PENGANTAR : Ulama, makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti.
Ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, arti ulama berubah maknanya menjadi; orang
yang ahli dalam ilmu agama Islam.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Kata
ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim
adalah isim fa'il dari kata
dasar: ’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu.
Ulama
(Arab:العلماء
al-`Ulamā`, tunggal عالِم
ʿĀlim) adalah pemuka agama atau pemimpin
agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik
dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik
dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.
MUI SEBAGAI SUMBER MASALAH | Belakangan
sebagai lembaga swadaya masyarakat, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) lagi-lagi membuat kegaduhan atau kehebohan di masyarakat.
Jauh dari fungsi seharusnya sebagai yang semestinya berilmu, membuat terang
masalah, ketenangan, kenyamanan, dan kepastian.
Pernyataan MUI, tentang
BPJS Kesehatan yang tidak sesuai dengan syariah Islam, menjadi pangkal soal. Asumsi
yang berkembang di masyarakat, fatwa MUI tersebut menganggap BPJS Kesehatan
adalah haram.
Apakah masyarakat bodoh dalam menyimpulkan? Hal tersebut
harus tetap dikembalikan pada bunyi penjelasan MUI sendiri, yang memberikan
pernyataan tidak jelas, abu-abu, dan bersifat ambivalen. Jika kita berbicara soal
syariah, maka tidak sesuai syariah adalah tidak sesuai hukum (Islam). Tidak
sesuai hukum hanya akan menjatuhkan kesimpulan pada benar dan salah, bukan
tidak begitu salah dan agak benar.
Takut dibully masyarakat, Prof. Jaih Mubarok, anggota
Dewan Syariah Nasional MUI menjelaskan, “Bukan fatwa haram, teksnya bukan
haram. Ini ijtima komisi fatwa MUI keputusannya bukan BPJS haram, tapi BPJS
yang sekarang berjalan tidak sesuai syariah.”
Hal itu buru-buru juga dijelaskan oleh Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin, yang menampik pihaknya telah
mengeluarkan fatwa tentang pengharaman layanan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan oleh pemerintah.
Din memastikan MUI tidak pernah
mengeluarkan fatwa yang menyinggung BPJS. Adapun rekomendasi yang dikeluarkan
Sidang Ijtima, hanya berupa saran untuk penyempurnaan BPJS. “Dan setelah saya
teliti, tidak ada kata haram di dalamnya.”
Apa yang kemudian terjadi? Media
disalahkan sebagai biang pemlintir informasi. Masyarakat yang kemudian
berlebihan membully MUI turut disalahkan juga, karena tidak pantas menghina
ulama. Dikatakannya, MUI adalah lembaga
yang didukung oleh orang pintar, professor, doctor, ahli agama tingkat apapun.
Tapi apakah jika sudah demikian mereka
luput dari salah, wong mereka juga manusia semata? Wong kita juga tidak tahu,
lembaga atau institusi apa yang berhak memposisikan seseorang menjadi ulama,
atau ahli agama? Nabi? Dalam Islam setelah Muhammad tak ada lagi nabi.
Malaikat, atau Tuhan sekalian? Bagaimana berkomunikasi verbal dengan Tuhan,
selain membacai seluruh teks-teks yang ada tentang agama? Sementara itu,
pembacaan teks yang akan terkait dengan sanad, kredibilitas, dan lain
sebagainya, melalui apa jika bukan melalui interpretasi yang dibangun atas
persepsi dan perspektif, yang satu dan lainnya berbeda, dengan mengatakan sahih
dan tidak sahih?
Sementara MUI mengatakan tidak sesuai
syariah, senyatanya NU bisa mengatakan, bahwa akad dalam BJPS sudah sesuai
syariah Islam. Mana yang benar? Itu sekedar membuktikan, bahwa salah dan benar,
sesuai dan tidak sesuai, ternyata berbeda-beda sekali pun konon dengan bacaan
atau sumber referensi yang sama.
Persoalannya bukan kualitas orang dalam
MUI itu pintar atau bodoh, tetapi validitas dan kredibilitas MUI sebagai
lembaga itu sendiri bagaimana? Dalam penjelasan status hukum MUI, lembaga itu
menyatakan dirinya adalah lembaga swadaya masyarakat, yang tidak jauh beda
dengan organisasi masyarakat lainnya (baca statuta MUI).
SERTIFIKASI SEBAGAI TENDENSI MUI | Di
dalam MUI, terdiri orang-orang yang beragam, sebagaimana kata Din Syamsuddin
dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa di luar negeri. Mengurus MUI jauh lebih
rumit disbanding ngurus Muhammadiyah. Kenapa?
Karena banyak kepentingan di dalamnya.
Belum lagi kredibilitas orang-orangnya. Fakta hukum menunjukkan, ada seorang
petinggi MUI Cabang Bogor, yang melakukan pem-video-an perilaku sex 3-some-nya.
Apakah itu menunjuk bahwa ulama sebagai ahli agama? Terhadap kasus ini, jawabannya
bisa kita tebak; Ulama juga manusia biasa, bisa khilaf. Tapi kalau fatwa
ataupun hasil ijtima MUI dituding salah atau tak jelas, mereka membela diri;
MUI ‘kan bukan lembaga sembarangan, didukung oleh orang-orang ahli, bergelar professor,
doctor dan sebagainya.
Kalau benar mereka didukung orang ahli,
bagaimana kita menilai pendapat Prof Jaih Mubarok, anggota Dewan Syariah
Nasional MUI yang mengatakan; “Bila tidak ada yang bagus mualamahnya dan
akhlaknya, maka daripada calon non muslim yang menang, tak apa memilih calon
pemimpin yang korup,…”
Pernyataan itu disampaikan dengan mengintrodusir
penjelasan normatif; "Yang terbaik, pilihlan pemimpin muslim yang
mualamahnya dan akhlaknya bagus, yang tidak korupsi,…” (Kamis, 30/7/2015). Tetapi
kemudian disambung dengan kata-kata sebagai berikut; "Daripada calon non
muslim, pilih calon muslim yang korup.”
Meski kemudian ada penjelasan; “Tapi kemudian, masyarakat
atau pemerintah membuat regulasi, agar dia tak korupsi lagi. Korupsinya harus
dicegah ketika memimpin, dibuat kapok,…" namun bunyi pernyataannya sebagai
ahli agama di Indonesia, mencerminkan sikap tidak toleran dan rasis.
Kenapa dikata in toleran dan rasis? Pernyataan itu
disampaikan secara terbuka di publik, di Negara Indonesia yang mengakui banyak
agama, bukan hanya Islam. Dan Indonesia
bukan Negara agama.
Hal itu menunjukkan bahwa kualitas orang-perorang di MUI
tidak mengamanahkan sebagai gambaran sebuah majelis ulama, yang semestinya
menjaga kemaslahatan umat.
Artinya, MUI sendiri bukan lembaga yang sempurna dan
didukung oleh orang-orang yang sempurna. Tinjauannya mengenai akad, dan
berbagai hal yang berkait riba dan sejenisnya itu, juga debatable, sebagai
lembaga keagamaan yang lain punya pendapat berbeda.
MUI hanya menggantungkan kata-kata yang interpretatif,
bahwa syariah itu dijalankan supaya hidup kita berkah. “Kita ini kan seperti
kurang berkah, kekayaan alam melimpah tapi miskin. Tidak ada kepentingan
lainnya atas fatwa yang dikeluarkan ini, jangan kecam kami dengan berlebihan,”
tutur Jaih Mubarok.
Negara kaya tapi rakyat miskin secara normatif memang
kurang berkah (karena tidak menggunakan Syariah Islam?). Tapi bukan berarti
bahwa Indonesia kurang berkah karena tidak nurut MUI. Karena kalau hukum
positif dijalankan, korupsi dibasmi, Negara kaya ini akan bisa menyejahterakan
rakyatnya.
Tendensi MUI untuk menggoalkan label halal dan haram
dengan strategi syariah itu bisa dilihat dari himbauan akhirnya; “Saya kira BPJS silakan jalan, dan
juga dibentuk BPJS Syariah,” kata Jaih Mubarok.
Disisi lain Din Syamsuddin menjelaskan,
selain Komisi Bidang Fatwa, MUI juga memiliki Dewan Syariah Nasional yang
berperan dalam membahas masalah-masalah di bidang keuangan. Orang-orang di
dewan inilah yang selalu memberi masukan kepada pemerintah terkait berbagai
kebijakan mengenai bidang ekonomi. “Kami memberi masukan agar program lebih
sesuai dengan syariah Islam dan memberi manfaat kepada umat,” kata dia.
Dan kita tahu, MUI selain memberikan masukkan kepada
lembaga BPJS terkait dengan hasil itjima tersebut seperti halnya Bank
Konvensional (Asuransi Konvensional) yang kemudian dilahirkan Bank dan juga
Asuransi Syariah.
SERTIFIKASI HALAL DAN
PERPUTARAN UANG | Kita bisa membayangkan, bahwa dengan otoritasnya dalam
pelabelan halal dan haram, MUI bisa mengelola trilyunan rupiah. Pembahasan
mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan
Produk Halal (JPH), sudah dua tahun ini mangkrak. Alasan yang disampaikan waktu
itu, sangat banyak dan mendasar, karena jika dipaksakan, dikhawatirkan bisa
menimbulkan banyak masalah.
Selain menimbulkan persaingan usaha, publik akan
mempertanyakan siapa yang akan memungut uang hasil sertifikasi halal yang
totalnya mencapai Rp 480 triliun dalam lima tahun?
Masa berlaku sertifikasi halal adalah 3 tahun, dan
harus mulai mengurus perpanjangan sejak 6 bulan sebelum masa berlakunya habis.
Artinya dalam lima tahun, pengusaha harus dua kali mengurus surat halal. Sekali
pengurusan biayanya sebesar Rp 6 juta, sehingga bila ditotalkan bisa mencapai
Rp12 juta dalam lima tahun. Jika angka itu dikalikan dengan 40 juta pengusaha,
maka hasil yang ditarik dari masyarakat dalam lima tahun mencapai Rp480
triliun.
Saat ini DPR masih menggodok tentang siapa yang
berhak mengeluarkan sertifikasi terhadap kehalalan suatu produk, yang selama
ini masih dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam pembahasan, MUI meminta dialah yang memegang
sertifikasi dan negara hanya mengurus administrasi saja. Itu tarikan yang masih
alot dalam pembahasan RUU. Padahal sebagai organisasi masyarakat, MUI tidak
berhak melakukan penarikan terhadap uang dari masyarakat sebesar Rp 480 triliun
tersebut.
Yang berhak menarik uang dari masyarakat hanya
negara. Mengenai soal kehalalan (atau keharaman) jika hal itu sebagai urusan
agama, maka bukan hanya MUI saja yang paham soal agama. Ada Muhammadiyah, NU,
dan lainnya yang juga mempunyai ahli-ahli agama. Ingat kasus pengelolaan uang
yang dulu dilakukan Yusuf Mansyur? Juga oleh kelompok ormas kriminal berlabel
agama yang juga mau main kutip uang rakyat dengan alasan agama?
Menurut salah seorang anggota DPR, aneh jika
Kementerian Kesehatan tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU JPH dan hanya
melibatkan Kementerian Agama sebagai wakil dari Pemerintah. Ia berpendapat
sebaiknya negara melakukan penguatan-penguatan terlebih dahulu.
Belum lagi jika kelak sampai pada praktik
pelaksanaannya. Karena nantinya, daerah pun juga akan terkena dampak dari
aturan ini. Pada kenyataannya, anggaran negara kita belum kuat, demikian juga
pengusaha.
Pemerintahan SBY pada waktu itu berada dalam
dilema, karena akan berhadapan dengan isu agama yang sensitif. Tapi, bangsa dan
negara ini perlu makin sadar dan proporsional, bahwa atas nama agama bisa
menjadi alat manipulasi bukan demi kemaslahatan umat saja, melainkan juga
kepentingan para kapitalis bertopeng.
Jangan pula
diabaikan, bahwa bola liar dari BPJS yang tidak sesuai syariah ini akan disusul
dengan pembicaraan soal perlunya BPJS Syariah dan BPJS Konvensional, sebagaimana
lembaga keuangan seperti bank dan asuransi kini juga mengenal Bank Syariah dan
Asuransi Syariah. Dan itu bukan duit main-main dengan melibatkan MUI.
Dewan Syariah Nasional (DSN) mendesak Badan Pelaksana
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membuat produk asuransi berbasis syariah guna
mengakomodir kepentingan umat muslim. Berdasarkan riset DSN, potensi pasar
asuransi syariah di Indonesia cukup besar, di mana jumlah pesertanya minimal
mencapai 7 juta orang. Terbayang berapa jumlah uang yang akan berputar di situ,
dank arena syariah melibatkan MUI, apakah mereka mau gratisan untuk Negara?
Adiwarman Karim, Wakil Ketua DSN mengatakan pihaknya telah melakukan pemetaan
terhadap jumlah peserta program Jaminan Kesehatan Sosial Nasional (JKSN).
Terdapat empat kategori peserta berdasarkan hasil riset DSN. Kategori pertama
adalah kelompok peserta 'apatis', di mana peserta yang masuk dalam daftar ini
rata-rata tidak peduli dengan prinsip-prinsip maupun kualitas fitur asuransi
yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan. "Jumlah peserta yang apatis ini
sekitar 15 juta orang," tuturnya kepada CNN Indonesia, Rabu (29/7).
Kriteria peserta yang kedua adalah 'konformis'. Kelompok ini sangat-sangat
mementingkan akad dan label syariah dalam pelaksanaan JKSN. "Jumlahnya itu
sekitar 7 juta orang," katanya.
Kelompok ketiga adalah 'rasionalis'. Kelompok ini relatif tidak terlalu peduli
dengan besar iuran yang diwajibkan PBJS Kesehatan, tetapi yang penting bagi
mereka adalah fitur dan pelayanan yang terbaik.
Terakhir adalah kelompok 'universalis', di mana peserta-pesertanya tidak
terlalu mempermasalahkan akad yang mendasari JKSN. Namun, yang merka utamakan
adalah transparansi, nilai-nilai kejujuran dan etika pengelolaan iurannya. "Untuk rasionalis dan universalis itu
jumlahnya paling besar, yakni di luar dari yang pertama dan kedua itu,"
tuturnya.
BPJS Kesehatan dalam situs resminya merilis perkembangan jumlah peserta JKSN.
Sampai dengan hari ini, Rabu (29/7), jumlah peserta JKSN lebih dari 148,5 juta
jiwa. "Potensi dana kelolaannya tinggal dikalikan saja kalu rata-rata
menyetor iuran 200 ribu sampai 300 ribu per bulan," kata Adiwarman.
Bukankah itu sumber perputaran uang
yang mengiurkan?
MEREVISI FATWA MUI | Kembali ke
persoalan BPJS; Benarkah BPJS tidak sesuai syariah Islam? Itu ‘kan kata MUI,
sementara ada pandangan lain yang juga harus dihargai.
Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan
Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM
UI) Prof. Hasbullah Thabrany menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak paham
dan salah menilai mengenai sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan.
Menurut Hasbullah, MUI harus merevisi fatwa yang menyatakan BPJS Kesehatan
tidak sesuai syariah. "Ini, kan program berjalan yang bersifat wajib, jadi
jangan penilaian mereka berdasarkan program yang sifatnya jual beli," kata
Hasbullah (KOMPAS.com, Jumat, 31/7/2015).
Menurut Hasbullah, Jaminan Kesehatan Nasional sifatnya seperti wajib pajak,
disusun oleh pemerintah sebagai bentuk kewajiban terhadap warganya. Mengenai
denda, menurut Hasbullah hal tersebut merupakan hukuman yang wajar jika
terlambat membayar iuran.
Denda itu pun tidak dijadikan sebagai keuntungan BPJS, melainkan untuk Jaminan
Sosial peserta lain. "Saya kira salah paham. Di pajak juga ada denda,
kenapa dia tidak bilang pajak itu tidak syariah?" kata Hasbullah.
Sama halnya iuran yang dikumpulkan peserta BPJS. Iuran tersebut bukan sebagai
keuntungan untuk BPJS, melainkan untuk membayar peserta lain yang sakit.
Hasbullah menegaskan bahwa sistem BPJS sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 tentang BPJS. "Kalau bilang BPJS harus syariah, maka sama
juga mengatakan pemerintah pun harus berbadan hukum syariah dong? Karena badan
hukum BPJS itu sama dengan badan hukum pemerintah," ujarnya.
Hasbullah pun mempertanyakan mengapa BPJS Kesehatan baru dipermasalahkan
sekarang mengingat program asuransi kesehatan oleh pemerintah sudah berjalan
sejak lama. Ia mempertanyakan apakah fatwa tersebut memang dikeluarkan untuk
kepentingan umat?
Penilaian soal BPJS dihasilkan dalam
forum pertemuan atau ijtima Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren
At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada Juni 2015. Menurut Din
belum dikonsultasikan ke dewan pimpinan dan dikeluarkan sebagai fatwa. Tapi
bagaimana bisa bocor ke masyarakat dengan materi yang belum final
penjelasannya?
Mengapa sebagaian ulama yang tergabung
dalam MUI telah bertindak ceroboh, tidak bijaksana dan gegabah, karena kalau
niatnya baik, mereka bisa menyampaikannya secara tertutup dan terpilih pada
pemerintah, dengan target perbaikan, tanpa menimbulkan kehebohan. Jika
demikian, apa maksud dan maknanya?
MAKHLUK APAKAH MUI | Dengan sindirannya
yang tajam, Gus Mus mempertanyakan; Makhluk apakah MUI ini?
MUI atau Majelis
Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama,
dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum
muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 17
Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta,
Indonesia.
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau
musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru
tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26
Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari
ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam,
Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4
orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan
Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh
perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan
untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan
muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani
oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama
I.
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama,
zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam,
Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama
Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di
kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat
kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak
tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam
mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama
organisasi.
Sementara dalam
penjelasan lembaganya, dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan
di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak
dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi
organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya
sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam.
Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi
ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat
Islam.
Jika demikian, apa
otoritasnya?
MUI DAN BUAH SIMALAKAMA | MUI berdiri seiring dengan tumbuhnya Orde Baru dibawah
Pemerintahan Soeharto, dan menjadi bagian penting rancang-bangun
dimulainya program pemerintahan Orde Baru.
Konsolidasi Orde Baru bukan persoalan mudah dalam bayang-bayang kepemimpinan Sukarno. Soeharto secara sistematis melakukan desukarnoisasi dengan membangun pemerintahan yang terstruktur serta terpusat, yang kemudian menjadi pemerintahan otokrasi.
Konsolidasi kepada seluruh umat Islam, adalah bagian penting dari strategi Soeharto. Umat Islam di Indonesia memiliki begitu
banyak organisasi yang tercerai berai ke dalam banyak faksi. Dalam situasi itu, tumbuh dua organisasi massa Islam, NU dan MUhammadiyah, yang memiliki kekuatan dan pengaruh
besar di dalam masyarakat. Keberadaan dua ormas ini, dalam sistem kekuasaan yang dikembangkan Soeharto sudah tentu dianggap contra-productive. Mengakui keberadaan NU serta
Muhammadiyah, mau tak mau membuka posisi sharing dalam kekuasaan, yang
hal ini jelas mengganggu konsep dan program yang tersentral dan terstruktur dari sistem pemerintah yang disebut Orde Baru.
Karena itu, Soeharto mengumpulkan semua organisasi-organisasi kecil dan bahkan yang mendadak dibentuk saat itu,
untuk membuat lembaga tandingan kelompok muslim diluar Muhammadiyah dan NU.
Demikianlah cikal-bakal MUI (yang kelak pola ini ditiru pada 1997 oleh Wiranto dalam mengumpulkan massa militant berlatar keagamaan, untuk mengalihkan isyu sentral ke konflik horisontal, yang pada akhirnya kelompok itu menjadi cikal-bakal FPI, Front Pembela Islam).
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa
Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan setelah 30 tahun
merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik
kelompok.
Pada sisi itulah Muhammadiyah dan NU mengalami degradasi peran dan
posisinya sepanjang pemerintahan Soeharto. Pemasungan kekuatan politik inilah
yang menjadi sasaran pokok pemerintahan Orba ketika itu.
Peran NU dan
Muhammadiyah tidak berada dalam konstelasi gerakan politik, namun mereka
memiliki pengaruh di dalam pemenuhan kebutuhan syariat dan ibadah serta
kepercayaan umat. Oleh karena itu pada tataran legal formal, MUI dijadikan
alat pokok pemerintah dalam menjalankan setiap program-programnya.
MUI menjadi alat kekuasaan Orde Baru untuk ikut serta
mendukung dan mensukseskan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada jaman Orba, MUI memiliki kewenangan absolut untuk menentukan
hari hari besar Islam, serta menentukan baik serta buruk dan bahkan haram-tidaknya sesuatu.
NU dan Muhammadiyah tetap berkembang bersama umat yang
meyakininya, dan tetap mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh masing-masing
organisasi. Bahkan pada pemerintahan Orba
tidak pernah terjadi, Muhammadiyah ikut kedalam policy pemerintah ketika
menentukan hari besar Islam, terutama Iedul Adha dan Iedul Fitri. Bahkan seringkali penentuan hari besar Islam itu dijadikan alat pemerintah untuk memperdalam jurang perbedaan diantara ummat Islam.
Sejak Maret 2015, pemerintahan Jokowi mencabut dana bantuan sosial untuk MUI. Pemangkasan Bansos ini adalah keputusan yang cukup berani,
karena MUI selama ini berada dalam posisi status-quo yang tak seorang pun bisa menjamahnya.
Setelah era lengsernya Soeharto dengan politik otoritarianisme, demokratisasi dan kesetaraan non-diskriminasi tentu menjadi tantangan berat bagi keberadaan MUI yang dogmatis dan absolut. Apalagi munculnya kesadaran baru, bahwa keyakinan masing masing umat, adalah hak asasi yang harus
dihormati oleh siapapun, termasuk negara. Ruang keyakinan warga menjadi sangat penting dan menjadi
tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya.
Demokratisasi, HAM, toleransi, adalah isyu-isyu yang secara diametral selama ini justeru berlawanan dengan fatwa-fatwa MUI, apalagi dalam kaitan labelisasi halal dan haram yang masuk ke lembaga dan sistem keuangan negara dengan dalil-dalil syariah (Islam).
Pada posisi ini, dimana sebenarnya
posisi dan keberadaan MUI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang plural seperti
Indonesia?
OTORITAS MUI DAN
KUDETA MERANGKAK | Umat Islam di Indonesia sendiri tidak diberitahu, mengapa
pemimpin MUI ini dan bukan itu. Siapa saja yang menjadi anggota MUI apakah
perseorang atau mewakili lembaga, dan bagaimana pula kriterianya? Namun kenapa
dengan ketidakjelasan posisinya itu ia seolah menjadi wakil Tuhan yang
memberikan penilaian final yang harus diikuti, jika tak ingin dikatakan murtad?
Orang Indonesia, apalagi pemimpin atau pejabat public, takut jika dicap murtad
dari agama.
Padahal, siapa yang
berhak mengatakan seseorang murtad, kafir, halal, haram, syirik, berdosa, masuk
neraka, sorga, dapat pahala Tuhan?
Kalau MUI mau
merangsek ke sistem hukum gormal pemerintahan Negara Republik Indonesia, ganti
dulu azas bernegara kita. Ubah atau ganti UUD sesuai syariah (Islam). Caranya?
Terserah. Mau pakai jalan revolusi, kudeta, atau berjuang melalui jalan
demokrasi yang kita sepakati bersama.
Saya meminjam istilah Choen Husain
Pontoh, dalam status fesbuknya, begini: “Jika sejarawan Asvi Warman Adam
mengatakan bahwa Soeharto melakukan kudeta merangkak terhadap pemerintahan
Soekarno pasca G30S, maka saya ingin mengatakan bahwa MUI sedang melakukan
proyek politik Syariah Merangkak,...."
Jika semua keputusan perundang-undangan
Republik Indonesia dikaitkan dengan syariah (Islam), negara ini Negara Islam,
Negara agama, atau bukan? Lihat UUD 1945 kita. Lihat preambulenya. Lihat
sejarahnya dengan membaca teks pidato Sukarno 1 Juni 1945 dan perdebatan yang terjadi
di dalamnya. Di situ jelas Bung Karno mengatakan, sekali pun tidak ada
embel-embel Islam, tetapi karena mayoritas para pemimpinnya beragama Islam,
tidak mungkin tidak aspek hukum dalam konstitusi kita (pendeknya) tidak Islami.
Formalisasi syariah dengan pelabelan haram dan halal, tampaknya menjadi senjata
efektif. Memang label 'Islam' tidak dipakai, tetapi pelabelan 'syariah' tak
mengingkari substansinya. Lha bagaimana dengan syariah (hukum) Kristen, syariah
Hindu, syariah Buddha, syariah Khonghucu sebagai agama yang diakui di
Indonesia? Atau mau bikin BPJS Islam, BPJS Kristen, roti Islam, roti Buddha,
celdam Katholik, softext Hindu, dan sebagainya? Maka itulah Bung Karno
menawarkan Pancasila!
Jika semua-mua hal kemudian harus disyariahkan secara hukum agama Islam, dengan
ancaman-ancaman sorga dan neraka (karena syariah atau hukum agama tentu berkait
halal dan haram, haq dan bathil), maka buat apa pemerintahan ini dibangun oleh
semua orang tetapi disetir oleh pandangan lembaga yang kredibilitasnya di luar
sistem bersama yang kita sepakati atas nama konstitusi? Buat apa mendirikan
partai politik, memutar duit dan atas nama rakyat dengan mendirikan lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif, jika kemudian makbedundug muncul MUI di
atas segala-galanya, seolah mewakili Tuhan? Tuhannya siapa?
Di situ agama menjadi persoalan bukan jalan keluar. Apalagi kalau
ujung-ujungnya nanti ada Presiden Syariah, Parlemen Syariah, pengadilan
syariah, medsos syariah, parpol syariah, dan sebagainya.
Negara Indonesia tidak dilahirkan, diurus, dan dipertanggungjawabkan oleh MUI,
tetapi oleh seluruh manifestasi bangsa dan Negara Indonesia. Jadi agen siapa
MUI ini? Israel? Mossaad? Mossanto? Yahudi? Fremasson? Raja Saud bin Wahab?
Suntulkenyut?
Namun, inilah tragedi besar bangsa ini. Setelah agama selama ini sebagai tameng negara semasa pemerintahan tiran Soeharto, kini agama berbalik memperalat negara. Sistem politik Soeharto yang berazas formalisme dan pragmatisme, membuahkan masalah pada generasi sesudahnya, bangsa multikultur ini dibenturkan dengan berbagai legitimasi yang vandalistik. Sama halnya dengan ketika elite penguasa memakai organisasi massa dalam periode menjelang lengsernya Soeharto, untuk membenturan konflik horisontal ke isyu agama (Islam) sebagai mayoritas, hingga terbentuknya FPI yang menjadi benalu bagi pemerintah. MUI pada akhirnya menjadi slilit yang dilematis, terlebih dikala formalisme dalam Islam menjadi moment munculnya kaum waham dengan faham wahabiyah.
Pertanyaan terakhir: MUI sendiri halal atau haram? Sudah bersertifikat syariah
belum?