Oleh : Sunardian Wirodono
Secara leksikal, dalam pengertian bahasa Indonesia, ‘kami’ bukan ‘kita’. Kami adalah pernyataan saya dan kamu, di hadapan mereka. Secara psiko-sosial, penamaan komunitas atau gerakan itu, sudah membuat demarkasi. Ada garis tegas yang dibangun. Berbeda dengan ‘kita’, antara kau dan aku bersama-sama. Jika ngomong kami, artinya ada yang di luar itu, adalah mereka.
Tetapi begitulah. Dari penamaannya saja, kita bisa merasakan spirit yang hendak dibangun, atau sebagai dasarnya. Semangat menegasi, karena bukan bagian dari diri mereka. Mereka berbeda, liyan. Tapi bukan pula ajakan dialog, kebersamaan, meski selalu normatif dinyatakan terbuka dan siap berdiskusi dengan siapa saja. Namun apa gunanya diskusi, jika yang muncul bukan dialog, melainkan duolog, atau bahkan monolog? Masih mending main pantomim Jemek Supardi, lebih kaya tafsir daripada permainan narasi yang palsu.
Dari sekian banyak pernyataan Din Symasuddin dan kawan-kawan, dari sejak awal, sudah jelas posisi mereka. Posisi menjelaskan persepsi. Dalam hukum fisika, persepsi itu akan menentukan perspektifnya. Jika bernama perspektif, maka ada 359 titik dengan satu titik nol yang jarang mendapat sudut pandang, yakni memandang diri-sendiri. Belum dengan biasnya, karena antara titik satu dan lainnya ada celah menganga, untuk sudut pandang yang lain lagi.
Jika sudah demikian, apalagi yang mau dibicarakan? Ketika posisi berbeda, perspektifnya pun akan berbeda. Dengan perspektif berbeda, hasil pemandangan juga akan berbeda. Jangankan perspektif berbeda, meski di titik yang sama pun, dengan perangkat pandang beda, berbeda pula hasilnya. Entah karena peralatan beda, peralatan sama tapi kemampuan teknis berbeda, dan seterusnya. Wong satu orang dengan alat sama pun, beralih posisi bisa beda pula hasilnya.
Dari sisi psiko-politik, apa yang dilakukan Din dekaka? Bukan sesuatu yang heroik. Biasa saja. Tidak pakai telor. Dari delapan tuntutannya, gertak sambal yang normatif. Mereka mengaku berjuang membangun masyarakat yang sejahtera berdasar konstitusi. Akan melakukan pengawasan, dan mendesak lembaga-lembaga negara bekerja. Bukankah itu mestinya diletakkan sebagai kewajiban? Bukan hak?
Meski dari delapan tuntutannya itu, tuntutan nomor 1, 6, dan 7, tak bisa menyembunyikan agenda di baliknya. Sementara tuntutan nomor 8, makin jelas lagi, mengendoors lembaga-lembaga tinggi negara (DPR dan MPR) untuk melakukan impeachment pada Presiden Jokowi, yang (tersirat dalam nomor-nomor tuntutan mereka) melakukan ‘penyelewengan’ konstitusi.
Berita Kompas, 4 Agustus 2018 |
Tentu saja, itu interpretasi saya dalam membacai tuntutan mereka. Jika mereka menggunakan interpretasi, kita juga berhak menggunakan interpretasi, sebagai warga negara yang sama kedudukan. Jika mereka dikatakan tokoh, karena media yang tetap saja feodal menempatkan orang dalam posisi senonoh (tidak patut), meski bisa juga karena menjilat, atau mungkin karena sebarisan.
Penyebutan hari kelahiran Pancasila 18 Agustus 1945, berbeda dengan keputusan Negara (yang telah menetapkan 1 Juni 1945), menjadi indikator pertama. Pada tuntutan 6, meski menyinggung pembelaan Pancasila dan bahaya Komunisme, mereka meminta tak melakukan stigmatisasi mengenai persoalan intoleransi dan radikalisme. Justeru pembelaan, bukannya kritik pada dua hal itu. Jelas arahnya, merupakan bagian tak selesai dari polarisasi nasionalisme dan agamaisme, yang menjadi bandul pertentangan sejak awal republik berdiri. Lebih ditekankan lagi pada tuntutan nomor 7, mengusut secara tuntas pada yang memakai jalur konstitusi dan mau mengubah Dasar Negara Pancasila. Tembakannya kepada PDI Perjuangan, representasi dari partai nasional-sekuler sebagai biang inisiator RUU-HIP.
Kalau kita melihat komposisi para penggiatnya? Kita maklum saja. Pada tahun 2018, kita tahu Din Syamsiuddin pernah menyatakan siap dan bersedia menjadi Calon Wakil Presiden dari capres Jokowi. Nama-nama lainnya? Berisi barisan para mantan. Mantan pejabat, mantan mapan, mantan kaya, mantan pendukung capres sebelah, mantan komisaris BUMN, dan mantan-mantan lain, termasuk anak para mantan seperti Rachmawati Soekarnoputri, Titiek Soeharto, Meutia Hatta Swasono. Kalau misalnya anak SBY ikut, sebetulnya akan lebih bagus. Juga anaknya Gus Dur, misalnya. Kalau Amien Rais nggak ikut? Ya, mana mau jadi follower Din Syamsuddin.
Jika barisan para mantan itu makin komplit, hal itu makin memperjelas area pertarungannya. Ini barisan elite sakit hati. Sementara yang dijadikan musuh, Jokowi, dulu kita perjuangkan justeru karena bukan siapa-siapa. Karena kita jenuh dikibuli barisan para mantan itu. Jika dalam tuntutan nomor 5 mereka menyinggung soal KKN, oligarki, kleptokrasi, dan sejenis-jenis itu, tentu karena anomali. Karena mereka juga mesti dimintai tanggung jawab moral untuk itu, karena mereka bagian darinya. Maka ketika mereka menyebut gerakan moral, moral apakah kiranya?
Jika pun Jokowi bukan presiden ideal, menurut mereka, dia adalah presiden yang ditentukan bukan saja oleh konstitusi, melainkan juga oleh sejarah. Kalimat ini memang terdengar post factum, tapi bahwa dua kali berturut Jokowi mengalahkan Prabowo, sebagai representasi kekuasaan masa lalu, pesan sejarahnya jelas. Majoritas rakyat menginginkan perubahan dari model Orde Baru menjadi lebih memberi ruang partisipasi rakyat. Di situ Jokowi sebagai simbol yang kuat dalam perlawanan pada elitisme dan pelitisme yang tersentral dan mutlak-mutlakan.
Bahwa Jokowi tidak, atau belum, memuaskan, karena jalan perubahan memang tak bisa dilakukan seorang Presiden semata. Ada mata-rantai lain, seperti teknokratisme dan birokratisme, mentalitas korup, yang menjadi musuh dalam selimut kekuasaan.
Jika kita
sebagai rakyat, yang menginginkan perubahan, konsisten dengan aktif dan kritis
melakukan partisipasi publik (di bidang masing-masing), akan kita dapatkan situasi
yang lebih baik. Kesadaran individual itu yang mesti digerakkan. Menjadi
masyarakat yang partisipatif dan kritis. Kalau ngerti ada praktik korupsi,
berani melaporkan dan mempublikasikannya secara bertanggung jawab. Bukan hanya gerundelan dan bikin hoax. Berani menjadi kita, bukan
kami yang sibuk melakukan klaim diri-sendiri dan mendelegitimasi liyan. Katanya konstitusional, tapi ada kampanye pemakzulan?
Kalau pagi-pagi sudah mengeluh, bahwa akun instagramnya dibajak orang, mestinya lapor ke pihak berwenang, karena konon katanya patuh konstitusi. Bukannya seperti Din, lapor ke medsos, atau media cecunguk. Apalagi malah ditambah pernyataan bodoh; Hanya lembaga yang kuat yang bisa melakukan itu (negara maksudnya). Padal, pengamanan Pentagon bisa dibobol anak kecil. Bahkan, anak SMP dari Surabaya pun, pernah bisa membobol data salah satu bank nasional Singapura. Apalagi cuma konfigurasi password medsos macam fesbuk dan instagram. Jadi, jangan goblog-goblog nemen kalau mau berteater playing victim.
Tapi kalau mau mimpi berteater, mari kita nyanyikan Regression dari Dream Theater; “Close your eyes and begin to relax. Take a deep breath, and let it out slowly. Concentrate,…” dan jangan mau kita mengikuti mereka, menuju kemunduran. | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar