Akhirnya, Jokowi terpancing juga. Itulah yang dinanti. Fadli Zon dengan
sigap menyantapnya; “Istilah sontoloyo, itu istilah yang agak kasar. Seorang
Presiden tak pantas mengatakan hal itu. Bla-bla-bla. Yang sontoloyo itu ialah
yang tidak melaksanakan (sistem pemerintahan) dengan baik,...”
Orang yang dikagumi Christine Hakim dan Titiek Puspa, karena kesabarannya
(antara lain diam saja meski dikritik habis, dan mendapatkan umpatan-makian,
bahkan fitnah) itu, memang menyatakan sangking jengkelnya. Jengkel ulah
politikus yang tidak proporsional.
Oposisi, pihak yang melawan Jokowi, tugas utamanya tentulah mendelegitimasi
keabsahan pemerintah. Dengan berbagai cara. Maka yang mengaku partai dakwah pun
menganjurkan kadernya berkampanye negatif. Mau dibilang beda dengan black campign,
namanya tetap negative campaign. Harafiahnya, bukan kampanye positif.
Mengapa mesti Jokowi yang mengeluhkan para politikus sontoloyo itu? Bukankah
dalam konteks kampanye Pilpres 2019, menjadi tugas tim suksesnya untuk
mengantisipasi segala serangan pada pertahana? Karena sebagai pertahana, melakukan
tugas utamanya dengan baik sebagai presiden hal itu sudah bentuk kampanye
tersendiri. Sesuatu yang tak bisa dirambah KPU dan Bawaslu, meski keduanya
lebih pro oposisi.
Kritik tak proporsional, memang acap diberikan pada Jokowi, apalagi
menjelang Pilpres ini. Presiden tak boleh berkata yang ‘agak kasar’ sekalipun,
sementara yang tidak membolehkan itu boleh berbuat apa saja (ingat Fahri Hamzah
bilang lembaga presiden boleh diserang sementara DPR tidak), kita memang
melihat politik sontoloyo itu. Politik sontoloyo tentu hanya dimainkan politikus
sontoloyo.
Apakah “sontoloyo” kata yang kasar? Tergantung posisi dan kepentingan
penilainya. Yang mendelegitimasi Jokowi, akan mengatakan perkataan Jokowi
kasar. Dengan mengatakan ‘agak kasar’, Fadli Zon sebetulnya kesusahan untuk
meyakini ‘sontoloyo’ itu kasar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata sontoloyo
yakni konyol, tidak beres, bodoh. Padahal yang berasak dari bahasa Jawa ini, artinya
tukang angon bebek atau itik. Ketika berubah sebagai makian, adalah bentuk
penghalusan kejengkelan. Sama halnya dengan kata ‘bajingan’ dari bahasa Jawa
untuk menyebut profesi sopir gerobak. Dibanding ‘bajingan’, sontoloyo sebagai
makin dirasa lebih soft.
Bagaimana dengan Sukarno, yang pernah menggunakan
istilah ‘Islam Sontoloyo’ pada umat Islam yang taqlid buta, asal membenci
sesuatu (yang modern dan berubah) dengan dalih tak ada tuntunannya? Apakah
Sukarno ‘agak kasar’ atau ‘kasar banget’, apalagi yang disinggung adalah Islam?
Fadli Zon berkali-kali bukan hanya mengritik Presiden, melainkan melakukan hujatan dan ujaran kebencian. Kritik beda dengan hujatan dan ujaran kebencian. Lewat kasus “penganiayaan” Ratna Sarumpaet dulu, seperti itulah hujatan yang ujaran kebencian sering disampaikan ke arah Jokowi. Presiden menyewa preman, mengancam demokrasi, pengobral janji, dan sebagainya. Belum pula soal klasik yang menudingnya keturunan Cina, komunis, anti Islam, antek aseng, dan seterusnya.
Hampir boleh dikata tak ada kritik, yang tumpul sekali pun. Karena yang
berkait sistem dan mekanisme pemerintah, oposisi hanya menyoal out-put atau
hasil. Tak pernah merambah, menantang konsep dan program,. Kecuali hanya berhenti
pada asumsi dan data sumir. Hingga Sandiaga Uno alergi pada yang disebutnya ‘hamba
dewa data’.
Dalam posisi sebagai Wakil Ketua DPR, Fadli Zon masuk sebagai politikus
kategori sontoloyo ini. Ia sering mengatakan pemerintah tidak proper,
amburadul, kacau balau, dan sebagainya. Tapi kenapa tak pernah dipermasalahkan di
Parlemen? Laporan dan perencanaan APBN tiap tahun dilakukan, dan DPR
mengamininya, artinya turut bertanda-tangan menyetujui, dan tentunya ada nama
Fadli Zon sebagai jajaran ketua.
Mengapa jika dinilai buruk, Parlemen tak mengajukan nota protes, atau sekalian
impeachment? Kenapa hanya ngomong di media? Karena dia, si politikus itu,
siapapun, memang sedang berpolitik sontoloyo. Berpolitik tidak pada tempatnya.
Hanya untuk meraih panggung pencitraan. Maka banyak anggota parlemen mencari
media untuk corong. Dan media, dengan culun, menyambutnya. Namanya juga
politikus sontoloyo, mainnya dengan media sontoloyo tentunya.
Sementara bagaimana dengan kinerja Parlemen sebagaimana tupoksinya? Mana
produk legislasinya, tercapai berapa persen dari janjinya? Berapa tingkat
kehadiran rata-rata dalam sidang, jika FZ selalu ngomong parlemen adalah parle?
Dan bagaimana mungkin lembaga perwakilan rakyat bisa melahirkan koruptor, dalam
jumlah besar pula? Karena anggota parlemen juga manusia? Kalau begitu, kenapa ingin
disebut mulia, kalau nyatanya rendah, atau cuma manusia biasa saja?