Hasil pendidikan
tertinggi adalah toleransi, demikian Hellen Keller (1880 – 1968). Tapi
bagaimana jika kenyataan di Indonesia mengatakan, 60 persen guru-guru kita (sekolah
dasar dan menengah) yang beragama Islam, mempunyai opini intoleransi dan
radikalisme yang tinggi dan eksplisit?
Dalam sebuah diskusi ormas-ormas
Islam, muncul data Badan Intelijen Negara (BIN), yang menyatakan 39 persen
mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia tertarik paham radikal. Daerah itu antara
lain; Jawa Barat, Banten, Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, dan Riau.
Dikatakan pula, ada 500 masjid di seluruh Indonesia yang terpapar paham
radikalisme. Sebanyak 41 dari 500 masjid, disebut berada di kompleks kantor
pemerintahan. Masjid terpapar radikalisme di kantor kompleks pemerintahan itu
adalah kantor kementerian, lembaga, dan BUMN.
Seorang teman menginformasikan, jumlah doktor terbanyak di Indonesia,
adalah doktor di bidang agama. Tapi apakah itu termanifestasikan,
terimplementasikan, dalam laku-jantra keseharian, ketika sekarang ini kita ribut
dengan masalah intoleransi dan diskriminasi? Apalagi berkait Pilpres, atau pun
Pilkada, di mana ujaran-ujaran yang kita dapati lebih banyak ekspresi-ekspresi
dari semangat intoleransi, dan berbagai tindakan diskriminatif?
Di sisi lain, kita dengarkan dalam kehidupan rakyat biasa, juga
komentar-komentar beberapa orang luar Indonesia, yang menjadikan negeri ini
sebagai percontohan kesadaran pluralitas, yang indah dan penuh harmoni? Apa
yang sebenarnya terjadi di negeri kita? Ada begitu banyak klaim, namun satu-sama-lain
bertentangan.
Ada kelompok ulama berkumpul mendukung satu capres dengan sejuk. Tetapi
ada kelompok ulama lain, mendukung capres satunya, dipenuhi ujaran-ujaran yang
intoleran, bahkan tak jarang umpatan-umpatan kasar. Mengkafir-kafirkan, plus
ancaman neraka jahanam?
Kita sedang menghadapi persoalan agama (kaitannya dengan klaim
pluralitas, diskriminasi dan toleransi), atau persoalan politik? Karena permasalahan
ini selalu muncul jika kita membicarakan dasar negara, sistem kenegaraan, yang
selalu aktualisasinya melalui Pemilu, Pilpres, bahkan Pilkada di beberapa
daerah tertentu, dengan melihat contoh Pilkada DKI Jakarta 2017?
Ketika Grace Natalie (dari namanya orang sudah memberi stigma),
menyatakan perjuangan politik partainya antara lain menolak Perda Syariah,
sekelompok ormas bereaksi. Bahkan melaporkan ke Polisi dengan tudingan
penistaan agama. Pelakunya, di antaranya Eggy Sudjana, pendukung capres yang
berbeda dengan partai Grace Natalie.
Belum lama lalu, dalam kaitan bendera, orang bisa ribut, saling lapor
dan mengancam gara-gara tulisan ‘tauhid’. Sempat muncul demo ‘bela tauhid’,
tapi seruan-seruannya adalah ‘ganti presiden’. Pertikaian yang kemudian
terjadi, sering tak terpahamkan. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi? Ini soal
agama, atau politik (kekuasaan)?
Jika mengacu pada pendapat Hellen Keller, kita bisa sampai pada
kesimpulan persoalan pendidikan di Indonesia adalah masalah yang serius. Sementara
sistem pendidikan di Indonesia, masih saja rancu. Bahkan tak bisa dikendalikan
sepenuhnya oleh negara, ketika lewat jalur pendidikan, ujaran kebencian dan
ajaran intoleransi, serta radikalisme, disusupkan.
Melihat kemajuan dan hasil sistem pendidikan di Swedia dan
Singapore, ketika ada yang menyodorkan
gagasan memisahkan agama dari kurikulum pendidikan kita, muncul reaksi keras,
terutama dari kalangan Islam. Padahal, Kementerian Agama kita juga mengelola
dua model pendidikan, madrasah dan pesantren. Seiring itu, tudingan lantas
diberikan, bahwa hal-hal itulah yang menjadikan negara kita dikutuk oleh Tuhan.
Selalu ada klaim dan stigma, dengan cara pandang kemutlakan dengan legitimasi
agama.
Bagaimana yang semula lebih merupakan persolan privat, dalam proses
internalisasi per-individu, agama bisa menjadi persoalan public, bahkan alat
serius pressure group di ruang-ruang publik?
Tak kurang dari 151 perda-perda Syariah dalam kurun 1999-2009, jika
dicermati, mengandung unsur-unsur
diskriminatif. Bahkan mendorong terciptanya kekerasan di wilayah publik. Ketua
PP Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, mengungkapkan, yang menjadi
keprihatinan, perda-perda tersebut telah memunculkan diskriminasi, intoleransi,
dan bahkan kekerasan yang semakin menjadi-jadi dalam kehidupan sosial-politik.
Lambat-laun, hal itu merobek rajutan kebhinnekaan yang telah teranyam rapi
selama ini.
Perda
Syariah dalam pandangan Ahli Hukum Tata Negara, Mahfud MD, memang tak
seharusnya memuat peraturan keagamaan yang sangat pribadi, misalnya beribadah.
Sebab, di era yang sudah bebas beribadah seperti sekarang, orang tak perlu
diatur dalam sembahyang. Misalnya orang harus rajin salat, tidak usah
diperdakan. Orang harus berpuasa, harus sopan, tidak usah diatur itu. Kecuali,
hal itu hanya menunjukkan betapa ada problem serius dalam sistem dan metode
dakwah, sehingga agama menjadi tidak operasional maka perlu dijalankan dengan
sistem hukum manusia (perda).
Mahfud
MD menilai, hal itu sama dengan hukum-hukum lain, seperti hukum adat atau agama
yang berlaku di Bali. Hukum agama yang diperdakan, tak ada gunanya. Selain itu,
berpotensi menimbulkan diskriminasi.
Di sisi lain, agama menjadi alasan dan alat legitimasi, untuk hal-hal di
luar fitrahnya. Masuk ke ranah publik, dan mendesak (merasuki) wilayah-wilayah
lainnya. Ketika semua agama berbicara dogma, doktrin, yang menuntut keyakinan
dan kepatuhan, fanatisme memunculkan potensi menyeret conflict agama itu
sendiri. Dalam masyarakat yang beragam, hal itu mengganggu kohesi sosial, dan
berdampak pada conflict of interest masing-masing agama. Dalam praktiknya,
nilai-nilai sakralitas agama turun derajatnya menjadi verbal, dan sarat
kepentingan (kelompok). Dalam kisah sejarah penyebaran agama, kita tahu,
pertarungan ideologi banyak terjadi dengan pertumpahan darah dan nyawa.
Sementara, agama itu sendiri tidak memiliki tolok ukur yang verbal dan
jelas, karena klaiming otoritas tidak didelegasikan kepada manusia. Hingga kemudian
kita dapati hal-hal paradoks, misalnya: Polisisi Syariah di Aceh memperkosa
napi perempuan. Menteri Agama Republik Indonesia Suryadarma Ali, diberhentikan
dari jabatan karena korupsi dan sekarang berada di penjara. Demikian pula ada
yang mengaku sebagai habib dan keturunan nabi, terindikasikan kasus chatting
sex dan kabur ke luar negeri. Ada sekretaris MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Bogor, terkena kasus video porno dan perilaku threesome. Belum lagi mantan
Ketua MK (Mahkamah Konstitusi), yang
ingin menegakkan syariah Islam, dipenjara (bukan karena agama, tapi) karena
kasus korupsi. Ketua FPI (Front Pembela Islam) Jateng-DIY, masuk penjara bukan
karena membela agama, melainkan kasus kriminal.
Hal-hal itu lebih dipertegas misalnya; antara ulama satu dan lainnya
terlibat dalam politik praktis. Dukung-mendukung capres. Diantara mereka,
memproduksi ujaran-ujaran keagamaan yang diskriminatif dan intoleran. Agama
dipakai sebagai alat legitimasi, lebih karena hal itu barangkali dipandang efektif,
dalam mengancam orang lain. Demokrasi kita, masih demokrasi elitis, berdasar
patron-client.
Ada empat persoalan serius negeri ini, ketika (1) sistem hukum yang
tidak konsisten, (2) sistem pendidikan yang tidak punya orientasi universal,
(3) sistem demokrasi yang masih elitis dan prosedural-formal, serta (4) agama
yang (karena tiga hal sebelumnya) sering dikapitalisasi dalam konteks politik.
Sukarno, dalam pidato dan perdebatan 1 Juni 1945, sesungguhnya telah
meletakkan dasar negara yang kokoh dan adaptif. Namun bibit kawit Piagam
Jakarta, sampai kini belum selesai, atau setidaknya selalu diungkit dan menjadi
alasan. Dialog ini kiranya yang perlu diselesaikan, karena agama memang paling
rawan diseret ke ranah politik. Apalagi ketika politik elitis berada di tanah
cengkar, masyarakat yang tingkat pemahamannya akan toleransi, menunjukkan tak
adanya korelasi antara pendidikan (formal) dengan manifestasi hidup bermasyarakat
yang demokratis, egaliter, toleran.
KISAH NABI MUSA | Saya ingin
sisipkan tentang kisah Nabi Musa, sebagai renungan. Nabi Musa konon
satu-satunya nabi yang bisa berbicara langsung dengan Tuhan. Sebagai berikut:
“Wahai Allah aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang
membuat Engkau senang?”
“Shalatmu itu untukmu sendiri. Karena dengan kau mengerjakan shalat
(ibadah), engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. Dzikir? Dzikirmu
membuat hati menjadi tenang. Puasa? Puasamu melatih diri untuk memerangi hawa
nafsumu.”
“Lalu, apa ibadahku yang membuat hatimu senang, ya, Allah?”
“Sedekah, infaq, dan zakat mal-mu, serta akhlaqul karimah-mu. Itulah
yang membuat aku senang, Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang
susah, aku hadir disampingnya,...”
Apa pesan moral cerita ini? Persoalan ibadah, adalah persoalan privat.
Kita hanya mencintai diri sendiri, bukan Tuhan. Tapi bila kita berbuat dan
berkorban untuk orang lain, serta melunakkan hatimu kepada orang lain, itu
tanda mencintai Tuhan. Dan Tuhan senang karenanya. Jika agama adalah persoalan tauhid,
maka agama adalah cinta. Tidak butuh bendera untuk mengagungkan Tuhan, tetapi
lewat cinta.