Kemenangan Anies R. Baswedan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, bukan
hanya soal bahwa Ahok lebih tidak baik atau kurang santun dibanding
Anies. Sebagaimana keyakinan Eep Saefulloh Fatah, adalah sesuatu yang
dengan sengaja memang dikapitalisasi untuk menyulut sentimen agama,
menjatuhkan lawan. Dengan sadar hal itu dilakukan untuk meraih
kemenangan. Dalam kontestasi, semua sah, karena tujuannya adalah menang.
Tak peduli kemenangan diraih dengan cara-cara yang bukan saja melanggar aturan Pilkada, melainkan juga membenarkan tak pentingnya etika dan moral dalam berpolitik. Pernyataan-pernyataan Anies, setelah kemenangan, secara persisten menjelaskan sikap sebenarnya, yang memang intoleran terhadap keberagaman.
Apa yang dikata MUI (soal penodaan dan penistaan agama), atau alasan Eep Syaifulloh sebagai konsultan politik Anies, juga Buni Yani, Neno Warisman, Prabowo, Rizieq Shihab, Anies, dan mereka yang kompak melihat kasus Ahok di Pulau Seribu sebagai penistaan agama, sudah cukup jelas. Perdebatan tak perlu lagi, wong soal kiriman bunga (yang sangat sederhana itu), menjadi begitu rumit. Kejujuran dan ketulusan, tak bisa dilihat, karena sudah mata gelap.
Hal itu menjelaskan bagaimana pilihan ideologi masing-masing, sebagaimana perdebatan Sukarno cum suis di kubu nasionalis, dengan mereka yang ingin menegakkan Piagam Jakarta di Indonesia Raya yang beragam. Medsos sekelas blogspot, fesbuk, twitter, bukan media strategis untuk itu, kecuali hanya untuk propaganda, monolog, atau penyebaran fitnah dan hoax. Meski pun hormat saya pada para penggiat medsos macam Sumanto Al Qurtuby, Ade Armando, Denny Siregar, dan teman-teman lain, yang terus menulis dan melayani ejek-mengejek dengan kaum takfiri, wahabi, para khilafiyah itu. Tapi apa hasilnya?
Pada sisi lain, hal itu hanya memberi panggung serta energi bagi mereka para mata-gelap. Walaupun bisa jadi kita merasa kepuasan psikologis, setidaknya mengurangi rasa pedih melihat kekalahan Ahok dan kemenangan Anies. Tapi, itu baru sejumput soal di awal. Indonesia akan menghadapi Pemilu 2019. Dan dengan kemenangan Pilkada DKI Jakarta 2017, terang benderang kini sudah dirancang, bagaimana mereka akan memakai kesuksesan Jakarta, sebagai pola meraih kemenangan.
Bully-membully di medsos, cukup menyenangkan. Tapi, apa selanjutnya? Para Ahokers misalnya, mungkin merasa enjoy dengan hal itu. Merasa menang di atas angin. Namun mereka abai, yang diladeni adalah para die hard, kepala batu, atau mata gelap. Pilihan ideologi mereka jelas, dan senyampang bertarung di medsos (dengan kata-kata cacian yang khas dan kasar) mereka juga melakukan konsolidasi di ruang publik, di majelis takelim, di masjid.
Sementara para Ahokers (atau yang bersimpati)? Sehabis bully-membully di medsos, kembali ke kegiatan pokok masing-masing, bekerja sebagai profesional, sendiri-sendiri, tak terorganisasi, tak terkonsolidasi. Hingga modal sosial berupa simpati pada Ahok (yang dirasa sangat artikulatif, namun) tidak operasional sama sekali.
Kemenangan di hati, secara psikologis, tentu penting. Tetapi suara Ahok stag, karena di lapangan (yang artikulatif itu) sama sekali tak bergerak. Kekalahan Anies di putaran pertama dari Ahok, dan kebalikannya di putaran kedua, menjelaskan hal itu.
Bahwa kemenangan itu dilakukan dengan cara tidak elok (melanggar aturan, diniati tanpa etika dan moral, bahkan ada yang mengatakan bengis), memang fakta di lapangan demikian. Apakah kita akan melakukan hal yang sama? Tidak. Tetapi, bagaimana agar warga berdaya, terdidik, dan tidak takut menghadapi ancaman. Di situ pendampingan, pemberdayaan, dan konsolidasi penting, tetapi diabaikan.
Politik mata gelap kekuasaan itu, begitu permisif mengakomodasi kelompok wahabi dan kaum takfiri dalam meraih kekuasaan. Persis yang dilakukan Anies sekarang. Tampak saling memanfaatkan, tapi itu lebih busuk dan berbahaya, karena dua ideologi yang sama buruknya bersatu (yang bisa jadi pada akhirnya mereka juga akan saling serang sendiri). Lantas kapan negara Indonesia dengan strategis dan tenang bekerja untuk bangsanya, untuk rakyatnya?
Memilih dan membela Jokowi, atau siapa saja, yang mampu membendung langkah-langkah mereka yang khilafiyah itu, karena yang kita butuhkan adalah generasi baru Indonesia. Generasi transisional yang lebih dipercaya bisa melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh militerisme dan soehartoisme, yang menjadi biang keruntuhan Indonesia ketika dalam kangkangan Orde Baru selama 30-an tahun.
Reformasi 1998, sebuah momentum yang butuh waktu belasan tahun, untuk perlahan menemukan jalan. Tetapi dengan peristiwa Pilkada DKI Jakarta kemarin, jalan yang kita tuju hendak kembali direbut, untuk dibelokkan.
Kita tidak ingin Indonesia set-back, menjadi seperti negara-negara Timur Tengah. Kita ingin Indonesia damai sejahtera, sebagaimana jalan yang dipilih oleh generasi Sukarno cum suis, yang memilih Pancasila sebagai jembatan keragaman. Karena itu kita perlu mendukung kepemimpinan yang lebih menjanjikan perubahan yang lebih baik. Indonesia dengan daulat rakyat, dengan rakyat yang berdaya, yang toleran atas pluralitas, dan bukannya rasis.
Ajakan berpolitik ini bukan mengajak untuk jadi politikus. Berpolitik antara lain bisa dengan menunjukkan sikap keberpihakan pribadi. Tak selalu dengan partai politik, tetapi sangat bisa dengan membangun sikap mandiri. Tahu hak dan kewajiban sebagai warga negara. Berdaya dan kritis.
Tak membiarkan kaum elite (apalagi yang berpendidikan dan beragama) melakukan kesewenang-wenangan. Tak membiarkan mereka, para rasis, memperdaya kebodohan dan kemiskinan rakyat, dengan kesantunan retorik belaka.
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 29 April 2017.
Tak peduli kemenangan diraih dengan cara-cara yang bukan saja melanggar aturan Pilkada, melainkan juga membenarkan tak pentingnya etika dan moral dalam berpolitik. Pernyataan-pernyataan Anies, setelah kemenangan, secara persisten menjelaskan sikap sebenarnya, yang memang intoleran terhadap keberagaman.
Apa yang dikata MUI (soal penodaan dan penistaan agama), atau alasan Eep Syaifulloh sebagai konsultan politik Anies, juga Buni Yani, Neno Warisman, Prabowo, Rizieq Shihab, Anies, dan mereka yang kompak melihat kasus Ahok di Pulau Seribu sebagai penistaan agama, sudah cukup jelas. Perdebatan tak perlu lagi, wong soal kiriman bunga (yang sangat sederhana itu), menjadi begitu rumit. Kejujuran dan ketulusan, tak bisa dilihat, karena sudah mata gelap.
Hal itu menjelaskan bagaimana pilihan ideologi masing-masing, sebagaimana perdebatan Sukarno cum suis di kubu nasionalis, dengan mereka yang ingin menegakkan Piagam Jakarta di Indonesia Raya yang beragam. Medsos sekelas blogspot, fesbuk, twitter, bukan media strategis untuk itu, kecuali hanya untuk propaganda, monolog, atau penyebaran fitnah dan hoax. Meski pun hormat saya pada para penggiat medsos macam Sumanto Al Qurtuby, Ade Armando, Denny Siregar, dan teman-teman lain, yang terus menulis dan melayani ejek-mengejek dengan kaum takfiri, wahabi, para khilafiyah itu. Tapi apa hasilnya?
Pada sisi lain, hal itu hanya memberi panggung serta energi bagi mereka para mata-gelap. Walaupun bisa jadi kita merasa kepuasan psikologis, setidaknya mengurangi rasa pedih melihat kekalahan Ahok dan kemenangan Anies. Tapi, itu baru sejumput soal di awal. Indonesia akan menghadapi Pemilu 2019. Dan dengan kemenangan Pilkada DKI Jakarta 2017, terang benderang kini sudah dirancang, bagaimana mereka akan memakai kesuksesan Jakarta, sebagai pola meraih kemenangan.
Bully-membully di medsos, cukup menyenangkan. Tapi, apa selanjutnya? Para Ahokers misalnya, mungkin merasa enjoy dengan hal itu. Merasa menang di atas angin. Namun mereka abai, yang diladeni adalah para die hard, kepala batu, atau mata gelap. Pilihan ideologi mereka jelas, dan senyampang bertarung di medsos (dengan kata-kata cacian yang khas dan kasar) mereka juga melakukan konsolidasi di ruang publik, di majelis takelim, di masjid.
Sementara para Ahokers (atau yang bersimpati)? Sehabis bully-membully di medsos, kembali ke kegiatan pokok masing-masing, bekerja sebagai profesional, sendiri-sendiri, tak terorganisasi, tak terkonsolidasi. Hingga modal sosial berupa simpati pada Ahok (yang dirasa sangat artikulatif, namun) tidak operasional sama sekali.
Kemenangan di hati, secara psikologis, tentu penting. Tetapi suara Ahok stag, karena di lapangan (yang artikulatif itu) sama sekali tak bergerak. Kekalahan Anies di putaran pertama dari Ahok, dan kebalikannya di putaran kedua, menjelaskan hal itu.
Bahwa kemenangan itu dilakukan dengan cara tidak elok (melanggar aturan, diniati tanpa etika dan moral, bahkan ada yang mengatakan bengis), memang fakta di lapangan demikian. Apakah kita akan melakukan hal yang sama? Tidak. Tetapi, bagaimana agar warga berdaya, terdidik, dan tidak takut menghadapi ancaman. Di situ pendampingan, pemberdayaan, dan konsolidasi penting, tetapi diabaikan.
Politik mata gelap kekuasaan itu, begitu permisif mengakomodasi kelompok wahabi dan kaum takfiri dalam meraih kekuasaan. Persis yang dilakukan Anies sekarang. Tampak saling memanfaatkan, tapi itu lebih busuk dan berbahaya, karena dua ideologi yang sama buruknya bersatu (yang bisa jadi pada akhirnya mereka juga akan saling serang sendiri). Lantas kapan negara Indonesia dengan strategis dan tenang bekerja untuk bangsanya, untuk rakyatnya?
Memilih dan membela Jokowi, atau siapa saja, yang mampu membendung langkah-langkah mereka yang khilafiyah itu, karena yang kita butuhkan adalah generasi baru Indonesia. Generasi transisional yang lebih dipercaya bisa melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh militerisme dan soehartoisme, yang menjadi biang keruntuhan Indonesia ketika dalam kangkangan Orde Baru selama 30-an tahun.
Reformasi 1998, sebuah momentum yang butuh waktu belasan tahun, untuk perlahan menemukan jalan. Tetapi dengan peristiwa Pilkada DKI Jakarta kemarin, jalan yang kita tuju hendak kembali direbut, untuk dibelokkan.
Kita tidak ingin Indonesia set-back, menjadi seperti negara-negara Timur Tengah. Kita ingin Indonesia damai sejahtera, sebagaimana jalan yang dipilih oleh generasi Sukarno cum suis, yang memilih Pancasila sebagai jembatan keragaman. Karena itu kita perlu mendukung kepemimpinan yang lebih menjanjikan perubahan yang lebih baik. Indonesia dengan daulat rakyat, dengan rakyat yang berdaya, yang toleran atas pluralitas, dan bukannya rasis.
Ajakan berpolitik ini bukan mengajak untuk jadi politikus. Berpolitik antara lain bisa dengan menunjukkan sikap keberpihakan pribadi. Tak selalu dengan partai politik, tetapi sangat bisa dengan membangun sikap mandiri. Tahu hak dan kewajiban sebagai warga negara. Berdaya dan kritis.
Tak membiarkan kaum elite (apalagi yang berpendidikan dan beragama) melakukan kesewenang-wenangan. Tak membiarkan mereka, para rasis, memperdaya kebodohan dan kemiskinan rakyat, dengan kesantunan retorik belaka.
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 29 April 2017.