergi shopping ke Weltevreden memakai kereta kuda atau andong.

Disebutkan pula, pada waktu malam, Noordwijk dan Rijswijk yang diterangi lampu-lampu dari rumah toko merupakan pusat masyarakat Batavia berkumpul, baik untuk berbelanja maupun beristirahat di teras kafe atau hotel.

Sementara itu, Pasar Baru pada malam hari juga merupakan tempat yang ramai oleh warga kota yang ingin berbelanja. Mereka yang berasal dari berbagai suku dan bangsa berjalan berdesak-desakan di trotoar. Mereka yang lebih berada datang naik kereta kuda atau mobil dan melewati Jalan Pasar baru yang sempit.(MULYAWAN KARIM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...