Juno dalam 'Kucumbu Tubuh Indahku' |
Kritik seni sudah mati
sejak jaman medsos. Apalagi kritik bukan sesuatu yang menyenangkan bagi kreator
dan follower-nya. Adakah itu sebab banyak orang lebih suka mencumbu sendiri tubuh
indahnya? Dan senyampang itu, menolak serta memboikot upaya-upaya atas
pembacaan tubuh, sekalipun lewat film?
Film ‘Kucumbu Tubuh
Indahku’ (Memories of My Body) karya Garin Nugroho Riyanto (2018), bukan film
dokumenter. Meski berangkat dari sebuah kenyataan ‘pengalaman tubuh’ penari bernama
Rianto Manali (38), penari lengger lanang Banyumas.
Kisah hidup Rianto sendiri,
sungguh mempesona, dan tak “seburuk” Juno dalam KTI. Juno adalah
dunia tafsir Garin (berangkat dari sosok Rianto), yang ‘mengeksploitasi’ konflik tubuh dalam konstruks
sosial masyarakat, di mana male chauvinisme dan gejala psikopat dalam dogma
sosial begitu powerfull.
Ketika lahir, ibu
Rianto cemas akan bercak kecil di antara kedua alis anak lelakinya. Ia kemudian
di-suwuk-kan pada seorang dukun lengger. Dari sana konflik tubuh Rianto seolah
dimulai. Di Banyumas, lengger lanang yang muncul abad 16, adalah ‘penari
jejadian’. Jejadian kata lain medium dari mistifikasi semesta. Tubuh Riyanto
yang ‘no gender’ menjadi media yang paling mewakili. Banyak penari lengger
lanang bisa menari ‘dengan sendirinya’, tanpa guru. Ia dipilih kekuatan ghaib
yang merasukinya.
Perjalanan hidup Rianto,
meski merasai perisakan sejak kanak, dipanggil juga sebagai Anto Banci, tidak
sangat buruk. Apalagi ketika kemudian kuliah di ISI Surakarta, dan kemudian
menikah (2003) dengan gadis Jepang, Miray Kawashima, yang juga seorang penari,
dan kemudian menetap di Jepang.
Rianto Manali/Foto Koleksi Okti Budiati |
Meski lebih banyak
tinggal di Jepang, dan berkeliling ke Amerika-Eropa memperkenalkan lengger
lanang, hati Rianto tetap di Banyumas. Selain mendirikan Dewandaru Dance
Company (DDC, 2006) untuk pengembangan seni tari Jawa di Tokyo, Rianto membentuk
Lengger Lanang Langgeng Sari Banyumas. Menggelar pertunjukan lengger di berbagai
pedesaan tlatah Banyumas. "Regenerasi lengger lanang jangan terputus.
Karena ini kekayaan budaya Banyumas yang lahir dari rahim rakyat," ujar Rianto
yang bisa menari sama luwesnya untuk gaya laki-laki maupun perempuan.
Selain penari, Rianto seorang
koreografer kontemporer. Karyanya banyak ditampilkan di berbagai negara. Yang
fenomenal seperti Medium, telah
dipentaskan 11 kali di luar negeri sepanjang 2016, antara lain festival Darwin,
Australia, dan di Jerman. Sementara Softmachine sudah
ditampilkan 41 kali. Rianto salah satu penari Indonesia yang tampil
pada malam inagurasi pengukuhan Presiden Barack Obama di Capitol Hill, 20
Januari 2009.
Memiliki sosok feminim dalam panggung, bisa sedikit banyak mempengaruhi dunia keseharian,
apalagi dengan masa kecil sebagaimana Rianto. Perubahan karakter ketika
menjadi sosok perempuan dalam panggung, harus bisa melewati pengalaman khusus. Dalam
istilah Rianto, “Harus lebih menjadi perempuan daripada perempuan.”
Dengan pengalaman masa kecil, hingga
SMA dalam perundungan, membuat Rianto lebih memilih menjadi bagian di antara
kedua karakter. Ia sampai pada kesadaran tidak begitu tertarik dengan adanya
“gender” yang membedakan segala sesuatu pada kemampuan tubuh. Kompleksitas
masalah transgender, bukan bukan hal yang dipermalukan oleh diri-sendiri atau
orang lain. Proses menjadi di dunia dalam tubuh Rianto ini, meski tak perlu ke
beberapa tokoh ampiran seperti Juno dalam film KTI, jauh lebih dahsyat. Tapi dunia
dalam (tubuh), tentu tantangan berat untuk film se-puitis apapun.
Penari lengger lanang
dalam tradisi Banyumas, adalah penari dengan sendirinya, tanpa guru. Namun jika
dalam KTI ada Sujiwo Tejo, bisa jadi hanya pada lengger perempuan. Bagian dari
komodifikasi (perempuan) yang lebih berbau eksploitasi tubuh daripada eksplorasi
sebagaimana pada Rianto. Lengger perempuan adalah dunia hiburan, yang dimulai
tahun 1918. Di situ male chauvinisme diekspresikan dalam tangan lelaki menyusup
ke belahan dada perempuan, dengan beberapa lembar rupiah.
Karena itu pula ketika
Juno (Muhammad Khan, dan Raditya Evandra sebagai Juno Kecil) mengalami
fase-fase kehidupan,dengan beberapa sosok individu (seperti Sujiwo Tejo guru
tari lenggernya, Endah Laras bibi penjual ayam, pakdhe penjahit Fajar Suharno,
atau Randy Pangalina petinju yang tampan, hingga warok pendekar Whani Dharmawan,
hingga dijebak Cabup Teuku Rifnu Wikana dalam Pilkada), karena Garin sedang
membangun tesis tentang konstruksi konflik tubuh. Ia memerlukan sosok-sosok
yang dianggapnya artikulatif, seperti guru lengger, petinju tampan, warok, dan
cabup pilkada, untuk membangun ‘konflik tubuh’ itu.
Namun sebagaimana film
eksperimen one-shot ‘Nyai’, saya lebih acap melihat Garin memang senang membangun
narasi visual semata. Yang indah-mempesona. Garin pakar di mana keindahan
visual bertabrakan secara asimetris dengan impresinya. Meski juga harus dikatakan,
Garin adalah film-maker handal di cinema dunia (bukan hanya dunia cinema). Sangat
sahih sebagai juru bicara subkultur termarjinalkan, khususnya Jawa, setelah era
‘Bulan Tertusuk Ilalang’ (1994).
Problemnya memang tak
ringan, ketika dunia dalam itu divisualisasikan dalam simbol-simbol. Yang
terberat justeru ketika dalam suatu era, kini Indonesia atau negara, sedang
diserbu dogma-dogma, mengerasnya formalisme agama. Padahal nun dahulu kala, di
tanah ini pernah mengguratkan Serat Centhini. Ada karakter Cebolang, lelaki
yang juga no gender. Ia wasis menari laki dan perempuan. Bisa making love bukan
hanya dengan perempuan, tetapi juga sesama lelaki. Bukan hanya sepasang, tetapi
juga berpasang-pasang, sebagaimana ditulis antara 1815 – 1823 dalam Serat
Centhini (karya Sri Susuhunan Pakubuwana V, bukan Mangkunegara VII, seperti banyak
ditulis mereka yang mempromosikan KTI. Untuk itu baca; Serat Centhini Dwi
Lingua, Serat Centhini teks lengkap yang diterjemahkan oleh Sunardian Wirodono
ke bahasa Indonesia, 2012).
Itu semua tentu juga
soal daya literasi. Sebagaimana mereka yang mengajak pemboikotan film KTI, tapi
ditujukan pada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Sementara LSF (Lembaga Sensor Film), yang telah menyensor film ini menjadi
lebih pendek dari aslinya, sama sekali tak ada suara. Apalagi pembelaan atas
karya seni yang telah diijinkannya untuk ditonton masyarakat.
Padahal, sama halnya
dengan Rianto yang membawa nama harum Indonesia ke manca negara, Film KTI Garin juga mendapat berbagai penghargaan di dunia, antara lain Film Terbaik di
Festival des 3 Continen, Nantes, Perancis (2018). Oleh majalah Tempo, KTI
dinilai sebagai Film Terbaik dan Garin Nugroho sebagai Sutradara Pilihan Tempo
2018 (sesuatu yang sering gagal didapat Garin).
Meski jika disuruh
menonton ulang KTI, saya akan lebih memilih Ave Maryam (2019) garapan Ertanto
Robby Soediskam, yang juga kontroversial tapi mungkin tidak dilarang. Karena “hanya”
menyinggung kelompok minoritas di Indonesia, yakni kalangan umat Katholik. Dan terus saja kita bergelut dalam kepalsuan-kepalsuan, mencumbui tubuh indahku, namun menolak-nolak wajah yang buram, apalagi wajah sendiri!
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 30 April 2019
@sunardianwirodono,
pada tahun 1991 menulis resensi film ‘Cinta dalam Sepotong Roti’ dan mendapat
penghargaan dalam FFI 1991. Dan kini (mulai 2012) sedang menyelesaikan tahapan akhir
penerjemahan teks aseli Serat Centhini dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.