Apakah Pilpres 2019 hanya soal Jokowi dan Prabowo? Sebenarnya tidak, dalam
konteks; tidak penting presidennya Jokowi atau Prabowo. Sepanjang, jika saja pertandingan
keduanya berlangsung di sebuah ruang steril bernama demokrasi yang substansial,
bukan sekedar prosedural-formal.
Kita melihat persoalan lain yang nimbrung dalam perhelatan demokrasi itu.
Yakni, politisasi agama. Pada sisi itu, Pilpres menjadi sesuatu yang penting
untuk kembali dipertanyakan mau kemana (atau dikemanakan) Republik Indonesia ini?
Diandaikan saja, kita percaya Prabowo adalah seorang nasionalis, bahkan
ultra-nasionalis. Kita lupakan sejenak, sepak-terjang selama mertuanya menjadi
penguasa Orba. Permasalahan penting baru muncul, ketika sejak 2014, kemudian Pilkada
DKI Jakarta 2017 hingga ke ijtima ulama 2019 yang mencapreskan Prabowo, kita melihat benang
merah (sebagaimana konklusi Eep Saefulloh Fatah) bahwa agama (terutama Islam,
berkait kasus Ahok dalam Surat Al Maidah), menjadi anasir penting narasi ‘2019GantiPresiden’.
Jika agama tak boleh dilepas dari politik, sebagaimana kritik Amien Rais
pada Jokowi yang ingin politik (praktis) dan agama dipisahkan, hal itu bisa
dibenarkan sepanjang agama yang dimaksud di situ dalam praksisnya agar manusia
beragama dalam konteks religiusitas. Menjadi lain ketika perselingkuhan
keduanya, hanya sebagai ‘politisasi agama’, karena keyakinan keduanya yang
berbeda.
Jika politik (praktis, yang bertumpu pada demokrasi) bersendikan pada
konsensus, musyawarah untuk mufakat (atau pun votting), agama bersendi pada
(kepatuhan atas) dogma yang tak boleh dibantah. Sementara, pada kenyataannya,
sejak ketika Kanjeng Nabi Muhammad shallahu’alaihi wasallam masih sugeng,
pemanfaatan ‘agama’ sudah dimulai. Justeru karena itu, Kanjeng Nabi sendiri tak
pernah menyarankan tentang pembentukan negara agama. Yang dipraktikkan justeru sebuah ‘negara
percontohan’ seperti Madinna, yang berasal dari spirit ‘madanisasi’, membangun
masyarakat sipil, yang bertumpu pada aturan hukum terbuka. Melindungi
minoritas, menghargai keberagaman, dan memberikan keleluasaan pilihan.
AGAMA
DALAM POLITIK & PRAKTIK. Dalam sebuah survei international pada tahun 2017,
didapat data negara-negara yang memenuhi nilai-nilai ‘islami’ (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, negeri
yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun) justeru negara-negara sekuler di Eropa seperti Irlandia, Denmark, Luksemburg, Swedia, Finlandia,
Norwegia, Belgia. Demikian juga Singapura dan Selandia Baru, kini disebut sebagai negara
paling Islami di dunia. Sementara negara berdasar agama, atau yang majoritas
penduduknya Islam, lebih banyak yang blangsak, seperti Pakistan dan utamanya negara-negara
di Timur Tengah.
Di situ nilai agama dan agama dalam praktik, bisa tidak equivalen, tidak
linier, tidak sejalan. Di Indonesia sendiri, Menteri Agama kita, ada yang masuk
bui karena korupsi. Demikian juga dulu Ketum Parpol Dakwah (PKS) masuk bui,
karena melakukan korupsi sapi. Jika benar Menteri Agama yang sekarang terbukti
korupsi Rp 70 juta, bisa jadi sekali lagi, bakal ada Menteri Agama masuk bui
karena korupsi.
Apa yang ingin dikatakan dalam tulisan ini? Pilpres 2019, tampak jelas
ditunggangi sekelompok orang, yang jika pun tak mengobarkan Negara Khilafah,
adalah kelompok yang ingin menegakkan nilai-nilai Islam secara sepihak. Tanpa
toleransi pada pihak lain yang berbeda. Bahkan meski seagama pun, tapi karena
aliran berbeda, bisa dituding kafir, thogut, bi'dah. Dengan narasi-narasi seperti kriminalisasi
ulama, kebijakan negara yang anti agama (membolehkan perkawinan lgbt, pelarangan
adzan, dan seterusnya).
Dalam video tagar ‘2019GantiPresiden’, Mardani Ali Sera dari PKS, munsul
bersama ketua HTI waktu itu, dengan ucapan hampir mirip; 2019 Ganti Presiden
dan 2019 Ganti Sistem! Sistem apa? Sistem agama (mereka). Narasi-narasi Ustadz Abdul
Somad, juga Rizieq Shihab dan Amien Rais, tampak jelas bagaimana mereka
menginginkan Prabowo sebagai pengganti Jokowi. Sementara di kalangan grassroots, di
masjid-masjid, juga kita dengan mudah mendengar, bagaimana narasi agama
dibangun penuh ujaran kebencian (pada Jokowi) dan pemujaan pada Prabowo. Fakta yang
tak bisa dibantah, sampai hari ini.
Di situ agama masuk dalam ‘politisasi’ yang salah tempat. Bukan agama dalam
konteks perilaku atau pertimbangan etik, bagaimana membangun relasi dengan
liyan. Tapi justeru sebagai alat mendelegitimasi lawan semena-mena. Hingga
orang bisa menjadi militan secara TSM. Yakni (T)idakrasional, (S)angatemosional,
dan (M)akintakproporsional, serta (B)ujugbunenggoblogamir. Apakah agama
mengajarkan kayak ‘gitu? Kagak bukan?
Kenapa Prabowo bisa ditumpangi kepentingan itu? Bisa jadi dia juga
mendapatkan keuntungan. Keuntungan dukungan luar biasa. Para pembenci Jokowi,
tentu juga butuh alternatif. Sementara para penumpang gelap, mendapatkan media
mengekspresikan eksistensinya.
Pilpres 2019 sudah selesai. Jika pun masih ada sengketa akan hasilnya, tak
mudah bagi Prabowo menjungkirkan data. Jokowi menang 55,50% atas Prabowo yang
hanya 44,50% suara. Itu fakta. Bukan mendahului kehendak Tuhan, karena hal itu
sudah dituliskan di lauhul mahfuz tanggal 17 April 2019 lalu. Kalau nggak
percaya, cek di langit. Bukan seperti omongan Amien Rais, yang sebelum hari
coblosan sudah mengatakan bahwa tanggal 17 April 2019 setelah maghrib, Jokowi
kalah dan Prabowo menang. Amien Rais salah total, karena mengatakan sesuatu
yang belum dilakukan dengan lagak mahatahu.
MEMPOSISIKAN JOKOWI SECARA PROPORSIONAL. Jokowi mungkin oleh sebagian
intelektual, agamawan, budayawan, dinilai bukan seorang negarawan, tidak sangat
ideologis, dan hanya sekedar pekerja. Penilaian yang sombong. Apakah Anda juga
tega menuding, Jokowi presiden yang tak ideal, dalam situasi transisi ini?
Apakah Anda tidak tahu, bahwa sebagian besar rakyat menginginkannya lagi,
setelah lima tahun lalu juga sudah memberikan amanatnya; menolak capres mantan
militer pecatan? Anda pura-pura tidak tahu, inti pesan rakyat ini, sembari
secara manipulatif ngomong kita mesti menjunjung tinggi ‘kedaulatan rakyat’?
Untuk sebuah pemerintahan transisi, situasinya tak semudah orang duduk di
sebuah cafe, untuk memilih kopi yang enak, dengan tampilan barista yang tak
meyakinkan. Bukan hal menyenangkan bagi Jokowi harus berkompromi,
mengajak Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, Moeldoko, dan bahkan pun sampai paska
Pilpres 2019, ketika ia mesti mengatakan terbuka bagi siapa saja, bahkan pada
pihak Gerindra, untuk berkoalisi membangun negeri ini. Apalagi ketika politik
identitas makin marak, sementara revolusi mental dari Jokowi juga mendapat
perlawanan diam-diam dari orang-orang yang semestinya mendukung.
Semoga periode kedua, Jokowi lebih gila lagi, di luar mainstream, sehingga nilai komprominya
akan lebih rendah. Untuk mengantar perubahan ke depan, Indonesia yang
benar-benar bebas orde baru, bebas dari kemunafikan orang-orang pinter, tapi
hidup di ruang hampa. Memposisikan Jokowi secara proporsional, adalah juga
untuk memahami kompleksitas masalah, dan dialektika ideologis yang terus
digoreng-goreng para penumpang gelap.
Ini bukan soal Jokowi versus Prabowo. Namun bagaimana menyelamatkan amanat
Reformasi 1998 yang tertunda, agar benar-benar mengembalikan kedaulatan kepada
rakyat. Di mana anggota parlemen benar-benar tunduk pada amanat penderitaan
rakyat, judikatif tegak dan teguh menjalankan hukum, serta pemerintahan yang
perform, on the track, untuk kesejahteraan sosial dan kemakmuran yang adil dan
merata.
Agar jangan kita tiba-tiba terkaget-kaget, tahu-tahu Jokowi habis masa
tugasnya, dan kemudian kembali menjadi rakyat biasa. Sementara kita masih ribut
terus, ngomongin Jokowi layak atau tidak, Jokowi bukan negarawan, dan hanya
seorang pekerja. Sementara kalian hanya ngomdo, ngomongin soal itu sambil cengar-cengir,
ngarep diwawancarai media-media yang juga cuma suka numpang ngetop.
Sunardian Wirodono, penulis, tinggal di Yogyakarta.