KAUM
BALIHOERS, JURUS NGELES KAUM KEFEFET
Oleh : Sunardian Wirodono
Jika kepepet, karena tak punya dasar argumen yang kuat, maka ngeles (atau membiaskan masalah), adalah jurus yang acap dipakai para penumpang gelap. Mungkin ada yang menyebut mereka sebagai oportunis. Atau dalam bahasa agak religius, disebutnya kaum munafikun.
Beberapa waktu lalu, kita pernah mendengar adanya kaum salawi. Kelompok kepentingan yang selalu, dan melulu, hanya melihat semua karena salah Jokowi. Mereka pintar dalam kata-kata. Artinya juga pintar mengkorupsi fakta dan data dengan kata-kata. Agar yang muncul adalah kesan dirinya atau kelompoknya benar.
Kelompok ini, kini juga bisa disebut kelompok balihoers. Kelompok yang hanya melihat, atau menyembah kemuliaan baliho. Apa yang dilakukan pengamat, SJW, akademisi, politikus, dari kelompok ini, sama dan sebangun dengan laskar FPI yang melakukan hormat pada baliho Riziek, sampai harus memblokir jalan. Tak peduli bahwa akibat omongan Pak Dudung, dipicu oleh cuitan Nikita Mirzani, kini gerakan pencopotan baliho provokatif, intoleran, bernada rasis, bernada isu SARA, massif di mana-mana. Baik dilakukan masyarakat maupun Satpol PP.
Kelompok balihoers sama sekali tak menyinggung isi baliho. Mereka tak peduli soal baliho yang jika berisi iklan obat atau consumers good ilegal, Satpol PP paling galak mencopot. Mereka hanya melihat TNI salah jika masuk ke wilayah sipil. Kelompok balihoers ini, agaknya termasuk golongan yang tak suka gerakan intoleran dan pengujar kebencian terhambat penyebarannya ke seluruh Nusantara. Cara mereka menegasi, mengulas tupoksi tentara, tapi mingkem dan merem soal konten baliho yang dipermasalahkan. Padal jelas, sumber masalahnya di manusia bernama Rizieq Shihab. Di situ pembiasannya.
*
Gaya retorika Rizieq Shihab, dalam acara Maulid Nabi di Petamburan beberapa waktu lalu, menunjukkan dengan jelas. Jika verbatim kita kutip pernyataan-pernyataannya, tafsir apalagi jika bukan ujaran kebencian? Ia menghina Kepolisian dalam kaitan penjagaan di rumah Nikita Mirzani. Hingga Rizieq mengatakan Polisi dapat jatah (dari Nikita, yang disebut Rizieq sebagai lonte). Tapi Rizieq tidak akan ngomong, bagaimana polisi mengantisipasi ancaman seseorang, yang mengaku ustad, yang akan mengirim 800 laskar FPI jika dalam 2X24 jam Nikita tidak meminta maaf.
Itu contoh korupsi data dan fakta. Rizieq juga menghina TNI dalam kaitan anggota TNI yang dihukum, karena menyanyikan lagu pujian pada Rizieq. Retorikanya yang selalu meminta pengiyaan dari pengikutnya, menunjukkan dia sedang mengindoktrinasi massa. Untuk membenarkan semua pernyataannya yang menghasut itu. Cara bertuturnya, bukan ciri ulama atau guru. Tetapi lebih tepat provokator dengan segala demagoginya.
Dalam gaya komunikasi retorik, memang tak diperlukan konfirmasi. Data dan fakta cenderung diabaikan. Hanya mengambil teks yang mendukung konteks yang hendak dibangun. Sama persis dalam kampanye politik, ketika seorang kandidat bertujuan menjatuhkan kompetitor.
Itu pula yang dipakai kaum kepepet, yang di Indonesia didominasi kelompok Salawi. Mereka yang berdiri di sisi berbeda (oposite) dengan Jokowi, akan cenderung berpihak atau mendukung ‘lawan politik’ Jokowi. Maka jika pernyataan Fadli Zon dan Haris Azhar bisa sama dan sebangun, bisa dimengerti. Juga omongan dari para kambrat mereka, yang sebetulnya belum tentu sepemahaman. Meskipun Din Symasuddin mungkin hari-hari ini lagi nangis bombay, karena kalah pamor dengan Rizieq. Dan tidak mendapat pembelaan dari kaum balihoers.
Tentara kok sampai mesti turun tangan menurunkan baliho? Itu kan tugas Satpol PP, atau Kepolisian dalam Kamtibmas? Dan bla-bla-bla segala teori hukum serta demokrasi disampaikan. Meski ada yang gayanya prihatin, seperti disampaikan Haris Azhar. Ia sebenarnya tidak rela, tentara kok nurunin baliho!
Apakah ketika TNI, Tentara Nasional Indonesia, turun ke kali kotor Jakarta, membersihkan sampah menggunung penyebab air kali meluap, ada yang menyayangkan? Kenapa tak ada yang sinis menyindir; Kasihan amir tentara jadi tukang bersih-bersih sampah? Terus tidak bikin meme Bang Rendy pamit pada gacoannya yang lagi mengandung, dan menasihati sang gacoan agar tidak lebay? Toh ia tidak sedang ke medan perang, melainkan mau mbersihin got?
Apalagi pengertian kita tentang medan perang hanyalah area dar-der-dor. Tidak tahu bahasa simbolik, bahwa medan perang dalam kehiduan luas adanya. Sebagaimana kegagalan membaca tentara mbersihin sampah baliho, sebagai simbol perang melawan sampah masyarakat? Yakni, seseorang yang ngaku cucu nabi, tapi perilakunya miskin tata-krama? Padal doktrin agama Islam sendiri, lebih menekankan nilai manusia karena amal perbuatannya sendiri. Bukan karena sejarah leluhur, pangkat, kekayaan, atau wajah secakep apapun. Mau keturunan kucing, kalau jahat mah jahat saja. Karena yang ayahnya copet, ibunya lonte, si anak tak tertutup nasibnya menjadi manusia mulia, baik hati, dan tidak sombong.
Namun memang, mereka yang disebut kaum balihoers ini, memiliki ciri suka mengedepankan teks dengan menghilangkan konteks. Hingga perdebatan kita jarang menjadi sesuatu yang produktif. Yang terjadi hanyalah debat semantik. Adu pintar menjeplak. Di situ kita tahu bukan kepandaian Jokowi. Jokowi seorang pekerja. Tak membutuhkan mimbar dengan sorotan kamera. Yang kadang menggemaskan, dan melahirkan para juru-tafsir dengan kadar ‘disproportionate’ pula.
*
Perdebatan tidak esensial itu, hanya untuk kepentingan pencitraan. Baik sebagai bisnis ekonomi maupun tujuan politis. Dari setting awalnya, sudah tidak relevan. Coba cermati, ketika perdebatan soalTNI nurunin baliho. Persoalan politik tetapi di-framing dalam konteks hukum. Maka apa yang menjadikan alasan atau tindakan tentara, tak akan digubris. Karena akan masuk dalam esensi debat. Mereka menghindari elaborasi masalah sebagai bagian dari esensi sebuah debat. Maka Hamdan Zoelva pun, hanya bisa bilang masalahnya sesepele itu, mengenai sistem atau cara. Padal sebagai bekas ketua MK, apakah dia tidak tahu yang namanya teori kausalitas, yang perlu diklarifikasi?
Begitu sebaliknya, kelompok Salawi dalam konteks hukum, maka yang dimunculkan adalah framing politik. Misal, ketika jelas pernyataan dan tindakan Rizieq melanggar PSBB (tak usah melihat kasus yang berat-berat), yang dikedepankan adalah kriminalisasi ulama, penistaan agama, negara mulai otoriter dan anti kritik.
Kaum oportunis memang penganut filsafat pragmatisme paling akut. Pragmatisme adalah paham yang menganut segala sesuatu yang bermanfaat. Yang tak bermanfaat tak dianggep. Pragmatisme dalam istilah lain kadang disebut pula sebagai penyakit soehartoisme.
Di situ sebabnya, politik hanya dipakai dari sisi politicking belaka. Wajar jika masyarakat awam menjadi apolitik. Bukan hanya skeptis pada politik, tetapi muak dengan siapapun yang bermain politik. Entah itu ormas berbaju agama, ulama ‘berbaju’ daster, filsuf kedunguan, pengamat politik yang berpolitik. Sementara mereka yang menyebut diri politikus, alih-alih berpolitik, karena mereka kini lagi sibuk nyari duit dari Pilkada. Karena bagi mereka demokrasi = dengan money krasa sekali.
Maka tak aneh jika Jusuf Kalla bisa enteng menyebut Rizieq Shihab sebagai pemimpin kharismatik.Tak jauh beda dengan omongan Fadli Zon, yang mengatakan kharisma Rizieq mengalahkan Sukarno dan Bung Hatta. Itukah buku yang dibaca Anies Baswedan, di minggu pagi yang cerah, berjudul How Democracies Die? Inikah orkestrasi yang sedang dimainkan secara virtual menuju 2024? | @sunardianwirodono