Penggunaan nama Jokowi, untuk Joko Widodo, adalah out of the
box pertama Presiden Republik Indonesia, yang memiliki banyak prestasi dan
reputasi internasional itu.
Jokowi sebagai ‘brand’ muncul pada 1990, dari partner
usahanya, seorang Perancis yang susah jika menyebut nama komplit Joko Widodo.
Kesadaran nama sebagai brand, mungkin bawaan ‘takdir’ dari anak yang semula bernama
‘Mulyono’ (semoga mulia) ini. Sakit-sakitan di masa kecil, mungkin karena
kemiskinan, ortunya mengganti nama menjadi Joko Widodo (anak yang selamat).
Meski jauh sebelumnya, dalam menamai anak-anaknya, Jokowi
menunjukkan kesadaran ‘nyeleneh’ (out of the box) itu. Misal menamai anaknya
Gibran Rakabuming (Gibran kependekan dari kata ‘gigih’ dan ‘brani’, bukannya
dari filsuf Khalil Gibran). Kemudian Kahiyang Ayu, dan terutama Kaesang
Pengarep (dia sang pelopor). Itu rangkaian nama-nama yang tak lazim di Jawa,
menunjukkan sisi nyentrik (eksentrisitas, di luar sentrum atau mainstream). Termasuk
kemudian kita tahu bagaimana dia memberi nama Jan Ethes Sri Narendra pada cucu
pertama.
Ia bukan manusia se-baene, dalam konteks seorang yang
memiliki kemampuan eksploratif, kreatif, dengan daya imajinasinya. Termasuk
bagaimana dulu dia mengupload rapat APBD Pemda DKI ke Youtube. Juga pasang
poster APBD DKI (2013) di pos-pos ronda. Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta
melantik salah satu walikotanya di TPA Sampah Jatinegara.
Gaya kepemimpinan sebagai walikota dan gubernur, seperti
sepedaan atau blusukan ke penduduk, menunjukkan citra berbeda. Ia tidak
wigah-wigih nyemplung ke gorong-gorong, spontan membantu mengangkat galar gong
yang posisinya menyusahkan Presiden SBY (waktu itu, 2013). Makan di warteg, dan
bahkan sempat mendapat julukan Wali Kaki Lima dengan pendekatan kemanusiaannya.
Ia bukan seorang
pemimpin yang penakut. Ia berani ambil keputusan, merombak, mengubah sistem dan
mekanisme yang konvensional. Jika ada yang menyebut memimpin secara
ugal-ugalan, Jokowi memang harus melakukan itu. Ia mesti mendobrak, karena
situasi stagnan membutuhkan pemecah lapisan batu es pertama.
Jika ada yang menyebut ia bodoh dan plonga-plongo, ndesit,
pastilah karena masih terbuai mimpi tentang citra kepemimpinan jadul. Hanya
karena ingin mendelegitimasi kepemimpinan sipil, karena yang layak cuma
militer. Padahal jenderal kayak SBY, yang gagah dan tampan itu, senyatanya ayam
sayur yang banyak menunda keputusan karena terlalu kompromi.
Keberanian mengambil keputusan, mengeksekusi, memang tugas
eksekutif. Dan Jokowi dari sisi ini mendapat banyak penghargaan internasional.
Penghargaan yang datang dari penilaian lembaga yang kredibel, yang tentu
berbeda dengan penilaian satu orang (apalagi hanya karena kebencian).
Jokowi pribadi yang unik. Ia memiliki selera humor yang
baik. Seorang yang suka iseng dan bahkan usil. Meski aksennya Jawa kental, mengutip
puisi Yudhistira ANM Massardi, selera musiknya metal. Sebagai eksportir meubel,
ia telah bergaul dengan internet sebelum jaman medsos merebak. Ia berkomunikasi
dengan dunia internasional, yang tentu juga dengan bahasa Inggris, meski tak sefaseh
pecatan TNI yang mengaku lebih TNI.
Cara memilih menteri, juga bagian out of the box itu. Misal
ketika memilih Susi Pudjiastuti, yang hanya dikenalnya lewat google. Susi
merasa jiper, karena menganggap dirinya hanya orang gila. Tapi Jokowi bilang, “Justeru
Indonesia butuh orang gila,...”
Bahkan sebagai Presiden, ia tinggal bersama isteri, kadang
dengan anak ragil yang masih jomblo, di paviliun Istana Presiden Bogor. Hanya
ruangan kecil, yang jika dua anak dan menantu beserta cucunya datang, mereka
menggelar karpet di ruang tamu paviliun. Jokowi tak punya rumah di Jakarta, tak
sekaya Amien Rais, atau Said Iqbal yang pejuang buruh.
Otentisitas Jokowi muncul dari sebuah intensi perjalanan
hidup. Jokowi memiliki sensitivitas dan sensibilitas. Ia type pemimpin
androginies, mampu mendengar dan mencatatnya sendiri. Sebagai tukang kayu, ia
juga insinyur dari fakultas kehutanan UGM, mengenal serat dan karakter kayu,
sehingga produk meubelairnya memiliki nilai lebih.
Dalam sebuah pameran Indonesia di Perancis, ketika semua stand-stand
pemerintah Indonesia sepi, ada stand orang Indonesia (bukan bagian peserta dari
pemerintah) yang selalu penuh. Dan ketika Luhut B. Panjaitan, sebagai liaison officer Indonesia waktu itu, ternganga ketika stafnya melapor, “Itu stand orang Indonesia, Joko Widodo namanya,...”
Ada banyak tanda dan bukti, bagaimana Jokowi seorang manusia
yang out of the box. Mampu memandang dari sisi lain. Memiliki cara unik, bahkan
otentik, dalam menyelesaikan masalah. Itu pertanda dia bukan manusia se-baene.
Bukan yang normal-normal saja, tapi juga bukan yang abnormal, yang misalnya
berjanji “jika menang akan shalat jumat tiap hari!” Saking nggak pernahnya
shalat tapi pingin dibilang alim, mirip ngaku lebih TNI dari TNI. Kalau itu mah
gemblung, bukan out of the box.
Yang terbiasa dalam frozen kejumudan Orde Baru Soeharto,
bisa jadi otaknya stuck melihat ini semua. Terus kemudian menebar hoax dan
fitnah, karena tak melihat celah untuk mengalahkannya.
Yogyakarta, 8 April 2019
Sunardian Wirodono
memang tak ada lagi yg seperti pak Jokowi, apalagi yg bisa menyaingi ..
BalasHapusterimakasih utk tulisan ini .. membuatku semakin kagum dan lebih mengasihi Pak Jokowi