Jumat, Juni 19, 2009
Pilpres Iran : Pemerintah Vs Teknologi Internet
Kompas, Jumat, 19 Juni 2009
Memasuki hari keenam, protes massal terhadap hasil pemilihan presiden Iran kian gencar. Dukungan bagi gerakan reformasi dan kandidat presiden yang kalah (termasuk mantan Perdana Menteri Mir Hossein Mousavi) meluas setelah terjadi bentrokan berdarah dan tewasnya tujuh orang akibat terkena tembakan aparat keamanan Iran, Senin lalu.
Berkat teknologi internet, seluruh dunia dapat menyaksikan dan ikut merasakan apa yang tengah terjadi di Iran melalui pesan singkat atau rekaman kamera video. Potongan gambar dan rekaman video kekisruhan Iran tak henti-hentinya disiarkan berbagai media massa. Pemerintah Iran menilai berbagai media—terutama media asing—”menodai” citra Iran dengan melulu mempertontonkan foto dan gambar kekerasan.
Bahkan, media asing dituding menjadi ”corong” para pemrotes. Garda Revolusioner Iran juga menuduh media yang justru memancing kerusuhan. Akhirnya wartawan media asing dilarang beredar di jalanan dan meliput gelombang protes itu. Padahal, protes kali ini adalah yang terbesar sejak revolusi tahun 1979 yang melahirkan Republik Islam Iran.
Yang boleh dilakukan hanya bekerja dari dalam kantor, seperti membuat berita di dalam kantor, wawancara narasumber melalui telepon, dan memantau siaran berita resmi hanya dari stasiun televisi pemerintah. Pembatasan informasi terhadap wartawan juga pernah terjadi saat revolusi Iran tahun 1979. Saat itu berbagai media masih tergantung sepenuhnya pada jaringan telepon kabel dan teleks perusahaan telekomunikasi milik pemerintah untuk mengirimkan berita ke berbagai negara.
Menurut lembaga pemantau sensor internet, OpenNet Initiative, warga Iran juga pernah hanya bisa mengandalkan internet selama masa kepresidenan Mohammad Khatami tahun 1997 hingga 2005. Ketika itu, puluhan media independen ditutup dan wartawan dipenjara.
Selain menjegal media asing, pemerintah juga menutup akses internet berbagai media independen agar potongan gambar dan rekaman video tentang apa yang terjadi di Iran tidak bocor. Namun, upaya itu sia-sia karena sampai saat ini gambar dan video protes tetap bermunculan di mana-mana meski dengan kualitas yang tidak terlalu baik. Terkadang buram dengan gerak gambar yang tersendat-sendat.
Tidak akan mudah bagi rezim Presiden Mahmoud Ahmadinejad atau Garda Revolusioner Iran untuk menghambat bahkan menutup arus informasi di era internet seperti sekarang. Seperti kata peribahasa ”banyak jalan menuju ke Roma”, warga Iran (mayoritas anak muda) tak kehilangan akal dan berpaling ke situs jaringan sosial, seperti Facebook dan Twitter atau situs Youtube (forum global bagi ekspresi bebas), untuk menyebarkan informasi setiap saat.
Kini otomatis berbagai media sepenuhnya bergantung pada jurnalisme warga. Rekaman gambar dan video yang dipublikasikan para netter (pengguna internet) melalui internet ini yang disiarkan berbagai media asing, antara lain stasiun televisi CNN, dengan penjelasan asal sumber informasi. Pasalnya, mayoritas informasi yang ada di jaringan sosial belum dapat 100 persen dipastikan keasliannya.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghalangi warga menyebarkan informasi. Selain internet, jaringan telepon juga dibatasi dan dipantau. Pakar masalah sensor di internet di Universitas Harvard, John Palfrey, mengatakan, pemerintah harus menutup seluruh akses ke dunia maya jika ingin mencegah warga menyebarkan pesan singkat, foto, atau surat elektronik (e-mail). Ini yang dilakukan rezim Korea Utara, Kuba, Moldova, dan Myanmar.
Solidaritas ”netter”
”Barisan dukung Mousavi tetap sesuai rencana jam 5 sore,” begitu salah satu pesan singkat atau ”tweet” di Twitter.
”Semoga sukses. Jangan bawa mobil,” bunyi pesan lain.
”Kata teman saya, ada 100 siswa yang ditahan. Para bajingan itu menyerang kita tanpa alasan jelas. Banyak sekali gas air mata yang dilempar ke arah kita. Saya minta tolong ke siapa saja yang bisa datang ke sini. Jangan tinggalkan kami,” begitu bunyi ”tweet” yang lain seperti yang dikutip di cnn.com.
Pesan-pesan berisi dukungan atau pengumuman seperti ini yang berseliweran setiap saat di Twitter. Meski dibatasi hingga 140 karakter, Twitter menjadi alternatif vital setelah pemerintah memblokir fasilitas pesan singkat (SMS) di telepon genggam. Khawatir pemerintah melacak identitas pengguna Twitter, banyak pengguna Twitter di luar negeri yang mengubah identitas dan alamatnya agar seakan-akan terlihat berada di Iran. Tujuannya untuk membingungkan pemerintah.
Saking pentingnya Twitter di Iran, Pemerintah AS meminta pengelola Twitter menunda jadwal perawatan. Pasalnya, Twitter harus dimatikan untuk sementara (kira-kira satu jam) jika dalam proses perawatan.
Meski jaringannya masih terbilang lamban, jumlah pengguna internet di Iran ”luar biasa”. Laporan OpenNet Initiative tahun 2007 menyebutkan lebih dari 23 juta dari 70 juta jumlah penduduk Iran memiliki akses internet (lebih dari 60 persen berusia di bawah 20 tahun).
Kesulitan akses internet Iran ini ditangkap simpatisan siber (cyber) di seluruh dunia yang beramai-ramai membantu warga Iran mengelabui sensor. Netter mengatur komputer dengan setelan proxy server yang bisa dipakai di dalam Iran. ”Kalau semua orang pakai proxy yang bisa mengubah rute lalu lintas Twitter, sulit dilacak dan tidak bisa diblokir,” kata konsultan teknologi AS, Nitin Borwankar.
Internet adalah jaringan yang akan mencari jalan-jalan alternatif untuk memastikan masuknya arus data tanpa hambatan. Pada prinsipnya, internet pasti akan mencari jalan saat terbentur hambatan. Berhasil atau tidak tergantung kelihaian pengguna internet.
Para pengguna Twitter di berbagai negara mengubah setelan waktu dan lokasi agar mereka terlihat seperti mengirim pesan dari Iran. Bukan hanya itu, netter juga mengirimkan perangkat lunak untuk membongkar filter internet atau ”menyerang” situs-situs yang mendukung Ahmadinejad. ”Ini terjadi spontan,” kata Memarian, pengamat jurnalisme di University of California, Berkeley.
Menurut Memarian, kini internet berperan sangat penting di Iran. Memarian juga mengaku ragu pemerintah akan bisa memblokir jaringan telepon dan satelit di seluruh negeri karena itu juga akan mengganggu komunikasi militer dan kepolisian. Bisa saja memblokir jalur-jalur tertentu, tetapi tidak akan bisa memblokir semua jaringan.(REUTERS/AFP/AP/LUK)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar