(1) Masih soal Corona. Agaknya ini menjadi
contoh paling serius, bagaimana bangsa dan negara ini mengatasi, atau
menyikapi, suatu persoalan secara krisis atau pun kritis.
Apa beda krisis dan kritis? Menurut KBBI, bisa sama bisa beda. Itu membingungkan. Dari sisi bahasa saja tidak kompak. Bahwa bangsa ini dari sisi peradaban masih muda. Maka kalau ada budayawan ngehek, entah itu bernama Ridwan Saidi, atau nama-nama yang dibudayawankan media mainstream, hanya menunjukkan media mainstream pun bisa jadi sumber masalah.
Dalam KBBI krisis diartikan sebagai keadaan berbahaya (misal menderita sakit parah sekali, keadaan genting, kemelut, saat yang menentukan ketika situasi menjadi berbahaya dan keputusan harus diambil). Bisa juga dalam pengertian kemerosotan seperti dalam istilah krisis ekonomi, krisis keimanan, krisis kepercayaan.
Namun dalam KBBI juga disebutkan kata kritis, yang mempunyai arti kata sama dengan krisis, dengan imbuhan makna lain: (1) bersifat tidak lekas percaya; (2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; (3) tajam dalam penganalisisan. Makna 1, secara logika masih selaras dengan penjelasan awal. Makna 2 dan 3, jelas berbeda.
Sama-sama istilah serapan, apakah kita sudah sepakat soal identitas dan makna virus Corona? Dalam pandangan pemerintah, masyarakat awam, ulama, maupun media (mainstream dan medsos), sangat beragam. Sesuai kepentingan dan otaknya.
Orang gila kasus ketemu kasus gila, klop kata Gus Dur. Apa yang ditulis Fahira Idris, anggota DPD dari DKI Jakarta, sangat jelas; Menunjukkan tingkat kebodohan paling akut, apalagi sebagai pejabat publik. Fahira menulis angka-angka yang terkena virus Corona. Bagaimana akurasi dan apa rujukannya? Mengerti kriteria medisnya?
Berapa sesungguhnya yang comfirmed terkena virus Corona di Indonesia? Belum ada data. Dua pasien yang dikatakan terindikasi, masih dalam proses observasi, pasien dalam pengawasan. Artinya belum positif terjangkit virus. Tapi penghakiman sudah muncul.
Mengapa soal virus Corona, yang belum jelas persoalannya, menjadi pusat kekacauan? Senyampang itu, mengapa kita tenang saja setiap hari ada 80 orang meninggal karena kecelakaan lalu-lintas? Bagaimana dengan kanker paru 1,7 juta penduduk Indonesia? Berapa orang mati tiap hari karena narkoba? Bagaimana dengan virus dengue (DBD), yang tiap tahun menular ke 70,000 orang, dengan daya tular lebih hebat dari corona? Tahun lalu, yang terkena DBD lebih dari 100.000 orang. Semua angka itu bisa dirujuk pada lembaga terkait. Kenapa tak ngomyang?
Ada redaktur media bilang fakta itu suci, dan disembahnya, tapi kenapa menulis ini dan bukan itu? Ada yang namanya pilihan bukan? Pilihan karena apa? Prioritas? Kesiapan? Kepentingan? Tafsir? Itu semua berjalan dengan logika bukan? Logika membangun opini untuk memutuskan bukan? Kecuali kerja tanpa otak!
*
(2) Apakah media mainstream lebih bermutu dari medsos? Pertanyaan itu mengusik usai menonton acara Rosi (Kompas TV, 5/3/20, semalam), dengan narsum pemain media mainstream kompasdotkom, tempo, dan TV One. Tentunya juga Kompas TV, karena Rosi sebagai host tampak reaktif mewakili kepentingannya (sebagai pegawai media mainstream).
Sikap tiga narasumber media mainstream itu, menunjukkan otoritas kepentingan mereka. Mungkin eksistensinya terancam dalam jaman berubah ini. Ketika internet muncul, dan pola komunikasi serta interaksi antarmanusia (juga antarbidang) berubah, pernyataan-pernyataan mereka tidak relevan. Apalagi menilai media mainstream dari nama dan alamat jelas, medsos tidak jelas, sangat individual, anonym, bahkan pseudo-name.
Di jaman digital ini, nama dan alamat tidak penting. Untuk mendeteksi, cukup dengan hukum logaritma. Tidak lagi secara analog. Kepolisian Indonesia pun sudah bisa mencari di mana media abal-abal, dengan nama dan alamat yang “tidak ada” itu.
Intinya adalah content. Kini semua orang bisa memiliki media. Istilah Joel Stein, dalam abad ini semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Institusi tidak penting, karena kenyataannya semua berangkat dari kualitas dan kapasitas individu.
Buktinya? Orang MUI bisa bilang virus corona karena suka makan babi. Gubernur DKI Jakarta bilang situasi genting, tapi senyampang itu pemda-nya jualan masker ke masyarakat dengan harga pasar. Dimana gentingnya? Gentingnya tentu di atap. Kalau gentingnya di kepala, hasilnya seperti Anies Baswedan.
Betapa bisa lamisnya nama atau lembaga. Bukan sekedar identitas, melainkan juga pretensi dan tendensi. Media yang mengaku mainstream juga bisa salah. Bisa pula jahat. Bisa jadi juru penggelap, bukan penerang. Apa apologi Tempo soal Paus Fransiskus terkena Corona? Apa penjelas Kompas mewawancara pasien? Apa penjelas TV One dengan reporter berkostum heboh? Apa alasan Karni dengan narsum asal-comot soal Corona?
Semua kembali ke moralitas individu. Kembali ke kualitas content. Tidak penting apakah ada nama teregistrasi dan terverifikasi atau tidak. Tergantung pada centhelan.
Masalahnya, centhelan kayak apa? Kepentingan pragmatis? Logika keadaban? Fanatisme agama? Atau nyari duit belaka? Tidak penting jargon-jargon seperti amanat hati nurani rakyat, menjadi terang dunia, enak dibaca dan perlu, memang beda, independen dan terpercaya. Atau cerdas basi jenaka pun basi?
Lihat saja apa content-nya. Apakah berada di jalur eksplorasi atau eksploitasi. Itu salah satu cara menilai. Bahwa fakta itu suci, mungkin benar. Tapi bagaimana dengan tafsir, itu fakta bukan (fakta bahwa adanya tafsir)? Dan fakta soal tafsir itu suci kagak?
Suci dalam debu? Suci stand up comedy Indonesia?
*
(3) Medsos lebih bebas merdeka dari segala tuntutan tanggung-jawab dibanding media mainstream. Kata siapa? Itu kata para pemain media mainstream dalam acara Rosi semalam. Enak saja! UU-ITE adalah ancaman nyata.
UU-ITE Jauh lebih berat daripada sekedar UU Pers dengan Dewan Pers yang lebih banyak sebagai dewa pelindung pers. Siapa yang melindungi masyarakat dengan medsosnya di bawah UU-ITE? Siapa pembelanya?
Jika pun UU-ITE dianggap tidak berbahaya, lebih karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat (juga pejabat negara) atas hukum, tidak sangat baik. Apalagi pada praktiknya hukum sering dipermainkan uang dan kekuasaan.
Bahwa ada keburukan medsos, yang tanpa kurasi dan pengawasan (ketika berpikir dan menyatakan pendapat), memang. Apa yang ditulis Joel Stein dengan istilah ‘trolls’, cyber-bullying adalah kenyataan sosial kita hari ini. Ada fasilitas penunjang untuk itu. Jaman nabi-nabi, belum ada internet, juga yang pasti belum ada Felix Siauw dan Tengkuzul.
Selama masih bernama media, maka pokok persoalannya adalah kualitas manusia. Sama dengan tidak sangat penting apakah bernama MUI, Menteri, Kompas, KSP, TV One, Tempo, ILC, Metro TV, Presiden, Golkar, PDIP, dan sebagainya. Sampai pada pernyataan ekstrim; tidak ngaruh ideologinya apa, pendidikannya apa, agamanya apa.
Celakanya, dunia (apalagi Indonesia) tak sebagaimana digambarkan Alvin Toffler, dengan gelombang-gelombang perubahannya. Di Indonesia yang sangat liberal ini (artinya demokrasi tanpa aturan dan disiplin, juga pengetahuan), yang terjadi adalah gelombang puting beliung. Masih mendingan puting susu.
Dengan reputasi sebagai negara nomor dua dunia, dari bawah, dalam tingkat literasi masyarakatnya, tiba-tiba masuk abad digital. Dan sebagai bangsa yang tak produktif, seperti kata Pram, makbedunduk muncul teknologi komunikasi yang canggih.
Dalam soal kapitalisme, serta konsumerisme, Gus Dur bilang bangsa Indonesia tak perlu diajari. Jangan lupa, Karl Marx pun mengembangkan teori sosialnya setelah membaca tulisan Raffles mengenai tradisi gotong-royong masyarakat Jawa abad 17.
Media mainstream dan medsos sama saja, selama masih dijalankan oleh manusia. Dan jangan lupa, manusia Indonesia. Bisa jadi penerang dan penggelap. Bisa melakukan penerangan dan penggelapan.
Lha wong menyebut sebagai media mainstream pun, saya kira, itu kebohongan awal. Mainstream kok cuman follower dari kenyataan dengan mengatakan fakta itu suci! Bukankah itu tafsir? Dan atas kehebatan tafsirnya bisa menjadi arus utama? Trend-setter? Itu berkat campuran opini bukan? | @sunardianwirodono
Apa beda krisis dan kritis? Menurut KBBI, bisa sama bisa beda. Itu membingungkan. Dari sisi bahasa saja tidak kompak. Bahwa bangsa ini dari sisi peradaban masih muda. Maka kalau ada budayawan ngehek, entah itu bernama Ridwan Saidi, atau nama-nama yang dibudayawankan media mainstream, hanya menunjukkan media mainstream pun bisa jadi sumber masalah.
Dalam KBBI krisis diartikan sebagai keadaan berbahaya (misal menderita sakit parah sekali, keadaan genting, kemelut, saat yang menentukan ketika situasi menjadi berbahaya dan keputusan harus diambil). Bisa juga dalam pengertian kemerosotan seperti dalam istilah krisis ekonomi, krisis keimanan, krisis kepercayaan.
Namun dalam KBBI juga disebutkan kata kritis, yang mempunyai arti kata sama dengan krisis, dengan imbuhan makna lain: (1) bersifat tidak lekas percaya; (2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; (3) tajam dalam penganalisisan. Makna 1, secara logika masih selaras dengan penjelasan awal. Makna 2 dan 3, jelas berbeda.
Sama-sama istilah serapan, apakah kita sudah sepakat soal identitas dan makna virus Corona? Dalam pandangan pemerintah, masyarakat awam, ulama, maupun media (mainstream dan medsos), sangat beragam. Sesuai kepentingan dan otaknya.
Orang gila kasus ketemu kasus gila, klop kata Gus Dur. Apa yang ditulis Fahira Idris, anggota DPD dari DKI Jakarta, sangat jelas; Menunjukkan tingkat kebodohan paling akut, apalagi sebagai pejabat publik. Fahira menulis angka-angka yang terkena virus Corona. Bagaimana akurasi dan apa rujukannya? Mengerti kriteria medisnya?
Berapa sesungguhnya yang comfirmed terkena virus Corona di Indonesia? Belum ada data. Dua pasien yang dikatakan terindikasi, masih dalam proses observasi, pasien dalam pengawasan. Artinya belum positif terjangkit virus. Tapi penghakiman sudah muncul.
Mengapa soal virus Corona, yang belum jelas persoalannya, menjadi pusat kekacauan? Senyampang itu, mengapa kita tenang saja setiap hari ada 80 orang meninggal karena kecelakaan lalu-lintas? Bagaimana dengan kanker paru 1,7 juta penduduk Indonesia? Berapa orang mati tiap hari karena narkoba? Bagaimana dengan virus dengue (DBD), yang tiap tahun menular ke 70,000 orang, dengan daya tular lebih hebat dari corona? Tahun lalu, yang terkena DBD lebih dari 100.000 orang. Semua angka itu bisa dirujuk pada lembaga terkait. Kenapa tak ngomyang?
Ada redaktur media bilang fakta itu suci, dan disembahnya, tapi kenapa menulis ini dan bukan itu? Ada yang namanya pilihan bukan? Pilihan karena apa? Prioritas? Kesiapan? Kepentingan? Tafsir? Itu semua berjalan dengan logika bukan? Logika membangun opini untuk memutuskan bukan? Kecuali kerja tanpa otak!
*
(2) Apakah media mainstream lebih bermutu dari medsos? Pertanyaan itu mengusik usai menonton acara Rosi (Kompas TV, 5/3/20, semalam), dengan narsum pemain media mainstream kompasdotkom, tempo, dan TV One. Tentunya juga Kompas TV, karena Rosi sebagai host tampak reaktif mewakili kepentingannya (sebagai pegawai media mainstream).
Sikap tiga narasumber media mainstream itu, menunjukkan otoritas kepentingan mereka. Mungkin eksistensinya terancam dalam jaman berubah ini. Ketika internet muncul, dan pola komunikasi serta interaksi antarmanusia (juga antarbidang) berubah, pernyataan-pernyataan mereka tidak relevan. Apalagi menilai media mainstream dari nama dan alamat jelas, medsos tidak jelas, sangat individual, anonym, bahkan pseudo-name.
Di jaman digital ini, nama dan alamat tidak penting. Untuk mendeteksi, cukup dengan hukum logaritma. Tidak lagi secara analog. Kepolisian Indonesia pun sudah bisa mencari di mana media abal-abal, dengan nama dan alamat yang “tidak ada” itu.
Intinya adalah content. Kini semua orang bisa memiliki media. Istilah Joel Stein, dalam abad ini semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Institusi tidak penting, karena kenyataannya semua berangkat dari kualitas dan kapasitas individu.
Buktinya? Orang MUI bisa bilang virus corona karena suka makan babi. Gubernur DKI Jakarta bilang situasi genting, tapi senyampang itu pemda-nya jualan masker ke masyarakat dengan harga pasar. Dimana gentingnya? Gentingnya tentu di atap. Kalau gentingnya di kepala, hasilnya seperti Anies Baswedan.
Betapa bisa lamisnya nama atau lembaga. Bukan sekedar identitas, melainkan juga pretensi dan tendensi. Media yang mengaku mainstream juga bisa salah. Bisa pula jahat. Bisa jadi juru penggelap, bukan penerang. Apa apologi Tempo soal Paus Fransiskus terkena Corona? Apa penjelas Kompas mewawancara pasien? Apa penjelas TV One dengan reporter berkostum heboh? Apa alasan Karni dengan narsum asal-comot soal Corona?
Semua kembali ke moralitas individu. Kembali ke kualitas content. Tidak penting apakah ada nama teregistrasi dan terverifikasi atau tidak. Tergantung pada centhelan.
Masalahnya, centhelan kayak apa? Kepentingan pragmatis? Logika keadaban? Fanatisme agama? Atau nyari duit belaka? Tidak penting jargon-jargon seperti amanat hati nurani rakyat, menjadi terang dunia, enak dibaca dan perlu, memang beda, independen dan terpercaya. Atau cerdas basi jenaka pun basi?
Lihat saja apa content-nya. Apakah berada di jalur eksplorasi atau eksploitasi. Itu salah satu cara menilai. Bahwa fakta itu suci, mungkin benar. Tapi bagaimana dengan tafsir, itu fakta bukan (fakta bahwa adanya tafsir)? Dan fakta soal tafsir itu suci kagak?
Suci dalam debu? Suci stand up comedy Indonesia?
*
(3) Medsos lebih bebas merdeka dari segala tuntutan tanggung-jawab dibanding media mainstream. Kata siapa? Itu kata para pemain media mainstream dalam acara Rosi semalam. Enak saja! UU-ITE adalah ancaman nyata.
UU-ITE Jauh lebih berat daripada sekedar UU Pers dengan Dewan Pers yang lebih banyak sebagai dewa pelindung pers. Siapa yang melindungi masyarakat dengan medsosnya di bawah UU-ITE? Siapa pembelanya?
Jika pun UU-ITE dianggap tidak berbahaya, lebih karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat (juga pejabat negara) atas hukum, tidak sangat baik. Apalagi pada praktiknya hukum sering dipermainkan uang dan kekuasaan.
Bahwa ada keburukan medsos, yang tanpa kurasi dan pengawasan (ketika berpikir dan menyatakan pendapat), memang. Apa yang ditulis Joel Stein dengan istilah ‘trolls’, cyber-bullying adalah kenyataan sosial kita hari ini. Ada fasilitas penunjang untuk itu. Jaman nabi-nabi, belum ada internet, juga yang pasti belum ada Felix Siauw dan Tengkuzul.
Selama masih bernama media, maka pokok persoalannya adalah kualitas manusia. Sama dengan tidak sangat penting apakah bernama MUI, Menteri, Kompas, KSP, TV One, Tempo, ILC, Metro TV, Presiden, Golkar, PDIP, dan sebagainya. Sampai pada pernyataan ekstrim; tidak ngaruh ideologinya apa, pendidikannya apa, agamanya apa.
Celakanya, dunia (apalagi Indonesia) tak sebagaimana digambarkan Alvin Toffler, dengan gelombang-gelombang perubahannya. Di Indonesia yang sangat liberal ini (artinya demokrasi tanpa aturan dan disiplin, juga pengetahuan), yang terjadi adalah gelombang puting beliung. Masih mendingan puting susu.
Dengan reputasi sebagai negara nomor dua dunia, dari bawah, dalam tingkat literasi masyarakatnya, tiba-tiba masuk abad digital. Dan sebagai bangsa yang tak produktif, seperti kata Pram, makbedunduk muncul teknologi komunikasi yang canggih.
Dalam soal kapitalisme, serta konsumerisme, Gus Dur bilang bangsa Indonesia tak perlu diajari. Jangan lupa, Karl Marx pun mengembangkan teori sosialnya setelah membaca tulisan Raffles mengenai tradisi gotong-royong masyarakat Jawa abad 17.
Media mainstream dan medsos sama saja, selama masih dijalankan oleh manusia. Dan jangan lupa, manusia Indonesia. Bisa jadi penerang dan penggelap. Bisa melakukan penerangan dan penggelapan.
Lha wong menyebut sebagai media mainstream pun, saya kira, itu kebohongan awal. Mainstream kok cuman follower dari kenyataan dengan mengatakan fakta itu suci! Bukankah itu tafsir? Dan atas kehebatan tafsirnya bisa menjadi arus utama? Trend-setter? Itu berkat campuran opini bukan? | @sunardianwirodono