Mengapa doa mesti
dipanjatkan? Jawab Gus Dur, karena doa tak bisa manjat sendiri. Benarkah?
Sebagai lelucon,
omongan Gus Dur tampak benar adanya. Tetapi tidak sebagai lelucon, artinya
sesuatu yang punya makna serius, juga tidak salah. Karena doa hanya bisa makbul
jika ada alat, atau media, untuk mencapainya. Ia tidak hanya kata-kata, tetapi
ada proses-proses yang menyertai. Doa bukan dalam konsep management by product,
tetapi management by process.
Dalam managemen by product,
sorga dan neraka kayaknya gampang banget. Maka para wahabi bisa dengan gampang
mengkafirkan manusia dan menjebloskan ke neraka. Dengan management by product,
mereka membayangkan di sorga ada 77 bidadari yang siap melayani dalam party
sex. Emangnya, agama hanya untuk kaum lelaki? Terus kalau ada kaum hawa
frustrasi, lantas menjadi lesbi, dikutuk-kutuk tanpa mau ngerti penyebabnya
adalah agama yang bias gender sejak dalam pikiran?
Bentuk lain dari
management by product, yang khas dan sering dilakukan para soehartois yang
orde-bauk itu, seperti apa yang dilakukan oleh Amien Rais dan Prabowo di
Mekkah. Para pemujanya merasa miris, dan kata-kata yang disusun di media online
bisa sangat menggetarkan, meski terkesan palsu. Pasalnya, benarkah doa di depan
ka’bah akan makbul begitu saja? Jika demikian, alangkah sengsaranya orang
miskin yang tak bisa menjangkau Mekkah. Memangnya situ mau menuding tuhan tidak
adil dan bijaksana?
Alangkah wagunya
jika kita percaya. Karena tuhan allah tidak dalam karsa pribadi manusia. Jika
tuhan allah dalam karsa pribadi kita, buat apa kitab suci ditulis dalam jumlah
halaman yang banyak? Kita cukup datangi saja tempat-tempat yang dibilang suci.
Mau ke Mekkah kek, Vatikan kek, Jerusalem kek. Lantas di sana kita mohon
menangis-nangis, ya tuhan, 2019 ganti presiden, karena presiden tahun ini
menyengsarakan rakyat dan dzalim.
Oalah. Jadi, tuhan
itu hanya untuk orang kaya, yang bisa umrah berkali-kali, karena harus
koordinasi dan sowan pada Rizieq Shihab yang menghindari kejaran polisi atas
dugaan kasus chatting sex setahun lalu? Dikiranya tuhan tidak update informasi.
Dikiranya tuhan bodoh nggak ngerti politik. Dikiranya tuhan nggak baca medsos,
meski sama sekali tidak punya akun satu pun. Ngapain susah-susah punya akun,
wong beliau bisa berubah ujud menjadi akun itu sendiri. Dst.
Cara beragama
politikus di Indonesia, sungguh-sungguh sangat menghina akal sehat manusia. Juga
akal sehat tuhan tentunya. Apakah tuhan punya akal sehat? Akal sehat tuhan bisa
ditelusuri pada hukum alam semesta raya ini. Nalarnya bisa dilihat pada
bagaimana semua itu diterakan dalam kitab-kitab sucinya. Hukum-hukum kausalitas
yang ketika disusuri sedalam-dalamnya, menyadarkan kita tak ada yang ajaib. Semuanya
berada dalam proses, dalam sebab-akibat, asbab-musababnya, yang menjadi doktrin
jalannya kehidupan itu sendiri.
Kalimat-kalimat
kitab suci di mana pun bisa menjadi disederhanakan dalam beberapa kata; Yang
jahat ‘kan celaka, yang salah ‘kan seleh, yang benar ‘kan dimuliakan, yang
culas ‘kan dihisab tindakannya sendiri.
Karena jika beragama,
atau berdoa, lebih bergantung pada di mana kita panjatkan, apakah Real Madrid
dan Liverpoll akan berdoa di tempat yang sama? Lantas, bagaimana jika hasilnya
beda? Tuhan pilih kasih?
Semuanya akan
diserahkan di lapangan. Semisal kita ngomong capres Indonesia 2019 cuma Prabowo
dan Jokowi, maka tuhan menyerahkan mekanismenya pada kebijaksanaan manusia. Entah
dengan jalan demokrasi, musyawarah mufakat, dengan menyertakan ratusan juta penduduk
sebagai pemegang hak pilih, dan sebagainya. Begitu saja kok goblog men Amien
Rais, keraya-raya ke Mekkah bersama Prabowo, untuk berkonsultasi dengan Rizieq
Shihab. Kenapa nggak konperensi pers via phone, atau whatsappan? Takut disadap
ya? Kan ini bukan phone-sex toh? Rizieq trauma ya?
Legitimasi-legitimasi
moral yang dibangun politikus Indonesia, semakin menunjukkan tingkat kebahlulan
mereka. Tuhan dijual murah-murahan, bukan oleh penista agama tetapi oleh pendusta
agama. Apa beda penista dan pendusta? Bedanya di huruf ‘i’ dan ‘du’. Selebihnya
sama. Tak pedulu Rumi pernah menuliskan; Usaha dan doa tergantung pada
cita-cita. Manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Padahal dari Rumi,
kita diajari merenung, tentang makna kata yang lain bernama tulus, ikhlas,
pasrah. Berjuang sekeras-kerasnya, di dalam kebenaran dan bingkai moral.
Selebihnya kemudian pasrah ngalah. Berserah pada ketentuan hukum alam. Karena
ada kemahaghaiban yang tak teraba; Jika semua telah berusaha, mengapa Real
Madrid yang menang dan Liverpool yang kalah? Mengapa dulu Jokowi yang menang
dan Prabowo yang kalah? Bahkan kadang tidak selalu dengan jalan lurus, sehingga
apa yang telah diusahakan, apapun itu, bisa jadi dimenangkan, sebagaimana Ahok
mesti disingkirkan.
Rusuh dan tak rusuh,
bersih dan kotor, bisa sama-sama punya peluang menang. Bukan hanya di Indonesia
fenomena itu terjadi. Di seluruh dunia. Menurut Pram (oleh penganut wahabi di
Indonesia dibilang penulis kemarin sore yang cari popularitas), doa dalah gerakan
dari yang paling minus pada yang paling plus. Dengan rentang jarak yang alpha
et omega itu, akan sangat tergantung pada management by process, bukan
management by product, yang selama ini konon hanya milik si majoritas. Hingga
sorga dan neraka sudah dikapling-kapling, kalau milih Prabowo masuk sorga milih
Jokowi masuk neraka.
Hanya di Indonesia
pembodohan agama dibiarkan berlangsung, dan tidak dianggap sebagai kejahatan
kemanusiaan seperti korupsi atau narkoba. Sementara, kita pura-pura tak tahu,
bahwa ada doa yang dikabulkan, ada permohonan yang dipenuhi, tapi ada juga yang
tidak. Ketika sedang berdoa saja, kita meyakin-yakinkan diri, bahwa kita bagian
penting dan dekat dari tuhan. Padahal jarak kita dengan citra budi tuhan saja,
sangat jauhnya.
Karena ada juga doa
yang dipanjatkan untuk meniadakan liyan; “Ya tuhan, hamba mohon jadikan idola
saya presiden, sementara yang saya benci tidak dimenangkan dalam pilpres.”
Emangnya tuhan pesuruhmu? Lagian, kenapa doa mesti dipanjatkan? Sekali lagi kata
Gus Dur, karena doa tak bisa manjat sendiri.
Doa itu harus
dipanjatkan oleh ilmu pengetahuan, kerja keras, ketekunan, keteguhan, keikhlasan,
ketulusan, kerendah-hatian, kepasrahan, kesungguhan, bahkan mungkin juga
tergantung keberuntungan. Karena ada juga yang tekun berdoa, tapi sial melulu,
karena dalam berdoa pun tidak tulus.
Apa itu tulus?
Tulus, kata Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ allaihi wassallam, ibarat seekor
semut item di atas batu item yang besar.