Sebagai
penulis buku novel politik berjudul “Jokowi Undercover” (yang terbit September
2014), saya merasa dirugikan dan saya perlu menuliskan pikiran saya untuk menanggapi gegap gempita soal buku "Jokowi Undercover" Bambang Tri (yang terbit tahun 2016).
Saya tidak begitu keberatan apa yang terjadi dalam silang pendapat teman-teman di medsos, karena masing-masing mempunyai persepsi berdasar (kapasitas) perspektif mereka. Saya hanya menyesalkan pendapat Kapolri, dan juga beberapa berita-berita media televisi, yang dalam menanggapi hebohnya buku Bambang Tri, yang terbit kemudian tetapi kebetulan berjudul sama.
Saya tidak begitu keberatan apa yang terjadi dalam silang pendapat teman-teman di medsos, karena masing-masing mempunyai persepsi berdasar (kapasitas) perspektif mereka. Saya hanya menyesalkan pendapat Kapolri, dan juga beberapa berita-berita media televisi, yang dalam menanggapi hebohnya buku Bambang Tri, yang terbit kemudian tetapi kebetulan berjudul sama.
Dikatakan
bahwa Bambang Tri menyalahgunakan kebebasan berekspresi yang kebablasan. Tito
Karnavian mengatakan menulis buku itu tidak sembarangan (yang ini saya setuju).
Tapi tidak bisa hanya berdasarkan fantasi, fiksi. Harus berdasarkan fakta.
Saya kira, yang
dilakukan Bambang Tri bukan ekspresi (seni) yang kebablasan. Namun lebih
merupakan laku tak bertanggtungjawab. Yakni menulis sesuatu (dan mempublikasikan),
namun tak bisa membuktikannya dengan data dan fakta.
Dikatakan
tak bertanggungjawab, karena ia mengatakan bahwa yang ditulisnya adalah
kebenaran (dan itu dilakukan dalam rangka bela negara). Apa yang ditulis?
Tudingan pada seseorang telah melakukan kebohongan publik atas jatidirinya.
Yakni, menuding Jokowi adalah keturunan Cina dan aktivis PKI.
Disitu
persoalan sebenarnya. Apakah penulis (Bambang Tri) tersebut mempunyai data dan
fakta atas tudingannya itu? Jika tidak, maka dia disebut tidak
bertanggungjawab. Lebih karena apa yang ditulisnya berimplikasi pada orang yang
ditudingnya, dan masalah-masalah yang berkait dengan orang yang ditudingnya
itu.
Sementara
itu, pendapat Kapolri bahwa menulis harus berdasarkan fakta, tak boleh
berimajinasi, hanya fiksi belaka, tentu tak bisa dipukulrata untuk para penulis
kreatif dalam bentuk novel, cerpen, dan lain sejenisnya. Pada penulisan
kreatif, kesemuanya meski bisa jadi berangkat dari fakta, namun diproses secara
imajinatif, yang mempunyai nilai dan hukumnya sendiri dalam berekspresi dan
berkreasi.
Bisa jadi,
mungkin, yang dimaksudkan oleh Kapolri, adalah penulisan buku non-fiksi
(seperti jenis yang ditulis Bambang Tri itu), yang memang harus disertai dengan
syarat dan ketentuan berlaku. Yakni, kemampuan penulis menyampaikan pokok
pikiran dan analisisnya terhadap suatu fakta atau permasalahan yang harus bisa
dipertanggungjawabkan. Bukan sekedar dari sistematika berfikir, tetapi juga
argumentasi berdasar data dan bahkan kerangka teoritisnya secara akademik.
Pada sisi
lain, sebagai contoh, saya menulis novel politik dengan setting Pilpres 2014,
berdasar kejadian nyata, tetapi kemudian saya persepsikan dalam dunia imajinasi
saya secara bebas, tentang bagaimana Jokowi pada akhirnya bisa terpilih sebagai
presiden RI 2014-2019, dan bisa menyingkirkan kandidat sekelas Prabowo Subianto.
Bahkan dalam
novel politik saya, yang berjudul “Jokowi Undercover” itu, antara fakta dan
fiksi tidak saya bedakan, meski saya menyebut tokoh-tokoh politik dan sejarah
yang faktual ada di bumi Indonesia. Hal itu adalah kebebasan saya dalam
berekspresi yang sah, dan dijamin oleh hukum kreativitas serta UUD 1945!
Sebaiknya,
agar tak mengulangi kesalahan sebagaimana maraknya medol abal-abal, penerapan
ISBN mestinya juga bisa dibakukan, agar kasus penjudulan yang sama, seperti
kasus ‘Jokowi Undercover’ buku saya, Sunardian Wirodono, (2014) dengan punya
Bambang Tri (2016) bisa dicegah.
Setidaknya,
buku yang saya tulis dengan judul “Jokowi Undercover”, sudah ber-ISBN, dengan
nomor 978-602-9087-13-0, terbit September 2014. Sementara milik Bambang Tri,
baru terbit pada tahun 2016. Jika misal Bambang Tri menggunakan ISBN (dengan
mendaftar ke pusat data perbukuan di Perpustakaan Nasional RI), tidak mungkin
buku tersebut boleh berjudul “Jokowi Undercover” karena saya sudah memakainya,
dua tahun sebelumnya. Kecuali dua hal, tidak memakai ISBN atau nomor ISBN
dipalsukan, karena itu banyak dilakukan penerbit abal-abal, yang tidak tahu apa
fungsi nomor ISBN (International Standard Book Number).
Menulis buku tidak sembarangan, kata Kapolri, dan ini saya setuju. Tetapi dengan kasus Bambang Tri ini, tidak semestinya berujung pada pemberangusan kreativitas penulis. Karena yang dilakukan Bambang Tri bukan kreativitas seni, melainkan tindak kriminalitas, yakni memfitnah seseorang dan mempublikasikan fitnahannya (dalam bentuk buku) ke publik.
Menulis buku tidak sembarangan, kata Kapolri, dan ini saya setuju. Tetapi dengan kasus Bambang Tri ini, tidak semestinya berujung pada pemberangusan kreativitas penulis. Karena yang dilakukan Bambang Tri bukan kreativitas seni, melainkan tindak kriminalitas, yakni memfitnah seseorang dan mempublikasikan fitnahannya (dalam bentuk buku) ke publik.
Karena
sejujurnya, saya merasa dirugikan, apalagi justeru dituding numpang ngetop,
untuk sebuah buku yang datang kemudian, dan ditulis secara tidak memadai serta
tidak bertanggungjawab. Memang, sejak munculnya kehebohan buku “Jokowi
Undercover” tulisan Bambang Tri itu, buku saya yang berjudul sama, kena
imbasnya.
Setidaknya,
dalam bulan Desember 2016, hampir setiap hari saya mendapat email, pemesanan buku
Jokowi Undercover, sebanyak 7-15 pemesan. Tetapi ketika saya jawab dan
jelaskan, kabanyakan tak ada eksekusi. Dari sekitar 200-an email yang saya
terima, hanya 5 orang yang akhirnya membeli novel saya “Jokowi Undercover”.
Karena kebanyakan ternyata memang mencari buku tulisan Bambang Tri itu. Bahkan,
ada beberapa yang secara jelas dan verbal memesan buku Bambang Tri itu kepada
saya.
Saya sama
sekali tidak mempunyai hubungan dengan Bambang Tri, juga tentu sama sekali
bukan penjual buku, kecuali buku karya saya sendiri yang saya terbitkan secara
indie dan hanya dijual via online. Hal itu saya lakukan sebagai bentuk protes,
karena pemerintah abai terhadap dunia perbukuan. Buku yang dijual di toko buku
seperti Gramedia, ternyata harus kena potong (rabat) bisa sebesar 50-70% dari
harga jualnya. Betapa religius-nya toko buku itu, sementara penulis hanya mendapat
sekitar 10%.
Apa yang
dilakukan Gramedia adalah cara membunuh perbukuan Indonesia. Penerbit di luar
Gramedia, tidak akan mampu tumbuh sehat, karena mereka (untuk bisa masuk ke
toko buku Gramedia) setidaknya perbulan harus menerbitkan minimal 15 judul
buku. Buku apa saja yang bisa diterbitkan, dengan kualitas tulis dan baca yang
rendah, jika bukan buku ngawur-ngawuran?
Jika
pemerintah hendak menghidupkan kembali Dewan Buku Nasional, juga hendak
mengajukan RUU Perbukuan, semoga hal-hal semacam ini bisa ditegaskan. Sepanjang
orang-orang yang ada dalam lembaga perbukuan itu bukan para petualang,
oportunis, pencari proyek, dan birokrat-birokrat yang ngerti buku pun tidak
sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar