Sukarno, Bung Karno (1901 – 1970), adalah tulisan yang seolah tak pernah
usai dibaca. Ditulis berulang, dari sudut mana pun, ia memiliki pesona. Bahkan
untuk hal-hal yang tentunya tak disukai musuh-musuhnya.
Namun sejarah selalu bertutur,
orang besar memiliki musuh yang besar pula. Atau dalam kalimat terbalik,
musuh-musuhnya menjadi pula besar karena yang mereka musuhi selalu jauh lebih
besar. Kalau lebih kecil, ngapain dimusuhi? Sebetapapun upaya untuk
mengecilkannya, Sukarno kagak ada matinye. Bahkan hingga kini, 21 Juni, ketika
Bung Besar itu wafat 50 tahun lampau.
Oleh Sunardian Wirodono
Ketika mengetahui Ben dari Indonesia, para dokter itu ngerti-nya Indonesia adalah Sukarno. Ketika Ben menjelaskan Presiden Indonesia adalah Soeharto, dan Sukarno disingkirkan karena bersimpati pada komunisme, para dokter dari Afrika dan Timur Tengah itu kelihatan marah, “Apa? Karena bersimpati pada komunis kamu singkirkan dia? Dia yang membawa kamu jadi merdeka, kamu singkirkan hanya karena dia bersimpati pada komunis? Astaga, kamu lebih pentingkan komunisme daripada kemerdekaan? Kamu tidak tahu terimakasih!”
“Supaya Anda tahu, kami orang Afrika merdeka oleh getaran yang digerakkan oleh Sukarno, yang membangkitkan harga diri Afrika dan orang Afrika. Aneh, dia yang bawa kamu ke pintu gerbang kemerdekaan malah kamu singkirkan!” (Ben Mboi, “Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja”).
Dalam “Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang”, ketika M. Jasin membawa surat kepercayaan pengangkatannya sebagai Dubes di Tanzania, yang ditandatangani Soeharto selaku Presiden RI, protokol kepresidenan Tanzania menolak. Ketika dijelaskan, mereka tetap bersikeras bahwa Presiden Indonesia adalah Sukarno. Bukan Soeharto.
Hal itu menjelaskan,
bagaimana nama besar Sukarno lebih berdengung di luar negeri, terutama Afrika
dan Timur Tengah. Bahkan banyak peninggalan Sukarno di beberapa negara itu
bukan hanya ‘pohon Sukarno’, melainkan spirit kemerdekaan. Dan yang jarang diketahui,
ijtihad politik Sukarno dalam tafsir-tafsir keagamaan berkait konsep negara
demokrasi di Timur Tengah. Mereka memposisikan Sukarno sebagai pemikir Islam
yang dihormati.
Prosesi pemakaman Sukarno dan lautan manusia (Repro: Cindy Adams 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat') |
Sukarno dan Tragika Indonesia. Meski menyandang nama
besar, Bung Karno sejatinya bukan seorang narsistik. Setidaknya dari 1.650
patung koleksi Istana Negara di berbagai wilayah (Jakarta, Bogor, Denpasar,
Yogyakarta), tak satu pun patung figur Sukarno, baik utuh maupun patung dada.
Padal, dari jumlah patung-patung itu, 60 persen menurut catatan Sekretariat
Negara, adalah gagasan tematik Sukarno. Sekalinya mau menjadi model patung, tahun
1950, di tangan pematung AS berdarah Jepang, Isamu Noguchi, yang karya-karyanya
banyak terpajang di ruang publik New York. Entah patung figur Sukarno itu
diletakkan di mana. Jika sekarang ada beberapa patung Sukarno di berbagai kota,
itu masa-masa setelah Soeharto tumbang. Termasuk di Mexico (2018) dan belum
lama lalu Aljazair, selain di Madame Tussaud tentu.
Kematian Sukarno adalah
sejarah tragis Indonesia. Aswi Warman Adam, sejarawan, bahkan menggambarkan
kematian Sukarno lebih tragis dibanding Multatuli, sebagai sesama pembongkar
kejahatan kolonialisme. Bahkan ketika Soeharto mengasingkannya dalam sunyi dan
sendiri di Wisma Yaso. Itulah cara pembunuhan paling keji. Apalagi dengan
perlakuan tak manusiawi, sebagaimana kini hal itu mudah kita baca dari beberapa
buku memoar, dan pengakuan dokter yang ditugaskan ‘mengawasi’ Sukarno.
Bahkan Hatta pun, untuk
menjenguknya tak mudah. Pertemuan terakhir dwi tunggal yang tanggal itu,
menunjukkan sebagai sahabat perjuangan sejati. Dari sejak Indonesia belum merdeka,
hingga Hatta sebagai pengritik Sukarno paling terkemuka namun disampaikan
dengan elegan. Bahwa bangsa ini pernah punya contoh, bagaimana kualitas manusia
tak hanya dipertunjukan lewat status akademik atau intelektualitasnya,
melainkan juga adab sebagai demokrat sejati. Apa yang ditunjukkan elite dan
politikus kita sekarang, bukan berarti bangsa ini tak pernah mendapati contoh
adab dari sejarahnya.
Perdebatan kita mengenai
Peristiwa 1965 sampai hari ini, yang hanya berkutat pada korban (dan tanpa
pembahasan mendalam mengenai asbab-musabab, asal mula mengapa semua itu terjadi),
adalah bentuk ketidakseriusan kita menyelesaikan masa lalu, sebagai bahan
pembelajaran masa kini dan ke depan. Apalagi dari mereka yang hanya
mengandalkan pembacaan atas teks-teks, namun sama sekali mengabaikan konteks
masalah dan konteks waktu.
Kelahiran Jokowi Kemudian. Sembilan tahun sebelum
tanggal wafat Sukarno, lahirlah Jokowi (21 Juni 1961). Apa makna atau kaitannya
dengan kematian Sukarno? Saya tak ingin berspekulasi, yang mungkin beberapa penggemar
judi online bisa mengotak-atik angka itu. Namun Jokowi bisa jadi contoh bagus,
sebagaimana kita memandang ‘persoalan’ Sukarno. Jokowi kini juga orang yang terkena
tulah Sukarno. Bahwa “perjuanganmu akan lebih berat daripadaku, karena melawan
bangsamu sendiri”. Meski kisah jatuhnya Sukarno, menjelaskan hal yang tak jauh
beda, berhadapan dengan Soeharto dan para pendukung serta sponsornya.
Jokowi lahir pada tanggal kematian Sukarno |
Ketika Sukarno wafat,
Jokowi baru berusia 9 tahun, masih SD. Yang bisa dikenangkan oleh Jokowi tentang
Sukarno, mungkin hanya kisah kematian dan pemakaman Sukarno yang fenomenal.
Meskipun cerita teman-teman waktu kecilnya, Jokowi acap membawa buku lusuh Cindy
Adams, ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat’. Ketika bermain dengan
teman-temannya, atau menyendiri di pinggir sungai, di mana rumah orangtuanya
digusur dua kali oleh penguasa Orba, Jokowi membaca biografi Bung Karno.
Adakah karena buku itu,
hingga kemudian Guntur Sukarno Putra, putra sulung Bung Karno pernah menyatakan
sosok Jokowi merupakan anak ideologis Sukarno? Sebagaimana juga dikatakan Dr.
Ikrar Nusa Bhakti, karena ideologi dan obsesi mereka sama dan sebangun? Perlu
riset mendalam untuk itu, meski dalam polling yang diadakan Indobarometer,
Januari 2020, Jokowi lebih disukai (23,4%) daripada Sukarno (23,3%). Sementara
tingkat kesukaan responden polling (saya tidak pakai istilah Indobarometer yang
mengatakan ‘rakyat’ sebagai kata ganti responden) pada SBY (14,4%), meski
mengungguli Habibie (8,3%), Gus Dur (5,5%) dan Megawati (1,2%). Juaranya?
Soeharto, 23,8%!
Pada titik itu, sekilas kita
mendapat gambaran, Jokowi bukan presiden lemah, dan gagap, apalagi gagal. Terlebih
jika melihat reputasi internasionalnya. Bukan saja diapresiasi atau
diakui, melainkan juga menjadi role model, sebagaimana Soekarno diidolakan beberapa
pemimpin Afrika dan Timur Tengah. Indonesia kini menjadi negara yang diperhitungkan
dunia. Apalagi ketika berada dalam ekonomi global yang nyungsep, dan
dalam masa-masa pandemi coronavirus. Mahathir Mohamad, politisi senior di kawasan Asia Tenggara yang disebut 'Sukarno Kecil' itu, mengagumi Jokowi. Demikian
pula anak Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong yang juga menjadi PM Singapura, hingga The Strait
Times Singapura menobatkan Jokowi sebagai Tokoh Asia 2019.Majalah TIME pernah menyebut Jokowi sebagai 'a new hope'.
Presiden Perancis
Emmanuelle Macron, PM Kanada Justin Trudeau, bahkan mantan Presiden AS Barrack
Obama, adalah pribadi yang secara terbuka mengapresiasi pemikiran dan gaya
kepemimpinan Jokowi. Mereka dikenal dunia sebagai generasi baru kepolitikan
international.
Posisi Sukarno dan Jokowi. Tapi, kenapa Jokowi dibenci di dalam negeri? Itu kesan yang muncul
di medsos, yang giat didengungkan para pembenci Jokowi. Meski jangan dilupakan,
kontra narasi untuk mereka juga tak kalah banyak, hingga YLBHI sampai meminta
Jokowi untuk menertibkan buzzernya. Emangnya lawan-lawan politik Jokowi juga tidak
memakai buzzer? Sejak kapan buzzer diterjemahkan ‘hanya’ sebagai pendukung Jokowi?
Tomi Soeharto juga punya buzzer.
Sebagai fenomena politik,
Jokowi yang berada di luar genealogis politik Indonesia (yang elitis itu),
seolah berada dalam posisi sama dengan Sukarno. Jokowi kini menjadi sasaran tembak dari segala
penjuru. Dari para ningrat politik utamanya, yang tersingkir namun merasa lebih
baik dan cakap dalam memikirkan dan mengelola negara.
Coba saja bandingkan
suara responden Indobarometer di atas, dengan pernyataan Fadli Zon, bahwa
demokrasi di jaman SBY lebih baik dibanding jaman Jokowi. Tergantung sudut
pandang dan kepentingannya ‘kan? Polling model Indobarometer bukan untuk
melihat kebenaran, tetapi diperlukan dalam kalkulasi politik bagi mereka yang berorientasi
kekuasaan. Sebagai ajang kontestasi. Karena tak adil juga membandingkan presiden
satu dan lainnya dalam situasi yang berlainan, sebagaimana tak mungkin
menggabungkan 7 presiden dalam satu waktu dan satu negara.
Itu pula yang kini muncul dengan adanya medsos. Sibuk
berpusing-pusing diputaran wacana, juga hoax dan fitnah. Namun, walau medsos memusingkan
karena keliarannya, kontra narasi yang membela pun memiliki peluang sama.
Hingga perang wacana di medsos, sedikit banyak justeru mereduksi tegangan itu. Mentah
dan mental dalam perdebatan semata. Tidak pernah menjadi embrio pemikiran
mendalam, karena memang tidak ada kedalaman.
Patung Sukarno di Aljazair karya Dolorosa Sinaga, Juni 2020 (Repro: Historia) |
Sikap Membangsa dan Menegara. Kematian Sukarno, jika
hendak kita renungkan dalam konteks politik sekarang, hanya menyadarkan betapa
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, masih menjadi persoalan.
Karena perpindahan kekuasaan dan lain-lain, yang maunya diselenggarakan dalam
tempo sesingkat-singkatnya, belum sampai pada kesamaan sikap dalam membangsa
dan menegara. Setelah 74 tahun merdeka
pun, UUD kita masih menjadi persoalan, demikian pula dasar negara kita.
Apalagi ketika cara dan
sudut pandang, masih sukar didialogkan secara proporsional. Semua orang masih
bersikukuh paling benar dan pintar. Namun jarang yang mampu bersahabat
sebagaimana pertentangan Bung Karno dan Bung Hatta. Sekalipun dwi tunggal itu
menjadi dwi tanggal, namun keduanya (sebagaimana detik-detik terakhir hidup
Sukarno), adalah sebuah gambaran mengenai kebersatuan dalam cita-cita mereka. Yang
tak terpermanai di jaman Jokowi nan digital ini. | @sunardianwirodono