Sunardian Wirodono (2016) |
Beberapa komentar kemudian menyambutnya. Ada yang bertutur beberapa grup WA para scholar luar negeri kita, juga sama tak mutunya. Maka ada yang kemudian lebih memilih grup lucu-lucuan. Bisa ngakak sepanjang hari, daripada otak bundet, kena vertigo diganggu diskusi-diskusi tidak mutu.
Aha, ternyata masalah di atas dan di bawah sama saja. Jadi ini soal
apa? Jangan-jangan karena tingkat akselerasi kita pada teknologi modern.
Gadget boleh canggih, tapi tidak sama sekali dengan kapasitas sebagai
manusia modern.
Apalagi, pada kenyataannya, teknologi komunikasi kita memungkinkan yang bertradisi rural dan reriungan seperti kita, tak perlu mengubah karakter diri. Padahal, teknologi yang diikuti mempunyai karakter media berbeda, dan bahkan menuntut persyaratan tertentu. Misal, etika berkomunikasi secara tertulis dan indirect, yang tentu beda dengan cara lisan dan langsung. Kita tahunya, syaratnya hanya mampu membeli alat itu beserta pulsanya doang, atau nebeng wifi di kantor, kampus, kafe, dan sebagainya.
Saya sih bangsa katrok, tak bisa ber-bbm dan ber-wa, meski lebih ngirit tak perlu mbayar kayak sms. Lha tapi buat apa kalau kebutuhan ponsel saya cuma untuk reply sms dan nerima telpon doang? Itu pun kalau ada teman atau relasi membutuhkan jasa baik saya, nawarin pekerjaan. Gitu doang. Kalau berkomunikasi, ya, demennya cuma ngobrol face to face, syukur ada kopi, atau tela goreng anget. Meski sekarang suasana ngobrol jadi kurang nyaman, karena yang ngajak ngobrol kadang suka asyik wa-nan dengan orang lain. Bahkan kadang lebih sibuk dan membuat saya merasa songong sendirian.
Ngobrol dengan buku kadang terasa jauh lebih indah dan nyaman, meski tak senyaman ngobrol dengan para handai-taulan di dusun-dusun terpencil, di pelosok dan daerah-daerah perbatasan, yang sering menyadarkan betapa sangat manjanya saya tentang Indonesia, yang sering saya tuding blangsak ini. Sementara apa yang saya telah kerjakan?
Halah, nulis kok tentang keluhan diri-sendiri. Tidak penting. Apapun masalahmu, bergembiralah. Sebisanya. Kita semua tentu membutuhkan hiburan yang pas bagi masing-masing, karena hidup memang sungguh beratnya. Mark Twain pernah menulis, "Teman yang baik, adalah buku-buku bagus, dan hati nurani yang mengantuk: ini adalah kehidupan yang ideal."
Apa itu teman, bertanya Aristoteles, yang kemudian dijawabnya sendiri; Teman ialah sebuah hunian jiwa tunggal dalam dua tubuh. Artinya, mestinya bukan monolog, tapi dialog. Dan saya suka anjuran Milne dalam Winnie the Pooh, "Kau tidak bisa tinggal di sudut hutan menunggu orang lain untuk datang kepadamu. Kau harus pergi ke mereka, kadang-kadang,…" Baiklah, saya akan datang. Meski dengan cara yang kuno, bersilaturahim.
Apalagi, pada kenyataannya, teknologi komunikasi kita memungkinkan yang bertradisi rural dan reriungan seperti kita, tak perlu mengubah karakter diri. Padahal, teknologi yang diikuti mempunyai karakter media berbeda, dan bahkan menuntut persyaratan tertentu. Misal, etika berkomunikasi secara tertulis dan indirect, yang tentu beda dengan cara lisan dan langsung. Kita tahunya, syaratnya hanya mampu membeli alat itu beserta pulsanya doang, atau nebeng wifi di kantor, kampus, kafe, dan sebagainya.
Saya sih bangsa katrok, tak bisa ber-bbm dan ber-wa, meski lebih ngirit tak perlu mbayar kayak sms. Lha tapi buat apa kalau kebutuhan ponsel saya cuma untuk reply sms dan nerima telpon doang? Itu pun kalau ada teman atau relasi membutuhkan jasa baik saya, nawarin pekerjaan. Gitu doang. Kalau berkomunikasi, ya, demennya cuma ngobrol face to face, syukur ada kopi, atau tela goreng anget. Meski sekarang suasana ngobrol jadi kurang nyaman, karena yang ngajak ngobrol kadang suka asyik wa-nan dengan orang lain. Bahkan kadang lebih sibuk dan membuat saya merasa songong sendirian.
Ngobrol dengan buku kadang terasa jauh lebih indah dan nyaman, meski tak senyaman ngobrol dengan para handai-taulan di dusun-dusun terpencil, di pelosok dan daerah-daerah perbatasan, yang sering menyadarkan betapa sangat manjanya saya tentang Indonesia, yang sering saya tuding blangsak ini. Sementara apa yang saya telah kerjakan?
Halah, nulis kok tentang keluhan diri-sendiri. Tidak penting. Apapun masalahmu, bergembiralah. Sebisanya. Kita semua tentu membutuhkan hiburan yang pas bagi masing-masing, karena hidup memang sungguh beratnya. Mark Twain pernah menulis, "Teman yang baik, adalah buku-buku bagus, dan hati nurani yang mengantuk: ini adalah kehidupan yang ideal."
Apa itu teman, bertanya Aristoteles, yang kemudian dijawabnya sendiri; Teman ialah sebuah hunian jiwa tunggal dalam dua tubuh. Artinya, mestinya bukan monolog, tapi dialog. Dan saya suka anjuran Milne dalam Winnie the Pooh, "Kau tidak bisa tinggal di sudut hutan menunggu orang lain untuk datang kepadamu. Kau harus pergi ke mereka, kadang-kadang,…" Baiklah, saya akan datang. Meski dengan cara yang kuno, bersilaturahim.