Senin, April 08, 2019

Jokowi: Out of the Box!


Penggunaan nama Jokowi, untuk Joko Widodo, adalah out of the box pertama Presiden Republik Indonesia, yang memiliki banyak prestasi dan reputasi internasional itu.

Jokowi sebagai ‘brand’ muncul pada 1990, dari partner usahanya, seorang Perancis yang susah jika menyebut nama komplit Joko Widodo. Kesadaran nama sebagai brand, mungkin bawaan ‘takdir’ dari anak yang semula bernama ‘Mulyono’ (semoga mulia) ini. Sakit-sakitan di masa kecil, mungkin karena kemiskinan, ortunya mengganti nama menjadi Joko Widodo (anak yang selamat).

Meski jauh sebelumnya, dalam menamai anak-anaknya, Jokowi menunjukkan kesadaran ‘nyeleneh’ (out of the box) itu. Misal menamai anaknya Gibran Rakabuming (Gibran kependekan dari kata ‘gigih’ dan ‘brani’, bukannya dari filsuf Khalil Gibran). Kemudian Kahiyang Ayu, dan terutama Kaesang Pengarep (dia sang pelopor). Itu rangkaian nama-nama yang tak lazim di Jawa, menunjukkan sisi nyentrik (eksentrisitas, di luar sentrum atau mainstream). Termasuk kemudian kita tahu bagaimana dia memberi nama Jan Ethes Sri Narendra pada cucu pertama.

Ia bukan manusia se-baene, dalam konteks seorang yang memiliki kemampuan eksploratif, kreatif, dengan daya imajinasinya. Termasuk bagaimana dulu dia mengupload rapat APBD Pemda DKI ke Youtube. Juga pasang poster APBD DKI (2013) di pos-pos ronda. Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta melantik salah satu walikotanya di TPA Sampah Jatinegara.

Gaya kepemimpinan sebagai walikota dan gubernur, seperti sepedaan atau blusukan ke penduduk, menunjukkan citra berbeda. Ia tidak wigah-wigih nyemplung ke gorong-gorong, spontan membantu mengangkat galar gong yang posisinya menyusahkan Presiden SBY (waktu itu, 2013). Makan di warteg, dan bahkan sempat mendapat julukan Wali Kaki Lima dengan pendekatan kemanusiaannya.

Ia  bukan seorang pemimpin yang penakut. Ia berani ambil keputusan, merombak, mengubah sistem dan mekanisme yang konvensional. Jika ada yang menyebut memimpin secara ugal-ugalan, Jokowi memang harus melakukan itu. Ia mesti mendobrak, karena situasi stagnan membutuhkan pemecah lapisan batu es pertama.

Jika ada yang menyebut ia bodoh dan plonga-plongo, ndesit, pastilah karena masih terbuai mimpi tentang citra kepemimpinan jadul. Hanya karena ingin mendelegitimasi kepemimpinan sipil, karena yang layak cuma militer. Padahal jenderal kayak SBY, yang gagah dan tampan itu, senyatanya ayam sayur yang banyak menunda keputusan karena terlalu kompromi.

Keberanian mengambil keputusan, mengeksekusi, memang tugas eksekutif. Dan Jokowi dari sisi ini mendapat banyak penghargaan internasional. Penghargaan yang datang dari penilaian lembaga yang kredibel, yang tentu berbeda dengan penilaian satu orang (apalagi hanya karena kebencian).

Jokowi pribadi yang unik. Ia memiliki selera humor yang baik. Seorang yang suka iseng dan bahkan usil. Meski aksennya Jawa kental, mengutip puisi Yudhistira ANM Massardi, selera musiknya metal. Sebagai eksportir meubel, ia telah bergaul dengan internet sebelum jaman medsos merebak. Ia berkomunikasi dengan dunia internasional, yang tentu juga dengan bahasa Inggris, meski tak sefaseh pecatan TNI yang mengaku lebih TNI.

Cara memilih menteri, juga bagian out of the box itu. Misal ketika memilih Susi Pudjiastuti, yang hanya dikenalnya lewat google. Susi merasa jiper, karena menganggap dirinya hanya orang gila. Tapi Jokowi bilang, “Justeru Indonesia butuh orang gila,...”

Bahkan sebagai Presiden, ia tinggal bersama isteri, kadang dengan anak ragil yang masih jomblo, di paviliun Istana Presiden Bogor. Hanya ruangan kecil, yang jika dua anak dan menantu beserta cucunya datang, mereka menggelar karpet di ruang tamu paviliun. Jokowi tak punya rumah di Jakarta, tak sekaya Amien Rais, atau Said Iqbal yang pejuang buruh.

Otentisitas Jokowi muncul dari sebuah intensi perjalanan hidup. Jokowi memiliki sensitivitas dan sensibilitas. Ia type pemimpin androginies, mampu mendengar dan mencatatnya sendiri. Sebagai tukang kayu, ia juga insinyur dari fakultas kehutanan UGM, mengenal serat dan karakter kayu, sehingga produk meubelairnya memiliki nilai lebih.

Dalam sebuah pameran Indonesia di Perancis, ketika semua stand-stand pemerintah Indonesia sepi, ada stand orang Indonesia (bukan bagian peserta dari pemerintah) yang selalu penuh. Dan ketika Luhut B. Panjaitan, sebagai liaison officer Indonesia waktu itu, ternganga ketika stafnya melapor, “Itu stand orang Indonesia, Joko Widodo namanya,...”

Ada banyak tanda dan bukti, bagaimana Jokowi seorang manusia yang out of the box. Mampu memandang dari sisi lain. Memiliki cara unik, bahkan otentik, dalam menyelesaikan masalah. Itu pertanda dia bukan manusia se-baene. Bukan yang normal-normal saja, tapi juga bukan yang abnormal, yang misalnya berjanji “jika menang akan shalat jumat tiap hari!” Saking nggak pernahnya shalat tapi pingin dibilang alim, mirip ngaku lebih TNI dari TNI. Kalau itu mah gemblung, bukan out of the box.

Yang terbiasa dalam frozen kejumudan Orde Baru Soeharto, bisa jadi otaknya stuck melihat ini semua. Terus kemudian menebar hoax dan fitnah, karena tak melihat celah untuk mengalahkannya. 

Yogyakarta, 8 April 2019
Sunardian Wirodono

1 komentar:

  1. memang tak ada lagi yg seperti pak Jokowi, apalagi yg bisa menyaingi ..
    terimakasih utk tulisan ini .. membuatku semakin kagum dan lebih mengasihi Pak Jokowi

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...