Menantang Iman Brotoseno dan TVRI
Oleh Sunardian Wirodono
Pembicaraan kita tentang Tilik, terpecah menjadi dua blok. Bukan blok Bu Tejo versus blok siapa (apakah Yu Ning dan yang lain), tetapi tentang qua-teknis film versus efek mediasi yang ditimbulkannya.
Celakanya, dua blok itu didiskusikan dalam satu ruangan dengan semangat saling menafikan. Dalam ranah kedua, efek mediasi, bisa sama sekali tak berhubungan, karena beberapa hal. Pertama: Karena (apapun), film dipandang sebagai film. Ranah ekspresi yang kalis dari penilaian bersifat absolut. Yang penting, bagaimana komunikasi mampu dijalin, dan sukur bage memunculkan vibrasi.
Antara lain, kenyataannya film itu viral. Sejarah viralnya, sangat berbeda dengan kehadiran pertama kali sebagai karya seni. Padal sama-sama di ruang publik. Dalam ranah itu, hampir tak terdengar gemanya. Bahkan pun ketika film itu menang dalam dua festival internasional. Siapa peduli? Mungkin hanya sebatas kalangan cinema. Itu pun lebih sempit lagi, di kalangan penggerak film indie. Di kalangan yang membiayainya pun, mungkin juga tidak terlalu memperhatikan lagi. Khas film proyek pemerintah.
Dalam channel youtube Humas Jogja, film ini juga belum lama lalu diunggah (21/8/2020), dengan 11 ribu subcsribers, telah ditonton sebanyak 562 ribu kali. Ravacana Films sendiri, yang memproduksi film ini 2018, baru mempostingnya 6 hari lalu (19/8/2020). Dengan ‘hanya’ 239 ribu subscribers, namun film Tilik meraih penonton 8,9 juta. Bisa dipastikan, jumlahnya akan terus bertambah. Itu sungguh prestasi.
Kedua: Pada tahun 2018, Tilik muncul di ranah ‘karya seni’. Dan apalagi diproduksi atas biaya Danais (Dana Keistimewaan) Dinas Kebudayaan Pemerintah DIY. Sesuatu yang sudah mengundang under-estimate. Pasti gitu-gitu doang. Namun begitu Tilik merambah medsos, dua tahun kemudian (2020), muncul di IG, WAG ke WAG, dan berbagai platform medsos, meledaklah Tilik dengan Bu Tejo-nya.
Jika kemudian di-endoors beberapa champions film kita di Jakarta, seperti Joko Anwar dkk, kemudian muncul di media-media online dan televisi Jakarta, saya menduga (artinya baru dugaan), lebih karena warna film ini berbeda. Setidaknya berbeda dengan mainstream sinetron azab model Indosiar, dan juga sinetron model-model SCTV, RCTI, MNC dan yang kek gitu-gitu itu.
Tilik menjadi terasa eksotis. Ada juga yang menganggap otentik. Meski eksostis dan otentik itu sebenarnya tak lebih dari penilaian yang sifatnya turistik. Baik secara visual, penyampaian, tematik, setting sosial, juga bahasa. Sesuatu yang ‘jarang dijumpai’ dalam industri film (dan sinetron reguler), yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek, bukannya subjek yang menonjol, seperti Bu Tejo.
Dalam hal
itu, tak ada dalil tunggal yang bisa diajukan sebagai premis baku. Kecuali
demikian hukum dunia medsos, yang mahabenar datakrasi dengan segala clickbait-nya. Dan
kita, sama persis seperti Bu Tejo, mengesankan yang di internet selalu benar,
karena dibuat orang pinter. Bang Hadji Rhoma Irama dulu, ketika dituding
menyebar ujaran kebencian, untuk tak memilih pemimpin yang tak seiman (dalam
konteks jangan memilih Jokowi-Ahok, pada Pilgub DKI, 2012), karena percaya
berita internet, bahwa Jokowi bukan beragama Islam. Menurut Bang Haji, informasi di internet itu valid, pasti benar. Karena? Karena di internet! Dalam silogisme Bang Haji, internet dibuat orang pinter, maka, semua yang ada di internet pasti benar.
Sementara value
atau nilai di dunia internet sebagai media, sebut saja medsos, bisa bikin pusing jika
dikaitkan dengan yang kita percaya sebagai; kebenaran, kebaikan, kepintaran,
kepopuleran, kedigdayan, kemuliaan, dan sebagainya, atau sebaliknya. Anji,
youtuber yang konon influenzer itu, pernah mengeluh. Bikin konten baik,
katanya, hanya ditonton beberapa gelintir orang. Begitu bikin wawancara
spektakuler dengan Hadi Pranoto, yang ngaku profesor, langsung melejit. Dan dia
menyalahkan selera masyarakat soal konten.
Seorang youtuber di Malang, dengan bahasa Malang walikan, tak jelas kontennya apa (selain celotehan biasa, yang mungkin dianggap lucu), mempunyai jutaan subscriber dan mendapat jutaan rupiah tiap bulan dari konten-kontennya itu. Banyak contoh seperti itu. Tak ada hubungan antara angka (quantity) dengan nilai (quality), sekiranya kita mendefinisikan demikian. Sama seperti dalam pola pe-rating-an acara televisi. Tak ada kaitan antara rating tinggi dengan kualitas program acara.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa Tilik tidak berkualitas, tapi ditonton dan jadi perbincangan banyak orang. Saya ingin meletakkan dulu duduk soalnya. Baru nanti kita omongkan satu-satunya, secara proporsional.
Pada sisi lain, jika kita ngomongin soal bagaimana sebuah karya seni, dari ide hingga eksekusi, itu ranah yang berbeda lagi. Bisa nyambung, tapi bisa juga tidak sama sekali, dan bahkan bertentangan. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika pun, ada yang membuat daftar film-film suci. Yang jika ada menulis kritik, se-objektif apapun, akan dianggap dosa. Dan Anda bisa jadi di-bully oleh para fanatikus film tersebut. Dalam saat sekarang ini, Tilik berada dalam titik itu. Jadi kalau tak ingin di-bully, jangan coba-coba mengritik.
Jika kita ngomong soal eksekusi sebuah produk (karya) seni, maka kita akan memperkarakan persoalan teknis dalam film itu. Dari sejak penulisan skenario, konten dialog, logika cerita, distribusi informasi, pokok dan tokoh, setting sosial, dan sebagainya. Termasuk ketika berani membuat model twist plot, tetapi dengan ending yang berantakan, jika kita merunut data informasi yang kita himpun dari semua dialog tokoh-tokohnya. Soal konsistensi informasi misalnya, yang sering luput dari perhatian. Mungkin karena dialog film dalam bahasa Jawa, banyak penonton terpecah perhatiannya, antara tangkapan auditif dan mantengin subtitle terjemahan.
Tapi, sampai di sini, saya harus menyudahi tulisan ini. Agar tak berkepanjangan, yang mengakibatkan saya di-bully. Tatut! Mendingan, saya mendorong Iman Brotoseno, Direktur TVRI, untuk melihat fenomena ini. Membuka ruang-ruang TVRI untuk anak muda kreatif di seluruh Indonesia. Mengajak mereka menjadi pemasok karya film cerita atau sinetron tentang daerah masing-masing. Dengan problematika masing-masing lingkungan poleksosbudnya. Dengan anak daerah masing-masing. Dengan artis daerah masing-masing.
Di situ TVRI benar-benar akan mendapatkan ribuan film atau sinetron, yang bukan hanya mampu mengganyang dominasi dan kedunguan sinetron Jakarta, melainkan pula; menjadikan TVRI sebagai media pemersatu bangsa. Dengan mengajak masyarakat Indonesia untuk saling melihat budaya saudara kita, yang berlainan suku atau etnis, di seluruh pelosok negeri ini. | @sunardianwirodono